SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 39
TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM
          (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)



                                     Oleh: Afiful Ikhwan

                                              BAB I
                                       PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
           Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan . Studi keislaman
   pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan
   doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari
   rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai
   kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik,
   ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak
   lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan
   interdisipliner.
           Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana
   Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah
   agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam
   perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat
   sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang,
   yang kemudian memunculkan orientalisme. Bahkan oleh Muhammad Abdul Raouf, Islamic
   Studies disebut dengan oriental studies.
           Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian
   terhadap fenomena Islam dari berbagai aspek: sosiologis, cultural, perilaku politik, doktrin,
   ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan,
   perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya. Salah satu sarjana Barat yang
   mencurahkan perhatian intelektualnya untuk mengkaji Islam dengan menggunakan
   diversifikasi metode dan pendekatan adalah Charles Joseph Adams. Tulisan ini akan



                                                1
memaparkan tawaran pemikiran Charles Adams secara detail tentang bagaimana metode
  dan pendekatan yang digunakan dalam mengkaji Islam.




B. Rumusan Masalah
     1. Pendekatan apa saja yg dipakai oleh charles j. adams dalam mendefinisikan Islam?
     2. Bidang kajian studi Islam apa saja yang dikaji oleh Charles J.Adams?
     3. Bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi kajian studi Islam dalam
        perspektif Richard C. Martin?
     4. Apakah pendekatan fenomenologi ―Richard C. Martin‖ dapat mendekati fenomena
        keagamaan?


C. Tujuan Masalah
     1. Untuk mengetahui pendekatan apa saja yg dipakai oleh charles j. adams dalam
        mendefinisikan Islam.
     2. Untuk mengetahui bidang kajian studi Islam apa saja yang dikaji oleh Charles
        J.Adams.
     3. Untuk mengetahui bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi kajian studi
        Islam dalam perspektif Richard C. Martin.
     4. Untuk mengetahui apakah pendekatan fenomenologi Richard C. Martin dapat
        mendekati fenomena keagamaan.




                                             2
BAB II
                                       PEMBAHASAN
                         TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM
         (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin)


A. Biografi Charles J. Adams
          Charles Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas.
   Pendidikan dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada permulaan belajar di
   sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran menulis. Setelah lulus dari Sekolah
   Menangah Atas John H. Reagen pada tahun 1941, dia meneruskan di Baylor University di
   Waco, Texas. Adams juga pernah bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat dari
   tahun 1942 sampai dengan 1945 sebagai operator radio dan mekanis. Setelah perang, tahun
   1947 Adams memperoleh gelar Sarjana dan pada tahun yang sama memasuki Graduate
   School di Universitas Chicago bersama dengan Joachim Wach. Karir akademisi Adams
   adalah profesor dalam bidang Islamic Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi
   director Institute of Islamic Studies McGill University selama 20 tahun. Adams menerima
   Ph. D dalam History of Religion dari University of Chicago pada tahun 1955 dengan
   disertasi berjudul “Nathan Soderblom as an Historian of Religions”.
          Adams telah menulis banyak tentang Islam, salah satu karya terbesarnya yang
   dijadikan teks penting bagi dosen dan mahasiswa agama adalah A Reader‘s Guide to the
   Great Religions (1977). Adams juga menjadi konstributor artikel untuk The Encyclopedia
   Britannica, dan the World Book Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana. Beberapa
   karya lainnya adalah The Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the Prophetic
   Hadith in the Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic civilization presented to
   Niyazi Berkes (1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics and


                                               3
Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition, dalam Leonard
Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976).
        Burning issues and questions yang mengganggu nurani akademik Adams mengenai
metode dan pendekatan studi Islam adalah adanya kegagalan ahli sejarah agama
memperluas pengetahuan dan pemahaman kita tentang Islam sebagai agama, dan ahli
tentang Islam (Islamists) juga telah gagal untuk menjelaskan secara tepat fenomena
keberagamaan Islam1. Untuk menjawab kegelisahan akademik itu adalah dengan
menggunakan dua disiplin yaitu sejarah agama dan studi Islam sebagai kerangka teoritis
atau kerangka fikir (conceptual tool) untuk menganalisis lebih tajam tradisi Islam dan untuk
memperoleh pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara unsur yang bermacam-
macam termasuk hubungan struktural dengan tradisi lainnya2. Hal mendasar yang penting
dipahami dalam studi Islam adalah definisi Islam dan Agama.
        Bagi Adams sangat sulit dicapai sebuah rumusan yang dapat diterima secara umum
mengenai apakah yang disebut Islam itu? Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai
sesuatu yang selalu berubah, berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi
dalam merespon secara mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah “an on
going process of experience and its expression, which stands in historical continuity with
the message and influence of the Prophet. Sedangkan konsep agama menurut Adams
melingkupi dua aspek yaitu pengalaman-dalam dan perilaku luar manusia (man‟s inward
experience and of his outward behavior).3
        Dalam melihat dan mendefinisikan agama Islam, Adams menggunakan kerangka
teoretis dari Wilfred Cantwell Smith yang membedakan antara tradition dan faith4. Agama
apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek eksternal keagamaan, aspek
sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu
aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi kehidupan
beragama. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk
1
  Charles J. Adams, Foreword dalam Richard C Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, (USA:
  The Arizona Board of Regents, 1985), vii – x
2
  Richard C. Martin, (Ed). Approaches to Islam in Religious Studies, 3
3
  Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition,” dalam The Study of the Middle East: Research amd
  Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: John Wiley &
  Sons, 1976), 32 – 33.
4
  Manifestasi agama menurut W.C. Smith dapat dikelompokkan menjadi ajaran, simbol, praktek, dan
  lembaga. WC. Smith, “Comparative Religion, Whither and Why”, dalam Mircea Eliade and Joseph M.
  Kitagawa (Ed), The History of Religions, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1973), 35.

                                                    4
memahami dan mengerti pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Studi agama
   harus berupaya memiliki kemampuan terbaik dalam melakukan eksplorasi baik aspek
   tersembunyi maupun aspek yang nyata dari fenomena keberagamaan 5. Karena dua aspek
   dalam keberagamaan ini (tradition and faith, inward experience and outward behavior,
   hidden and manifest aspect) tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
              Menurut Adams tidak ada metode yang canggih untuk mendekati aspek kehidupan-
   dalam individu dan masyarakat beragama, tetapi sarjana harus menggunakan tradisi atau
   aspek luar keberagamaan sebagai landasan dalam memahami dan melakukan studi agama.
   Sebagai tantangan dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama harus melampui dimensi
   tradisi atau aspek luar agar mampu menjelaskan dimensi kehidupan-dalam dari masyarakat
   Islam.      Untuk      menjawab       tantangan      dan    tugas    para     pengkaji     Islam,    Adams
   merekomendasikan dua pendekatan yang diletakkan pada sebuah garis kontinum yaitu
   merentang dari pendekatan normatif sampai dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan
   normatif adalah pendekatan yang dijiwai oleh motivasi dan tujuan keagamaan, sedangkan
   pendekatan deskriptif muncul sebagai jawaban terhadap motivasi keingintahuan intelektual
   atau akademis.
              Pendekatan normatif dapat dilakukan dalam bentuk misionaris tradisional,
   apologetik, maupun pendekatan irenic (simpatik). Sementara pendekatan deskriptif, Adams
   mengelompokkan pada pendekatan-pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan ilmu-ilmu
   sosial, dan pendekatan fenomenologis. Pendekatan normatif dan deskriptif dengan berbagai
   varian tersebut dapat dipergunakan dalam mengkaji Islam yang memiliki 11 subject matter,
   yaitu: (1) pre-Islamic Arabia, (2) studies of the Prophet, (3) Qur‟anic studies, (4) prophetic
   tradition (Hadis), (5) kalam, (6) Islamic law, (7) falsafah, (8) tasawuf, (9) the Islamic
   sects—shi‟ah—(10) worship and devotional life, dan (11) popular religion.


   Pendekatan Normatif atau Keagamaan
1. Pendekatan Misionaris Tradisional
   Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya aktivitas
   misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan


   5
       Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (Ed)., The Study of the Middle East,
       33

                                                          5
pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika.
   Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk
   mempermudah meng-kristen-kan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang
   digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang
   senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai
   konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.
2. Pendekatan Apologetik
          Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik.
   Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Di
   hadapkan pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan
   modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan
   salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern
   dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang
   cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan
   Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C.
   Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957).
          Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah
   melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan
   terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat
   menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat
   terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan
   karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri.
          Seperti halnya misionaris yang tertarik mengkaji Islam, gerakan apologetik ini
   memiliki beberapa karakteristik. Oleh karena apologetik lebih concern pada bagaimana
   menampilkan Islam dalam performance yang baik, maka mereka sering terjebak dalam
   kesalahan yang tidak mengindahkan nilai keilmuan. Pendekatan apologetik sering
   menghasilkan literatur yang mengandung kesalahan dalam bentuk distorsi, selektivitas dan
   pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti, sering menampilkan sisi
   romantisme sejarah dan keberhasilan ummat Islam, dan kesalahan dalam melakukan
   analisis perbandingan, serta disemangati oleh sifat atau karakter tendensius. Kegagalan para




                                                6
apologis Muslim modern adalah melakukan kajian Islam dengan motif dan tujuan untuk
   mempertahankan diri dan bukan untuk tujuan ilmiah.
3. Pendekatan Irenic (Simpatik)
            Sejak perang dunia II telah berkembang gerakan yang berbeda di dunia Barat yang
   diwakili oleh kelompok agama dan universitas. Gerakan tersebut bertujuan memberikan
   apresiasi yang besar terhadap keberagamaan Islam dan memelihara sikap baru terhadap
   Islam. Upaya tersebut dalam rangka menghilangkan sikap negatif Kalangan Barat Kristen
   seperti prasangka, perlawanan, dan merendahkan terhadap tradisi Islam. Pada waktu yang
   bersamaan terjadi dialog dengan orang Islam dengan harapan membangun jembatan bagi
   terwujudnya sikap saling simpati antara tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini tetap
   memperoleh kritikan dari kalangan intelektual, mereka menghadapi kesulitan luar biasa
   dalam mempererat hubungan dengan orang Islam disebabkan kecurigaan di kalangan
   Muslim pada masa lampau.
            Salah satu contoh pendekatan irenic dalam studi Islam adalah karya Kenneth Cragg.
   Melalui beberapa karya yang ditulis, Cragg menunjukkan kepada Kristen Barat beberapa
   unsur keindahan dan nilai keberagamaan yang menjiwai tradisi Islam, dan kewajiban orang
   Kristen adalah terbuka atau menerima hal tersebut. Cragg mampu menggambarkan bahwa
   Islam memperhatikan banyak problem dan isu yang juga fundamental menurut umat
   Kristen. Inti pesan Cragg adalah makna iman Islam adalah terealisasi dalam pengalaman
   Kristiani. Namun, dalam analisis akhirnya, Cragg tetap terpengaruh keyakinan Kristennya,
   bahkan ia mengatakan bahwa orang Islam harus menjadi Kristen dan hanya dengan cara
   demikian, orang Islam menjadi Islam kaffah. Konstribusi karya Cragg adalah bermanfaat
   untuk memberantas pandangan negatif terhadap Islam yang berkembang luas di kalangan
   Barat.
            Contoh lain pendekatan irenic diterapkan oleh W.C. Smith, terutama dalam
   karyanya The Faith of Other Men (1962) dan artikelnya berjudul “Comparative Religion,
   Whither and Why?”(1959). Hal utama yang ditampilkan dalam tulisan Smith adalah
   memahami keyakinan orang lain dan bukan untuk mentransformasikan keyakinan itu, atau
   dengan motif penyebaran agama. Dengan memilih Cragg dan Smith sebagai contoh
   penggunaan pendekatan irenic dalam studi Islam, Adams tidak bermaksud mengabaikan




                                                7
akademisi lain yang dapat dikategorikan dengan mereka berdua seperti Montgomery Watt,
   dan Geoffrey Parrinder.




   Pendekatan Deskriptif
1. Pendekatan Filologi6 dan Sejarah
           Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat produktif dalam studi Islam. Lebih
   dari 100 tahun sarjana membekali diri dengan prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan
   memperoleh pendidikan dalam bidang metode filologi untuk memahami bahan-bahan
   tekstual yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi
   sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan
   bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan
   perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit.
           Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat
   Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi juga memainkan peran penting
   dalam dunia orang Islam sendiri yang berbentuk penelitian filologi dan sejarah yang banyak
   dilakukan oleh pembarahu, intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan
   filologi dan sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang
   terlupakan di kalangan Muslim padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa sekarang ini
   untuk melakukan revitalisasi Islam.
           Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam
   studi Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam memiliki banyak bahan berupa
   dokumen-dokumen masa lampau dalam bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan lain


   6
    - Berasal dari bahasa Yunani, philologia, gabungan kata dari philos = ‗TEMAN‘ dan logos =
     ‗PEMBICARAAN‘ atau ‗ILMU‘.
   - Dalam bahasa Yunani, philologia berarti ‗SENANG BERBICARA‘.
   - Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi ‗SENANG BELAJAR‘, ‗SENANG KEPADA ILMU‘,
     ‗SENANG KEPADA TULISAN-TULISAN‘, dan kemudian ‗SENANG KEPADA TULISAN-TULISAN YANG
     BERNILAI TINGGI‘ seperti ‗karya-karya sastra‘.
   - Konsep filologi demikian bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau sebagaimana yang
     terungkap dalam teks aslinya. Studinya menitikberatkan pada teks yang tersimpan dalam karya tulis masa
     lampau.

                                                      8
sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa,
sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini.
        Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi Islam, baik untuk masa
lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih lanjut menjelaskan, penekanan
terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai pendekatan lain untuk
mengkaji kehidupan umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer
terhadap Islam tetap memiliki signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam
sebagai sebuah living religion. Yang hendak ditegaskan Adams adalah filologi merupakan
kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di
masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu behavioral harus digunakan apabila cocok
digunakan tetapi tidak harus menolak tradisi penelitian filologi.
        Pada bagian sub pembahasan tentang pendekatan filologi dan sejarah ini, Adams
berharap agar di masa mendatang para pengkaji Islam tetap membekali diri dengan metode
penelitian filologi dan sejarah dan juga familier dengan metode dan pendekatan ilmu-ilmu
behavioral. Sampai dengan sekarang masih jarang terjadi komunikasi antara ilmuan
behavior yang tertarik mengkaji Islam dengan pengkaji Islam yang menggunakan
pendekatan filologi, bahkan antara mereka saling tidak mempercayai.
        Membaca gagasan Adams mengenai pentingnya filologi agaknya bisa dilacak pada
pendapat Max Muller—salah seorang dari tiga pencetus dan pendiri the study of religion7—
yang juga sangat menekankan soal perbekalan bahasa bagi pengkaji agama. Sampai-sampai
ia mengutip paradoks Goethe yang mengatakan: “He who knows one language knows
none”8. Mudah dipahami bahwa menguasai bahasa dapat membantu memahami sendiri
secara langsung suatu agama, dibanding jika melalui terjemahan atau tulisan hasil tangan
kedua yang kemungkinan besar akan mengandung kesalahan-kesalahan dalam pemahaman.
Apalagi jika penerjemah bukan pemeluk agama yang bersangkutan.
        Bagi Joachim Wach, penguasaan bahasa bagi para pengkaji atau studi agama akan
memungkinkan untuk memperoleh the most extensive information, yaitu informasi yang
luas berkaitan dengan subject matter-nya sehingga akan memungkinkan pemahaman


7
  Dua orang lainnya adalah Cornelis P. Tiele dan Pierre D. Chantapie De la Saussaye yang dianggap sebagai
   three founders of the study of religion. Lihat Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the
   Studies of Religions, Vol. I (Paris: Mouton – The Haque, 1973), 13 -17
8
  Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, 93.

                                                    9
terhadap fenomena agama9. Dengan penguasaan bahasa akan diperoleh kebenaran deskripsi
   agama secara akademik dan juga kebenaran menurut perspektif atau pandangan
   pemeluknya.
2. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial
              Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang
   mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah
   tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika
   Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi
   Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis
   atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial
   tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur
   Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk
   memperluas pemahaman kita.
              Untuk menemukan ciri-ciri dari ―pendekatan ilmu-ilmu sosial‖ untuk studi Islam
   sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial
   sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan
   ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka.
   Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi.
   Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas
   manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai
   dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan
   menggunakan metode yang berlainan.
              Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia
   mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat
   didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan
   menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti
   itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat
   ―dijelaskan‖ dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian
   dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan



   9
       Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, (New York and Columbia Univerity, 1966), 9

                                                       10
dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan
menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
          Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan
dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama
adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak
diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan
ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma
sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan
manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial
memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-
akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
          Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah
kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam
bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat
ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial
dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut
dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek,
kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta
tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya
konsepsi tentang manusia. Kritikan Adams terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial paralel
dengan pendapat W.C. Smith yang menyatakan bahwa aspek-aspek eksternal agama dapat
diuji secara terpisah-pisah dan inilah kenyataannya yang berlangsung sampai beberapa
waktu yang lalu, khususnya pada tradisi Eropa. Padahal persoalannya tersebut dalam
dirinya bukanlah agama10.
          Meskipun memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan pendekatan ilmu-ilmu
sosial, Adams mengakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan
studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah
satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang
tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai


10
     W.C. Smith, “Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama”, dalam Ahmad Norma Permata,
     Metodologi Studi Agama, 77

                                                 11
dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi
   fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap
   politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi
   atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya
   sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya. Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan
   oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam
   sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka
   ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan
   dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka
   tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika
   dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau
   kekuatan sosial.
          Menurut Adams pengecualian harus diberikan untuk pendekatan antropologi.
   Dalam banyak hal, pendekatan antropologi dan sejarah agama sangat erat. Hal ini
   disebabkan karena kedua disiplin ini sama-sama tertarik untuk mengkaji seluruh kehidupan
   masyarakat, antropolog melebihi ilmuwan politik, sosiologi atau ekonomi karena
   antropolog mengkaji seluruh aspek kehidupan masyarakat beragama yang dijadikan subjek
   studi. Pendekatan antropologi tertarik untuk mengkaji fenomena agama dan seluruh aspek
   ekspresi keberagamaan. Di antara ilmuwan sosial yang melakukan kajian Islam dengan
   pendekatan antropologi adalah Clifford Geertz. Pendekatan antropologi mampu
   menghasilkan studi yang menjelaskan tentang ekspresi keberagamaan Islam lokal menurut
   tempat dan gaya hidup yang berlainan.
          Seorang ilmuwan sosial yang tetap mempertahankan model studi dengan memilih
   dan mengkotakkan aktivitas manusia ke dalam bentuk bagian-bagian, sebagai sudut
   pandang secara sempit tetapi masih sangat penting adalah pendekatan yang dilakukan oleh
   C.A.O. van Nieuwenhuijze dalam sebuah tulisannya “The Next Phase of Islamic Studies:
   Sociology?”. Van Nieuwenhuijze menyatakan bahwa metode sosiologi dan ilmu sosial
   lainnya mungkin akan menambah pemahaman baru tentang tradisi keberagamaan Islam.
3. Pendekatan Fenomenologi
          Di samping melalui pendekatan yang telah disebutkan, seseorang dapat
   mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk


                                               12
Religionswissenschaft.11 Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara formal
memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir
abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap
agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika
Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan
agama. Adams dalam tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan konsepsi
Religionswissenschaft seperti pada awal kemunculannya kemudian menjadi fenomenologi
sebagai salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit
mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang menyebut
fenomenologi agama.
           Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa
dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain
dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk
mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut.
Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha
menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain
tersebut.
           Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi
Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci
atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah
membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang
lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya
norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama
itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk
penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala
pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang
akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang
dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta


11
     Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan
     istilah ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph
     M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi
     Agama, 126 – 127

                                                         13
bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi
adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi
dan dalam keberagamaan pelaku.
           Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali
data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan
sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan
dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan
tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau
individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang
mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima
sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana
mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang
dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam. Dalam hal ini,
Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang menyarankan bahwa pernyataan
tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama
tersebut mengatakan ―ya‖ terhadap deskripsi tersebut12.
           Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan
taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan
epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah
mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini
pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip
yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara
menyeluruh.
           Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun
terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada
upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut
Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan
masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh




12
     Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay‖, dalam Richard Martin (ed.),
     Approaches to Islam in Religious Studies, 190

                                                      14
sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan
   agama kuno.


B. Bidang Kajian Studi Islam
          Adams membagi bidang kajian dalam studi Islam terdiri dari delapan bidang, yaitu
   Arab pra-Islam, studi tentang Nabi Muhammad, studi al-Quran, studi Hadis, kalam,
   tasawuf, aliran Islam khususnya Syi‘ah, serta popular religion.
          Pembagian bidang kajian yang menjadi subject matter studi Islam seperti di atas
   dipengaruhi oleh definisi Adams tentang Islam dan Agama. Meski pun Adams pesimistis
   untuk dapat menemukan kesepakatan umum tentang definisi Islam, namun dia akhirnya
   mengatakan bahwa Islam bukan hanya terdiri dari satu hal (one thing), tetapi Islam
   mempunyai banyak hal (many things) yang selalu berubah dan berkembang sehubungan
   dengan kondisi sejarah. Apapun definisi ilmuwan tentang Islam, menurut Adams, Islam
   dapat dijadikan objek kajian sebagai bagian dari sejarah.
   1. Kajian Arab pra-Islam
              Terdapat kesepakatan yang mesti diterima sebelum membicarakan apa yang
      dimaksud Arab sebelum Islam dibatasi pada latarbelakang Islam saja untuk Arab pra-
      Islam. Siapapun yang membicarakan tentang hal ini, khususnya mahasiswa studi agama
      kuno Timur Dekat, akan menerima bahwa terdapat kesinambungan antara Islam dengan
      agama bangsa Semit. Oleh sebab itu latarbelakang munculnya Islam adalah sejarah
      agama Timur Dekat secara keseluruhan. Kita membatasi maksud Arab pra-Islam adalah
      Arab menjelang kemunculan Islam.
              Bagi Adams, yang penting digaris bawahi di sini adalah kesinambungan
      pengalaman agama Islam dengan tradisi besar agama Timur Dekat, yang mempunyai
      hubungan      erat   antara    keduanya        dan   hal   ini   seringkali   dilupakan.
      Pengetahuan tentang agama dan kondisi kehidupan sosial lainnya pada Arab pra-Islam
      dalam beberapa tahun tidak dapat diketahui disebabkan karena pemerintah Arab tidak
      mengizinkan dilakukankanya arkeologi dan melarang orang asing bepergian ke sana.
      Kajian interpretative mengenai Arab pra-Islam dilakukan oleh beberapa sarjana seperti
      Goldziher, Wellhausen, Margoulioth, Noldoke, Lamments, Lyall dan Nicolson, semua
      nama tersebut ini termasuk generasi masa lalu, yang karya mereka masih sangat penting


                                                15
sampai dengan sekarang. Kebanyakan dari pendahulu ini menggambarkan materi untuk
  karya mereka tentang Arab pra-Islam berasal dari sumber-sumber sastra: seperti Jahili,
  sirah, dari peninggalan ahli sejarah Arab atau berupa kompilasi seperti Kitab al-Ghani
  dan bahkan bersumber dari al-Quran. Mereka memberikan gambaran sikap bangsa Arab
  pra-Islam di mana Muhammad meuncul dan dilahirkan yang karya tersebut tidak
  dikritisi oleh karya-karya belakangan. Diantara yang paling signifikan konstribusi
  dalam pencerahan pemahaman tentang Arab sebelum Islam adalah upaya Toshihiko
  Izutsu yang menunjukkan secara tepat unsur moral dalam pandangan bangsa Arab yang
  sesuai dengan ajaran al-Quran. Kajian Montgomery Watt tentang latar belakang
  ekonomi dan sosial dari munculnya Islam dan peran hubungan antar suku dalam
  bukunya tentang Muhammad, dan kajian antropologis RB. Serjeant berkaitan dengan
  lembaga agama bangsa Arab sebelum Islam. Nama lain dapat disebut di sini adalah
  Thaha Husayn, AJ. Arerry, Sezgin dan Brockelmann.
         Salah satu cara mengkaji asal usul agama Bangsa Arab peninsula adalah melalui
  karya archeology tentang sejarah kuno agama. Nama yang berjasa dalam bidang ini
  misalnya G. Ryckman, J. Pirenne, Ruth Stichl dan Hermann von Wissman.
  Perkembangan yang sangat besar dalam bentuk deskripsi sistematis tentang aspek
  kehidupan beragama pada Arab pra-Islam dibukukan oleh sarjana Perancis yang terdiri
  dari tiga nama penting: Vishr Fares, Joseph Chelhod, dan Toufic Fahd.
2. Kajian Muhammad
         Studi tentang kehidupan Muhammad menjadi semarak dalam beberapa tahun
  sejak perang dunia II melalui beberapa karya penting yang bermunculan. Adams
  memberikan contoh beberapa penulis dan pengkaji dalam bidang ini. Satu di antaranya
  adalah Montgomery Watt yang menampilkan dimensi sosial dan ekonomi serta latar
  belakang aktivitas kenabian Muhammad. Karya Watt lebih menekankan aspek moral
  dari Nabi Muhammad dan belum menjelaskan bagaimana makna agama dari perspektif
  umat Islam pada masa Muhammad.
         Kajian berbeda yang memberi sumbangsih besar dalam karya tentang Nabi
  adalah A. Guillaume yang menerjemahkan karya Ibn Hisham, Shirat al-Nabi. Biografi
  dalam bahasa Arab ini merupakan sumber utama informasi tentang Muhammad,
  aktivitasnya, sahabatnya, dan waktunya yang digunakan untuk kita. Dalam penilaian


                                         16
Adams buku tersebut sangat tebal dan paling sulit digunakan, kecuali bagi mereka yang
   berpendidikan Bahasa Arab dalam versi aslinya. Oleh sebab itu, terjemahan A.
   Guillaume adalah karya berharga bagi orang Eropa di samping juga catatan kritisnya
   terhadap buku tersebut. Karya lain yang dijadikan sampel oleh Adams antara lain
   Marsden Jones, Regis Blachere, R.B. Serjeant, dan Harris Birkeland.
          Satu bidang kajian yang masih perlu mendapat perhatian dan dikembangkan
   menurut Adams adalah eksplorasi tentang kehidupan keberagamaan Muslim pada masa
   Muhammad. Menurut Adams kita bisa merujuk pada peran Muhammad dalam
   kesalihan Islam, fungsi keberagamaan bagi masyarakat dan posisi kenabian dalam
   pemahaman Islam. Karya terakhir dalam bidang ini barulah tulisan Tor Andrae yang
   berjudul Die Person Muhammads. Bagi Adams, sebenarnya posisi Muhammad dalam
   perspektif dan pemikiran orang Islam lebih penting dari pada biografi dan
   perkembangan kepribadian Muhammad. Pusat perhatian tulisan yang dibuat contoh
   pada paragrap di atas lebih kepada Muhammad sebagai Nabi, dibandingkan
   Muhammad sebagai manusia. Mestinya, kajian historis dan kritis tidak hanya berhenti
   pada persepsi keagamaan tentang Muhammad sebagai nabi, melainkan diarahkan pada
   eksplorasi empiris bagaimana orang Islam berfikir mengenai Muhammad.
3. Kajian Al-Qur’an
          Studi al-Quran yang dilakukan sarjana Barat pada dasarnya terfokus pada
   persoalan-persoalan kritis yang mengelilingi kitab suci orang Islam ini. Persoalan-
   persoalan tersebut seperti pembentukan teks al-Quran, kronologis turunnya al-Quran,
   sejarah teks, variasi bacaan, hubungan antara al-Quran dengan kitab sebelumnya, dan
   isu-isu lain seputar itu. Kebanyakan karya dalam problem itu dilakukan oleh sarjana
   abad 19, yang paling penting adalah Theodor Noldeke.
          Kajian kritis terhadap al-Quran adalah juga dilakukan oleh sekelompok sarjana
   Jerman bekerjasama dengan sarjana lain. Projek ini berhenti saat terjadi pengeboman
   kota Munich dalam Perang Dunia II yang menghancurkan manuskrip dan bahan-bahan
   lain. Terakhir adalah Arthur Jeffery yang mempublikasikan Material for the History of
   the Text of the Quran. Menurut Adams, sangat sulit ditemukan karya kritis terhadap
   teks al-Quran baik di dunia Islam sendiri maupun dunia Barat. Mungkin usaha yang
   sangat impresif adalah karya Toshihiko Izutsu berjudul The Structure of the Ethical


                                          17
Terms in the Koran, yang direvisi menjadi Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, dan
   God and Man in the Koran. Izutsu menggunakan metode analisis semantik yang
   canggih yang mengembangkan makna huruf-huruf dan konsep kunci dalam teks al-
   Quran secara mendalam, dan mendemontrasikan hubungan struktural di antara konsep-
   konsep tersebut dalam al-Quran sebagai satu kesatuan. Keragaman metode analisis
   semantik terhadap al-Quran juga telah dikembangkan oleh sekelompok sarjana di
   Universitas St. Joseph di Beirut. Teknik yang digunakan berupa sebuah indeks al-Quran
   dan sekumpulan kartu, yang dapat dimanfaatkan dan dihubungkan satu dengan lainnya
   untuk melakukan investigasi hubungan di antara ide dasar yang terdapat dalam al-
   Quran. Perkembangan lain adalah digunakannya komputer dalam studi al-Quran.
4. Kajian Hadis
          Adams menyebut empat nama orang yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat
   studi hadis, yaitu Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Nabia Abbott, dan Fuaf Sezgin.
   Juga dapat ditambahkan lagi adalah Fazlur Rahman. Karya Abbott yang diterbitkan
   pada tahun 1967 dalam volume 2 Studies in Arabic Literary Papyrii, tidak secara
   langsung membahas dan mempertanyakan keaslian hadis sebagaimana dipertanyakan
   oleh Goldzihier. Perhatian Abbott adalah pada hadis sohih seperti tulisan Schacht. Hal
   lain yang dibahas Abbot adalah tentang keberadaan hadis dan sunnah pada abad
   pertama, eksistensi pengumpulan dan penulisan hadis dari masa awal dan kelangsungan
   periwayatan sampai dengan abad ketiga. Hal lain yang menjadi concern Abbot dalam
   karyanya adalah perdebatan keaslian hadis dan studi tentang tadwin al-hadis atau
   kodifikasi hadis. Pada tahun yang sama Abbott menerbitkan volume papyri yang
   mengkaji tentang tafsir al-Quran dan hadis, yang juga muncul pada volume 1 karya
   Sezgin Geschichle des Arabischen Schrifttums.
          Salah satu persoalan dasar dalam studi hadis adalah masalah keaslian hadis,
   disebabkan karena sedikitnya sumber data dalam bentuk tulisan dari abad pertama
   Islam. Di antara perkembangan paling baru dalam studi hadis adalah tentang makna
   hadis bagi masyarakat. Salah satu di antaranya adalah munculnya ketertarikan dalam
   perdebatan tentang otoritas hadis di kalangan Muslim, yang sudah mulai muncul dari
   waktu ke waktu dalam sejarah Islam tetapi menjadi lebih intensif pada masa sekarang.




                                          18
Di beberapa negara Islam banyak karya yang mempertanyakan posisi hadis dalam
       pemikiran keagamaan Islam yang ditandai dengan pembatasan peran hadis.
               Tulisan yang membahas persoalan ini adalah karya Mahmud Abu Rayyah
       (1967)—penulis Mesir—berjudul Adwa „ala al-Sunnah al-Muhmmadiyah dan karya
       penulis Pakistan: Ghulam Gilani Barq, Ghulam Ahmad Parvis dan Abu A‘la al-
       Maududi. Topik yang diangkat dalam karya-karya ini menimbulkan kontroversi antara
       muslim     (konservatif)13      dengan     muslim      liberal   atau    modern      yang     banyak
       mempersoalkan masalah otentisitas hadis. Aspek kehidupan dan pemikiran muslim
       modern ini ternyata memperoleah perhatian sarjana Barat, seperti GHA Juynboll
       melalui publikasi penelitian doktornya “the Authenticity of the Tradition Literature:
       Discussions in Modern Egypt, karya—tidak dipublikasikan—Barq dan Parvez dan
       karya yang berkaitan dengan Maududi dan Shibli Nu‘mani keduanya merupakan
       konstributor penting di benua India. Bentuk lain studi hadis adalah karya William Paul
       McLean berjudul Jesus in the Quran and Hadis Literature (tesis MA di McGill tahun
       1970). Dia menyatakan bahwa Yesus digambarkan dalam hadis tidak hanya berbeda
       dari gambaran al-Quran, tetapi sangat radikal.
5. Kajian Kalam
               Kalam atau teologi Islam merupakan salah satu bidang kajian yang sulit karena
       kompleksitas dan luasnya objek kajian. Teologi atau ekspresi intelektual secara
       sistematis mengenai keyakinan beragama menjadi bidang yang menarik mahasiswa
       agama. Kajian kalam pada masa-masa awal Islam menjadi bagian dari studi filsafat,
       studi fiqh, studi tradisi dan bagian dari politik. Pada masa awal Islam teologi Islam
       merupakan pemikiran yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat karena persoalan
       teologi mempunyai relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
               Kajian bidang sejarah pemikiran teologi Islam dilakukan oleh sarjana pada abad
       19 sampai dengan perang dunia I. Karya tersebut antara lain tulisan Goldziher
       (Vorlesungen, 1910), Duncan Black MacDonald (the Development of Muslim Theology,
       Jurisprudence and Constitutional Theory, 1903) dan buku karangan Max Horten yang
       masih menjadi sumber rujukan dalam bidang ini. Karya berjudul The Muslim Creed

13
     Islam (Muslim) konservatif, kadang diartikan sebagai suatu pangaplikasian ajaran agama (islam) terlalu
     "berlebihan", hingga kadang gak sesuai ama jaman. Dalam
     http://heavans.multiply.com/journal/item/56/konservatif_hmm... (diakses kamis-31 maret 201-10.37wib)

                                                      19
karangan AJ. Wensinck lebih jauh mengeksplorasi beberapa tema dasar tentang
pemikiran teologis yang dijelaskan secara detail dan menarik. Di masa sekarang kajian
mendasar tentang sejarah awal adalah tulisan MM Anawati dan Louis Garde (1948)
berjudul Introduction a la Theologie Musulmane, yang mengadopsi model sistematis
aliran teologis di tradisi Islam yang diinformasikan oleh aliran-aliran yang menjadi latar
belakang kristennya.
          Hampir semua karya tentang sejarah teologi Islam dari awal sampai sekarang
didasarkan pada karya heresiograpis dari negara Islam awal. Yang penting adalah karya
al-Shahrastani berjudul Kitab al-Milal wa al-Nihal, al-Bagdadi, al-Farq bayn al-Fiaq
dan al-Ashari, Maqalat al-Islamiyat. Buku-buku tersebut bertujuan mendeskripsikan
ajaran yang bervariasi dan kelompok aliran yang muncul pada abad awal dan membuat
klasifikasinya. Karya tersebut menjadi sumber utama bagi pengetahuan kita tentang
individu dan kelompok yang tidak meninggalkan tulisan atau bukti lain mengenai
pandangan mereka.
          Sebagai tambahan terhadap karya dalam sejarah teologi, para sarjana juga
mengkaitkan dengan beberapa tokoh penting dari teologi Islam dalam bentuk
penjelasan yang detail. Mungkin studi yang paling mendalam dan luas adalah karya
tentang     al-Ghazali,   yang   sampai   sekarang   menjadi    literature   yang   sangat
dipertimbangkan dalam bentuk teks, terjemahan, studi monograf, dan biografi. Al-
Ghazali sufi atau filosof daripada al-Ghazali sebagai penganut aliran Ash‘ariah.
Perhatian yang detail juga diberikan kepada tokoh lain seperti Ahmad ibn Hanbal, Ibn
Taimiyah, Ibn Hazm, al-Ashariyah, dan Ibn Aqil. Karya di bidang ini sangat bernilai
dalam menyediakan data solid yang bisa kita gunakan untuk mengisi kesenjangan
dalam menggambarkan sejarah secara umum.
          Perkembangan penting yang baru ketertarikan dalam bidang kajian kalam
dilakukan dengan sejarah teologi Islam masa awal dan perkembangan terakhir aliran
Sunni tradisional atau dikenal dengan Ashyariyah. Subjek studi yang dihidupkan
kembali dalam periode awal ini memiliki beberapa aspek. Salah satu di antaranya
adalah munculnya upaya untuk rekonstruksi dan pemahaman mendalam tentang
perkembangan pemikiran pada periode secara keseluruhan. Karya Montgomery Watt,
Free Will and Predestination in Early Islam mungkin merupakan karya pertama dan


                                          20
yang diikuti dengan Islamic Philosophy and Theology, serta The Formative Period of
   Islamic Thought (1948,1962, 1973). Karya lain yang menjelaskan sejarah umum
   pemikiran termasuk pada periode awal adalah karya Majid Fakri berjudul A History of
   Islamic Philosophy (1970).
          Aspek baru yang kedua dalam studi teologi masa awal dapat dilihat dalam
   munculnya beberapa studi teknik mengenai tokoh dan teks. Nama yang pertama dalam
   aspek ini adalah Joseph van Ess dari Universitas of Tubingen yang mempublikasikan
   seri edisi tentang aliran, terjemah dan monograp studi. Kajian Ess merentang sangat
   luas, dia memberikan perhatian pada subjek yang beraneka ragam seperti masalah qada
   dan qodar, dimana dia menulis beberapa artikel dan tentang Mu‘tazilah yang
   menampilkan beberapa tokoh individual seperti Hasan Basri, Dirar ibn Amr, al-
   Daraqutni, Bashr al-Marisi dan Amr ibn Ubayd. Karya lain dalam bidang ini adlah
   Richard Frank yang mengangkat Abu al-Hudhayl al-Allaf.
          Aspek ketiga dalam studi kalam pada masa awal Islam adalah menghidupkan
   kembali kajian/topik Mu‘tazilah. Cabang studi ini menerima stimulus khusus melalui
   penemuan di Yaman tahun 1951 beberapa karya besar oleh pemikir mu‘tazilah, yaitu
   Qadi Abd al-Jabbar. Buku berjudul al-Mughni merupakan kitab paling luas mengenai
   teologi Mu‘tazilah. Kitab ini menjawab kesulitan studi peran Mu‘tazilah di masa awal
   islam karena tidak adanya sumber pertama dan kebutuhan studi mengenai ajaran
   mu‘tazilah. Menurut Adams, belum adal karya yang lengkap dalam Mu‘tazilah yang
   telah dicapai oleh Baraty kecuali oleh Steiner.
          Bidang lain dalam studi awal teologi adalah sejarah pemikiran aliran Asyariyah.
   Dalam mayoritas tulisan tentang tradisi Islam, aliran ini diidentifikasikan dengan
   muslim ortodoks. Meskipun asumsi ini sekarang bisa dipertanyakan kembali. Tulisan
   mengenai ini adalah karangan Joseph Scacht (1945), dan George Makdisi. Meski sudah
   banyak kajian tentang kalam, anjuran Adams adalah melalui pendekatan sejarah. Meski
   demikian, adal dua hal penting yang masih merupakan kesenjangan dalam studi kalam.
   Pertama, upaya untuk mengangkat tokoh tertentu. Kedua, adalah kekurangan Islamic
   tahought.
6. Kajian Tasawuf




                                            21
Menurt Adams di antara sekian banyak bidang kajian dalam studi Islam, tasawuf
   merupakan bidang yang menarik minat pada tahun belakangan. Studi tradisi Islam tidak
   dapat dilepaskan dari studi tentang mistis yang mungkin juga merupakan aspek yang
   muncul pada masa awal Islam bahkan pada masa kenabian. Adams menunjukkan
   beberapa sarjana yang tertarik mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel,
   dengan bukunya Mystical Dimensions of Islam (1975). Juga Louis Massignon. Hal
   terpenting dari pendapat Adams adalah untuk menstudi tasawuf dapat didekati dengan
   pendekatan fenonemologi.
7. Kajian Aliran Islam (Syi’ah)
   Dengan sedikit sekali pengecualian tradisi sarjana Barat cenderung melihat Islam
   sebagai agama yang monolitis, mempunyai norma yang terdefinisikan secara baik untuk
   keimanan dan ibadah. Hal ini biasanya diidentifikasi dengan sikap di kalangan Muslim
   Sunni dengan alasan dia dianggap sebagai ortodoks.
8. Kajian Populer Religion (agama rakyat)
          Peribadatan, penyembahan dan agama rakyat merupakan wilayah kajian yang
   utama dalam studi Islam. Penekanan lebih banyak pada asal mula kesalehan dalam
   Islam dan kualitas pengalaman orang beriman perlu dikaji untuk menghindari kesalahan
   dalam memandang Islam adalah agama formalitas. Telah banyak buku atau literatur
   terdahulu dalam populer religion dalam kehidupan orang Islam. Kebanyakan literatur
   jenis ini dibuat oleh pengembara dan ditulis oleh seorang sebagai pejabat kolonial atau
   dalam artikel sarjana. Materi tulisan ini serin tidak memiliki hubungan yang jelas
   dengan tema besar tentang Islam tradisional atau klasik. Di antara karya sarjana pada
   generasi awal yang berkaitan dengan popular religion dan masih memiliki nilai besar
   adalah karya Duncan Black Macdonald berjudul The Religious Life and Attitude in
   Islam dan buku Max Horten berjudul Die religiose Gedankenwell des Volkes im heutien
   Islam. Karya senada juga ditampilkan oleh Rudolf Kriss dan hubert Kriss-Heinrich, E.
   Dermenhem dan H. Granquist.
          Adams menyebut satu karya yang menggunakan pendekatan antropologis
   mengkaji Islam aktual dalam kehidupan dan pengalaman masyarakat Islam di berbagai
   negara. Pendekatan seperti ini berbeda dan jauh dari kepentingan intrinsik. Salah satu
   karya yang dikutip Adams adalah The Religion of Java karya Clifford Geertz yang


                                           22
ditulis berdasarkan observasi yang hati-hati terhadap kehidupan beragama di sebuah
          kota kecil di Jawa yang terjadi perbauran antara Islam klasik dengan non-Islam.
          Termasuk dalam kategori pendekatan ini adalah karya Geertz lainnya yang berjudul
          Islam Observed yang membandingkan etos atau spirit keyakinan Islam di Indonesia dan
          di Marocco. Buku berjudul Saint of the Atlas yang ditulis oleh Ernest Gellner juga
          disebut oleh Adams sebagai karya yang dihasilkan melalui pendekatan antropologi
          dalam bidang popular religion.




C. Konstribusi Adams terhadap Studi Islam
              Memperhatikan tulisan Adams dalam bentuk artikel “Islamic Religious Tradition”,
   dapat dipahami bahwa Adams merupakan salah satu sarjana Barat yang mencurahkan
   waktu dan pikirannya terhadap pengembangan studi agama dan studi Islam. Latarbelakang
   pendidikan Magister dan Doktornya dalam bidang History of Religion semakin
   meneguhkan dirinya sebagai salah seorang ahli dan expert dalam studi Islam.
              M. Amin Abdullah menyebut Adams sebagai salah satu sarjana Barat yang
   berpendapat bahwa metodologi ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan pada ilmu-ilmu
   keislaman, dan merasakan pentingnya menerapkan kaidah-kaidah ilmiah, metode dan cara
   pandang yang biasa digunakan dalam studi agama (religionwissenchaft) pada wilayah studi
   keislaman14. Secara konseptual, pendekatan yang ditawarkan oleh Adams dalam studi
   Islam, sebenarnya merupakan penguatan terhadap pendekatan yang ditawarkan oleh Joseph
   M. Kitagawa yang menyatakan bahwa disiplin religionwisennschaft terletak di antara
   disiplin normatif di satu sisi dan disiplin deskriptif di sisi lain. Mengkaji agama dapat
   dilakukan dengan menggunakan disiplin-disiplin normatif maupun deskriptif. Aspek
   deskriptif studi agama harus bergantung kepada disiplin-disiplin yang berhubungan dengan




   14
        M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta:
        Pustaka Pelajar, 2006), hal. 33

                                                         23
perkembangan historis masing-masing agama, psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat,
filologi, dan hermeneutik.15
        Konstribusi konkrit Adams adalah ketika memberikan eksplanasi dan pemetaan
yang jelas dari pendekatan normatif dan deskriptif dalam studi Islam dengan diikuti uraian
yang detail untuk masing-masing pendekatan. Kemudian masing-masing pendekatan
tersebut coba digunakan dalam mengkaji bidang telaah studi Islam yang terdiri dari sebelas
bidang kajian. Bagi pengkaji Islam sekarang, pemikiran Adams yang tertuang dalam artikel
tersebut, sangat membantu karena Adams begitu banyak melaporkan hasil penelusuran
literatur (prior research and concept on the topic) mengenai pendekatan tersebut.
Hasil bacaan yang sangat banyak tersebut tidak sekadar dilaporkan secara detail, tetapi
Adams memberikan kritikan sekaligus menyuguhkan kegelisahan akademik untuk masing-
masing wilayah telaah dalam studi Islam yang dapat ditindaklanjuti dengan penelitian oleh
para pengkaji Islam sekarang. Tidak mengherankan kalau banyak sarjana Barat-pun yang
menjadikan pemikiran Adams sebagai referensi dalam pembahasan studi agama dan Islam.
        Pendapat Adams tentang studi al-Quran yang bisa mempertanyakan hal-hal berikut
materi-materi sebagai pembentuk teks al-Quran, kronologi materi-materi yang tersusun
dalam teks, sejarah teks, varian bacaan, hubungan al-Quran dengan literatur sebelumnya,
dan isu-isu hangat lainnya yang sejenis telah diteliti sepenuhnya. Menurut Andrew Rippin
pernyataan Adams tersebut mengusik kegelisahan akademik John Wansbrough, sehingga
dia tertarik melakukan analisis sastra terhadap al-Quran, tafsir dan Sirah16.
        Richard C. Martin pun menempatkan Adams sebagai rujukan utama untuk
menguatkan beberapa pendapatnya. Misalnya ketika menulis buku Approaches to Islamic
in Religious Studies, Ricard Martin meminta Adams memberikan prakatanya 17. Bahkan
Ricard Martin sempat memuja Adams bahwa Adams sebagai terdidik sebagai Islamis, ia
mempelajari sejarah agama bersama Joachim Wach di Universitas Chicago. Adams
memilih mengejar dua disiplin ini dengan tujuan untuk mendapatkan alat konseptual guna
mempertajam analisis terhadap tradisi islam dan pemahaman yang lebih tepat tentang



15
   Joseph M. Kitagawa,‖Sejarah Agama-agama di Amerika‖, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi
   Studi Agama, 128 -129
16
   Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough”,
   dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 158
17
   Chares J. Adams, “Foreword”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, vii – x

                                                    24
hubungan antara unsur-unsur berbeda sekaligus hubungan strukturalnya dengan tradisi
   lain18.
             Makalah Carl W. Ernst berjudul The Study of Religion and the Study of Islam19
   banyak juga mengutip pemikiran Adams, meskipun juga memberikan kritik tajam terhadap
   beberapa item yang menjadi kelemahan pemikiran Adams. Di indonesia, selain M. Amin
   Abdullah adalah Qodri Azizi yang melihat bahwa Charles J. Adams menampilkan uraian
   tersendiri dalam penjelasan tentang pendekatan yang ia lakukan dalam studi Islam20.
             Dalam kaitannya dengan wilayah telaah dalam studi Islam, Adams memberikan
   rekomendasi 6 wilayah telaah yang harus memperoleh perhatian para pengkaji Islam. Ke-
   enam wilayah telaah tersebut adalah Pertama studi al-Quran terutama berkaitan dengan
   ajaran, gagasan dan pandangan dunia tentang al-Quran. Kedua, sejarah teologi Islam masa-
   masa permulaan dengan perhatian khusus pada Mu‘tazilah. Ketiga, studi sufi dengan
   penekanan pada karya-karya individual, teks dan tarikat. Ke-empat studi Syiah dengan
   fokus kajian keunikan dan kekayaan konstribusinya terhadap ilmu keagamaan. Ke-lima
   studi agama rakyat di kalangan muslim, dan ke-enam adalah kajian tentang sejarah agama
   yang muncul di Eropa dan Amerika dengan menggunakan pendekatan ilmiah.


D. Pembacaan Kritis terhadap Pemikiran Charles J. Adams
             Apabila dirunut ke belakang, sebenarnya pendekatan studi agama dan Islam yang
   ditawarkan Adams dapat diperbandingkan dengan pendapat Joseph M. Kitagawa. Menurut
   Joseph M. Kitagawa agama itu dapat dipelajari dengan tiga macam model disiplin
   keilmuan, yaitu model normatif, model deskriptif, dan model religio-scientifical21. Dari tiga
   pendekatan tersebut, menurut Joachim Wach pendekatan religio-scientifical merupakan
   pendekatan sebenarnya dalam studi agama22.
             Pendekatan yang ditawarkan oleh Adams jika dilihat dalam perspektif kekinian
   menunjukkan beberapa item yang belum disentuh dari deskripsinya mengenai studi agama

   18
      Richard C. Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, 235
   19
      Carl W. Ernst, The Study of Religion and the Study of Islam, Paper given at Workshop on “Integrating
      Islamic Studies in Liberal Art Curricula” University of Washington, Seattle WA, March 6-8, 1998
   20
      A. Qodri Azizi, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Dippertais, 2005), th.
   21
      Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed), The History of Religions, (Chicago and London: University of
      Chicago Press, 1973), 19
   22
      Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, 14 dan Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed),
      The History of Religions, 21

                                                      25
padahal item tersebut sangat dibutuhkan sekarang. Adams tidak menyebutkan bagaimana
   reaksi orang Islam kepada sarjana Eropa-Amerika, atau partisipasi mereka di dalamnya.
   Pembahasan mengenai Studi Islam belum mempertimbangkan pengaruh mahasiswa Islam
   di dalam kelas. Dia juga tidak mendiskusikan steretipe yang massif tentang hubungan Islam
   dengan terorisme, kekerasan, pelecehan terhadap perempuan dan sebagainya. Dia juga
   tidak menyebutkan sejarah kekinian, terutama kolonialisme Eropa, moderniasasi, dan
   fundamentalisme. Lebih jauh lagi dia tidak merujuk pada peran media dan jurnalistik dalam
   ikut mempengaruhi image tentang Islam sekarang. Dan tentu saja, fenomena terkini seperti
   pos-strukturalisme, kritisisme, konstruktivisme, feminisme, gender, dan diskursus pos-
   kolonial, termasuk juga kritis orientalisme sendiri.
              Apapun kritikan terhadap Adams, pastinya bahwa sebagai objek studi, Islam harus
   didekati dari berbagai aspeknya dengan menggunakan multi disiplin ilmu pengetahuan
   untuk mengurai fenomena agama ini. Selama bertahun-tahun telah dikembangkan sistem
   pendidikan Islam yang normatif, yang bisa dijumpai di pesantren, PTAI dan lembaga
   pendidikan agama Islam lainnya. Pola tradisional yang dipakai dalam sistem pendidikan
   lama itu tidak banyak membantu ketika harus berhadapan dengan tantangan zaman yang
   menuntut banyak hal. Pesan dan provokasi akademik Adams tersebut mendapat penguatan
   dan sekaligus menjadi inspirasi bagi lahirnya pendekatan baru dalam studi Islam. Misalnya,
   M. Amin Abdullah menawarkan paradigma keilmuan ―interkoneksitas‖ untuk studi
   keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi. M. Amin Abdullah mengatakan, pendekatan
   interkoneksitas berbeda sedikit dari paradigma ―integrasi‖ keilmuan yang seolah-olah
   berharap tidak akan ada lagi ketegangan dengan cara meleburkan dan melumatkan yang
   satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas
   keberagamaan secara menyeluruh ke dalam wilayah ―historisitas-profanitas‖, atau
   sebaliknya. Paradigma ―interkoneksitas‖ mengasumsikan bahwa untuk memahami
   kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan
   keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama yang
   lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun ke-alaman tidak dapat berdiri sendiri23.


E. Telaah Pemikiran Richard C. Martin tentang Islam dan Studi Agama

   23
        M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, vii – viii.

                                                          26
1. Pendahuluan
          Sebelum Islam hadir ke dunia ini yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
   sebagai utusan Allah, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh manusia. Dalam
   pandangan para ahli perbandingan agama (comparative study of religion), agama secara
   garis besar dibagi dalam dua bagian, yaitu pertama, agama yang diturunkan oleh Allah
   melalui wahyu-Nya sebagaimana yang termaktub dalam al Qur'an. Agama yang
   demikian biasa disebut sebagai agama samawi (agama langit). Yang termasuk dalam
   kategori agama samawi antara lain Yahudi, Nasrani dan Islam. Kedua, kelompok agama
   yang didasarkan dari hasil renungan secara radikal dari tokoh yang membawanya
   sebagaimana yang terdokumentasikan di dalam kitab yang disusunnya. Agama yang
   demikian biasa disebut sebagai agama ardli (agama bumi). Yang termasuk dalam
   kategori ini antara lain Hindu, Budha, Majusi, Kong Hucu dan lain sebagainya. Agama-
   agama tersebut hingga saat ini masih dianut oleh manusia di dunia, dan disampaikan
   secara turun temurun oleh penganutnya.
          Dalam mengkaji agama-agama, kita sering dihadapkan dengan model atau
   karakteristik agama tersebut. Sebagian dari agama-agama tersebut ada yang bersifat
   inklusif-pluralis, yakni mengakui keberadaan agama-agama lainnya, menghormati dan
   membiarkannya untuk hidup secara berdampingan. Sebagian yang lain bersifat
   eksklusif atau tertutup, yakni tidak mengakui keberadaan agama-gama lain dan
   mengklaim agamanyalah yang paling benar dan harus diikuti.
          Pada abad pertengahan, studi Islam mulai memasuki wilayah Kristen Eropa.
   Kajian-kajian yang berkembang lebih diwarnai tujuan-tujuan polemik diskriminatif
   yang menggambarkan wajah Islam dengan pemahaman dan pemaknaan distortif dan
   peyoratif. Pemahaman akan Islam yang seperti ini menimbulkan kesan bahwa Islam
   adalah agama yang diwarnai kekerasan, suka berperang, barbarian dan tuduhan-tuduhan
   lainnya. Hal ini terjadi akibat polimek Kristen dan Muslim. Walaupun demikian kontak
   dan ketegangan antara Islam dan Kristen lambat laun menemukan titik terang, di mana
   studi Islam dapat memberikan manfaat besar bagi perkembangan metodologi dan kajian
   Islam di Barat.
          Sebagaimana yang dijelaskan oleh Charles J. Adams dalam tulisannya Islamic
   Religiuos Tradition diatas, bahwa dalam perkembangan studi ketimuran, para orientalis


                                            27
klasik telah mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan normatif yang
     dituangkan ke dalam tiga bentuk, yaitu traditional missionary approach, apologetic
     approach, dan irenic approach. Ketiga bentuk pendekatan ini ini pada intinya masih
     menaruh kesan ketidakrelaan akan keberadaan agama lain. Mereka masih berpandangan
     bahwa agamanyalah yang paling benar walaupun agama lain tetap diapresiasi (inklusif).
     Oleh Adams ditawarkanlah pendekatan deskriftif yang di dalamnya mencakup
     philological and historical approuch, social scientific approuch dan phenomenologal
     approuch. Akan tetapi yang menjadi kendala kemudian Adam belum bisa menjabarkan
     secara konkrit tentang pendekatan fenomenologi, ia hanya memberikan klasifikasi yang
     dapat membantu untuk memahami pendekatan ini, yaitu pertama, fenomenologi
     diartikan sebagai suatu metode untuk memahami agama orang lain dengan berupaya
     masuk atau berinteraksi dengan agama yang dikaji dengan meninggalkan atribut
     keagamaan yang dimiliki si peneliti, metode ini disebut epoch. Keistimewaan dari
     model ini adalah kita dapat memahami secara mendalam hakikat dari suatu agama, akan
     tetapi juga memiliki kelemahan yaitu dapat memunculkan sinkretisme pada diri si
     peneliti. Kedua, Fenomenologi dipandang sebagai pendekatan yang mencoba mencari
     struktur dasar dari fenomena-fenomena agama.
            Berawal dari sinilah Richard C. Martin mencoba mengungkap kebiasaan yang
     dialami oleh Adam terkait dengan pendekatan fenomenologi agama. Hal ini sangatlah
     menarik untuk dijadikan bahan diskusi dengan menampilkan permasalahan bagaimana
     cara kerja dari pendekatan fenomenologi dalam perspektif Richard C. Martin? Dan
     Apakah pendekatan fenomenologi ini dapat mendekati fenomena keagamaan?
2. Pembahasan
  1. Studi Islam dan Sejarah Agama-agama
            Ada hubungan disharmonis antara sejarah agama-agama dan studi Islam,
     statement inilah yang dikemukakan oleh Adams di dalam bukunya kumpulan esai-esai
     tentang sejarah agama. Setidaknya ada dua alasan tentang kesulitan melihat langsung
     hubungan antara aktivitas Islamis dengan historians of religions (para sejarawan
     agama-agama), yaitu pertama, adanya fakta bahwa historians of religions berinteraksi
     dengan data Islam walaupun sedikit (snape shot) dan hanya relatif sedikit kontribusinya
     terhadap pengetahuan tentang masyarakat Islam dan tradisi-tradisi yang terdapat di


                                             28
dalamnya. Kedua, Belum dielaborasinya problem yang terdapat dalam keilmuan Islam
dalam tema besar yang mendominasi horizon para sejarawan agama-agama.
Ketidaksepakatan Adams ini tentunya menimbulkan sikap tidak menyenangkan bagi
studi akademik tentang Islam sebagai agama.
       Sikap yang cenderung antipati telah diperlihatkan oleh para sejarawan agama-
agama yang dilatar belakangi oleh provinsialisme akademik dan distorsi pemahaman
tentang Islam. Tidak adanya atensi akan studi Islam dipicu oleh kecenderungan pada
kompartementalisasi (menggolong-golongkan) di dalam pendidikan tinggi. Para sarjana
hanya mau mempelajari sebuah ilmu atau karya seseorang apabila karya itu berasal dari
disiplin atau departemen yang sama. Unsur perdebabatan lain dalam usaha menyusun
sebuah pendekatan terhadap studi lintas budaya (cross-cultural studies) datang dari
sejumlah masalah yang terdapat di antara peneliti dan yang diteliti. Imparsialitas dan
jarak sering kali kurang mendapat perhatian dalam tulisan-tulisan yang ada relevansinya
dengan budaya lain. Terdapat bukti yang kuat bahwa agama bisa berubah di bawah
pengaruh studi akademik. Di antara mereka yang meneorisasikan hal ini adalah para
sarjana yang berpendapat bahwa muatan kepercayaan orang lain selamanya tidak akan
tersingkap kecuali si peneliti simpati terhadap kepercayaan orang diteliti. Hal ini senada
dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Mukti Ali, bahwa agama pada manusia adalah
hal yang sangat pribadi dan mendalam, sehingga hanya dapat diamati dengan berhati-
hati. Seorang peneliti yang secara teknis dan dikatakan baik belum tentu dapat
menemukan persoalan-persoalan agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti
kecuali dia sendiri beriman berefleksi, bukan saja pada situasi sementara penelitian
dilakukan, tetapi juga di luar konteks penelitian, yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si
peneliti bukan orang beragama, akhirnya ia hanya sanggup mengkonstantir ungkapan-
ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala keagamaan, tetapi bukan agama itu sendiri.
Dalam penelitian agama refleksi perlu dijalankan. Penelitian agama tidak mungkin
dilakukan kalau si peneliti tidak tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu
peneliti dan juga para pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama
dan berefleksi atas agamanya.
       Perlu dibangun kesadaran, bahwa munculnya kesulitan dalam pendekatan
semacan ini dikarenakan hanya Muslimlah yang dapat mengkaji (mengajarkan) Islam


                                         29
dengan tingkat pemahaman yang memadai. Namun demikian ada sisi kemudahannya
  yang terletak pada keterbukaan dan empati terhadap kepercayaan dan keimanan orang
  lain, dan ini merupakan prasyarat bagi tercapainya sebuah pemahaman.
         Persoalan lainnya berkaitan dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh
  weltanschauung (pandangan hidup) terkait dengan ruang dan waktu dari mana
  mengawali sebuah pengamatan dan penilaian. Lebih lanjut ada keyakinan bahwa
  sekaranglah saatnya untuk membatasi studi Islam pada sudut pandang yang bercorak
  Barat, tetapi ilmiah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah hal ini
  mengimplikasikan bahwa hanya kategori-kategori dan istilah-istilah yang valid yang
  digunakan untuk menganalisis fenomena agama Islam itu disediakan oleh Islam
  sendiri? Atau apakah seluruh bidang kajian, katakanlah, dalam studi sejarah, ilmu
  bahasa, ilmu sosial dan studi agama dapat menjelaskan fenomena kegamaan sehingga
  menemukan koherensi diskursif, jika dianggap tidak sebangun di kalangan sarjana
  Barat dan non-Barat? Inilah gambaran yang dipaparkan oleh Richard C. Martin seputar
  permasalahan studi Islam dan sejarah agama-agama yang akan ia kupas secara
  fenomenologik. Lebih lanjut akan dibahas secara elaboratif tentang studi Islam dan
  sejarah agama-agama secara terpisah.
2. Sejarah Agama-agama
         Studi terkait dengan agama-agama manusia yang terspesialisasi merupakan
  dinamika akademik di abad ke-19. Hal ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah
  studi agama di Eropa, Inggris dan Amerika Utara. Sekolah yang didirikan tersebut
  diberi nama religionswissenchaft, allgemeine religionsgeschichte, perbandingan agama
  dan fenomenologi agama. Aktivitas akademik para sejarawan agama juga dikonversi
  oleh studi sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, oriental, al-kitab, dan teologi. Akan
  tetapi keduanya masih terdapat distingsi kualitas antara studi agama dengan disiplin
  ilmu lainnya. Hal mendesak yang perlu ditempuh adalah agama sebagai yang menyusun
  bidang koherens (bertalian) mudah untuk dijelaskan dan ditafsirkan. Oleh karenanya
  dalam buku ini Richard ingin menjelaskan dan memberikan pemahaman lebih baik data
  keagamaan dari tradisi Islam dalam konteks studi agama yang umumnya menghendaki
  survey secara singkat terhadap perkembangan dalam disiplin ilmu sejarah agama-agama
  masa lalu.


                                            30
Kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, mengutip penjelasan
Waardenburg setidaknya ada dua hal yang mendasari , pertama mengkaji berarti
melakukan objektivasi atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajian
terhadap agama, tidak hanya kepada ‗pihak lain‘ yang diteliti, akan tetapi diri sendiri
juga harus terlibat di dalamnya. Kedua, secara tradisional agama dipahami sebagai
sesuatu yang sacral, suci dan agung. Permasalahan yang akan muncul kemudian, ketika
kita mulai bersinggungan atau ingin mengkritisi terkait dengan hal ini, maka dianggap
sebagai sebuah bentuk pelecehan atau bahkan dianggap merusak nilai tradisional
agama.
         Menurut Richard, barangkali satu-satunya peristiwa terpenting yang membawa
perubahan pandangan secara komprehensif adalah peristiwa perang dunia I yang
mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi agama-agama. Hal ini
disebabkan oleh implikasi perang yang menimbulkan guncangan besar dan
mengakibatkan munculnya desakan akan kebutuhan untuk menemukan pendekatan
yang dapat membuka ekspresi otentik agama-agama lain agar dapat berbicara secara
independent, tanpa interpensi agama lainnya. Yang dibutuhkan kemudian adalah
penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia. Metode pendekatan
baru ini kemudian dikenal sebagai phenomenology of religion atau fenomenologi agama
yang muncul pertama kali di negara Belanda dan Skandanavia.
         Para sarjana akhir abad ke-19 telah berusaha memahami esensi atau hakikat
agama menurut alur generik. Sebuah metode alternatif dicoba oleh para filosof,
terutama Hegel. (1770-1831) secara tandas pernah mengungkapkan bahwa tujuan utama
mempelajari agama-agama adalah untuk memahami adanya kesatuan (unity) di balik
keseragaman (diversity). Artinya, di balik aneka ragam manifestasi (perwujudan)
agama-agama, terdapat kesatuan serta keutuhan esensi. Esensi yang tunggal itulah yang
hendak dipelajari secara mendalam oleh para pemerhati agama. Sebelum Hegel, Kant
telah memakai istilah fenomena untuk mendeskripsikan data pengalaman.
         Disekitar akhir abad ke-19, istilah fenomenologi mulai dipakai oleh Edmund
Husserl. Pernyataannya yang penting adalah bahwa filsafat harus menjauhkan diri dari
semua hal yang bersifat metafisik. Filsafat harus mempelajari apa sebenarnya yang
dihadapi, tidak membiarkan faktor apa pun yang membuatnya melakukan intervensi


                                        31
dan menjauhkannya dari usaha melakukan analisis langsung terhadap esensi atau
struktur-struktur umum. Pengaruh Husserl dan pengaruh dari aliran yang didirikannya
sangat besar, akan tetapi pengaruhnya terhadap fenomenologi agama tidak banyak,
kecuali dalam bidang pendekatan secara umum. Hanya sedikit dari ahli sejarah agama
yang mau mengikuti pemikiran Husserl, walau demikian Husserl telah mewariskan bagi
para ahli fenomenologi agama tentang dua hal, yaitu epoche dan eidetic vision.
       Jika para sarjana abad ke-19 menelurkan cara-cara bagaimana mengukur agama
dan budaya dengan menghindari segala sesuatu yang supranaturalistik, fenomenologi
abad ke-20 ingin mendudukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas
realitas terdalam. Jadi agama tidak lagi dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah
evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia.
       Capaian fenomenologi sangatlah penting bagi teoritisasi tentang hakekat agama,
tetapi sedikit banyak membutuhkan konsekuensi metodologis. Fenomenologi
melanjutkan karakter dan ensiklopedik dari allgemeine religionseschihte abad ke-19,
yang lebih mengupayakan perbandingan sederhana melalui sintesis makna-makna
umum dan lintas budaya. Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan
terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti menghadapi
objek (fenomena keagamaan). Metode historiko-filologis lama mencari niat historis
penulis teks dengan analisis tekstual, dengan kata lain mencari makna asli sehingga
tujuan penjelasan terhadap teks sangtalah strukturalis, bukan merupakan makna historis,
diakronik sebagai makna holistik, sinkronik. Fenomenologi juga sangat membutuhkan
pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan. Salah satu
kecenderungan penting histografi abad ke-19 adalah distingsi yang dibuat oleh Wilhelm
Dilthey (1833-1911) dan tokoh lainnya antara ilmu alam dengan studi budaya. Dalam
studi budaya atau studi manusia, objeknya adalah seluruh perbuatan dan tindakan
manusia secara historis yang melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual,
sosial, ekonomi, agama, politik. Dari studi manusia sekaligus studi fenomenologi,
pemahaman tentang budaya menghendaki pengetahuan luas termasuk di dalamnya
psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra, pendeknya semua disiplin yang
mengkaji, aktivitas intelektual dan sosialnya.




                                         32
Oleh Dilthey, yang merupakan komponen metodologis penting dalam histografi
   adalah das verstehen, suatu istilah yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan
   perasaan orang atau masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam
   kebudayaan. Metode verstehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat
   dan lingkungan sejarah akan mengalami kehidupan yang bermakna dan mereka
   mengungkap makna-makna tersebut ke dalam pola-pola yang dapat dilihat, sehingga
   dapat dianalisis dan dipahami.
          Selanjutnya adalah pendekatan personalis atau dialogis yang dicetuskan oleh
   Wilfred Cantwell Smith yang mengambil posisi nominalis terhadap istilah dan kategori
   standar di mana komponen-komponen agama secara tradisional di uraikan. Smith
   mengatakan bahwa objek pemahaman ilmiah adalah keimanan yang diyakini individu
   Muslim (Hindu, Budha, Kristen, dll.) dalam konteks kehidupan nyata. Pemahaman akan
   menjadi rancu jika penjelasan dan interpretasi tidak sesuai dengan apa yang
   dimaksudkan oleh Muslim itu sendiri. Pandangan Smith ini bersifat ekumene, yang
   mengundang semua elemen manusia untuk berdialog dalam mencapai pemahaman atas
   dasar kemanusiaan.
          Menurut Richard, yang perlu dicatat adalah revivalisasi baru dalam studi tentang
   agama-agama oleh antropolog budaya, sekalipun belum diakui secara eksplisit dalam
   karya-karya sejarawan agama-agama, bagaimanapun telah memperkuat agama sebagai
   salah satu bidang kajian.
3. Studi Islam
          Akhir-akhir ini pengkajian Islam oleh orang-orang non Islam terus dilakukan
   bahkan semakin intensif. Pengkajian itu masih didominasi oleh para pemikir Barat.
   Hanya kalau dahulu para peneliti Islam disebut orientalis maka sekarang mereka tidak
   suka disebut orientalis. Sebutan yang mereka lebih sukai adalah Islamisis.
          Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis
   muncul setelah kritik tajam Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme. Dalam buku
   ini Said mengungkapkan secara tajam bias intelektual Barat terhadap dunia Timur
   (oriental) umumnya, dan Islam serta dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia
   mengemukakan gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang
   keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan. Dengan demikian, secara sederhana


                                            33
dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif Islam lebih merupakan
agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu
paradigma analitis, kritik metodologis, historis dan empiris, sedangkan jika dilihat dari
segi historis yakni Islam dalam artian diaktikkan oleh manusia serta tumbuh dan
berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai
sebuah disiplin ilmu yaitu Ilmu Keislaman atau Studi Islam. Perbedaan sudut pandang
akan Islam yang demikian itu dapat menimbulkan distingsi dalam menjabarkan Islam
itu sendiri. Manakala Islam dilihat dari sudut pandang normatif, Islam merupakan
agama yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam
dilihat dari sudut pandang historis atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat,
maka     Islam     tampil    sebagai     sebuah     disiplin   ilmu     (studi   Islam).
Implikasi dari distorsi informasi dan pemahaman akan Islam di antaranya dangkalnya
pengetahuan akan Islam atau dengan kata lain Islam tidak ditampilkan secara
komprehensif serta objektif. Hal ini dapat dilihat dari komentar Bernad Lewis dalam
esai berjudul The State of Middle Eastern Studies, yang mengatakan bahwa studi Timur
Tengah gersang dalam perspektif dengan menelaah kembali sejarah studi tentang Islam
di Barat sejak masa pertengahan. Yang memotivasi orang-orang Eropa untuk mengkaji
Islam adalah bersumber dari dua motif yaitu pertama, untuk belajar lebih banyak
warisam klasik yang masih terpelihara dalam bentuk terjemahan dan komentar-
komentar dalam bahasa Arab. Kedua, Menyokong polemik orang Kristen terpelajar
melawan Islam. Ketika umat Kristen masih di bawah pengaruh (conversion) Muslim di
bidang ilmu pengetahuan dan politik yang berlangsung hingga abad pertengahan,
semakin nyata bahwa umat Muslim tidak pernah melakukan konversi dalam skala
besar. Hal ini memudarkan dua hal yang dijadikan argumen di atas. Bahkan ketika masa
renaisans dimulai, muncul argumen-argumen baru, pertama adanya rasa ingin tahu akan
kebudayaan-kebudayaan asing (rasa ingin tahu yang dijumpai oleh Lewis yang juga
ditemukan oleh G.E. von Grunebaum).
       Ada perdebatan menarik terkait dengan apakah studi Timur Tengah merupakan
program interdisipliner atau disiplin sendiri? Problem lain dimunculkan oleh Binder
yang dituangkan di dalam papernya yang berjudul Area Studies Versus The Disciplines,
ia menyatakan bahwa banyak disiplin ilmu menolak paham bahwa budaya itu unik, oleh


                                         34
karenanya tidak dapat diperbandingkan. Yang menjadi akar permasalahan dalam hal ini
adalah apakah materi studi kawasan (Timur Tengah yang didominasi oleh Islam)
penting dan membutuhkan metode studi yang diambil dari materi itu sendiri
(disebabkan menginginkan disiplin tersendiri, katakanlah studi Timur Tengah); atau
berbagai disiplin akademik dianggap penting (ilmu bahawa, studi sejarah, ilmu politik,
antropologi dan seterusnya) karenanya dapat menerapkan metode penelitian yang valid
pada studi Timur Tengah. Membandingkan studi ketimuran abad ke-19 dan studi Timur
Tengah abad ke-20, Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak
kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan
standar masuk yang rendah bagi manusia. Hal ini dibuktikan oleh Leonard Binder yang
telah melakukan analisis kritis yang menjumpai banyak kesalahan pada fakultas-
fakultas yang kurang persiapan dalam mengajarkan materi terkait.
       Kritik atas studi Islam menurut Richard haruslah mengambil dimensi baru
dengan memperbaharui di mensi lama. Binder di bagian lain esainya membahas tentang
orientalism Versus Area Stuidies menyatakan bahwa tradisi studi ketimuran pada abad
ke-19 didasarkan pada paradigma sejarah dan filologi yang dibangun oleh studi tentang
masa klasik. Orientalisme telah banykak memberikan kontribusi bagi perkembangan
tentang studi agama, sejarah, dan masyarakat Islam yang belum terpikirkan dalam studi
Timur Tengah dan studi Islam sekarang.
       Kebanyakan dari para sarjana sepakat akan dua hal yang dilontarkan oleh
Binder, yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah.
Kemudian muncul pertanyaan, seberapa besar prasangka tersebut memotivasi dalam
mengkaji timur Muslim dan apakah pengaruhnya tetap berlanjut pada mereka yang
mengajar studi Timur Tengah sekarang? Pertanyaan ini dijawab oleh Edward W. Said
dalam bukunya Orientalism yang memberikan gambaran bahwa studi ketimuran
sebagai sebuah disiplin keilmuwan secara material dan intelektual berkaitan dengan
ambisis politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah telah menghasilkan gaya
pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologi antara Timur dan
Barat dalam banyak hal. Hal ini pula yang memapankan superioritas budaya Barat
terhadap atas budaya lain, ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Michael Foucoult.




                                         35
Richard merujuk pada pendapat Said bahwa akan lebih berharga untuk
   memasukkan wacana tentang Timur Tengah (dunia Islam) dalam bahasa dan metode
   disiplin serta mengkoordinasikannya sebagai sebuah multi disiplin (lintas petualangan).
4. Islam di dalam Disiplin Studi Agama
          Berbicara tentang studi agama, ada baiknya kita mengangkat kembali pemikiran
   Jacob Neusner yang sempat menuliskan di artikelnya terkait dengan persoalan tentang
   disiplin studi agama di tingkat keilmuwan. Ketiga hal itu adalah:
          1. Apakah disiplin ilmu yang dibangun dapat melahirkan kurikulum yang
              dibangun atas dasar konsensus mengenai apakah kita memikirkan suatu
              lembaga kependidikan dan mensosialisasikannya di kalangan internal? dan
              apakah teks mentransmisikan tradisi belajar pada tahapan selanjutnya?
          2. Apakah program pendidikan ikut menentukan bobot keilmuwan dari disiplin
              studi agama, sehingga dapat dilihat adanya kemajuan dari hasil penyelidikan
              yang dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
              jangka panjang?
          3. Apakah ada kriteria-kriteria spesifik untuk mengakui capaian dan menandai
              kesepelean serta pretensi (dalih/tuntutan) secara layak?


   Jawaban yang muncul kemudian dianggap memalukan, sebagaimana yang diungkapkan
   oleh Neusner :
      Even though, through philology, we understand every word of a text, through
      history, we know just what happened Indonesia the event or time to which the text
      testifies, we still do not understand that text, a religious text serves not merely the
      purposes of philology or history. It demands its profer place as a statement of
      religion, read as anything but a statement of religion, it is misunderstood.
      Accordingly, despite the primitive condition of religious studies as presently
      practiced, the discipline in the making known as religious studies does promise for
      Jewish learning that what has not yet been attained.

          Inti dari ungkapan ini adalah ―kita belum mampu memahami teks itu sendiri,
   kita belum bisa membahasakan teks tersebut, hingga dari agama lain pun dapat
   mempelajarinya. Walaupun studi agama dianggap masih gagal dalam membakukan diri
   sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi prospeknya menjanjikan, dengan



                                            36
mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah dan kriteria dari
     tujuan yang akan dicapai.


F. Kesimpulan
         Kegelisahan akademik yang dirasakan oleh Richard terkait dengan studi Islam dan
  studi agama-agama, antara lain :
     1. Pamahaman terhadap studi Islam dan studi agama-agama masih berkutat pada
         pendekatan normative dan tidak menyentuh aspek deskriftifnya.
     2. Titik tekan pendidikan hanya seputar believer atau pendidikan iman seharusnya
         menyentuh aspek historians.
     3. Di kembangkannya sikap Lidiest subjectivism (lawan dari scientific objectivism)
     4. Kendala mencari format bagaimana menghubungkan antara studi Islam dengan
         studi agama-agama.


         Fenomenologi mempelajari manusia yang ditinjau dari aspek psikologi, sejarah,
  ekonomi, filologi, kritik sastra. Adapu cara kerja fenomenologi yang ditawarkan oleh
  Richard adalah sebagai berikut:
     1. Pendekatan terbuka dan empatik
     2. Epoche yaitu menghilangkan prasangka atau prejudice.
     3. Eidetic vision
     4. Agama merupakan aspek hakiki dari kehidupan manusia bukan berasal dari evolusi.
     5. Harus menemukan sikap universal.


         Dilthey menawarkan metodologi yaitu das verstehen yang mengungkap pemahaman
  manusia tentang gagasan, intensi, dan perasaan orang. Terkait dengan orientalisme bahwa
  para sarjana agama-agama sepakat akan dua hal sebagaimana yang dilontarkan oleh Binder,
  yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Di antara problem
  yang dihadapi oleh studi Islam hingga kini belum dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu
  lainnya antara lain Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak
  kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan
  standar masuk yang rendah bagi manusia. Walaupun studi agama dianggap masih gagal


                                            37
dalam membakukan diri sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi prospeknya
menjanjikan, dengan mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah
dan kriteria dari tujuan yang akan dicapai.24




                                          DAFTAR PUSTAKA



Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.

Charles J. Adam, " Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of
     the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.).

--------------------, "The History of Religions and the Study of Islam", in The History of
       Religions : Essays on the Problem of Understanding, ed., Joseph M. Kitagawa,
       Mircea Eliade dan Charles H. Long, Chicago and London : University of Chicago
       Press, 1967.

Djam'annuri, Studi Agama-agama : Sejarah dan Pemikiran, Pustaka Rihlah, 2003.

Harold H. Titus, Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat,
     Jakarta : Bulan Bintang, 1984.

http://www.uika-bogor.ac.id/jur01.htm.

Jacque Waardenburg, ―Religion between Reality and Idea‖, dalam Numen xix/2-3 (19720,
     PP. 168FF. Mengenai Husserl lebih jauh lihat Ricoeur, Husserl : An Analysis of his
     Pheno-menology 1967.

Majalah Islamia, Vol. II No. 3, Desember 2005.


24
     http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalampengkajian.html (diakses pada 30
     Maret 2011)

                                                     38
Mircea aliade dkk., Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. Grasindo Persada,
      2002.

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama ; Sebuah Pengantar,
     Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989.

http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalam-pengkajian.html




                                          39

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

islam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianislam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianRoisMansur
 
3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesiaMarhamah Saleh
 
Makalah tentang islam
Makalah tentang islamMakalah tentang islam
Makalah tentang islamAis elkirami
 
Pengertian metodologi studi islam
Pengertian metodologi studi islamPengertian metodologi studi islam
Pengertian metodologi studi islamEdwarn Abazel
 
KEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMA
KEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMAKEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMA
KEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMABadrul Ulum
 
Power point pai smk kelas 12 bab 4
Power point pai smk kelas 12 bab 4Power point pai smk kelas 12 bab 4
Power point pai smk kelas 12 bab 4Lili Rohily
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamIsa Ansori
 
Ppt filsafat islam
Ppt filsafat islamPpt filsafat islam
Ppt filsafat islamDewi_Sejarah
 
Sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama
Sejarah perkembangan ilmu perbandingan agamaSejarah perkembangan ilmu perbandingan agama
Sejarah perkembangan ilmu perbandingan agamaKodogg Kritingg
 
Modul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di Nusantara
Modul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di NusantaraModul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di Nusantara
Modul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di NusantaraIstna Zakia Iriana
 
Pendidik dan Peserta Didik dalam Islam
Pendidik dan Peserta Didik dalam IslamPendidik dan Peserta Didik dalam Islam
Pendidik dan Peserta Didik dalam IslamKhanifah Inabah
 
Makalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmuMakalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmuAbuy Thea
 
Kebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islamKebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islamAbdul Hadi
 
Pernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahPernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahAli Murfhy
 
Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik
Kurikulum Pendidikan Islam Masa KlasikKurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik
Kurikulum Pendidikan Islam Masa KlasikAli Murfi
 
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqikonsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqiLtfltf
 
Filsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusydFilsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusydDwi Andriani
 

Mais procurados (20)

islam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianislam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitian
 
3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia
 
Makalah tentang islam
Makalah tentang islamMakalah tentang islam
Makalah tentang islam
 
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORERDINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
 
Pengertian metodologi studi islam
Pengertian metodologi studi islamPengertian metodologi studi islam
Pengertian metodologi studi islam
 
Pengantar studi islam
Pengantar studi islamPengantar studi islam
Pengantar studi islam
 
KEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMA
KEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMAKEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMA
KEBUTUHAN MANUSIA TERHDAP AGAMA
 
Power point pai smk kelas 12 bab 4
Power point pai smk kelas 12 bab 4Power point pai smk kelas 12 bab 4
Power point pai smk kelas 12 bab 4
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
 
POWER POINT STUDI ISLAM
POWER POINT STUDI ISLAMPOWER POINT STUDI ISLAM
POWER POINT STUDI ISLAM
 
Ppt filsafat islam
Ppt filsafat islamPpt filsafat islam
Ppt filsafat islam
 
Sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama
Sejarah perkembangan ilmu perbandingan agamaSejarah perkembangan ilmu perbandingan agama
Sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama
 
Modul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di Nusantara
Modul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di NusantaraModul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di Nusantara
Modul SKI- KB 3 Perkembangan Islam Di Nusantara
 
Pendidik dan Peserta Didik dalam Islam
Pendidik dan Peserta Didik dalam IslamPendidik dan Peserta Didik dalam Islam
Pendidik dan Peserta Didik dalam Islam
 
Makalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmuMakalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmu
 
Kebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islamKebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islam
 
Pernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahPernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ah
 
Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik
Kurikulum Pendidikan Islam Masa KlasikKurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik
Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik
 
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqikonsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
 
Filsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusydFilsafat al ghazali dan ibnu rusyd
Filsafat al ghazali dan ibnu rusyd
 

Destaque

Buku panduan metodologi studi islam
Buku panduan metodologi studi islamBuku panduan metodologi studi islam
Buku panduan metodologi studi islamAli Rif'an
 
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Asma'ul Khusna
 
Metode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agama
Metode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agamaMetode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agama
Metode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agamaguest0579d0
 
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuanObyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuanOperator Warnet Vast Raha
 
Arah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islamArah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islamRaden Aziz
 
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiahPresentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiahMarhamah Saleh
 
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Hari Susanto
 

Destaque (9)

Buku panduan metodologi studi islam
Buku panduan metodologi studi islamBuku panduan metodologi studi islam
Buku panduan metodologi studi islam
 
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
 
Gabungan
GabunganGabungan
Gabungan
 
Metode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agama
Metode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agamaMetode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agama
Metode dan pendekatan dalam ilmu perbandingan agama
 
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuanObyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
 
Arah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islamArah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islam
 
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiahPresentasi 2   islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
Presentasi 2 islam sebagai ajaran & objek kajian ilmiah
 
Pengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam KomprehensifPengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam Komprehensif
 
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
 

Semelhante a Teori dasar metode studi islam

Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)Early Ridho Kismawadi
 
Pendekatan sejarah dalam studi islam
Pendekatan sejarah dalam studi islamPendekatan sejarah dalam studi islam
Pendekatan sejarah dalam studi islamThony Hermansyah
 
Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam
Pendekatan Sejarah Dalam Studi IslamPendekatan Sejarah Dalam Studi Islam
Pendekatan Sejarah Dalam Studi IslamIrvanuddin Al-Jawawi
 
Resensi stud islam
Resensi stud islamResensi stud islam
Resensi stud islamNurul Hikmah
 
KELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptx
KELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptxKELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptx
KELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptxDenyPerdana
 
POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...
POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...
POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...IAIN SEKH NURJATI CIREBON
 
tantangan islam menurut filsafat islam
tantangan islam menurut filsafat islamtantangan islam menurut filsafat islam
tantangan islam menurut filsafat islamInggrid Cliquers
 
metodologi studi islam
metodologi studi islammetodologi studi islam
metodologi studi islamDevi Risnawati
 
Seyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasrSeyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasrLtfltf
 
swar Add more information to your upload
swar Add more information to your uploadswar Add more information to your upload
swar Add more information to your uploadFirdhanSaid
 
pendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islampendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islamFikri Azzarkasyie
 
Kelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamKelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamDewi_Sejarah
 
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docx
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docxPEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docx
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docxadammaulana49
 
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxFKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxEkoSulastri
 

Semelhante a Teori dasar metode studi islam (20)

Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
 
Pendekatan sejarah dalam studi islam
Pendekatan sejarah dalam studi islamPendekatan sejarah dalam studi islam
Pendekatan sejarah dalam studi islam
 
Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam
Pendekatan Sejarah Dalam Studi IslamPendekatan Sejarah Dalam Studi Islam
Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam
 
Resensi stud islam
Resensi stud islamResensi stud islam
Resensi stud islam
 
KELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptx
KELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptxKELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptx
KELOMPOK 1 STUDI ISLAM.pptx
 
POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...
POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...
POTRET PEMIKIRAN A. MUKTI ALI PADA STUDI ISLAM; PENDEKATAN SAINTIFIC CUM DOCT...
 
tantangan islam menurut filsafat islam
tantangan islam menurut filsafat islamtantangan islam menurut filsafat islam
tantangan islam menurut filsafat islam
 
metodologi studi islam
metodologi studi islammetodologi studi islam
metodologi studi islam
 
Kel 8
Kel 8Kel 8
Kel 8
 
Pengantar studi islam
Pengantar studi islamPengantar studi islam
Pengantar studi islam
 
Seyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasrSeyyed hosein nasr
Seyyed hosein nasr
 
swar Add more information to your upload
swar Add more information to your uploadswar Add more information to your upload
swar Add more information to your upload
 
pendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islampendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islam
 
Akidah
AkidahAkidah
Akidah
 
Kelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamKelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islam
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Jil&syi'ah
Jil&syi'ahJil&syi'ah
Jil&syi'ah
 
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docx
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docxPEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docx
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN.docx
 
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxFKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
 

Último

CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7IwanSumantri7
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptxSirlyPutri1
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...Kanaidi ken
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxRizkyPratiwi19
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxsyahrulutama16
 
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxPPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxssuser8905b3
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMIGustiBagusGending
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSdheaprs
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...MetalinaSimanjuntak1
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxNurindahSetyawati1
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)PUNGKYBUDIPANGESTU1
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)MustahalMustahal
 
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
HiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaHiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaafarmasipejatentimur
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...Kanaidi ken
 

Último (20)

CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
(NEW) Template Presentasi UGM 2 (2).pptx
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...PELAKSANAAN  + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY &  WAREHOUSING...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING...
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
 
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxPPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
HiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaHiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
 

Teori dasar metode studi islam

  • 1. TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin) Oleh: Afiful Ikhwan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan . Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme. Bahkan oleh Muhammad Abdul Raouf, Islamic Studies disebut dengan oriental studies. Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari berbagai aspek: sosiologis, cultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya. Salah satu sarjana Barat yang mencurahkan perhatian intelektualnya untuk mengkaji Islam dengan menggunakan diversifikasi metode dan pendekatan adalah Charles Joseph Adams. Tulisan ini akan 1
  • 2. memaparkan tawaran pemikiran Charles Adams secara detail tentang bagaimana metode dan pendekatan yang digunakan dalam mengkaji Islam. B. Rumusan Masalah 1. Pendekatan apa saja yg dipakai oleh charles j. adams dalam mendefinisikan Islam? 2. Bidang kajian studi Islam apa saja yang dikaji oleh Charles J.Adams? 3. Bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi kajian studi Islam dalam perspektif Richard C. Martin? 4. Apakah pendekatan fenomenologi ―Richard C. Martin‖ dapat mendekati fenomena keagamaan? C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui pendekatan apa saja yg dipakai oleh charles j. adams dalam mendefinisikan Islam. 2. Untuk mengetahui bidang kajian studi Islam apa saja yang dikaji oleh Charles J.Adams. 3. Untuk mengetahui bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi kajian studi Islam dalam perspektif Richard C. Martin. 4. Untuk mengetahui apakah pendekatan fenomenologi Richard C. Martin dapat mendekati fenomena keagamaan. 2
  • 3. BAB II PEMBAHASAN TEORI DASAR METODE STUDI ISLAM (Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams dan Richard C. Martin) A. Biografi Charles J. Adams Charles Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston, Texas. Pendidikan dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada permulaan belajar di sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran menulis. Setelah lulus dari Sekolah Menangah Atas John H. Reagen pada tahun 1941, dia meneruskan di Baylor University di Waco, Texas. Adams juga pernah bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat dari tahun 1942 sampai dengan 1945 sebagai operator radio dan mekanis. Setelah perang, tahun 1947 Adams memperoleh gelar Sarjana dan pada tahun yang sama memasuki Graduate School di Universitas Chicago bersama dengan Joachim Wach. Karir akademisi Adams adalah profesor dalam bidang Islamic Studies dan pada tahun 1963 diangkat menjadi director Institute of Islamic Studies McGill University selama 20 tahun. Adams menerima Ph. D dalam History of Religion dari University of Chicago pada tahun 1955 dengan disertasi berjudul “Nathan Soderblom as an Historian of Religions”. Adams telah menulis banyak tentang Islam, salah satu karya terbesarnya yang dijadikan teks penting bagi dosen dan mahasiswa agama adalah A Reader‘s Guide to the Great Religions (1977). Adams juga menjadi konstributor artikel untuk The Encyclopedia Britannica, dan the World Book Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana. Beberapa karya lainnya adalah The Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the Prophetic Hadith in the Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic civilization presented to Niyazi Berkes (1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics and 3
  • 4. Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976). Burning issues and questions yang mengganggu nurani akademik Adams mengenai metode dan pendekatan studi Islam adalah adanya kegagalan ahli sejarah agama memperluas pengetahuan dan pemahaman kita tentang Islam sebagai agama, dan ahli tentang Islam (Islamists) juga telah gagal untuk menjelaskan secara tepat fenomena keberagamaan Islam1. Untuk menjawab kegelisahan akademik itu adalah dengan menggunakan dua disiplin yaitu sejarah agama dan studi Islam sebagai kerangka teoritis atau kerangka fikir (conceptual tool) untuk menganalisis lebih tajam tradisi Islam dan untuk memperoleh pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara unsur yang bermacam- macam termasuk hubungan struktural dengan tradisi lainnya2. Hal mendasar yang penting dipahami dalam studi Islam adalah definisi Islam dan Agama. Bagi Adams sangat sulit dicapai sebuah rumusan yang dapat diterima secara umum mengenai apakah yang disebut Islam itu? Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara mendalam realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah “an on going process of experience and its expression, which stands in historical continuity with the message and influence of the Prophet. Sedangkan konsep agama menurut Adams melingkupi dua aspek yaitu pengalaman-dalam dan perilaku luar manusia (man‟s inward experience and of his outward behavior).3 Dalam melihat dan mendefinisikan agama Islam, Adams menggunakan kerangka teoretis dari Wilfred Cantwell Smith yang membedakan antara tradition dan faith4. Agama apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek eksternal keagamaan, aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi kehidupan beragama. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk 1 Charles J. Adams, Foreword dalam Richard C Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, (USA: The Arizona Board of Regents, 1985), vii – x 2 Richard C. Martin, (Ed). Approaches to Islam in Religious Studies, 3 3 Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition,” dalam The Study of the Middle East: Research amd Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: John Wiley & Sons, 1976), 32 – 33. 4 Manifestasi agama menurut W.C. Smith dapat dikelompokkan menjadi ajaran, simbol, praktek, dan lembaga. WC. Smith, “Comparative Religion, Whither and Why”, dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa (Ed), The History of Religions, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1973), 35. 4
  • 5. memahami dan mengerti pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Studi agama harus berupaya memiliki kemampuan terbaik dalam melakukan eksplorasi baik aspek tersembunyi maupun aspek yang nyata dari fenomena keberagamaan 5. Karena dua aspek dalam keberagamaan ini (tradition and faith, inward experience and outward behavior, hidden and manifest aspect) tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Menurut Adams tidak ada metode yang canggih untuk mendekati aspek kehidupan- dalam individu dan masyarakat beragama, tetapi sarjana harus menggunakan tradisi atau aspek luar keberagamaan sebagai landasan dalam memahami dan melakukan studi agama. Sebagai tantangan dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama harus melampui dimensi tradisi atau aspek luar agar mampu menjelaskan dimensi kehidupan-dalam dari masyarakat Islam. Untuk menjawab tantangan dan tugas para pengkaji Islam, Adams merekomendasikan dua pendekatan yang diletakkan pada sebuah garis kontinum yaitu merentang dari pendekatan normatif sampai dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif adalah pendekatan yang dijiwai oleh motivasi dan tujuan keagamaan, sedangkan pendekatan deskriptif muncul sebagai jawaban terhadap motivasi keingintahuan intelektual atau akademis. Pendekatan normatif dapat dilakukan dalam bentuk misionaris tradisional, apologetik, maupun pendekatan irenic (simpatik). Sementara pendekatan deskriptif, Adams mengelompokkan pada pendekatan-pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan ilmu-ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologis. Pendekatan normatif dan deskriptif dengan berbagai varian tersebut dapat dipergunakan dalam mengkaji Islam yang memiliki 11 subject matter, yaitu: (1) pre-Islamic Arabia, (2) studies of the Prophet, (3) Qur‟anic studies, (4) prophetic tradition (Hadis), (5) kalam, (6) Islamic law, (7) falsafah, (8) tasawuf, (9) the Islamic sects—shi‟ah—(10) worship and devotional life, dan (11) popular religion. Pendekatan Normatif atau Keagamaan 1. Pendekatan Misionaris Tradisional Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan 5 Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (Ed)., The Study of the Middle East, 33 5
  • 6. pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika. Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk mempermudah meng-kristen-kan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam. 2. Pendekatan Apologetik Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Di hadapkan pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C. Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957). Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri. Seperti halnya misionaris yang tertarik mengkaji Islam, gerakan apologetik ini memiliki beberapa karakteristik. Oleh karena apologetik lebih concern pada bagaimana menampilkan Islam dalam performance yang baik, maka mereka sering terjebak dalam kesalahan yang tidak mengindahkan nilai keilmuan. Pendekatan apologetik sering menghasilkan literatur yang mengandung kesalahan dalam bentuk distorsi, selektivitas dan pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti, sering menampilkan sisi romantisme sejarah dan keberhasilan ummat Islam, dan kesalahan dalam melakukan analisis perbandingan, serta disemangati oleh sifat atau karakter tendensius. Kegagalan para 6
  • 7. apologis Muslim modern adalah melakukan kajian Islam dengan motif dan tujuan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk tujuan ilmiah. 3. Pendekatan Irenic (Simpatik) Sejak perang dunia II telah berkembang gerakan yang berbeda di dunia Barat yang diwakili oleh kelompok agama dan universitas. Gerakan tersebut bertujuan memberikan apresiasi yang besar terhadap keberagamaan Islam dan memelihara sikap baru terhadap Islam. Upaya tersebut dalam rangka menghilangkan sikap negatif Kalangan Barat Kristen seperti prasangka, perlawanan, dan merendahkan terhadap tradisi Islam. Pada waktu yang bersamaan terjadi dialog dengan orang Islam dengan harapan membangun jembatan bagi terwujudnya sikap saling simpati antara tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini tetap memperoleh kritikan dari kalangan intelektual, mereka menghadapi kesulitan luar biasa dalam mempererat hubungan dengan orang Islam disebabkan kecurigaan di kalangan Muslim pada masa lampau. Salah satu contoh pendekatan irenic dalam studi Islam adalah karya Kenneth Cragg. Melalui beberapa karya yang ditulis, Cragg menunjukkan kepada Kristen Barat beberapa unsur keindahan dan nilai keberagamaan yang menjiwai tradisi Islam, dan kewajiban orang Kristen adalah terbuka atau menerima hal tersebut. Cragg mampu menggambarkan bahwa Islam memperhatikan banyak problem dan isu yang juga fundamental menurut umat Kristen. Inti pesan Cragg adalah makna iman Islam adalah terealisasi dalam pengalaman Kristiani. Namun, dalam analisis akhirnya, Cragg tetap terpengaruh keyakinan Kristennya, bahkan ia mengatakan bahwa orang Islam harus menjadi Kristen dan hanya dengan cara demikian, orang Islam menjadi Islam kaffah. Konstribusi karya Cragg adalah bermanfaat untuk memberantas pandangan negatif terhadap Islam yang berkembang luas di kalangan Barat. Contoh lain pendekatan irenic diterapkan oleh W.C. Smith, terutama dalam karyanya The Faith of Other Men (1962) dan artikelnya berjudul “Comparative Religion, Whither and Why?”(1959). Hal utama yang ditampilkan dalam tulisan Smith adalah memahami keyakinan orang lain dan bukan untuk mentransformasikan keyakinan itu, atau dengan motif penyebaran agama. Dengan memilih Cragg dan Smith sebagai contoh penggunaan pendekatan irenic dalam studi Islam, Adams tidak bermaksud mengabaikan 7
  • 8. akademisi lain yang dapat dikategorikan dengan mereka berdua seperti Montgomery Watt, dan Geoffrey Parrinder. Pendekatan Deskriptif 1. Pendekatan Filologi6 dan Sejarah Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat produktif dalam studi Islam. Lebih dari 100 tahun sarjana membekali diri dengan prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan memperoleh pendidikan dalam bidang metode filologi untuk memahami bahan-bahan tekstual yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit. Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi juga memainkan peran penting dalam dunia orang Islam sendiri yang berbentuk penelitian filologi dan sejarah yang banyak dilakukan oleh pembarahu, intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan filologi dan sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang terlupakan di kalangan Muslim padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa sekarang ini untuk melakukan revitalisasi Islam. Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam studi Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam memiliki banyak bahan berupa dokumen-dokumen masa lampau dalam bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan lain 6 - Berasal dari bahasa Yunani, philologia, gabungan kata dari philos = ‗TEMAN‘ dan logos = ‗PEMBICARAAN‘ atau ‗ILMU‘. - Dalam bahasa Yunani, philologia berarti ‗SENANG BERBICARA‘. - Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi ‗SENANG BELAJAR‘, ‗SENANG KEPADA ILMU‘, ‗SENANG KEPADA TULISAN-TULISAN‘, dan kemudian ‗SENANG KEPADA TULISAN-TULISAN YANG BERNILAI TINGGI‘ seperti ‗karya-karya sastra‘. - Konsep filologi demikian bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau sebagaimana yang terungkap dalam teks aslinya. Studinya menitikberatkan pada teks yang tersimpan dalam karya tulis masa lampau. 8
  • 9. sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini. Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi Islam, baik untuk masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih lanjut menjelaskan, penekanan terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai pendekatan lain untuk mengkaji kehidupan umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer terhadap Islam tetap memiliki signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam sebagai sebuah living religion. Yang hendak ditegaskan Adams adalah filologi merupakan kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu behavioral harus digunakan apabila cocok digunakan tetapi tidak harus menolak tradisi penelitian filologi. Pada bagian sub pembahasan tentang pendekatan filologi dan sejarah ini, Adams berharap agar di masa mendatang para pengkaji Islam tetap membekali diri dengan metode penelitian filologi dan sejarah dan juga familier dengan metode dan pendekatan ilmu-ilmu behavioral. Sampai dengan sekarang masih jarang terjadi komunikasi antara ilmuan behavior yang tertarik mengkaji Islam dengan pengkaji Islam yang menggunakan pendekatan filologi, bahkan antara mereka saling tidak mempercayai. Membaca gagasan Adams mengenai pentingnya filologi agaknya bisa dilacak pada pendapat Max Muller—salah seorang dari tiga pencetus dan pendiri the study of religion7— yang juga sangat menekankan soal perbekalan bahasa bagi pengkaji agama. Sampai-sampai ia mengutip paradoks Goethe yang mengatakan: “He who knows one language knows none”8. Mudah dipahami bahwa menguasai bahasa dapat membantu memahami sendiri secara langsung suatu agama, dibanding jika melalui terjemahan atau tulisan hasil tangan kedua yang kemungkinan besar akan mengandung kesalahan-kesalahan dalam pemahaman. Apalagi jika penerjemah bukan pemeluk agama yang bersangkutan. Bagi Joachim Wach, penguasaan bahasa bagi para pengkaji atau studi agama akan memungkinkan untuk memperoleh the most extensive information, yaitu informasi yang luas berkaitan dengan subject matter-nya sehingga akan memungkinkan pemahaman 7 Dua orang lainnya adalah Cornelis P. Tiele dan Pierre D. Chantapie De la Saussaye yang dianggap sebagai three founders of the study of religion. Lihat Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, Vol. I (Paris: Mouton – The Haque, 1973), 13 -17 8 Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, 93. 9
  • 10. terhadap fenomena agama9. Dengan penguasaan bahasa akan diperoleh kebenaran deskripsi agama secara akademik dan juga kebenaran menurut perspektif atau pandangan pemeluknya. 2. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita. Untuk menemukan ciri-ciri dari ―pendekatan ilmu-ilmu sosial‖ untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan. Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat ―dijelaskan‖ dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan 9 Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, (New York and Columbia Univerity, 1966), 9 10
  • 11. dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang. Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab- akibat, supply and demand, atau stimulus and respons. Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia. Kritikan Adams terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial paralel dengan pendapat W.C. Smith yang menyatakan bahwa aspek-aspek eksternal agama dapat diuji secara terpisah-pisah dan inilah kenyataannya yang berlangsung sampai beberapa waktu yang lalu, khususnya pada tradisi Eropa. Padahal persoalannya tersebut dalam dirinya bukanlah agama10. Meskipun memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan pendekatan ilmu-ilmu sosial, Adams mengakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai 10 W.C. Smith, “Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 77 11
  • 12. dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya. Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial. Menurut Adams pengecualian harus diberikan untuk pendekatan antropologi. Dalam banyak hal, pendekatan antropologi dan sejarah agama sangat erat. Hal ini disebabkan karena kedua disiplin ini sama-sama tertarik untuk mengkaji seluruh kehidupan masyarakat, antropolog melebihi ilmuwan politik, sosiologi atau ekonomi karena antropolog mengkaji seluruh aspek kehidupan masyarakat beragama yang dijadikan subjek studi. Pendekatan antropologi tertarik untuk mengkaji fenomena agama dan seluruh aspek ekspresi keberagamaan. Di antara ilmuwan sosial yang melakukan kajian Islam dengan pendekatan antropologi adalah Clifford Geertz. Pendekatan antropologi mampu menghasilkan studi yang menjelaskan tentang ekspresi keberagamaan Islam lokal menurut tempat dan gaya hidup yang berlainan. Seorang ilmuwan sosial yang tetap mempertahankan model studi dengan memilih dan mengkotakkan aktivitas manusia ke dalam bentuk bagian-bagian, sebagai sudut pandang secara sempit tetapi masih sangat penting adalah pendekatan yang dilakukan oleh C.A.O. van Nieuwenhuijze dalam sebuah tulisannya “The Next Phase of Islamic Studies: Sociology?”. Van Nieuwenhuijze menyatakan bahwa metode sosiologi dan ilmu sosial lainnya mungkin akan menambah pemahaman baru tentang tradisi keberagamaan Islam. 3. Pendekatan Fenomenologi Di samping melalui pendekatan yang telah disebutkan, seseorang dapat mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk 12
  • 13. Religionswissenschaft.11 Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara formal memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama. Adams dalam tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan konsepsi Religionswissenschaft seperti pada awal kemunculannya kemudian menjadi fenomenologi sebagai salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang menyebut fenomenologi agama. Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut. Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta 11 Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 – 127 13
  • 14. bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku. Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam. Dalam hal ini, Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang menyarankan bahwa pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan ―ya‖ terhadap deskripsi tersebut12. Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh. Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh 12 Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay‖, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 190 14
  • 15. sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno. B. Bidang Kajian Studi Islam Adams membagi bidang kajian dalam studi Islam terdiri dari delapan bidang, yaitu Arab pra-Islam, studi tentang Nabi Muhammad, studi al-Quran, studi Hadis, kalam, tasawuf, aliran Islam khususnya Syi‘ah, serta popular religion. Pembagian bidang kajian yang menjadi subject matter studi Islam seperti di atas dipengaruhi oleh definisi Adams tentang Islam dan Agama. Meski pun Adams pesimistis untuk dapat menemukan kesepakatan umum tentang definisi Islam, namun dia akhirnya mengatakan bahwa Islam bukan hanya terdiri dari satu hal (one thing), tetapi Islam mempunyai banyak hal (many things) yang selalu berubah dan berkembang sehubungan dengan kondisi sejarah. Apapun definisi ilmuwan tentang Islam, menurut Adams, Islam dapat dijadikan objek kajian sebagai bagian dari sejarah. 1. Kajian Arab pra-Islam Terdapat kesepakatan yang mesti diterima sebelum membicarakan apa yang dimaksud Arab sebelum Islam dibatasi pada latarbelakang Islam saja untuk Arab pra- Islam. Siapapun yang membicarakan tentang hal ini, khususnya mahasiswa studi agama kuno Timur Dekat, akan menerima bahwa terdapat kesinambungan antara Islam dengan agama bangsa Semit. Oleh sebab itu latarbelakang munculnya Islam adalah sejarah agama Timur Dekat secara keseluruhan. Kita membatasi maksud Arab pra-Islam adalah Arab menjelang kemunculan Islam. Bagi Adams, yang penting digaris bawahi di sini adalah kesinambungan pengalaman agama Islam dengan tradisi besar agama Timur Dekat, yang mempunyai hubungan erat antara keduanya dan hal ini seringkali dilupakan. Pengetahuan tentang agama dan kondisi kehidupan sosial lainnya pada Arab pra-Islam dalam beberapa tahun tidak dapat diketahui disebabkan karena pemerintah Arab tidak mengizinkan dilakukankanya arkeologi dan melarang orang asing bepergian ke sana. Kajian interpretative mengenai Arab pra-Islam dilakukan oleh beberapa sarjana seperti Goldziher, Wellhausen, Margoulioth, Noldoke, Lamments, Lyall dan Nicolson, semua nama tersebut ini termasuk generasi masa lalu, yang karya mereka masih sangat penting 15
  • 16. sampai dengan sekarang. Kebanyakan dari pendahulu ini menggambarkan materi untuk karya mereka tentang Arab pra-Islam berasal dari sumber-sumber sastra: seperti Jahili, sirah, dari peninggalan ahli sejarah Arab atau berupa kompilasi seperti Kitab al-Ghani dan bahkan bersumber dari al-Quran. Mereka memberikan gambaran sikap bangsa Arab pra-Islam di mana Muhammad meuncul dan dilahirkan yang karya tersebut tidak dikritisi oleh karya-karya belakangan. Diantara yang paling signifikan konstribusi dalam pencerahan pemahaman tentang Arab sebelum Islam adalah upaya Toshihiko Izutsu yang menunjukkan secara tepat unsur moral dalam pandangan bangsa Arab yang sesuai dengan ajaran al-Quran. Kajian Montgomery Watt tentang latar belakang ekonomi dan sosial dari munculnya Islam dan peran hubungan antar suku dalam bukunya tentang Muhammad, dan kajian antropologis RB. Serjeant berkaitan dengan lembaga agama bangsa Arab sebelum Islam. Nama lain dapat disebut di sini adalah Thaha Husayn, AJ. Arerry, Sezgin dan Brockelmann. Salah satu cara mengkaji asal usul agama Bangsa Arab peninsula adalah melalui karya archeology tentang sejarah kuno agama. Nama yang berjasa dalam bidang ini misalnya G. Ryckman, J. Pirenne, Ruth Stichl dan Hermann von Wissman. Perkembangan yang sangat besar dalam bentuk deskripsi sistematis tentang aspek kehidupan beragama pada Arab pra-Islam dibukukan oleh sarjana Perancis yang terdiri dari tiga nama penting: Vishr Fares, Joseph Chelhod, dan Toufic Fahd. 2. Kajian Muhammad Studi tentang kehidupan Muhammad menjadi semarak dalam beberapa tahun sejak perang dunia II melalui beberapa karya penting yang bermunculan. Adams memberikan contoh beberapa penulis dan pengkaji dalam bidang ini. Satu di antaranya adalah Montgomery Watt yang menampilkan dimensi sosial dan ekonomi serta latar belakang aktivitas kenabian Muhammad. Karya Watt lebih menekankan aspek moral dari Nabi Muhammad dan belum menjelaskan bagaimana makna agama dari perspektif umat Islam pada masa Muhammad. Kajian berbeda yang memberi sumbangsih besar dalam karya tentang Nabi adalah A. Guillaume yang menerjemahkan karya Ibn Hisham, Shirat al-Nabi. Biografi dalam bahasa Arab ini merupakan sumber utama informasi tentang Muhammad, aktivitasnya, sahabatnya, dan waktunya yang digunakan untuk kita. Dalam penilaian 16
  • 17. Adams buku tersebut sangat tebal dan paling sulit digunakan, kecuali bagi mereka yang berpendidikan Bahasa Arab dalam versi aslinya. Oleh sebab itu, terjemahan A. Guillaume adalah karya berharga bagi orang Eropa di samping juga catatan kritisnya terhadap buku tersebut. Karya lain yang dijadikan sampel oleh Adams antara lain Marsden Jones, Regis Blachere, R.B. Serjeant, dan Harris Birkeland. Satu bidang kajian yang masih perlu mendapat perhatian dan dikembangkan menurut Adams adalah eksplorasi tentang kehidupan keberagamaan Muslim pada masa Muhammad. Menurut Adams kita bisa merujuk pada peran Muhammad dalam kesalihan Islam, fungsi keberagamaan bagi masyarakat dan posisi kenabian dalam pemahaman Islam. Karya terakhir dalam bidang ini barulah tulisan Tor Andrae yang berjudul Die Person Muhammads. Bagi Adams, sebenarnya posisi Muhammad dalam perspektif dan pemikiran orang Islam lebih penting dari pada biografi dan perkembangan kepribadian Muhammad. Pusat perhatian tulisan yang dibuat contoh pada paragrap di atas lebih kepada Muhammad sebagai Nabi, dibandingkan Muhammad sebagai manusia. Mestinya, kajian historis dan kritis tidak hanya berhenti pada persepsi keagamaan tentang Muhammad sebagai nabi, melainkan diarahkan pada eksplorasi empiris bagaimana orang Islam berfikir mengenai Muhammad. 3. Kajian Al-Qur’an Studi al-Quran yang dilakukan sarjana Barat pada dasarnya terfokus pada persoalan-persoalan kritis yang mengelilingi kitab suci orang Islam ini. Persoalan- persoalan tersebut seperti pembentukan teks al-Quran, kronologis turunnya al-Quran, sejarah teks, variasi bacaan, hubungan antara al-Quran dengan kitab sebelumnya, dan isu-isu lain seputar itu. Kebanyakan karya dalam problem itu dilakukan oleh sarjana abad 19, yang paling penting adalah Theodor Noldeke. Kajian kritis terhadap al-Quran adalah juga dilakukan oleh sekelompok sarjana Jerman bekerjasama dengan sarjana lain. Projek ini berhenti saat terjadi pengeboman kota Munich dalam Perang Dunia II yang menghancurkan manuskrip dan bahan-bahan lain. Terakhir adalah Arthur Jeffery yang mempublikasikan Material for the History of the Text of the Quran. Menurut Adams, sangat sulit ditemukan karya kritis terhadap teks al-Quran baik di dunia Islam sendiri maupun dunia Barat. Mungkin usaha yang sangat impresif adalah karya Toshihiko Izutsu berjudul The Structure of the Ethical 17
  • 18. Terms in the Koran, yang direvisi menjadi Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, dan God and Man in the Koran. Izutsu menggunakan metode analisis semantik yang canggih yang mengembangkan makna huruf-huruf dan konsep kunci dalam teks al- Quran secara mendalam, dan mendemontrasikan hubungan struktural di antara konsep- konsep tersebut dalam al-Quran sebagai satu kesatuan. Keragaman metode analisis semantik terhadap al-Quran juga telah dikembangkan oleh sekelompok sarjana di Universitas St. Joseph di Beirut. Teknik yang digunakan berupa sebuah indeks al-Quran dan sekumpulan kartu, yang dapat dimanfaatkan dan dihubungkan satu dengan lainnya untuk melakukan investigasi hubungan di antara ide dasar yang terdapat dalam al- Quran. Perkembangan lain adalah digunakannya komputer dalam studi al-Quran. 4. Kajian Hadis Adams menyebut empat nama orang yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat studi hadis, yaitu Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Nabia Abbott, dan Fuaf Sezgin. Juga dapat ditambahkan lagi adalah Fazlur Rahman. Karya Abbott yang diterbitkan pada tahun 1967 dalam volume 2 Studies in Arabic Literary Papyrii, tidak secara langsung membahas dan mempertanyakan keaslian hadis sebagaimana dipertanyakan oleh Goldzihier. Perhatian Abbott adalah pada hadis sohih seperti tulisan Schacht. Hal lain yang dibahas Abbot adalah tentang keberadaan hadis dan sunnah pada abad pertama, eksistensi pengumpulan dan penulisan hadis dari masa awal dan kelangsungan periwayatan sampai dengan abad ketiga. Hal lain yang menjadi concern Abbot dalam karyanya adalah perdebatan keaslian hadis dan studi tentang tadwin al-hadis atau kodifikasi hadis. Pada tahun yang sama Abbott menerbitkan volume papyri yang mengkaji tentang tafsir al-Quran dan hadis, yang juga muncul pada volume 1 karya Sezgin Geschichle des Arabischen Schrifttums. Salah satu persoalan dasar dalam studi hadis adalah masalah keaslian hadis, disebabkan karena sedikitnya sumber data dalam bentuk tulisan dari abad pertama Islam. Di antara perkembangan paling baru dalam studi hadis adalah tentang makna hadis bagi masyarakat. Salah satu di antaranya adalah munculnya ketertarikan dalam perdebatan tentang otoritas hadis di kalangan Muslim, yang sudah mulai muncul dari waktu ke waktu dalam sejarah Islam tetapi menjadi lebih intensif pada masa sekarang. 18
  • 19. Di beberapa negara Islam banyak karya yang mempertanyakan posisi hadis dalam pemikiran keagamaan Islam yang ditandai dengan pembatasan peran hadis. Tulisan yang membahas persoalan ini adalah karya Mahmud Abu Rayyah (1967)—penulis Mesir—berjudul Adwa „ala al-Sunnah al-Muhmmadiyah dan karya penulis Pakistan: Ghulam Gilani Barq, Ghulam Ahmad Parvis dan Abu A‘la al- Maududi. Topik yang diangkat dalam karya-karya ini menimbulkan kontroversi antara muslim (konservatif)13 dengan muslim liberal atau modern yang banyak mempersoalkan masalah otentisitas hadis. Aspek kehidupan dan pemikiran muslim modern ini ternyata memperoleah perhatian sarjana Barat, seperti GHA Juynboll melalui publikasi penelitian doktornya “the Authenticity of the Tradition Literature: Discussions in Modern Egypt, karya—tidak dipublikasikan—Barq dan Parvez dan karya yang berkaitan dengan Maududi dan Shibli Nu‘mani keduanya merupakan konstributor penting di benua India. Bentuk lain studi hadis adalah karya William Paul McLean berjudul Jesus in the Quran and Hadis Literature (tesis MA di McGill tahun 1970). Dia menyatakan bahwa Yesus digambarkan dalam hadis tidak hanya berbeda dari gambaran al-Quran, tetapi sangat radikal. 5. Kajian Kalam Kalam atau teologi Islam merupakan salah satu bidang kajian yang sulit karena kompleksitas dan luasnya objek kajian. Teologi atau ekspresi intelektual secara sistematis mengenai keyakinan beragama menjadi bidang yang menarik mahasiswa agama. Kajian kalam pada masa-masa awal Islam menjadi bagian dari studi filsafat, studi fiqh, studi tradisi dan bagian dari politik. Pada masa awal Islam teologi Islam merupakan pemikiran yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat karena persoalan teologi mempunyai relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Kajian bidang sejarah pemikiran teologi Islam dilakukan oleh sarjana pada abad 19 sampai dengan perang dunia I. Karya tersebut antara lain tulisan Goldziher (Vorlesungen, 1910), Duncan Black MacDonald (the Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, 1903) dan buku karangan Max Horten yang masih menjadi sumber rujukan dalam bidang ini. Karya berjudul The Muslim Creed 13 Islam (Muslim) konservatif, kadang diartikan sebagai suatu pangaplikasian ajaran agama (islam) terlalu "berlebihan", hingga kadang gak sesuai ama jaman. Dalam http://heavans.multiply.com/journal/item/56/konservatif_hmm... (diakses kamis-31 maret 201-10.37wib) 19
  • 20. karangan AJ. Wensinck lebih jauh mengeksplorasi beberapa tema dasar tentang pemikiran teologis yang dijelaskan secara detail dan menarik. Di masa sekarang kajian mendasar tentang sejarah awal adalah tulisan MM Anawati dan Louis Garde (1948) berjudul Introduction a la Theologie Musulmane, yang mengadopsi model sistematis aliran teologis di tradisi Islam yang diinformasikan oleh aliran-aliran yang menjadi latar belakang kristennya. Hampir semua karya tentang sejarah teologi Islam dari awal sampai sekarang didasarkan pada karya heresiograpis dari negara Islam awal. Yang penting adalah karya al-Shahrastani berjudul Kitab al-Milal wa al-Nihal, al-Bagdadi, al-Farq bayn al-Fiaq dan al-Ashari, Maqalat al-Islamiyat. Buku-buku tersebut bertujuan mendeskripsikan ajaran yang bervariasi dan kelompok aliran yang muncul pada abad awal dan membuat klasifikasinya. Karya tersebut menjadi sumber utama bagi pengetahuan kita tentang individu dan kelompok yang tidak meninggalkan tulisan atau bukti lain mengenai pandangan mereka. Sebagai tambahan terhadap karya dalam sejarah teologi, para sarjana juga mengkaitkan dengan beberapa tokoh penting dari teologi Islam dalam bentuk penjelasan yang detail. Mungkin studi yang paling mendalam dan luas adalah karya tentang al-Ghazali, yang sampai sekarang menjadi literature yang sangat dipertimbangkan dalam bentuk teks, terjemahan, studi monograf, dan biografi. Al- Ghazali sufi atau filosof daripada al-Ghazali sebagai penganut aliran Ash‘ariah. Perhatian yang detail juga diberikan kepada tokoh lain seperti Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, Ibn Hazm, al-Ashariyah, dan Ibn Aqil. Karya di bidang ini sangat bernilai dalam menyediakan data solid yang bisa kita gunakan untuk mengisi kesenjangan dalam menggambarkan sejarah secara umum. Perkembangan penting yang baru ketertarikan dalam bidang kajian kalam dilakukan dengan sejarah teologi Islam masa awal dan perkembangan terakhir aliran Sunni tradisional atau dikenal dengan Ashyariyah. Subjek studi yang dihidupkan kembali dalam periode awal ini memiliki beberapa aspek. Salah satu di antaranya adalah munculnya upaya untuk rekonstruksi dan pemahaman mendalam tentang perkembangan pemikiran pada periode secara keseluruhan. Karya Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam mungkin merupakan karya pertama dan 20
  • 21. yang diikuti dengan Islamic Philosophy and Theology, serta The Formative Period of Islamic Thought (1948,1962, 1973). Karya lain yang menjelaskan sejarah umum pemikiran termasuk pada periode awal adalah karya Majid Fakri berjudul A History of Islamic Philosophy (1970). Aspek baru yang kedua dalam studi teologi masa awal dapat dilihat dalam munculnya beberapa studi teknik mengenai tokoh dan teks. Nama yang pertama dalam aspek ini adalah Joseph van Ess dari Universitas of Tubingen yang mempublikasikan seri edisi tentang aliran, terjemah dan monograp studi. Kajian Ess merentang sangat luas, dia memberikan perhatian pada subjek yang beraneka ragam seperti masalah qada dan qodar, dimana dia menulis beberapa artikel dan tentang Mu‘tazilah yang menampilkan beberapa tokoh individual seperti Hasan Basri, Dirar ibn Amr, al- Daraqutni, Bashr al-Marisi dan Amr ibn Ubayd. Karya lain dalam bidang ini adlah Richard Frank yang mengangkat Abu al-Hudhayl al-Allaf. Aspek ketiga dalam studi kalam pada masa awal Islam adalah menghidupkan kembali kajian/topik Mu‘tazilah. Cabang studi ini menerima stimulus khusus melalui penemuan di Yaman tahun 1951 beberapa karya besar oleh pemikir mu‘tazilah, yaitu Qadi Abd al-Jabbar. Buku berjudul al-Mughni merupakan kitab paling luas mengenai teologi Mu‘tazilah. Kitab ini menjawab kesulitan studi peran Mu‘tazilah di masa awal islam karena tidak adanya sumber pertama dan kebutuhan studi mengenai ajaran mu‘tazilah. Menurut Adams, belum adal karya yang lengkap dalam Mu‘tazilah yang telah dicapai oleh Baraty kecuali oleh Steiner. Bidang lain dalam studi awal teologi adalah sejarah pemikiran aliran Asyariyah. Dalam mayoritas tulisan tentang tradisi Islam, aliran ini diidentifikasikan dengan muslim ortodoks. Meskipun asumsi ini sekarang bisa dipertanyakan kembali. Tulisan mengenai ini adalah karangan Joseph Scacht (1945), dan George Makdisi. Meski sudah banyak kajian tentang kalam, anjuran Adams adalah melalui pendekatan sejarah. Meski demikian, adal dua hal penting yang masih merupakan kesenjangan dalam studi kalam. Pertama, upaya untuk mengangkat tokoh tertentu. Kedua, adalah kekurangan Islamic tahought. 6. Kajian Tasawuf 21
  • 22. Menurt Adams di antara sekian banyak bidang kajian dalam studi Islam, tasawuf merupakan bidang yang menarik minat pada tahun belakangan. Studi tradisi Islam tidak dapat dilepaskan dari studi tentang mistis yang mungkin juga merupakan aspek yang muncul pada masa awal Islam bahkan pada masa kenabian. Adams menunjukkan beberapa sarjana yang tertarik mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel, dengan bukunya Mystical Dimensions of Islam (1975). Juga Louis Massignon. Hal terpenting dari pendapat Adams adalah untuk menstudi tasawuf dapat didekati dengan pendekatan fenonemologi. 7. Kajian Aliran Islam (Syi’ah) Dengan sedikit sekali pengecualian tradisi sarjana Barat cenderung melihat Islam sebagai agama yang monolitis, mempunyai norma yang terdefinisikan secara baik untuk keimanan dan ibadah. Hal ini biasanya diidentifikasi dengan sikap di kalangan Muslim Sunni dengan alasan dia dianggap sebagai ortodoks. 8. Kajian Populer Religion (agama rakyat) Peribadatan, penyembahan dan agama rakyat merupakan wilayah kajian yang utama dalam studi Islam. Penekanan lebih banyak pada asal mula kesalehan dalam Islam dan kualitas pengalaman orang beriman perlu dikaji untuk menghindari kesalahan dalam memandang Islam adalah agama formalitas. Telah banyak buku atau literatur terdahulu dalam populer religion dalam kehidupan orang Islam. Kebanyakan literatur jenis ini dibuat oleh pengembara dan ditulis oleh seorang sebagai pejabat kolonial atau dalam artikel sarjana. Materi tulisan ini serin tidak memiliki hubungan yang jelas dengan tema besar tentang Islam tradisional atau klasik. Di antara karya sarjana pada generasi awal yang berkaitan dengan popular religion dan masih memiliki nilai besar adalah karya Duncan Black Macdonald berjudul The Religious Life and Attitude in Islam dan buku Max Horten berjudul Die religiose Gedankenwell des Volkes im heutien Islam. Karya senada juga ditampilkan oleh Rudolf Kriss dan hubert Kriss-Heinrich, E. Dermenhem dan H. Granquist. Adams menyebut satu karya yang menggunakan pendekatan antropologis mengkaji Islam aktual dalam kehidupan dan pengalaman masyarakat Islam di berbagai negara. Pendekatan seperti ini berbeda dan jauh dari kepentingan intrinsik. Salah satu karya yang dikutip Adams adalah The Religion of Java karya Clifford Geertz yang 22
  • 23. ditulis berdasarkan observasi yang hati-hati terhadap kehidupan beragama di sebuah kota kecil di Jawa yang terjadi perbauran antara Islam klasik dengan non-Islam. Termasuk dalam kategori pendekatan ini adalah karya Geertz lainnya yang berjudul Islam Observed yang membandingkan etos atau spirit keyakinan Islam di Indonesia dan di Marocco. Buku berjudul Saint of the Atlas yang ditulis oleh Ernest Gellner juga disebut oleh Adams sebagai karya yang dihasilkan melalui pendekatan antropologi dalam bidang popular religion. C. Konstribusi Adams terhadap Studi Islam Memperhatikan tulisan Adams dalam bentuk artikel “Islamic Religious Tradition”, dapat dipahami bahwa Adams merupakan salah satu sarjana Barat yang mencurahkan waktu dan pikirannya terhadap pengembangan studi agama dan studi Islam. Latarbelakang pendidikan Magister dan Doktornya dalam bidang History of Religion semakin meneguhkan dirinya sebagai salah seorang ahli dan expert dalam studi Islam. M. Amin Abdullah menyebut Adams sebagai salah satu sarjana Barat yang berpendapat bahwa metodologi ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan pada ilmu-ilmu keislaman, dan merasakan pentingnya menerapkan kaidah-kaidah ilmiah, metode dan cara pandang yang biasa digunakan dalam studi agama (religionwissenchaft) pada wilayah studi keislaman14. Secara konseptual, pendekatan yang ditawarkan oleh Adams dalam studi Islam, sebenarnya merupakan penguatan terhadap pendekatan yang ditawarkan oleh Joseph M. Kitagawa yang menyatakan bahwa disiplin religionwisennschaft terletak di antara disiplin normatif di satu sisi dan disiplin deskriptif di sisi lain. Mengkaji agama dapat dilakukan dengan menggunakan disiplin-disiplin normatif maupun deskriptif. Aspek deskriptif studi agama harus bergantung kepada disiplin-disiplin yang berhubungan dengan 14 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 33 23
  • 24. perkembangan historis masing-masing agama, psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat, filologi, dan hermeneutik.15 Konstribusi konkrit Adams adalah ketika memberikan eksplanasi dan pemetaan yang jelas dari pendekatan normatif dan deskriptif dalam studi Islam dengan diikuti uraian yang detail untuk masing-masing pendekatan. Kemudian masing-masing pendekatan tersebut coba digunakan dalam mengkaji bidang telaah studi Islam yang terdiri dari sebelas bidang kajian. Bagi pengkaji Islam sekarang, pemikiran Adams yang tertuang dalam artikel tersebut, sangat membantu karena Adams begitu banyak melaporkan hasil penelusuran literatur (prior research and concept on the topic) mengenai pendekatan tersebut. Hasil bacaan yang sangat banyak tersebut tidak sekadar dilaporkan secara detail, tetapi Adams memberikan kritikan sekaligus menyuguhkan kegelisahan akademik untuk masing- masing wilayah telaah dalam studi Islam yang dapat ditindaklanjuti dengan penelitian oleh para pengkaji Islam sekarang. Tidak mengherankan kalau banyak sarjana Barat-pun yang menjadikan pemikiran Adams sebagai referensi dalam pembahasan studi agama dan Islam. Pendapat Adams tentang studi al-Quran yang bisa mempertanyakan hal-hal berikut materi-materi sebagai pembentuk teks al-Quran, kronologi materi-materi yang tersusun dalam teks, sejarah teks, varian bacaan, hubungan al-Quran dengan literatur sebelumnya, dan isu-isu hangat lainnya yang sejenis telah diteliti sepenuhnya. Menurut Andrew Rippin pernyataan Adams tersebut mengusik kegelisahan akademik John Wansbrough, sehingga dia tertarik melakukan analisis sastra terhadap al-Quran, tafsir dan Sirah16. Richard C. Martin pun menempatkan Adams sebagai rujukan utama untuk menguatkan beberapa pendapatnya. Misalnya ketika menulis buku Approaches to Islamic in Religious Studies, Ricard Martin meminta Adams memberikan prakatanya 17. Bahkan Ricard Martin sempat memuja Adams bahwa Adams sebagai terdidik sebagai Islamis, ia mempelajari sejarah agama bersama Joachim Wach di Universitas Chicago. Adams memilih mengejar dua disiplin ini dengan tujuan untuk mendapatkan alat konseptual guna mempertajam analisis terhadap tradisi islam dan pemahaman yang lebih tepat tentang 15 Joseph M. Kitagawa,‖Sejarah Agama-agama di Amerika‖, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi Studi Agama, 128 -129 16 Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 158 17 Chares J. Adams, “Foreword”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, vii – x 24
  • 25. hubungan antara unsur-unsur berbeda sekaligus hubungan strukturalnya dengan tradisi lain18. Makalah Carl W. Ernst berjudul The Study of Religion and the Study of Islam19 banyak juga mengutip pemikiran Adams, meskipun juga memberikan kritik tajam terhadap beberapa item yang menjadi kelemahan pemikiran Adams. Di indonesia, selain M. Amin Abdullah adalah Qodri Azizi yang melihat bahwa Charles J. Adams menampilkan uraian tersendiri dalam penjelasan tentang pendekatan yang ia lakukan dalam studi Islam20. Dalam kaitannya dengan wilayah telaah dalam studi Islam, Adams memberikan rekomendasi 6 wilayah telaah yang harus memperoleh perhatian para pengkaji Islam. Ke- enam wilayah telaah tersebut adalah Pertama studi al-Quran terutama berkaitan dengan ajaran, gagasan dan pandangan dunia tentang al-Quran. Kedua, sejarah teologi Islam masa- masa permulaan dengan perhatian khusus pada Mu‘tazilah. Ketiga, studi sufi dengan penekanan pada karya-karya individual, teks dan tarikat. Ke-empat studi Syiah dengan fokus kajian keunikan dan kekayaan konstribusinya terhadap ilmu keagamaan. Ke-lima studi agama rakyat di kalangan muslim, dan ke-enam adalah kajian tentang sejarah agama yang muncul di Eropa dan Amerika dengan menggunakan pendekatan ilmiah. D. Pembacaan Kritis terhadap Pemikiran Charles J. Adams Apabila dirunut ke belakang, sebenarnya pendekatan studi agama dan Islam yang ditawarkan Adams dapat diperbandingkan dengan pendapat Joseph M. Kitagawa. Menurut Joseph M. Kitagawa agama itu dapat dipelajari dengan tiga macam model disiplin keilmuan, yaitu model normatif, model deskriptif, dan model religio-scientifical21. Dari tiga pendekatan tersebut, menurut Joachim Wach pendekatan religio-scientifical merupakan pendekatan sebenarnya dalam studi agama22. Pendekatan yang ditawarkan oleh Adams jika dilihat dalam perspektif kekinian menunjukkan beberapa item yang belum disentuh dari deskripsinya mengenai studi agama 18 Richard C. Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, 235 19 Carl W. Ernst, The Study of Religion and the Study of Islam, Paper given at Workshop on “Integrating Islamic Studies in Liberal Art Curricula” University of Washington, Seattle WA, March 6-8, 1998 20 A. Qodri Azizi, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Dippertais, 2005), th. 21 Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed), The History of Religions, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1973), 19 22 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, 14 dan Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed), The History of Religions, 21 25
  • 26. padahal item tersebut sangat dibutuhkan sekarang. Adams tidak menyebutkan bagaimana reaksi orang Islam kepada sarjana Eropa-Amerika, atau partisipasi mereka di dalamnya. Pembahasan mengenai Studi Islam belum mempertimbangkan pengaruh mahasiswa Islam di dalam kelas. Dia juga tidak mendiskusikan steretipe yang massif tentang hubungan Islam dengan terorisme, kekerasan, pelecehan terhadap perempuan dan sebagainya. Dia juga tidak menyebutkan sejarah kekinian, terutama kolonialisme Eropa, moderniasasi, dan fundamentalisme. Lebih jauh lagi dia tidak merujuk pada peran media dan jurnalistik dalam ikut mempengaruhi image tentang Islam sekarang. Dan tentu saja, fenomena terkini seperti pos-strukturalisme, kritisisme, konstruktivisme, feminisme, gender, dan diskursus pos- kolonial, termasuk juga kritis orientalisme sendiri. Apapun kritikan terhadap Adams, pastinya bahwa sebagai objek studi, Islam harus didekati dari berbagai aspeknya dengan menggunakan multi disiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai fenomena agama ini. Selama bertahun-tahun telah dikembangkan sistem pendidikan Islam yang normatif, yang bisa dijumpai di pesantren, PTAI dan lembaga pendidikan agama Islam lainnya. Pola tradisional yang dipakai dalam sistem pendidikan lama itu tidak banyak membantu ketika harus berhadapan dengan tantangan zaman yang menuntut banyak hal. Pesan dan provokasi akademik Adams tersebut mendapat penguatan dan sekaligus menjadi inspirasi bagi lahirnya pendekatan baru dalam studi Islam. Misalnya, M. Amin Abdullah menawarkan paradigma keilmuan ―interkoneksitas‖ untuk studi keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi. M. Amin Abdullah mengatakan, pendekatan interkoneksitas berbeda sedikit dari paradigma ―integrasi‖ keilmuan yang seolah-olah berharap tidak akan ada lagi ketegangan dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh ke dalam wilayah ―historisitas-profanitas‖, atau sebaliknya. Paradigma ―interkoneksitas‖ mengasumsikan bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama yang lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun ke-alaman tidak dapat berdiri sendiri23. E. Telaah Pemikiran Richard C. Martin tentang Islam dan Studi Agama 23 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, vii – viii. 26
  • 27. 1. Pendahuluan Sebelum Islam hadir ke dunia ini yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh manusia. Dalam pandangan para ahli perbandingan agama (comparative study of religion), agama secara garis besar dibagi dalam dua bagian, yaitu pertama, agama yang diturunkan oleh Allah melalui wahyu-Nya sebagaimana yang termaktub dalam al Qur'an. Agama yang demikian biasa disebut sebagai agama samawi (agama langit). Yang termasuk dalam kategori agama samawi antara lain Yahudi, Nasrani dan Islam. Kedua, kelompok agama yang didasarkan dari hasil renungan secara radikal dari tokoh yang membawanya sebagaimana yang terdokumentasikan di dalam kitab yang disusunnya. Agama yang demikian biasa disebut sebagai agama ardli (agama bumi). Yang termasuk dalam kategori ini antara lain Hindu, Budha, Majusi, Kong Hucu dan lain sebagainya. Agama- agama tersebut hingga saat ini masih dianut oleh manusia di dunia, dan disampaikan secara turun temurun oleh penganutnya. Dalam mengkaji agama-agama, kita sering dihadapkan dengan model atau karakteristik agama tersebut. Sebagian dari agama-agama tersebut ada yang bersifat inklusif-pluralis, yakni mengakui keberadaan agama-agama lainnya, menghormati dan membiarkannya untuk hidup secara berdampingan. Sebagian yang lain bersifat eksklusif atau tertutup, yakni tidak mengakui keberadaan agama-gama lain dan mengklaim agamanyalah yang paling benar dan harus diikuti. Pada abad pertengahan, studi Islam mulai memasuki wilayah Kristen Eropa. Kajian-kajian yang berkembang lebih diwarnai tujuan-tujuan polemik diskriminatif yang menggambarkan wajah Islam dengan pemahaman dan pemaknaan distortif dan peyoratif. Pemahaman akan Islam yang seperti ini menimbulkan kesan bahwa Islam adalah agama yang diwarnai kekerasan, suka berperang, barbarian dan tuduhan-tuduhan lainnya. Hal ini terjadi akibat polimek Kristen dan Muslim. Walaupun demikian kontak dan ketegangan antara Islam dan Kristen lambat laun menemukan titik terang, di mana studi Islam dapat memberikan manfaat besar bagi perkembangan metodologi dan kajian Islam di Barat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Charles J. Adams dalam tulisannya Islamic Religiuos Tradition diatas, bahwa dalam perkembangan studi ketimuran, para orientalis 27
  • 28. klasik telah mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan normatif yang dituangkan ke dalam tiga bentuk, yaitu traditional missionary approach, apologetic approach, dan irenic approach. Ketiga bentuk pendekatan ini ini pada intinya masih menaruh kesan ketidakrelaan akan keberadaan agama lain. Mereka masih berpandangan bahwa agamanyalah yang paling benar walaupun agama lain tetap diapresiasi (inklusif). Oleh Adams ditawarkanlah pendekatan deskriftif yang di dalamnya mencakup philological and historical approuch, social scientific approuch dan phenomenologal approuch. Akan tetapi yang menjadi kendala kemudian Adam belum bisa menjabarkan secara konkrit tentang pendekatan fenomenologi, ia hanya memberikan klasifikasi yang dapat membantu untuk memahami pendekatan ini, yaitu pertama, fenomenologi diartikan sebagai suatu metode untuk memahami agama orang lain dengan berupaya masuk atau berinteraksi dengan agama yang dikaji dengan meninggalkan atribut keagamaan yang dimiliki si peneliti, metode ini disebut epoch. Keistimewaan dari model ini adalah kita dapat memahami secara mendalam hakikat dari suatu agama, akan tetapi juga memiliki kelemahan yaitu dapat memunculkan sinkretisme pada diri si peneliti. Kedua, Fenomenologi dipandang sebagai pendekatan yang mencoba mencari struktur dasar dari fenomena-fenomena agama. Berawal dari sinilah Richard C. Martin mencoba mengungkap kebiasaan yang dialami oleh Adam terkait dengan pendekatan fenomenologi agama. Hal ini sangatlah menarik untuk dijadikan bahan diskusi dengan menampilkan permasalahan bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi dalam perspektif Richard C. Martin? Dan Apakah pendekatan fenomenologi ini dapat mendekati fenomena keagamaan? 2. Pembahasan 1. Studi Islam dan Sejarah Agama-agama Ada hubungan disharmonis antara sejarah agama-agama dan studi Islam, statement inilah yang dikemukakan oleh Adams di dalam bukunya kumpulan esai-esai tentang sejarah agama. Setidaknya ada dua alasan tentang kesulitan melihat langsung hubungan antara aktivitas Islamis dengan historians of religions (para sejarawan agama-agama), yaitu pertama, adanya fakta bahwa historians of religions berinteraksi dengan data Islam walaupun sedikit (snape shot) dan hanya relatif sedikit kontribusinya terhadap pengetahuan tentang masyarakat Islam dan tradisi-tradisi yang terdapat di 28
  • 29. dalamnya. Kedua, Belum dielaborasinya problem yang terdapat dalam keilmuan Islam dalam tema besar yang mendominasi horizon para sejarawan agama-agama. Ketidaksepakatan Adams ini tentunya menimbulkan sikap tidak menyenangkan bagi studi akademik tentang Islam sebagai agama. Sikap yang cenderung antipati telah diperlihatkan oleh para sejarawan agama- agama yang dilatar belakangi oleh provinsialisme akademik dan distorsi pemahaman tentang Islam. Tidak adanya atensi akan studi Islam dipicu oleh kecenderungan pada kompartementalisasi (menggolong-golongkan) di dalam pendidikan tinggi. Para sarjana hanya mau mempelajari sebuah ilmu atau karya seseorang apabila karya itu berasal dari disiplin atau departemen yang sama. Unsur perdebabatan lain dalam usaha menyusun sebuah pendekatan terhadap studi lintas budaya (cross-cultural studies) datang dari sejumlah masalah yang terdapat di antara peneliti dan yang diteliti. Imparsialitas dan jarak sering kali kurang mendapat perhatian dalam tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan budaya lain. Terdapat bukti yang kuat bahwa agama bisa berubah di bawah pengaruh studi akademik. Di antara mereka yang meneorisasikan hal ini adalah para sarjana yang berpendapat bahwa muatan kepercayaan orang lain selamanya tidak akan tersingkap kecuali si peneliti simpati terhadap kepercayaan orang diteliti. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Mukti Ali, bahwa agama pada manusia adalah hal yang sangat pribadi dan mendalam, sehingga hanya dapat diamati dengan berhati- hati. Seorang peneliti yang secara teknis dan dikatakan baik belum tentu dapat menemukan persoalan-persoalan agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti kecuali dia sendiri beriman berefleksi, bukan saja pada situasi sementara penelitian dilakukan, tetapi juga di luar konteks penelitian, yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si peneliti bukan orang beragama, akhirnya ia hanya sanggup mengkonstantir ungkapan- ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala keagamaan, tetapi bukan agama itu sendiri. Dalam penelitian agama refleksi perlu dijalankan. Penelitian agama tidak mungkin dilakukan kalau si peneliti tidak tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu peneliti dan juga para pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama dan berefleksi atas agamanya. Perlu dibangun kesadaran, bahwa munculnya kesulitan dalam pendekatan semacan ini dikarenakan hanya Muslimlah yang dapat mengkaji (mengajarkan) Islam 29
  • 30. dengan tingkat pemahaman yang memadai. Namun demikian ada sisi kemudahannya yang terletak pada keterbukaan dan empati terhadap kepercayaan dan keimanan orang lain, dan ini merupakan prasyarat bagi tercapainya sebuah pemahaman. Persoalan lainnya berkaitan dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh weltanschauung (pandangan hidup) terkait dengan ruang dan waktu dari mana mengawali sebuah pengamatan dan penilaian. Lebih lanjut ada keyakinan bahwa sekaranglah saatnya untuk membatasi studi Islam pada sudut pandang yang bercorak Barat, tetapi ilmiah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah hal ini mengimplikasikan bahwa hanya kategori-kategori dan istilah-istilah yang valid yang digunakan untuk menganalisis fenomena agama Islam itu disediakan oleh Islam sendiri? Atau apakah seluruh bidang kajian, katakanlah, dalam studi sejarah, ilmu bahasa, ilmu sosial dan studi agama dapat menjelaskan fenomena kegamaan sehingga menemukan koherensi diskursif, jika dianggap tidak sebangun di kalangan sarjana Barat dan non-Barat? Inilah gambaran yang dipaparkan oleh Richard C. Martin seputar permasalahan studi Islam dan sejarah agama-agama yang akan ia kupas secara fenomenologik. Lebih lanjut akan dibahas secara elaboratif tentang studi Islam dan sejarah agama-agama secara terpisah. 2. Sejarah Agama-agama Studi terkait dengan agama-agama manusia yang terspesialisasi merupakan dinamika akademik di abad ke-19. Hal ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah studi agama di Eropa, Inggris dan Amerika Utara. Sekolah yang didirikan tersebut diberi nama religionswissenchaft, allgemeine religionsgeschichte, perbandingan agama dan fenomenologi agama. Aktivitas akademik para sejarawan agama juga dikonversi oleh studi sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, oriental, al-kitab, dan teologi. Akan tetapi keduanya masih terdapat distingsi kualitas antara studi agama dengan disiplin ilmu lainnya. Hal mendesak yang perlu ditempuh adalah agama sebagai yang menyusun bidang koherens (bertalian) mudah untuk dijelaskan dan ditafsirkan. Oleh karenanya dalam buku ini Richard ingin menjelaskan dan memberikan pemahaman lebih baik data keagamaan dari tradisi Islam dalam konteks studi agama yang umumnya menghendaki survey secara singkat terhadap perkembangan dalam disiplin ilmu sejarah agama-agama masa lalu. 30
  • 31. Kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, mengutip penjelasan Waardenburg setidaknya ada dua hal yang mendasari , pertama mengkaji berarti melakukan objektivasi atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajian terhadap agama, tidak hanya kepada ‗pihak lain‘ yang diteliti, akan tetapi diri sendiri juga harus terlibat di dalamnya. Kedua, secara tradisional agama dipahami sebagai sesuatu yang sacral, suci dan agung. Permasalahan yang akan muncul kemudian, ketika kita mulai bersinggungan atau ingin mengkritisi terkait dengan hal ini, maka dianggap sebagai sebuah bentuk pelecehan atau bahkan dianggap merusak nilai tradisional agama. Menurut Richard, barangkali satu-satunya peristiwa terpenting yang membawa perubahan pandangan secara komprehensif adalah peristiwa perang dunia I yang mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi agama-agama. Hal ini disebabkan oleh implikasi perang yang menimbulkan guncangan besar dan mengakibatkan munculnya desakan akan kebutuhan untuk menemukan pendekatan yang dapat membuka ekspresi otentik agama-agama lain agar dapat berbicara secara independent, tanpa interpensi agama lainnya. