Rindu berjumpa nabi muhammad saw mungkinkah bertemu nabi
1. Rindu Berjumpa Nabi
Muhammad SAW
Mungkinkah Bertemu Nabi?
(Bag. I)
apatkah seseorang
bertemu, berbincang,
bahkan berdialog
dengan Nabi SAW, yang sudah
wafat berabad-abad yang lalu,
dalam keadaan sadar? Masalah
ini memang menimbulakn
perbedaan pendapat di kalangan
umat islam. Karena banyak aspek
yang dimaksudkan dan
ditanyakan.
D
Apakah pertanyaan itu
menyangkut aspek syaria’at dan
tetapanya kemungkinan melihat
Nabi SAW dengan dalil-dalil
syariat? Apakah pertanyaan itu
berkaitan dengan makna melihat
dan kapan terjadinya? Dan
siapakah yang layak melihat
Nabi SAW jika hal itu termasuk
mungkin menurut syari’at?
Sesungguhnya
permasalahan tentang melihat
Nabi SAW secara nyata dan
sadar telah disebutkan dalam
Shahih Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam Shahih Al-Bukhari,
diriwayatkan dari Abu Hurairah
RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Barang siapa
melihatku dalam mimpi, niscaya
ia akan melihatku dalam keadaan
sadar, karena setan tidak akan
dapat menyerupaiku.”
Imam Ibnu Hajar dalam
kitabnya Fath al-Bary
menukilkan bahwa hadits ini
diriwatkan dengan tiga lafadz
yang berbeda, yakni: pertama
dengan lafazh “niscaya akan
melihatku dalam keadaan sadar”,
kedua dengan lafazh “maka
seakan-akan ia telah melihatku
dalam keadaan sadar”, dan
ketiga dengan lafazh “maka
sungguh ia telah melihatku.”
Berkenaan dengan hadits
ini, para ulama berbeda pendapat
dalam menentukan lafazh yang
paling kuat di antara ketiga
riwayat tersebut, meskipun
mereka tidak berbeda pendapat
dalam keshahihannya. Perbedaan
pendapat juga terjadi dalam
menentukan makna dari
ketiganya, terutama pada riwayat
yang menyatakan, “Barang siapa
melihatku dalam mimpi, niscaya
ia akan melihatku dalam keadaan
sadar.”
Untuk mengetahui apakah
mungkin bertemu Nabi SAW
dalam keadaan sadar, menurut
pandangan syari’at tidaklah
dapat disimpulkan berdasarkan
hadits ini. Melainkan
2. berdasarkan hadits-hadits lain
yang kedudukannya mendekati
mutawatir (derajat tertinggi
keshihihan hadits). Yakni, antara
lain, hadits-hadits yang
menjelaskan mungkinnya
melihat arwah yang tidak lagi
berada pada jasad duniawinya.
Hal itu telah dialami oleh
Rasulullah SAW sebagaimana
dalam riwayat yang menjelaskan
ihwal peristiwa Isra dan Mi’raj.
Nabi SAW dipertemukan
oleh Allah dengan arwah para
nabi sebelumnya, yang
menyerupai bentuk jasad mereka
semasa di dunia, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits-hadits
yang shahih.
Dari riwayat tentang
peristiwa Isra dan Mi’raj yang
dialami oleh Rasulullah SAW,
dapat dipahami adanya
kemungkinan melihat arwah
menurut syari’at yang menjadi
pembahasan kita kali ini, dengan
tidak memandang kepada siapa
yang mengalami peristiwa
tersebut, yakni Rasulullah SAW.
Hal itu tidak lain adalah mukjizat
Nabi SAW.
Kalangan ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
masalah karamah awliya’
berpandangan bahwa segala
sesuatu yang sah untuk menjadi
mukjizat bagi Nabi SAW, sah
pula untuk menjadi karamah
bagi wali, kecuali terdapat dalil
yang menunjukkan
kekhususannya bagi Nabi SAW.
Pandangan ini telah
dijelaskan oleh para imam, di
antaranya adalah Imam Nawawi
dalam Syarh Muslim. Demikian
itu karena karamah dan mukjizat,
keduanya adalah sama-sama
perkara yang di luar adat
kebiasaan manusia yang dating
dari Allah SWT.
Perbedaan keduanya tidak
terletak pada kemungkinan
terjadinya, melainkan pada
kedudukan mukjizat sebagai
bukti nyata yang tidak dapat
diingkari kebenarannya dan
sebagai bukti kebenaran
kenabian. Adapun karamah
tidaklah demikian, melainkan
sebagai karunia dan kemuliaan
yang Allah berikan bagi siapa
pun yang dikehendaki-Nya dari
para kekasih Allah.
Karamah-karamah
tersebut banyak disebutkan
dalam Al-Qur’an dan hadits-
hadits Nabi SAW, dengan tidak
adanya batasan tertentu, selain
bahwa hal itu mungkin
terjadinya dengan kudrat Allah
SWT dengan bentuk yang
berbeda-beda berdasarkan situasi
3. dan kondisi yang dialami oleh
masing-masing pelakunya.
Seperti pertemuan dan dialog
antara Maryam dan Jibril AS,
pemidahan istana Bilqis dalam
sekejap mata oleh seseorang
pengikut Nabi Sulaiman AS yang
dikaruniai ilmu dari Al-Kitab,
dan sebagainya.
Berdasarkan riwayat yang
menetapkan bertemunya Nabi
SAW dengan arwah para nabi
dalam peristiwa Isra dan Mi’raj,
sebagai mukjizat bagi beliau,
dapat dikatakn, sah pula bahwa
arwah dapat dilihat oleh wali
siapa pun dengan jalan di luar
adat kebiasaan manusia, sebagai
penghormatan dan kemuliaan
dari Allah SWT. Karena bertemu
dan melihat arwah tidaklah
termasuk khushushiyah (sesuatu
yang dikhususkan) bagi Nabi
SAW semata, sehingga hal itu
berlaku dalam konteks umum.
Pendapat yang
mengatakan bahwa segala
sesuatu yang sah untuk menjadi
mukjizat bagi Nabi SAW, sah
pula untuk menjadi karamah
bagi wali, ini bersandarkan pada
dasar-dasar yang kuat. Yakni
bahwa pembahasan dalam
masalah terjadinya perkara apa
pun membutuhkan dua dalil,
yaitu al-imkan aqlan (mungkin
terjadinya secara akal) dan ats-
tsubut naqlan (ketetapan
berdasarkan nash-nash syari’at).
Mungkin terjadinya secara
akal, yakni tidak termasuk
mustahil secara akal, yaitu
sesuatu yang tidak mungkin
tergambar oleh akal wujudnya,
seperti pernyataan bahwa benda
bergerak dan diam pada satu
waktu yang bersamaan, tempat
yang sama, dan arah yang sama
pula. Dan mukjizat para nabi dan
karamah para awliya’ termasuk
perkara yang jaiz, mungkin
terjadinya, menurut akal. Karena
perkara yang mustahil secara
akal, mustahil pula terjadinya
meski sekadar dalam khayalan.
Menghidupkan orang
yang sudah mati, sebagaimana
terjadi pada Nabi Isa AS,
misalnya, telah dijelaskan secara
pasti dalam Al-Qur’an. Hal ini
menunjukan penetapan
terjadinya peristiwa itu menurut
nash syari’at, yang mana
menghidupkan orang yang
sudah mati termasuk mukjizat
yang paling agung. Akan tetapi,
tidak adanya riwayat yang
menyebutkan terjadinya hal itu
bagi selain Nabi Isa AS tidaklah
menunjukkan bahwa hal itu
mustahil terjadinya pada selain
Nabi Isa AS.
4. Di sana terdapat
perbedaan antara apa yang
mungkin terjadi dan apa yang
belum terjadi berdasarkan
ketetapan nash-nash syari’at.
Tidak ada riwayat shahih yang
menetapkan bahwa Nabi SAW
menghidupkan orang yang mati
padahal beliau lebih dekat dan
lebih tinggi kedudukannya di sisi
Allah disbanding Nabi Isa AS.
Namun Imam Syafi’I berkata,
“Tidaklah seorang nabi diberi
mukjizat oleh Allah SWT kecuali
Nabi SAW diberi mukjizat
sejenisnya yang lebih agung
darinya.”
