SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 5
HUKUM JUAL BELI KREDIT
DALAM ISLAM
HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-
beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai
konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman
sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak
perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat
sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan
antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu „alaihi wa sallam.
Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun
berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman
kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan
kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah
transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik
barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan
mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik
barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini
biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua
jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu
transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari‟at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku,
walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan
cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini
merupakan pendapat kebanyakan ulama‟. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil
berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta‟ala:
                                            . ‫282 :حسقةلا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan
akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar
dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat „Aisyah radhiaalahu „anha.
                                                                  . ‫ٍيلع قفدم‬
“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi
dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun
„alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran
dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini
menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah
salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin „Amer bin Al „Ash radhiallahu „anhu.
 ‫أى س عْل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن أهشٍ أى ٌ جِض ج ٍ شب ل بل ع جذ اهلل ث ي عوشّ ّل ٍظ ع ٌذً ب ظِش ل بل‬
 ّ‫ف أهشٍ ال ٌ جً ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن أى ٌ ج زبع ظِشا إل ى خشّج ال و صذق ف بث زبع ع جذ اهلل ث ي عوش‬
ْ‫ل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن. سّاٍ أحوذ ال ج ع ٍش ث بل ج ع ٍشٌ ي ّث بألث عشح إل ى خشّج ال و صذق ث أهش س ع‬
ً ً‫ّأث ْ داّد ّال ذاسل ط ًٌ ّح غ ٌَ األل جب‬
“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu
pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin
Amer bin Al „Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang
saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al „Ashpun seperintah Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan
dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad
Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin
„Amer Al „Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran
dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal,
(200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah
terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari‟at adalah dengan cara salam, yaitu memesan
barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi
kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tidak
mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang
langsung. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam hanya bersabda:
ٍَ ‫هي أ ع لف ف ل ٍ غ لف ف ً و ٍل هع لْم ّّصى هع لْم إل ى أجل هع لْم. ه ز فك ع ل‬
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.”
(Muttafaqun „Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih,
yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini,
para ulama‟ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang
mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk
dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam:
                                       . ‫ٍسيغّ يرمسدلا ٍاّس‬
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan
mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat
At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh
Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan
cara „inah. Jual beli „Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan
pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali
barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh
singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat
mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia
memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta
mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan,
serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp
10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau
lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor
yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu
ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan
menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak
Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat
ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan
bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak
bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan
konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak
menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian,
pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank.
Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang
kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari‟at, akan tetatpi permasalahannya menjadi
lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui
dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah,
maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan
segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita
dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang
sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp
10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat
ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang
tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba
nasi‟ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
 ‫عي جبث ش ل بل: ل عي س عْل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن آو ل ال شث ب ّهْول َ ّو بر جَ ّ شبُذٌ َ، ّل بل: ُن‬
‫عْاء. سّاٍ ه غ لن‬
Dari sahabat Jabir radhiallahu „anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam telah
melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah),
penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu
sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali
kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual
motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya
sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai
salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama
pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut.
Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang
jelas-jelas diharamkan dalam syari‟at.
 َ‫عي اث ي ع جبط س ضً اهلل ع ٌَ ل بل ل بل س عْل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن: هي اث زبع ط عبهب ف ال ٌ ج ع‬
‫ر ى ٌ م ج ضَ. ل بل اث ي ع جبط: ّأح غت و ل شًء ث و ٌضل خ ال ط عبم. ه ز فك ع ل ٍَح‬
“Dari sahabat Ibnu „Abbas radhiallahu „anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya
kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu „Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa
segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun „alaih)
Pendapat Ibnu „Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
 ،‫ف لوب ا ع زْج ج زَ ل ٌ ف غً ل م ٍ ًٌ سجل ف أعطبً ً ث َ سث حب عي اث ي عوش ل بل: اث ز عذ صٌ زب ف ً ال غْق‬
 :‫ح غ ٌب، ف أسدد أى أ ضشة ع لى ٌ ذٍ، ف أخز سجل هي خ ل فً ث زساعً، ف بل ز فذ ف إرا صٌ ذ ث ي ث بث ذ ف مبل‬
 ‫ ً ِى أى ر جبع ال غ لع ح ٍث ر ج زبع‬e ‫ال ر ج عَ ح ٍث اث ز ع زَ ح زى ر حْصٍ إل ى سح له ف إى س عْل اهلل‬
 ‫ّال حبو نح زى ٌ حْصُب ال زجبس إل ى سحبل ِن. سّاٍ أث ْ داّد‬
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan
ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak
tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak
menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari
belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin
Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya
hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut
dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan
Al Hakim)([3])
Para ulama‟ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena
kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab,
misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah
menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu „Abbas t ketika muridnya yang bernama
Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
.‫ل لذ الث ي ع جبط: و ٍف ران؟ ل بل: ران دساُن ث ذساُن ّال ط عبم هشجأ‬
Saya bertanya kepada Ibnu „Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena
sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya
ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu „Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli
bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada
penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya
kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran
tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka
seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan
pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak
hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan
lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan
melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah
satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat
menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang,
tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa‟du bis syira‟ (janji
pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia
membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan
berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan
pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan
kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta‟ala demi mendapatkan
barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya
dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam
pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah
Allah Ta‟ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap
nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah
Ta‟ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
                                                  . ‫7 ميٍاسةإ‬
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (ni‟mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan
menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar
yang penuh dengan keberkahan.
‫ٌّ شصل َ هي ح ٍث ال ٌ ح ز غت ّهي ٌ زك اهلل ٌ ج عل لَ هخشجب‬
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama‟:
 َ‫اهلل خ ٍشا ه ٌَهي ر شن ش ٍ ئب هلل عْ ض‬
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya
dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta‟ala a‟alam bisshowab.

