INDEKS INSENTIF JABATAN : MENJAWAB TANTANGAN DALAM MENGHITUNG BESARAN TAMBAHAN PENGHASILAN BAGI PNS DAERAH
1. INDEKS INSENTIF JABATAN : MENJAWAB TANTANGAN DALAM
MENGHITUNG BESARAN TAMBAHAN PENGHASILAN
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH
(Position Incentive Index : the Answer of Challenge in Counting the Proportion for
Local Civil Servants Additional Income)
Oleh : Rustan A.1
(PKP2A III LAN Samarinda)
Abstract
Welfare will continue to be the main source of low performance. Low performance
directly will impact the achievement of development targets and the course of regional
governance. Therefore, Local Governments in the short term need to work hard to push
the prosperity of apparatus through the management of financial resources. Increasing
prosperity is indirectly also informed by the President with the order to formulated
allowances and incentives immediately which are appropriate and proportional to the
officers. This paper presents the concept of the development of criteria and calculation
of additional revenue for Local Civil Servants which was developed through in-depth
study. In addition, the authors also describe the vital elements that need to be a concern
for local governments in determining the amount of additional income to be more
accountable and systematic without sacrificing other development sectors.
Keywords : Position Incentive Index, Additional Income
Abstrak
Kesejahteraan akan terus menjadi momok atas kinerja yang rendah. Kinerja yang rendah
tentu akan berdampak pada semakin jauhnya pencapaian target-target pembangunan dan
jalannya pemerintahan daerah. Oleh karenanya, dalam jangka pendek Pemerintah
Daerah perlu berupaya keras memompa kesejahteraan aparaturnya melalui tatakelola
sumberdaya keuangan yang ada. Peningkatan kesejahteraan tersebut, secara tidak
langsung juga disampaikan Presiden dengan menghimbau agar segera dirumuskan
tunjangan dan insentif yang pantas dan proporsional bagi aparatur daerah. Tulisan ini
menyajikan konsep pengembangan kriteria dan perhitungan pemberian tambahan
penghasilan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah yang dikembangkan melalui kajian yang
mendalam. Selain itu, penulis juga memaparkan elemen-elemen vital yang perlu
menjadi perhatian bagi pemerintah daerah dalam menentukan besaran tambahan
penghasilan agar lebih akuntabel dan sistematis tanpa perlu mengorbankan sektor
pembangunan lainnya.
Kata Kunci : Indeks Insentif Jabatan, Tambahan Penghasilan
1
Peneliti Pertama pada PKP2A III LAN (E-mail : rustanamarullah8@gmail.com)
1|Page
2. Latar Belakang
Selebrasi otonomi daerah banyak digunakan oleh Pemerintah Daerah (cq. Kepala
Daerah) untuk dapat menarik social sympathy, tidak terkecuali bagi aparatur
pemerintah daerah yang notabene sangat diperlukan kerja kerasnya untuk mewujudkan
ambisi dan mimpi kepala daerah terpilih. Otonomi daerah yang memberikan otoritas
bagi kepala daerah dalam mengendalikan dan mengelola keuangan daerah menjadi
kekuatan utama untuk dapat mengambil alih perhatian aparatur pemerintah daerah.
Dengan iming-iming peningkatan kesejahteraan, kepala daerah berupaya mendorong
optimalisasi kinerja aparatur pemerintah daerah atau PNSD sebagai basis kebijakannya
sebelum menyentuh kebijakan sektor lainnya. Hal ini tidaklah salah, merupakan
langkah yang tepat, dan jalan yang baik dalam rangka meningkatkan kinerja
pembangunan daerah, sebab jika kinerja PNSD meningkat maka kinerja SKPD juga
meningkat; jika kinerja SKPD meningkat berarti program dan kegiatan pemerintah
daerah dapat berjalan dengan sempurna; jika kinerja program dan kegiatan pemerintah
daerah tercapai maka pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat juga akan
semakin meningkat, dan hasil akhirnya masyarakat akan mengapresiasi kinerja yang
dilakukan oleh pemerintah daerah.
Berbagai kreativitas untuk menstimulasi peningkatan kesejahteraan pegawai telah
diaplikasikan oleh seluruh pemerintah daerah meskipun masih dalam tingkat yang
terbatas. Berdasarkan teori umum, peningkatan kesejahteraan pegawai dapat ditempuh
melalui pemberian imbalan baik yang sifatnya imbalan intrinsik maupun imbalan
ekstrinsik. Imbalan ekstrinsik dibagi menjadi 2 (dua) yaitu imbalan yang diperoleh
dalam bentuk uang seperti, gaji; upah; honor; bonus; komisi; insentif; upah; dan
sebagainya, dan imbalan yang merupakan benefit atau tunjangan pelengkap, seperti,
uang cuti; uang makan; uang transportasi atau antar jemput; asuransi; jaminan sosial
tenaga kerja; uang pensiun; rekreasi; beasiswa melanjutkan kuliah; dan sebagainya.
Adapun imbalan intrinsik adalah imbalan yang hanya dapat dirasakan dan tidak
berbentuk fisik seperti, kelangsungan pekerjaan, jenjang karir yang jelas, kondisi
lingkungan kerja, pekerjaan yang menarik, dan lain-lain.
Pemberian imbalan/ penghargaan diharapkan menjadi motivator yang kuat dalam
peningkatan kinerja organisasi secara menyeluruh melalui peningkatan kinerja individu.
Pemberian imbalan atau kompensasi terhadap tuntutan kinerja pegawai terkait erat
dengan teori kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement theory). Pemberian
imbalan yang berbasis kinerja akan mendorong pegawai untuk lebih efektif dalam
bekerja dan kondisi ini secara langsung akan berpengaruh terhadap kemauan kuat dari
pegawai untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya untuk menjadi lebih
maju sehingga akan lebih mampu dalam menghadapi tantangan baru yang ditugaskan
oleh atasannya. Kondisi ini secara langsung akan menimbulkan suatu kepuasan
tersendiri terhadap diri pegawai yang bersangkutan dan peningkatan kinerja pun akan
meningkat secara simultan. Dilihat dari aspek keadilan, pemberian imbalan/kompensasi
berdasarkan kinerja, memegang prinsip keadilan untuk setiap pegawai. Pegawai yang
berprestasi tinggi yang berkorelasi erat dengan kinerja tinggi akan mendapatkan
imbalan yang tinggi pula sehingga asas keadilan juga diprioritaskan.