Ketika Imam Syafi’I
ditanya perihal Nabi Isa yang
dapat menghidupkan orang yang
sudah mati, ia menjawab,
“Tangisan pilu batang kurma lebih
agung dalam masalah ini.” Karena
menghidupkan yang mati berarti
mengembalikan kehidupan bagi
sesuatu yang sudah pernah
hidup sebelumnya. Sedangkan
tangisan pilu batang kurma
berarti memberikan kehidupan
yang serupa dengan kehidupan
manuisa bagi sesuatu yang tidak
memiliki kehidupan seperti
manusia.
Para ulama menyatakan,
hal itu merupakan mukjizat Nabi
SAW, dan setiap karamah para
wali adalah mukjizat Nabi SAW,
karena mereka menerima
karamah tersebut dengan sebab
ittiba’ (mengikuti jalan)
Rasulullah SAW sehingga semua
karamah yang dikaruniakan
Allah kepada para wali tidak lain
adalah mukjizat-mukzijjat beliau
SAW.
Dari sini dapat diketahui
dengan jelas bahwa mukjizat
membutuhkan al-imkanul ‘aqliy
(mungkin terjadinya akal) dan
ats-tsubutan-naqliy (ketetapan
berdasarkan nash-nash syariat).
Demikian pula halnya dengan
karamah. Hanya saja perbedaan
keduanya adalah bahwa yang
pertama adalah pengakuan Nabi
SAW, sedangkan yang kedua
bukan pengakuan Nabi SAW.
Perbedaan juga bahwa
iman kepada setiap mukjizat
wajib hukumnya pada dzatnya;
adapun karamah para wali, wajib
iman kepadanya secara umum,
bukan kepada tiap-tiap karamah
yang terjadi pada masing-masing
setiap wali, kecuali terhadap
karamah-karamah yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi SAW.
Adapun berkaitan dengan
masalah bertemu Nabi SAW
dalam keadaan sadar, dapat
dikatakan bahwa hal itu
5. termasuk mumkin syar’an wa
‘aqlan (mungkin atau boleh
terjadinya secara syari’at dan
akal).
Mungkin secara akal telah
diuraikan di atas. Adapun
menurut syariat, dasarnya adalah
kaidah; segala sesuatu yang sah
untuk menjadi mukjizat bagi
Nabi SAW, sah pula untuk
menjadi karamah bagi wali. Dan
nash syari’at yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dala shahihnya
telah menetapkan bagi siapa pun
yang bertemu nabi SAW dalam
mimpi akan bertemu dengan
beliau dalam keadaan sadar.
Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah
RA, dalam bab at-Ta bir, Nabu
SAW bersabda, “Barang siapa
melihatku dalam mimpi, niscaya ia
akan melihatku dalam keadaaan
sadar. Karena setan tidak akan dapat
menyerupaiku.”
Kemudian Imam Al-
Bukhari menyebutkan pula
secara langsung riwayat lain dari
Anas RA, Nabi SAW bersabda,
“Barang siapa melihatku dalam
mimpi, sungguh dia telah melihatku,
karena sesungguhnya setan tidak
dapat menyerupai diriku. Dan
mimpi seorang mukmin adalah
bagian dari empat puluh enam
bagian kenabian.”
Selanjutnya, sebagian
ulama menjelaskan bahwa lafazh
hadits ini menggunakan kata
“fasayarani”. Huruf sin yang
menunjukkan dalam fi’il mudhari’
(kata kerja bentuk kedua yang
menunjukkan makna kini dan
akan dating), dalam kaidah
bahasa Arab, digunakan untuk
menunjukkan jarak waktu yang
dekat.
Berbeda dengan kata
sawfa, yang bermakna “niscaya
akan”, digunakan untuk masa
yang jauh.
Dan Nabi SAW tidak
berkata-kata dari hawa nafsunya,
melainkan berasal dari wahyu
yang datangnya dari Allah SWT.
Itulah sebabnya, ucapan yang
keluar dari lisan beliau adalah
ucapan yang paling kuat, yang
tidak ada kerancuan padanya
atau sesuatu yang mendatangkan
keraguan.
Bila yang dimaksud
“melihat “ dalam hadits tersebut
adalah melihat kelak pada hari
Kiamat, niscaya beliau berkata
“sawfa yarani” (niscaya akan).
Sedangkan ulama sepakat bahwa
semua orang mukmin akan
bertemu dengan Nabi SAW pada
hari Kiamat. Lalu di mana
perbedaan dan keistimewaan
6. bagi orang yang mimpi bertemu
Nabi di dunia, atau apakah
hanya orang yang bertemu Nabi
dalam mimpi yang akan bertemu
beliau kelak pada hari Kiamat?
Sayyid Muhammad Al-
Maliki mengatakan, “Adapun
bagi pihak yang
mentakwilkannya dengan
melihat Nabi SAW dalam
keadaan sadar di akhirat,
jawaban para ulama terhadap
mereka: sesungguhnya di
akhirat, setiap orang yang
beriman akan melihat Baginda
SAW, sana saja yang pernah
bermimpi berjumpa dengan
beliau di dunia maupun yang
tidak pernah bermimpi berjumpa
dengan Nabi SAW, seperti yang
dijelaskan dalam banyak hadits
yang lain.
Hal ini menyebabkan,
tidak ada pengkhususan antara
mereka yang pernah meliha Nabi
di dalam mimpi ataupun tidak.
Sedangkan hadits tersebut
menceritakan ihwal
pengkhususan terhadap mereka
yang tidak pernah bermimpi
berjumpa Nabi, yaitu ia akan
melihatku dalam keadaan sadar.
Selain itu, Imam As-
Suyuthi, dalam kitab Tanwir Al-
Halkfi Imkan Ru’yah AnNabiy fi Al-
Yaqzhah wa Al-Malak, menukilkan
penjelasan Imam Abu
Muhammad bin Abi Jumrah, ia
berkata dalam ta’liq-nya
(komentar) terhadap hadits
riwayat Al-Bukhari, “Hadits ini
menunjukkan bahwa barang
siapa yang bertemu Nabi SAW
dalam mimpi, niscaya orang
tersebut akan bertemu Nabi SAW
dalam keadaan sadar. Dan
apakah hal ini berlaku umum
pada masa Nabi hidup dan
sesudah beliau wafat, ataukah
hanya pada masa hidup beliau?
Kemudian apakah hal itu berlaku
bagi setiap orang yang melihat
Nabi dalam mimpi, atau khusus
bagi mereka yang memiliki
kemampuan tertentu dan
mengikuti sunnah beliau SAW?
Lafadz hadits ini
menunjukkan keumumannya;
dan barang siapa menyatakan
kekhususan dengan tanpa
adanya dalil yang
mengkhususkannya dari Nabi
SAW, orang tersebut telah
berlaku sembrono.
Namun sebagia orang
benar-benar tidak meyakini
keumuman hadits ini, ia berkata
dengan apa yang ada dalam
pikirannya, Bagaimana mungkin
seseorang yang sudah
meninggalkan dunia dapat
7. dilihat oleh orang yang masih
hidup di alam nyata?
Pendapat semacam ini
mengandung dua hal yang
sangat berbahaya, yaitu:pertama,
tidak mempercayai ucapan Nabi
SAW, yang tidaklah
mengucapkan sesuatu dari
keinginannya; dan yang kedua,
bodoh terhadap kekuasaan Yang
Mahakuasa dan menganggapnya
lemah.
Imam As-Suyuthi berkata,
“Ungkapan Imam Ibnu Abi
Jumrah bahwa Lafazh hadits ini
menunjukkan keumumannya
tidak khusus bagi mereka yang
memiliki kemampuan tertentu da
mengikuti sunnah beliau SAW,
maksudnya adalah kepastian
melihat Nabi SAW dalam
keadaan sadar setelah melihat
beliau dalam mimpi, meskipun
hanya sekali, sebagai bukti dari
janji beliau SAW yang tidak akan
mungkin diingkari.
Dan bagi orang awam, hal
itu banyak terjadi pada saat-saat
menjelang kematian, yaitu pada
saat hadirnya sakratul maut.
Yang mana ruhnya tidak akan
keluar dari jasadnya sebelum
melihat Nabi SAW sebagai
perwujudan dari janji beliau
SAW.
Adapun bagi selain orang-
orang awam, melihat dan
bertemu Nabi SAW dapat terjadi
sepanjang hidup mereka, baik itu
sering ataupun jarang,
tergantung dari kesungguhan
dan pemeliharaan mereka
terhadap sunnah Nabi SAW. Dan
melanggar sunnah Nabi SAW
merupakan penghalang yang
besar untuk dapat melihat dan
bertemu dengan beliau SAW.
Dinukil dari Al Kisah No.06/21
Maret-3 April 2011