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Valuta Asing ppt
Valuta Asing pptValuta Asing ppt
Valuta Asing pptBundaF
 
Ppt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaian
Ppt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaianPpt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaian
Ppt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaianIndah Rohmatullah
 
Dokumen transaksi
Dokumen transaksiDokumen transaksi
Dokumen transaksisekar nadi
 
Presentasi jurnal khusus
Presentasi jurnal khususPresentasi jurnal khusus
Presentasi jurnal khususFeliciawijaya26
 
PPT ekonomi - indeks harga dan inflasi
PPT ekonomi - indeks harga dan inflasiPPT ekonomi - indeks harga dan inflasi
PPT ekonomi - indeks harga dan inflasiErika N. D
 
Bab 2 akuntansi
Bab 2 akuntansiBab 2 akuntansi
Bab 2 akuntansimohkhafi
 
Makalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikan
Makalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikanMakalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikan
Makalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikanMiftah Iqtishoduna
 
Memahami Logika Laporan Keuangan
Memahami Logika Laporan KeuanganMemahami Logika Laporan Keuangan
Memahami Logika Laporan KeuanganAli Wafa
 
PPT Hyperlink Bank Sentral
PPT Hyperlink Bank SentralPPT Hyperlink Bank Sentral
PPT Hyperlink Bank Sentralsalmiah mia
 
Surat keterangan penghasilan orang tua
Surat keterangan penghasilan orang tuaSurat keterangan penghasilan orang tua
Surat keterangan penghasilan orang tuaArya Ningrat
 
PPh umum in Bahasa Indonesia
PPh umum in Bahasa IndonesiaPPh umum in Bahasa Indonesia
PPh umum in Bahasa IndonesiaYesica Adicondro
 
Perencanaan dan pendanaan jangka pendek
Perencanaan dan pendanaan jangka pendekPerencanaan dan pendanaan jangka pendek
Perencanaan dan pendanaan jangka pendekfredi_umby
 
Soal latihan akuntansi pajak 1
Soal latihan akuntansi pajak 1Soal latihan akuntansi pajak 1
Soal latihan akuntansi pajak 1SetoMWibowo
 
Cara menentukan status kepemilikan persediaan barang
Cara menentukan status kepemilikan persediaan barangCara menentukan status kepemilikan persediaan barang
Cara menentukan status kepemilikan persediaan barangWADIYO .
 

Mais procurados (20)

Pasar Uang Syariah
Pasar Uang SyariahPasar Uang Syariah
Pasar Uang Syariah
 
Bukti pembayaran
Bukti pembayaranBukti pembayaran
Bukti pembayaran
 
Valuta Asing ppt
Valuta Asing pptValuta Asing ppt
Valuta Asing ppt
 
Ppt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaian
Ppt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaianPpt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaian
Ppt bab 11 neraca saldo setelah penyesuaian
 
Dokumen transaksi
Dokumen transaksiDokumen transaksi
Dokumen transaksi
 
Presentasi jurnal khusus
Presentasi jurnal khususPresentasi jurnal khusus
Presentasi jurnal khusus
 
PPT ekonomi - indeks harga dan inflasi
PPT ekonomi - indeks harga dan inflasiPPT ekonomi - indeks harga dan inflasi
PPT ekonomi - indeks harga dan inflasi
 
Bab 2 akuntansi
Bab 2 akuntansiBab 2 akuntansi
Bab 2 akuntansi
 
Makalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikan
Makalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikanMakalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikan
Makalah ayat dan hadits ekonomi - harta dan hak kepemilikan
 
Bank dan lembaga keuangan lainnya
Bank dan lembaga keuangan lainnyaBank dan lembaga keuangan lainnya
Bank dan lembaga keuangan lainnya
 
Memahami Logika Laporan Keuangan
Memahami Logika Laporan KeuanganMemahami Logika Laporan Keuangan
Memahami Logika Laporan Keuangan
 
PPT Hyperlink Bank Sentral
PPT Hyperlink Bank SentralPPT Hyperlink Bank Sentral
PPT Hyperlink Bank Sentral
 
Surat keterangan penghasilan orang tua
Surat keterangan penghasilan orang tuaSurat keterangan penghasilan orang tua
Surat keterangan penghasilan orang tua
 
Pilihan ganda piutang wesel
Pilihan ganda piutang weselPilihan ganda piutang wesel
Pilihan ganda piutang wesel
 
Latihan soal pasar modal
Latihan soal pasar modalLatihan soal pasar modal
Latihan soal pasar modal
 
PPh umum in Bahasa Indonesia
PPh umum in Bahasa IndonesiaPPh umum in Bahasa Indonesia
PPh umum in Bahasa Indonesia
 
Kebijakan moneter
Kebijakan moneterKebijakan moneter
Kebijakan moneter
 
Perencanaan dan pendanaan jangka pendek
Perencanaan dan pendanaan jangka pendekPerencanaan dan pendanaan jangka pendek
Perencanaan dan pendanaan jangka pendek
 
Soal latihan akuntansi pajak 1
Soal latihan akuntansi pajak 1Soal latihan akuntansi pajak 1
Soal latihan akuntansi pajak 1
 
Cara menentukan status kepemilikan persediaan barang
Cara menentukan status kepemilikan persediaan barangCara menentukan status kepemilikan persediaan barang
Cara menentukan status kepemilikan persediaan barang
 

Semelhante a HUKUM PERKREDITAN

Islamin Banking and Takaful Final Exam Notes
Islamin Banking and Takaful Final Exam NotesIslamin Banking and Takaful Final Exam Notes
Islamin Banking and Takaful Final Exam NotesUmmi Rahimi
 
Makalah Fikih Muamalat
Makalah Fikih MuamalatMakalah Fikih Muamalat
Makalah Fikih MuamalatDianaZn
 
Makalah leasing( fiqih muamalat)
Makalah leasing( fiqih muamalat)Makalah leasing( fiqih muamalat)
Makalah leasing( fiqih muamalat)Taufik Rahman
 
Jual beli murabahah, salam dan istishna
Jual beli murabahah, salam dan istishnaJual beli murabahah, salam dan istishna
Jual beli murabahah, salam dan istishnaQuinta Nursabrina
 
Tugas kelompok akuntansi perbankan syariah
Tugas kelompok akuntansi perbankan syariahTugas kelompok akuntansi perbankan syariah
Tugas kelompok akuntansi perbankan syariahBernard Anjas
 
Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)
Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)
Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)Agung Anggoro
 
Jual beli, utang piutang dan gadai
Jual beli, utang piutang dan gadaiJual beli, utang piutang dan gadai
Jual beli, utang piutang dan gadaiIsma Jihan
 
Akad rukun dan syarat jual beli
Akad  rukun dan syarat jual beliAkad  rukun dan syarat jual beli
Akad rukun dan syarat jual belisyariah umi
 
Hukum islam tentang muamalah
Hukum islam tentang muamalahHukum islam tentang muamalah
Hukum islam tentang muamalahADHP
 
Bab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syaria
Bab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syariaBab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syaria
Bab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syariaIkaAlini
 

Semelhante a HUKUM PERKREDITAN (20)

Islamin Banking and Takaful Final Exam Notes
Islamin Banking and Takaful Final Exam NotesIslamin Banking and Takaful Final Exam Notes
Islamin Banking and Takaful Final Exam Notes
 
Salam
SalamSalam
Salam
 
Makalah Fikih Muamalat
Makalah Fikih MuamalatMakalah Fikih Muamalat
Makalah Fikih Muamalat
 
Makalah leasing( fiqih muamalat)
Makalah leasing( fiqih muamalat)Makalah leasing( fiqih muamalat)
Makalah leasing( fiqih muamalat)
 
Jual beli murabahah, salam dan istishna
Jual beli murabahah, salam dan istishnaJual beli murabahah, salam dan istishna
Jual beli murabahah, salam dan istishna
 
Tugas kelompok akuntansi perbankan syariah
Tugas kelompok akuntansi perbankan syariahTugas kelompok akuntansi perbankan syariah
Tugas kelompok akuntansi perbankan syariah
 
Fiqih jual beli 2
Fiqih jual beli 2Fiqih jual beli 2
Fiqih jual beli 2
 
Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)
Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)
Islam dalam mengatur transaksi utang piutang dan angsuran (kredit)
 
Praktik ekonomi dalam islam
Praktik ekonomi dalam islamPraktik ekonomi dalam islam
Praktik ekonomi dalam islam
 
Ppt akad murabahah
Ppt akad murabahahPpt akad murabahah
Ppt akad murabahah
 
PPT Akad.pptx
PPT Akad.pptxPPT Akad.pptx
PPT Akad.pptx
 
2963059.ppt
2963059.ppt2963059.ppt
2963059.ppt
 
Jual beli, utang piutang dan gadai
Jual beli, utang piutang dan gadaiJual beli, utang piutang dan gadai
Jual beli, utang piutang dan gadai
 
Akad rukun dan syarat jual beli
Akad  rukun dan syarat jual beliAkad  rukun dan syarat jual beli
Akad rukun dan syarat jual beli
 
Mu'amalah xi
Mu'amalah xiMu'amalah xi
Mu'amalah xi
 
Sharf
SharfSharf
Sharf
 
Bab 5- Akad, Rukun dan Syarat Jual Beli.
Bab 5- Akad, Rukun dan Syarat Jual Beli.Bab 5- Akad, Rukun dan Syarat Jual Beli.
Bab 5- Akad, Rukun dan Syarat Jual Beli.
 
Fiqih praktis hutang
Fiqih praktis hutangFiqih praktis hutang
Fiqih praktis hutang
 
Hukum islam tentang muamalah
Hukum islam tentang muamalahHukum islam tentang muamalah
Hukum islam tentang muamalah
 
Bab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syaria
Bab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syariaBab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syaria
Bab_7_AKUNTANSI_MURABAHAH akuntansi syaria
 

HUKUM PERKREDITAN

  • 1. HUKUM JUAL BELI KREDIT DALAM ISLAM HUKUM PERKREDITAN Macam-Macam Praktek Perkreditan. Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual- beli dengan cara kredit. Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan. Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda. Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya. Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan. Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga. Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda: Pihak kedua: Pemilik barang. Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor. Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini. Hukum Perkreditan Langsung Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari‟at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama‟. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut: Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta‟ala: . ‫282 :حسقةلا‬ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282) Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar
  • 2. dibolehkannya perkreditan. Dalil kedua: Hadits riwayat „Aisyah radhiaalahu „anha. . ‫ٍيلع قفدم‬ “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun „alaih) Pada hadits ini, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang. Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin „Amer bin Al „Ash radhiallahu „anhu. ‫أى س عْل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن أهشٍ أى ٌ جِض ج ٍ شب ل بل ع جذ اهلل ث ي عوشّ ّل ٍظ ع ٌذً ب ظِش ل بل‬ ّ‫ف أهشٍ ال ٌ جً ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن أى ٌ ج زبع ظِشا إل ى خشّج ال و صذق ف بث زبع ع جذ اهلل ث ي عوش‬ ْ‫ل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن. سّاٍ أحوذ ال ج ع ٍش ث بل ج ع ٍشٌ ي ّث بألث عشح إل ى خشّج ال و صذق ث أهش س ع‬ ً ً‫ّأث ْ داّد ّال ذاسل ط ًٌ ّح غ ٌَ األل جب‬ “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al „Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al „Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani. Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin „Amer Al „Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang). Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan). Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari‟at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam hanya bersabda: ٍَ ‫هي أ ع لف ف ل ٍ غ لف ف ً و ٍل هع لْم ّّصى هع لْم إل ى أجل هع لْم. ه ز فك ع ل‬ “Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun „Alaih) Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama‟ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan. Adapun sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam: . ‫ٍسيغّ يرمسدلا ٍاّس‬ “Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat
  • 3. At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara „inah. Jual beli „Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah. Hukum Perkreditan Segitiga Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini: Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih. Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut. Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya. Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya? Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait. Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu. Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari‟at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini. Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah: Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi‟ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut: ‫عي جبث ش ل بل: ل عي س عْل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن آو ل ال شث ب ّهْول َ ّو بر جَ ّ شبُذٌ َ، ّل بل: ُن‬
  • 4. ‫عْاء. سّاٍ ه غ لن‬ Dari sahabat Jabir radhiallahu „anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim) Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari‟at. َ‫عي اث ي ع جبط س ضً اهلل ع ٌَ ل بل ل بل س عْل اهلل ص لى اهلل ع ل ٍَ ّ ع لن: هي اث زبع ط عبهب ف ال ٌ ج ع‬ ‫ر ى ٌ م ج ضَ. ل بل اث ي ع جبط: ّأح غت و ل شًء ث و ٌضل خ ال ط عبم. ه ز فك ع ل ٍَح‬ “Dari sahabat Ibnu „Abbas radhiallahu „anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu „Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun „alaih) Pendapat Ibnu „Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut: ،‫ف لوب ا ع زْج ج زَ ل ٌ ف غً ل م ٍ ًٌ سجل ف أعطبً ً ث َ سث حب عي اث ي عوش ل بل: اث ز عذ صٌ زب ف ً ال غْق‬ :‫ح غ ٌب، ف أسدد أى أ ضشة ع لى ٌ ذٍ، ف أخز سجل هي خ ل فً ث زساعً، ف بل ز فذ ف إرا صٌ ذ ث ي ث بث ذ ف مبل‬ ‫ ً ِى أى ر جبع ال غ لع ح ٍث ر ج زبع‬e ‫ال ر ج عَ ح ٍث اث ز ع زَ ح زى ر حْصٍ إل ى سح له ف إى س عْل اهلل‬ ‫ّال حبو نح زى ٌ حْصُب ال زجبس إل ى سحبل ِن. سّاٍ أث ْ داّد‬ “Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3]) Para ulama‟ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut. Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu „Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini: .‫ل لذ الث ي ع جبط: و ٍف ران؟ ل بل: ران دساُن ث ذساُن ّال ط عبم هشجأ‬ Saya bertanya kepada Ibnu „Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4]) Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu „Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada
  • 5. penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5]) Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba. Solusi Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa‟du bis syira‟ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak. Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta‟ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta‟ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta‟ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita: . ‫7 ميٍاسةإ‬ “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni‟mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7) Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan. ‫ٌّ شصل َ هي ح ٍث ال ٌ ح ز غت ّهي ٌ زك اهلل ٌ ج عل لَ هخشجب‬ “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3) Dahulu dinyatakan oleh para ulama‟: َ‫اهلل خ ٍشا ه ٌَهي ر شن ش ٍ ئب هلل عْ ض‬ “Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.” Wallau Ta‟ala a‟alam bisshowab.