2|Page
3. Di era globalisasi yang tidak menentu, semakin materialistis dan individualis ini,
kebutuhan akan uang menjadi faktor penting bagi setiap orang, sehingga akan menjadi
suatu hal yang lumrah jika gaji dan insentif/ kompensasi dalam bentuk uang bisa
menjadi motivator yang kuat bagi seorang pegawai dalam menjalankan pekerjaannya.
Money talks, adalah ungkapan yang sering dijumpai dalam teori manajemen sumber
daya manusia. Sistem penggajian dan kompensasi yang tidak realistis akan
memperlemah motivasi bekerja pegawai bahkan peningkatan produktivitasnya. Adalah
suatu hal yang semestinya diperhatikan oleh suatu organisasi untuk memperhatikan
kesejahteraan pegawai melalui perbaikan sistem penggajian ataupun pemberian
insentif/kompensasi jika menuntut adanya kinerja dan produktivitas yang tinggi dari
pegawainya.
Miftah Thoha (2006) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa kesejahteraan dinilai
sebagai salah satu faktor penting yang mempengaruhi kinerja PNS. Maka perlu ada
peningkatan dimana salah satu solusinya adalah melakukan restrukturisasi sistem
penggajian secara nasional dan secara rasional sesuai standar minimal kebutuhan
pegawai. KPK (2007) meyakini bahwa sistem penggajian saat ini merupakan salah satu
penyebab timbulnya korupsi (corruption by need) baik di tingkat pemerintah pusat
maupun pemerintahan daerah: provinsi, kabupaten dan kota.
Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah Daerah, dengan didasari PP No. 58 tahun 2005
Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 59 tahun 2007 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dapat meningkatkan motivasi kerja, capaian
kinerja, dan kesejahteraan PNSD-nya melalui suatu pemberian tambahan penghasilan
yang layak dan proporsional. Instruksi Presiden pada Tanggal 6 Agustus 2010 secara
tegas juga telah memberikan himbauan agar Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan bersama unsur daerah merumuskan tunjangan dan insentif yang pantas dan
proposional bagi pejabat daerah. Intruksi ini secara langsung merupakan bentuk
perhatian yang serius dari pemerintah terhadap kondisi kesejahteraan PNS yang dirasa
masih rendah dan sangat jauh ketimpangannya dibanding sektor swasta, bahkan antar
satuan/unit kerja organisasi pemerintah. Oleh karenanya, pemberian tambahan
penghasilan yang layak berdasarkan pertimbangan tertentu sudah seharusnya segera
dilaksanakan.
Dwiyanto (2010) mengingatkan bahwa pemerintah perlu membuat regulasi yang
mengatur tentang kriteria remunerasi berbasis kinerja dan kisaran dari besaran tambahan
penghasilan yang dapat diberikan kepada aparatur dan pejabat daerah. dengan
tersedianya kisaran besaran insentif dan kriteria pemberiannya, daerah dapat
mengembangkan sistem insentif dan remunerasi yang akuntabel dan dapat mendorong
peningkatan produktivitas aparatur daerah. Menyoroti kesemua uraian tersebut di atas,
penulis merasa tertantang untuk melontarkan dan menguraikan konsep kriteria dan
perhitungan tambahan penghasilan bagi PNSD melalui tahapan yang sudah
dikembangkan secara sistematis.
3|Page
4. Mengapa Pemberian TPP Begitu Penting ?
Dalam dunia kerja, setiap pekerjaan yang dilakukan akan memperoleh balasan berupa
imbalan atas jasa yang telah diberikan pada organisasi atau perusahaan. Imbalan inilah yang
seringkali dikenal dengan kompensasi/ gaji/ upah yang besarnya disesuaikan oleh tingkatan
jabatan yang disandang. Imbalan atau kompensasi yang diberikan akan berpengaruh pada
kelangsungan organisasi maupun kelangsungan karyawan itu sendiri, bahkan jika
berlandaskan teori “Hierarki Kebutuhan” dari Abraham Maslow, maka bekerja untuk
memperoleh imbalan atau kompensasi dapat dikategorikan sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic physiological needs).
Perbaikan penghasilan PNS menjadi isu yang penting seiring dengan tuntutan ekonomi
yang terus melambung tanpa dibarengi dengan peningkatan gaji pegawai yang
sebanding. Di sisi lain, aparatur pemerintah dituntut totalitas dalam bekerja serta
transparan, bersih dan akuntabel dalam mendapatkan sumber penghasilan. Sistem
penggajian yang ada saat ini akan menyulitkan PNS dalam mewujudkan keinginannya
baik sebagai makhluk individu maupun sosial yang ingin selalu diakui status sosialnya
dalam hal ini penghasilan yang baik dapat menentukan eksistensi seseorang dalam
kehidupan sosialnya tidak terkecuali PNS.
Sistem penggajian yang baik seharusnya mampu memberikan peluang kepada pegawai
untuk mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi dalam rangka memenuhi harapannya
tersebut. Dalam organisasi pemerintahan, kondisi ini belum mampu diwujudkan.
Tuntutan kinerja yang tinggi dari seorang pegawai belum diimbangi oleh suatu
pemberian penghasilan dan tunjangan yang rasional dan sebanding padahal fungsi
penghasilan adalah sebagai “nilai tukar” atas kinerja yang diberikan. Oleh karenanya,
tambahan penghasilan yang rasional dan menarik akan menciptakan suatu lingkungan
kerja yang kondusif bagi PNS tanpa dicampuri oleh kesibukan untuk mencari tambahan
penghasilan dari sumber lain ataupun upaya untuk menyalahgunakan kewenangan untuk
memenuhi kebutuhan maupun harapan hidupnya. Secara naluriah, ini akan berdampak
pada totalitas pegawai dalam menjalankan seluruh tugas dan tanggung jawabnya dan
secara alamiah akan memberikan rasa aman bagi seorang PNS dalam memberikan
jaminan kehidupan yang layak bagi keluarganya.
Kinerja aparatur pemerintah (civil servant) sebagai pelaksana tugas urusan
pemerintahan dan pembangunan dapat ditingkatkan melalui upaya manajemen
pembinaan aparatur yang berorientasi pada merit system secara profesional, adil, serta
proporsional sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian. Salah satu sendi dalam manajemen PNS tersebut yang cukup
berperan dalam mengungkit kinerja aparatur adalah melalui pemberian gaji/ kompensasi
yang layak dan adil. Untuk itu, pemerintah wajib untuk mengusahakan dan memberikan
gaji/ kompensasi yang adil sesuai standar yang layak kepada Pegawai Negeri.
Sistem penggajian PNS sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 43 Tahun 1999 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian, secara rinci dapat diintisarikan sebagai berikut, bahwa gaji
yang diperoleh PNS setidak-tidaknya, (1) Sesuai dengan beban pekerjaannya, (2) Sesuai
dengan besarnya tanggung jawab yang diembannya, (3) Mampu memacu meningkatnya
produktivitas kerja, (4) Mampu menjamin kesejahteraan PNS itu sendiri, (5) Memenuhi
kebutuhan hidup keluarga PNS, (6) Mendorong prestasi kerja PNS, (7) Mampu untuk
4|Page
5. mengarahkan PNS agar memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.
Kenyataannya, kondisi tersebut belum mampu diwujudkan. Hal ini bisa kita lihat pada
kondisi pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah yang masih disoroti
miris oleh masyarakat. Kondisi ini terjadi dikarenakan unsur penyelenggaranya (baca :
PNS) belum mampu menjalankan perannya sebagai pelayan masyarakat secara optimal
dan profesional. Kondisi ini secara umum dianggap terjadi karena kurang memadainya
gaji yang diterima, oleh karenanya masih banyak kasus yang ditemukan di daerah
terkait kinerja PNS diantaranya, pungutan liar, suap, korupsi, mark-up, pengeluaran
fiktif, dan berbagai bentuk „uang pelicin‟ adalah bentuk-bentuk pelanggaran aturan yang
dilakukan untuk tujuan menambah pendapatan (extra income) yang dilakukan baik
dalam jam kerja atau setelah jam kerja. Kondisi ini menyebabkan kinerja PNS semakin
disorot dan dianggap hanya menghabiskan anggaran negara tanpa ada kontribusi yang
signifikan (Sulistyo, 2007).
Konsekuensinya, reorientasi dan restrukturisasi sumberdaya aparatur adalah kebutuhan
mendesak untuk dilaksanakan, disamping penataan kelembagaan dan tatalaksana
organisasi pemerintahan. Hal ini terutama disebabkan karena beberapa hal diantaranya,
tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien juga
kinerja aparatur daerah yang cenderung masih dinilai rendah. Kinerja aparatur akan
berkorelasi positif dengan kinerja organisasi yang secara langsung, dalam konteks
organisasi pelayanan publik, akan menghasilkan suatu layanan publik yang berkualitas.
Upaya reorientasi dan restrukturisasi sumberdaya aparatur daerah dapat dilakukan
melalui 2 (dua) pendekatan:
a. Pendekatan Jangka Panjang
Diperlukan perbaikan sistem manajemen kepegawaian secara menyeluruh yang
didasarkan pada kompetensi (competency based) mulai dari rekrutmen, succession
planning, pengembangan karir, process improvement, sistem penilaian kinerja,
sistem penggajian, promosi, reward and punishment, serta pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan.
b. Pendekatan Jangka Pendek
Pemberian tunjangan kesejahteraan daerah adalah langkah awal yang dapat
ditempuh untuk segera membenahi kondisi aparatur daerah, terutama dalam
mendorong peningkatan kinerja dan memotivasi aparatur daerah dalam
melaksanakan tugasnya. Pemberian tunjangan kesejahteraan daerah ini sesuai
dengan PP No. 58 tahun 2005 pasal 63 ayat (2) bahwa pemerintah daerah dapat
memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan
pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah,
dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Tambahan penghasilan adalah upaya pemerintah daerah untuk memberikan penghasilan
diluar penghasilan yang diterima selama ini yang dananya diambil dari APBD setelah
mendapatkan persetujuan dari DPRD. Tujuannya adalah untuk semakin meningkatkan
kesejahteraan seluruh pegawainya, dan di lain pihak diharapkan secara langsung dapat
meningkatkan semangat dan kualitas kerja. Perlu dipahami bahwa tambahan
penghasilan ini berbeda dengan tunjangan kinerja yang merupakan imbas
5|Page
6. pelaksanaan reformasi birokrasi. Sebagaimana dijelaskan dalam Permenpan dan RB
No. 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014, bahwa tunjangan
kinerja merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi atas dasar
kinerja yang telah dicapai oleh seseorang individu pegawai. Kinerja individu pegawai
yang dimaksud tentunya harus sejalan dengan kinerja yang hendak dicapai oleh
instansinya. Oleh karena itu, tunjangan kinerja individu pegawai dapat meningkat atau
menurun sejalan dengan peningkatan atau penurunan kinerja yang diukur berdasarkan
Indikator Kinerja Utama. Sementara itu, remunerasi (dalam hal ini tambahan
penghasilan dari Pemerintah Daerah) adalah semua bentuk imbalan yang diterima
pegawai atas kontribusi yang diberikannya kepada organisasi. Pemberian remunerasi
bersifat fleksibel, yaitu dapat bersifat langsung atau tidak langsung, dapat berbentuk
tunai atau nontunai, dan dapat diberikan secara reguler atau pada waktu-waktu tertentu.
Remunerasi diberikan dalam bentuk, gaji pokok, tunjangan, dan imbalan lainnya.
Dengan diberlakukannya kebijakan tambahan penghasilan bagi PNS daerah diharapkan
berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pegawai. Pemberian tambahan
penghasilan tersebut bersifat rutin diterima pegawai per-bulan sehingga menumbuhkan
keyakinan pegawai dalam menetapkan perencanaan kebutuhan hidupnya. Disisi lain
pemberian tambahan penghasilan diarahkan agar seluruh PNS termasuk pegawai pada
lini depan pelayanan agar dapat meningkatkan disiplin dan kinerjanya dan dapat
memberikan kualitas layanan sesuai Standar Operating Procedure (SOP) yang
ditetapkan (KPK, 2007). Transparansi dan akuntabilitas unit pelayanan publik terkait
erat dengan tinggi rendahnya indeks korupsi Indonesia. Peningkatan disiplin dan kinerja
di unit ini diharapkan dapat meningkatkan indeks korupsi yang akan berkorelasi positif
dengan peningkatan investasi di Indonesia.
Pemberian Tambahan Penghasilan bagi PNSD (TPP) ini telah dilakukan dibeberapa
daerah, dan secara umum hasilnya cukup signifikan, minimal dapat meningkatkan
kedisiplinan dan kesejahteraan PNSD. Namun disisi lain, dasar perhitungan pemberian
TPP tersebut kerap dipertanyakan oleh BPK, terutama pada pembebanannya dalam
APBD yang cukup besar, serta dasar dalam penentuan TPP tiap jabatannya.
Praktek Pemberian Tambahan Penghasilan di Berbagai Daerah
Beberapa pemerintah daerah telah menerapkan tunjangan/ insentif tambahan/ tambahan
penghasilan di luar gaji pokok bagi pegawainya dalam rangka meningkatkan efisiensi
dan efektifitas kinerja pemerintah daerah serta meningkatkan kesejahteraan pegawai.
Meskipun tunjangan diberikan dengan tujuan yang sama, peristilahan pemberian
tunjangan/insentif tambahan berbeda-beda antar daerah, diantaranya (PKP2A III LAN,
2010) :
- Pemerintah Provinsi Gorontalo disebut dengan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD).
Penggunaan istilah tersebut didasari oleh keinginan pemerintah provinsi gorontalo
untuk mengubah perilaku atau memperbaiki kinerja aparaturnya.
- Kota Pekanbaru disebut Tunjangan Penghasilan dan Peningkatan Kesejahteraan
(TPPK), penggunaan istilah ini dilatarbelakangi kebijakan pemerintah Kota
Pekanbaru untuk melakukan pemerataan honor atau penghasilan antar pegawai.
- Kabupaten Solok disebut Tunjangan Daerah. Penggunaan istilah ini didorong oleh
keinginan pemerintah daerah untuk menghilangkan kesenjangan/ ketimpangan
6|Page
7. penghasilan yang cukup tinggi antar jabatan serta untuk mendorong produktivitas
kerja aparatur daerah.
- Kabupaten Jembrana disebut dengan Tunjangan Kesejahteraan Daerah. Pemberian
tunjangan kesejahteraan daerah ini sebagai bentuk perhatian sekaligus kompensasi
bagi pegawai di lingkungan pemerintah kabupaten jembrana atas kinerja baik yang
mereka berikan.
- Selanjutnya di Kabupaten Paser sendiri menggunakan istilah Tambahan Penghasilan
Pegawai Negeri Sipil (TPP) sebagai upaya Pemerintah Kabupaten Paser untuk
meningkatkan kesejahteraan PNS-nya melalui peningkatan penghasilan yang
diberikan dan sebagai bentuk kompensasi atas tuntutan kinerja yang semakin tinggi
kepada pegawainya.
Penulis menemukan bahwa pemberlakuan TPP juga menimbulkan masalah, seperti
yang terjadi di Provinsi Jawa Barat dalam Pikiran Rakyat (2010) yang memberitakan
bahwa :
- DPRD Provinsi Jawa Barat menemukan sistem TPP yang diberlakukan di provinsi
tersebut telah meningkatkan anggaran belanja tidak langsung dari Rp 1,6 Triliun
pada APBD 2010 menjadi Rp 2,05 Triliun pada RAPBD 2011 (meningkat Rp 0,45
Triliun).
- Sejumlah PNS di lingkungan Pemprov Jawa Barat meminta kebijakan tunjangan
tambahan penghasilan (TPP) dikaji ulang karena tidak mencerminkan asas keadilan.
- Pergub No. 119/2009 tentang pemberian insentif berbasis kinerja (IBK)
direncanakan ditinjau ulang
Temuan lainnya terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan sebagaimana diberitakan dalam
Banjarmasin Post (2010) menyebutkan “kebijakan Gubernur Rudy Ariffin menaikkan
tunjangan daerah ibarat madu sehingga mengundang ratusan PNS dari daerah
berbondong-bondong untuk mutasi menjadi PNS di Pemprov Kalsel. Data hingga
Agustus 2010, tercatat 500 PNS mengajukan pindah tugas ke Pemprov. Salah satu
motifnya karena tergiur besarnya tunjangan tersebut. Meningkatkan tunjangan PNS
daerah berarti menyedot belanja pembangunan pada APBD, padahal alokasi itu bisa saja
bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan tidak sekadar membayar gaji pegawai”
Problematika tersebut terjadi mungkin dikarenakan tidak dilakukannya kajian secara
mendalam sebelum kebijakan TPP tersebut diberlakukan, atau mungkin juga terjadi
karena model perhitungan yang digunakan dalam menentukan besaran TPP kurang
memperhitungkan 2 (dua) hal yang sangat vital yaitu besaran TPP yang dialokasikan
dalam APBD dan jumlah aparatur daerah yang dimiliki.
Pertimbangan Vital Dalam Penetapan Tambahan Penghasilan PNSD
Pemberian insentif yang selama ini diterapkan pada dasarnya merupakan bentuk
pengalihan honor-honor kegiatan yang diberikan kepada para pegawai dari level
tertinggi hingga level terendah di semua unit kerja baik dinas, badan, maupun kantor.
Akumulasi honor tersebut kemudian diditribusikan kembali dalam bentuk insentif dan
diberikan kepada semua pegawai secara proporsional. Sehingga secara keseluruhan
tidak terlalu berpengaruh terhadap anggaran daerah. Kebijakan ini akan memberikan
dampak positif yang besar bagi keberlangsungan organisasi, berkurangnya gap
7|Page
8. pendapatan antar satuan/unit kerja sebagai akibat pendistribusian honorarium secara
proporsional berdasarkan beban dan kondisi kerja akan memacu kinerja dari seorang
pegawai dimanapun mereka ditempatkan (KPK, 2007).
Perbaikan penghasilan merupakan instrumen yang telah diimplementasikan oleh
beberapa daerah dalam usaha meningkatkan kinerja pegawainya. Kabupaten Solok telah
melakukannya sejak tahun 2004, Pemerintah Provinsi Gorontalo sejak tahun 2004,
Pemerintah Kota Pekanbaru sejak tahun 2006 dan Pemerintah Kabupaten Jembrana
sejak tahun 2006. Konsekuensi dari adanya perbaikan renumerasi tersebut adalah
terciptanya peningkatan kinerja dan semakin menunjang kesejahteraan pegawai yang
memadai. Tambahan penghasilan bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah ini
juga ditujukan untuk mengurangi kecemburuan antara pegawai di tempat yang “basah”
dan pegawai ditempat yang “kering”. Kondisi ini secara langsung akan mencegah
dampak timbulnya kepincangan organisasi dikarenakan PNS hanya akan memiliki
semangat bekerja pada satuan kerja ataupun unit kerja yang memiliki honorarium yang
besar atau tempat “basah” dan keengganan untuk berkinerja pada tempat „kering”.
Besaran nominal insentif yang diberikan kepada pegawai bervariasi diantara beberapa
daerah, hal ini tentu disesuaikan dengan kemampuan daerah dalam memberikan
tambahan penghasilan tersebut. Kota Pekanbaru secara umum mampu memberikan
insentif dalam jumlah nominal yang lebih besar dari daerah lain. Kota yang berada di
provinsi penghasil minyak tersebut mampu memberikan insentif kepada pegawai
tingkat staf sebesar Rp 750 ribu/bulan, sama dengan di Provinsi Gorontalo. Sedangkan
di Kabupaten Jembrana sebesar Rp 200 ribu, dan Kabupaten Solok Rp 150 ribu.
Tabel 1.
Perbandingan Besaran Tambahan Penghasilan di Berbagai Daerah
Diolah dari berbagai sumber, 2009
8|Page
9. Berdasarkan tabel 1 di atas, terlihat bahwa masing-masing daerah memiliki besaran
tambahan penghasilan yang berbeda-beda. Namun demikian, secara umum jika ditinjau
dari hierarki besaran penghasilan dengan jabatan yang dimiliki memiliki tingkat
kesenjangan yang cukup jauh. Tingginya perbedaaan/ kesenjangan penghasilan antara
jabatan satu dengan yang lainnya dikhawatirkan akan mendorong kecemburuan sosial,
disamping kesejahteraan yang terwujud juga akan sangat timpang. Kondisi ini terlihat
pada level jabatan eselon III sampai IV di Kota Pekanbaru yang penghasilan
tambahannya cukup rapat diantara level jabatan tersebut, namun dengan eselon II ke
atas perbedaannya cukup jauh; di Kabupaten Solok hal serupa juga terjadi; dan di
Kabupaten Jembrana dimana antara level eselon III/ a dan III/ b disamakan, padahal
tingkat tanggung jawab pekerjaan dua eselon tersebut cukup berbeda.
Berdasarkan uraian diatas, penentuan besarnya tambahan penghasilan kepada aparatur
daerah, perlu memperhatikan secara serius 2 (dua) hal vital berikut dan tidak jarang
kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam menentukan besaran TPP:
1. Besarnya APBD yang dialokasikan untuk Tambahan Penghasilan
Tinggi rendahnya APBD yang dimiliki sangat berpengaruh terhadap porsi tambahan
penghasilan yang dapat dialokasikan. Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa
dalam menentukan besarnya tambahan penghasilan yang diberikan kepada pegawai,
alurnya harus dimulai dari APBD terlebih dulu, yaitu menentukan porsi (%)
alokasi Tambahan Penghasilan dalam APBD terlebih dahulu. Setelah itu besarnya
nilai tambahan penghasilan tersebut disebar berdasarkan tingkatan jabatan secara
proporsional. Langkah ini cukup akurat untuk menjaga beban TPP pada APBD.
Praktek yang selama ini terjadi adalah menentukan besaran TPP untuk masing-
masing jabatan terlebih dahulu, baru kemudian melihat total nilai TPP yang
dibutuhkan dalam APBD. Sehingga secara otomatis alokasi TPP dalam APBD akan
sangat besar. Senada dengan hal ini, dari hitungan Kementerian Dalam Negeri
dalam Kontan-Online (2010) menyebutkan bahwa baik pemerintah provinsi,
kabupaten, dan kota dalam setahun rata-rata menghabiskan anggaran untuk pegawai
sebesar 56% dari total anggaran seluruhnya. Jika sebagian besar komposisi APBD
hanya untuk membiayai kebutuhan pegawai, bagaimana mungkin sektor
pembangunan lainnya dapat berkontribusi dengan optimal. Mendagri (2011) juga
mengingatkan agar daerah berusaha meningkatkan belanja modal dan barangnya
serta berupaya mengurangi belanja aparaturnya, sebab peningkatan belanja modal
dan barang/ jasa dapat menggerakkan perekonomian daerah.
Penulis menyarankan bahwa untuk menentukan porsi (%) alokasi Tambahan
Penghasilan PNSD dalam APBD, pemerintah daerah dapat melakukan 2 (dua) hal :
a) Menghitung seluruh pembiayaan honorarium kegiatan bagi seluruh PNSD yang
dikeluarkan pemerintah daerah setiap tahunnya dalam APBD, dan selanjutnya
total pengeluaran (honorarium) tersebut dikonversi ke dalam persentase (%).
Persentase inilah yang kemudian menjadi dasar atau basis dalam perhitungan
TPP. Dengan demikian, pemberian TPP pada dasarnya bukan merupakan bentuk
pembiayaan baru atau beban baru bagi APBD, melainkan pembiayaan yang
secara rutin dikeluarkan untuk membiayai honorarium PNSD seperti tahun-
tahun sebelumnya.
9|Page
10. b) Pemerintah daerah bersama DPRD menetapkan secara langsung porsi (%)
alokasi TPP dalam APBD. Penetapan secara langsung dapat dilakukan dengan
melakukan proyeksi terhadap perkembangan APBD dimasa-masa mendatang.
Sehingga, bisa saja persentase alokasi TPP dalam APBD tersebut lebih besar
atau bahkan lebih kecil dibandingkan alokasi untuk pembiayaan honorarium
PNSD yang selama ini dikeluarkan.
2. Banyaknya aparatur daerah yang dimiliki
Pemberian tambahan penghasilan kepada PNSD selain memperhatikan besarnya
tambahan penghasilan yang dialokasikan dalam APBD, juga harus memperhatikan
jumlah pegawai yang dimiliki. Semakin banyak jumlah pegawai yang dimiliki
maka tambahan penghasilan yang dapat diberikan kepada PNSD akan
semakin kecil. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah pegawai maka tambahan
penghasilan yang diberikan akan semakin besar. Kondisi seperti inilah yang
kemudian dapat menyadarkan Pemerintah Daerah untuk tidak merekrut pegawai
secara berlebihan dan sebenarnya tidak dibutuhkan oleh daerah, sehingga yang
terjadi adalah pembebanan terhadap APBD.
Berikut ditampilkan rasio perbandingan antara APBD dengan jumlah PNS yang ada
dibeberapa daerah. Perbandingan ini diperlukan untuk melihat kekuatan APBD
untuk membiayai satuan PNS yang ada, dan dari kekuatan APBD inilah akan
terlihat pengaruh banyaknya PNS yang dimiliki terhadap APBD.
Tabel 2.
Perbandingan Total APBD Dengan Jumlah PNS di Beberapa Daerah
Jumlah
PEMDA Total APBD Rasio APBD : PNS
PNS
Prov. Kaltim Rp 5.970.000.000.000 7250 Rp 823.448.276
Kabupaten Malinau Rp 1.500.000.000.000 2672 Rp 561.377.246
Kabupaten Tarakan Rp 1.301.916.323.099 3421 Rp 380.566.011
Prov. Gorontalo Rp 500.000.000.000 2289 Rp 218.435.998
Kabupaten Paser Rp 1.086.453.754.777 5662 Rp 191.885.156
Kota Pekanbaru Rp 1.250.000.000.000 8422 Rp 148.420.803
Sumber : Dari Berbagai Sumber, 2010
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa rasio APBD dan PNS di Provinsi Gorontalo
lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten paser maupun Kota Pekanbaru, padahal
jumlah APBD mereka jauh lebih tinggi. Kondisi ini membuktikan bahwa kekuatan
APBD Provinsi Gorontalo cukup besar, sehingga pada dasarnya tambahan penghasilan
yang diberikan di Provinsi Gorontalo seharusnya dapat lebih tinggi dibandingkan
kabupaten paser dan kota pekanbaru. Dengan demikian, besarnya APBD dan jumlah
PNS yang dimiliki adalah kunci utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah
sebelum menetapkan besaran tambahan penghasilan kepada para pegawainya.
Setelah dua hal pokok diatas telah jelas, penyusunan unsur-unsur tambahan
penghasilan menjadi komponen berikutnya untuk dianalisis, sebagai dasar dalam
10 | P a g e
11. pemberian tambahan penghasilan sebagaimana yang telah diatur dalam Permendagri
No. 59 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 39 ayat (2)
yang menyebutkan bahwa tambahan penghasilan diberikan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja,
kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/ atau pertimbangan objektif lainnya. Berdasarkan
ketentuan tersebut dijelaskan bahwa :
- Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja diberikan kepada Pegawai Negeri
Sipil yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai
melampaui beban kerja normal.
- Tambahan penghasilan berdasarkan tempat bertugas diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat
kesulitan tinggi dan daerah terpencil.
- Tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja diberikan kepada Pegawai Negeri
Sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang
memiliki resiko tinggi.
- Tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang dalam mengemban tugas memiliki ketrampilan khusus dan
langka.
- Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada Pegawai Negeri
Sipil yang memiliki prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi.
- Selanjutnya tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan objektif lainnya
diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum pegawai, seperti
pemberian uang makan dan lain-lain.
Seluruh pertimbangan-pertimbangan pokok diatas perlu dicermati dengan baik dalam
setiap kajian kebijakan TPP sebelum ditetapkan, sehingga penerapan TPP dapat
membawa angin segar bagi PNSD itu sendiri dan kinerja pemerintahan daerah secara
agregat tanpa perlu mengganggu atau mengambil porsi pembiayaan untuk sektor
lainnya dalam APBD.
Pemberian tambahan penghasilan sebagai perbaikan penghasilan PNS tidak hanya dapat
dilakukan oleh daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi, melainkan seluruh daerah
dapat menerapkannya. Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa pemberian tambahan
penghasilan ini tidak membebani APBD atau dengan kata lain tidak sebagian besar
porsi APBD hanya untuk membiayai PNSD, dan besarannya harus melihat kemampuan
APBD daerah yang bersangkutan. Oleh karenanya, persetujuan dari DPRD menjadi
prasyarat mutlak lainnya untuk dapat memberlakukan pemberian tambahan penghasilan
ini. Pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh tetap menjadi prioritas utama dari penyelenggaraan pemerintahan.
Indeks Insentif Jabatan : Solusi Penentuan Besaran TPP
Dalam hubungannya dengan pemberian kompensasi, pada umumnya terdapat 4 (empat)
metode yang digunakan. Dua metode pertama biasanya dipakai oleh Pemerintah dan
dua metode selanjutnya dipakai oleh dunia swasta, keempat metode tersebut (Handoko,
2009) adalah :
1. Metode Penentuan Peringkat (Ranking Method)
2. Metode Klasifikasi (Grade/ Classification Method)
11 | P a g e
12. 3. Metode Perbandingan Faktor (Factor Comparison Method)
4. Metode Sistem Angka (Point System Method)
Metode yang digunakan dan dikembangkan dalam penentuan pemberian TPP dalam
tulisan ini adalah metode klasifikasi (Grade/Classification Method) jabatan dan
merupakan salah satu metode non-kuantitatif yang biasa dipakai di lingkungan
pemerintahan. Metode klasifikasi adalah metode dengan penyusunan klasifikasi/ standar
untuk kelompok-kelompok pekerjaan yang akan digunakan untuk menilai pekerjaan-
pekerjaan yang ada. Deskripsi standar diperbandingkan dengan deskripsi pekerjaan
untuk menentukan kelas atau grade pekerjaan. Pekerjaan yang lebih penting/ strategis
diberikan kompensasi yang lebih tinggi (Handoko, 2009).
Standar yang dimaksudkan tersebut dalam tulisan ini disebut sebagai Indeks Insentif
Jabatan (IIJ). Indeks insentif jabatan merupakan pola baru dalam penentuan tambahan
penghasilan PNS yang dikembangkan oleh PKP2A III LAN sejak tahun 2009 yang
didasarkan pada penilaian indeks jabatan masing-masing tingkatan jabatan yang ada
sesuai proporsi tertentu secara berjenjang dengan total ratio nilai baku =”1”, artinya
adalah dengan pendekatan indeks insentif jabatan ini, besarnya APBD yang
dialokasikan untuk TPP dapat disebarkan secara akurat dan terkontrol tanpa ada
kelebihan ataupun kekurangan. Proporsi tertentu dan berjenjang itulah yang kemudian
memunculkan perbedaan nilai indeks antara jabatan yang satu dengan jabatan lainnya
yang kemudian menghasilkan besaran TPP yang berbeda pula antara jabatan satu
dengan jabatan lainnya. Indeks insentif jabatan juga memegang teguh perbedaan-
perbedaan berikut :
- Hierarki Jabatan, Yang Meliputi Besarnya Tanggung Jawab, Beratnya Beban
Kerja, Luasnya Span Of Control, dan Kompleksnya Permasalahan Yang Dihadapi.
Ini menerangkan bahwa semakin tinggi level eselon maka beban untuk melakukan
pengawasan, koordinasi, pembinaan, dan fasilitasi pada jabatan-jabatan dibawahnya
juga semakin besar. Dengan demikian, semakin tinggi hierarki jabatan, maka IIJ-nya
akan semakin tinggi pula.
Dalam PP No. 100 tahun 2000 jo. PP No. 13 Tahun 2002 Tentang Pengangkatan
PNS Dalam Jabatan Struktural juga menyebutkan bahwa eselon adalah tingkatan
jabatan struktural, yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
seorang Pegawai Negeri Sipil. Dimana dalam pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa
penetapan eselon, ditetapkan berdasarkan penilaian atas bobot tugas, tanggung
jawab, dan wewenang. Sehingga semakin tinggi level eselon atau jabatan PNSD
maka IIJ-nya juga secara linear semakin tinggi.
- Pada penggunaan TPP ini diusahakan Agar Kesenjangan Kesejahteraan Antar
Jabatan dan Kesenjangan Insentif Antar Jabatan Tidak Terlalu Timpang
(proporsional). Hal ini penting untuk mencegah adanya kecemburuan sosial antar
PNSD, tetapi tetap mengedepankan semangat untuk mencapai level jabatan yang
lebih tinggi dengan IIJ yang lebih tinggi pula.
Selanjutnya, untuk menyelaraskan Indeks Insentif Jabatan (IIJ) dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan, maka perhitungan besaran Tambahan Penghasilan
12 | P a g e
13. PNS dilakukan dengan menerapkan pola gabungan, yaitu antara Indeks Insentif
Jabatan dan Pola Pembagian Unsur Tambahan Penghasilan (dalam Permendagri
No. 59 Tahun 2007). Secara sederhana, setelah besaran TPP telah ditentukan
berdasarkan IIJ, maka besaran TPP tersebut disebar sesuai proporsi yang telah disusun.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut.
Besaran TPP
berdasarkan
perhitungan IIJ
Gambar 1.
Penyebaran TPP setelah perhitungan Indeks Insentif Jabatan ke dalam
Unsur Tambahan Penghasilan
Penyebaran ini sangat diperlukan untuk mengetahui besarnya peranan masing-masing
unsur tambahan penghasilan dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007. Penggabungan
kedua pola (IIJ dan Pembagian Unsur Tambahan Penghasilan) ini dirasakan cukup
efektif dan rasional, serta memberikan gambaran rinci mengenai tingkatan-tingkatan
(grade) TPP masing-masing jabatan sehingga sangat layak untuk diterapkan dengan
argumentasi :
- Penggabungan kedua pola tersebut akan memenuhi pertimbangan empiris dan
pertimbangan ketentuan peraturan perundangan (PerMendagri 59 tahun 2007) secara
lebih komprehensif.
- Besarnya APBD yang dialokasikan untuk TPP dapat dikontrol secara akurat.
- Penggabungan kedua pola tersebut lebih menjamin secara jelas, detail, dan lengkap
penggunaan alokasi TPP dari APBD.
- Penggabungan kedua pola tersebut juga mencerminkan upaya pemerataan
kesejahteraan secara objektif bagi seluruh PNS di lingkungan Pemerintah daerah
yang bebasis pada kinerja pegawai (performance-based incentive). Pada gambar
tersebut di atas terlihat bahwa prestasi kerja dan beban kerja memegang porsi yang
sangat besar yaitu 80 %.
Pemberian TPP yang dikembangkan didasarkan pada kinerja pegawai (merit system)
sehingga unsur-unsur yang terkait dengan kinerja diberikan prosentase tinggi
dibandingkan unsur lainnya. Penjelasan terhadap masing-masing besarnya proporsi
unsur tambahan penghasilan pada gambar. 1 tersebut sebagai berikut :
- Tambahan Penghasilan Minimum diberikan persentase 5 %. Unsur ini diberikan
nilai terkecil karena merupakan jumlah minimal yang akan diterima oleh pegawai
yang besarnya diharapkan sama setiap bulannya dan akan diterima secara utuh tanpa
mempertimbangkan aspek apapun yang terkait dengan kinerja.
13 | P a g e
14. - Beban Kerja diberikan persentase 35 %, dikarenakan TPP pada dasarnya diberikan
dalam rangka meningkatkan pelaksanaan dan penyelesaian tugas-tugas pegawai
secara optimal, oleh karenanya unsur ini diberikan bobot yang cukup besar.
- Kondisi kerja diberikan bobot sebesar 15 %. Kondisi kerja disini diartikan sebagai
resiko kerja yang timbul sebagai akibat pelaksanaan tugas pegawai. Resiko kerja
pada dasarnya dialami oleh seluruh tingkatan jabatan, terutama diberikan sebagai
kompensasi terhadap resiko hukum dan administratif yang mungkin dialami.
- Prestasi kerja diberikan bobot tertinggi yakni 45 %, dikarenakan TPP ini diharapkan
dapat mendorong peningkatan kinerja, daya kreasi, inovasi, semangat kerja, serta
motivasi untuk bekerja optimal untuk kepentingan kemajuan organisasi.
Pengurangan tambahan penghasilan (TPP) yang diberikan kepada PNS dapat dilakukan
pada komponen Prestasi Kerja dan/ atau dapat pula komponen Beban Kerja.
Komponen-komponen pengurang tersebut disamping memiliki persentase terbesar yang
akan berpengaruh nyata jika pegawai yang bersangkutan kurang mampu menjalankan
tugas dan fungsinya dengan baik; juga dapat memacu semangat kerja/ produktivitas
pegawai untuk terus memperoleh tambahan penghasilan yang maksimum. Adanya
komponen pengurang TPP diharapkan dapat menimbulkan efek positif bagi kemajuan
dan pencapaian tujuan organisasi, serta berkurangnya permasalahan-permasalahan
akibat kurang produktifnya pegawai yang dimiliki.
Untuk lebih jelasnya pengaplikasian pola gabungan Indeks Insentif Jabatan dan
Pembagian Unsur Tambahan Penghasilan (Permendagri No. 59 Tahun 2007) yang telah
diterapkan di Kabupaten paser, Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010 dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3.
14 | P a g e
15. Sumber : PKP2A III LAN, 2010
Hal yang perlu dicermati adalah total tambahan penghasilan yang diberikan
tersebut bersifat tetap setiap tahunnya. Adapun persentase alokasi TPP dalam
APBD, hanya merupakan penentuan ideal yang digunakan sebagai awal penentuan total
nilai kebutuhan TPP pada semua tingkatan jabatan yang ada. Sehingga bukan berarti
bahwa setiap tahun TPP akan berubah mengikuti persentase yang telah ditetapkan dan
juga mengikuti peningkatan APBD. Namun, TPP akan diberikan secara tetap pada
tahun-tahun berikutnya meskipun terjadi kenaikan APBD, namun jika terjadi penurunan
APBD, besaran TPP akan disesuaikan kembali dengan tetap memegang prinsip tidak
mengganggu alokasi anggaran untuk pembangunan daerah lainnya. Karena nilai besaran
TPP tersebut tetap, maka akan berefek pada persentase kebutuhan alokasi TPP
dalam APBD yang sebenarnya akan terus berkurang seiring dengan kenaikan
APBD.
Perlu dipahami juga bahwa pemberian tambahan penghasilan tentu akan menyedot
APBD, yang tidak lain adalah merupakan uang masyarakat yang diperoleh dari
pembayaran pajak dan eksplorasi Sumber Daya Alam daerah. Oleh karenanya
pemberian tambahan penghasilan bagi PNS juga secara langsung akan
mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat didalamnya. Pada tataran organisasi,
implikasi yang dipersyaratkan antara lain tuntutan peningkatan efektivitas kerja, cara/
mekanisme kerja, dan peningkatan kinerja. Sementara pada tataran individual,
konsekuensinya lebih nyata, misalnya tuntutan kedisiplinan yang lebih tinggi, ketaatan
terhadap aturan yg lebih baik, kesadaran untuk berperilaku sesuai kode etik, kemauan
untuk menandatangani kontrak kinerja dan bekerja lebih keras, juga kesiapan menerima
sanksi jika gagal memenuhi target yang ditetapkan. Dan yang lebih penting lagi adalah
jaminan tidak terdapatnya lagi aksi KKN atau bentuk-bentuk pungutan liar.
Disadari bahwa masih terdapat 2 (dua) komponen lagi yang belum dicover oleh IIJ dan
Pembagian Unsur Tambahan Penghasilan tersebut diatas. Dalam Permendagri No. 59
Tahun 2007 disebutkan bahwa pemberian tambahan penghasilan juga perlu didasarkan
pada tempat bertugas dan kelangkaan profesi. Tidak dimasukkannya kedua komponen
ini dalam perhitungan sebelumnya dikarenakan hanya berlaku secara spesifik pada
jabatan tertentu saja. Oleh karenanya, jika kemudian kita menyebut komponen yang
dicover oleh IIJ dan Pembagian Unsur Tambahan Penghasilan sebagai Tambahan
Penghasilan Umum (TPU). Maka pada beberapa jabatan tertentu, selain diberikan TPU,
juga diberikan Tambahan Penghasilan Khusus (TPK) yang besarannya ditentukan
berdasarkan professional judgment dengan melihat karakteristik kekhususan yang ada.
Adapun kekhususan tersebut yaitu
- Tempat Bertugas
TPK ini sebagai kompensasi kepada pegawai akan minimnya sarana transportasi
serta fasilitas/ infrastruktur lainnya yang dapat berakibat pada lebih mahalnya
kebutuhan hidup sehari-hari. Besaran TPK ini akan menurun seiring dengan
meningkatnya tingkat kemudahan dalam memperoleh sarana transportasi dan
fasilitas/ infrastruktur kebutuhan dasar.
15 | P a g e
16. - Kelangkaan Profesi
Dikarenakan keterbatasan jumlah suatu pekerjaan tertentu yang sangat dibutuhkan
keberadaannya, serta dikarenakan pekerjaan tersebut menuntut keahlian tinggi dan
memiliki kerumitan yang tinggi, maka untuk pekerjaan-pekerjaan misalnya dokter
spesialis, anestesi, teknik elektromedik, ataupun auditor diberikan TPK karena
kelangkaan profesi tersebut. Jabatan fungsional yang tingkat kelangkaannya tinggi,
menuntut keahlian yang sangat tinggi serta kerumitan yang sangat tinggi pula, maka
akan mendapatkan tunjangan yang tinggi. Dan besarannya akan menurun seiring
dengan menurunnya tingkat kelangkaan jabatan tersebut.
Penutup
Dua dari tiga fokus utama dari capacity building menurut Eade (1998) adalah investing
in people dan investing in organization. Investing in people mengandung makna bahwa
manusia merupakan aktor yang harus mampu berbuat bagi kehidupan dan masa
depannya, sedangkan investing in organization dilakukan berdasarkan pertimbangan
organisasi merupakan alat atau wadah yang digunakan manusia dalam mencapai tujuan
bersama secara efektif. Kedua hal itulah yang coba dijawab melalui pemberian TPP.
TPP secara akumulatif akan menjadi gairah dan energi bagi seluruh organisasi daerah
untuk lebih maju, sebab didalamnya (TPP) telah dirancang untuk mewujudkan SDM
aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, mampu bersaing,
berkinerja tinggi dan sejahtera. Pemberlakuan TPP bagi PNSD juga semakin
meningkatkan bargaining position pekerjaan aparatur pemerintah, sehingga untuk bisa
terlibat didalamnya (direkrut atau ditempatkan pada suatu posisi) dibutuhkan pergulatan
kecakapan dan keunggulan yang lebih dan inilah keberhasilan capacity building
tersebut. Disisi lain, diharapkan dapat sebagai loncatan awal bagi daerah untuk
menyambut gelombang reformasi birokrasi secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Banjarmasin Post, 2010. Tunjangan dan kinerja PNS. Dapat diakses di
www.banjarmasin.tribunnews.com, edisi senin, 4 Oktober 2010
Dwiyanto, Agus., 2010. Reformasi Aparatur Daerah Untuk Keberhasilan
Desentralisasi di Indonesia. Tulisan dimuat dalam Buku Reformasi Aparatur
Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Penerbit Gava Media dan Jurusan
Manajemen dan Kebijakan Publik dan Magister Administrasi Publik.
Eade, D., 1998. Capacity Building:An Approach to People-Centered Development.
Dalam tulisan Yeremias T. Keban (2010) berjudul Isu Pengembangan kapasitas
dan good governance dalam Reformasi Birokrasi. Yogyakarta: Penerbit Gava
Media dan Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik dan Magister Administrasi
Publik
Handoko, Hani., 2009. Kompensasi. Seri Manajemen Sumberdaya Manusia. Dapat
diakses di www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_manajemen_
sumber_daya_manusia/bab_8_kompensasi.pdf+kompensasi+filetype:pdf
16 | P a g e
17. Kontan-Online, 2010. Efisiensi Anggaran, Mendagri Hitung Ulang Jumlah PNS. Edisi
Jumat, 06 Agustus 2010
KPK, 2007. Meningkatkan Kinerja PNS Melalui Perbaikan Penghasilan : Analisa TKD
di Pemerintah Provinsi Gorontalo dan TPPK di Pemerintah Kota Pekanbaru.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi-Direktorat Penelitian dan
Pengembangan.
Miftah Thoha 2006. Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media
Pikiran Rakyat, 2010. Kebijakan TPP Perlu Dikaji Ulang. Dapat diakses di
www.pikiranrakyat.com, edisi Jumat, 17 September 2010
PKP2A III LAN, 2010. Naskah Akademik Rancangan Peraturan Bupati Paser Tentang
Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil (TPP) di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Paser. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Paser dan Pusat
Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara.
Samarinda: PKP2A III LAN
Sulistyo, Agustinus., 2007. Konsep Sistem Penggajian PNS di Indonesia. Tulisan
disajikan dalam bentuk makalah. Jakarta: LAN
Peraturan Perundang-Undangan
PP No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Permendagri No. 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Permenpan dan RB No. 20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-
2014
UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
17 | P a g e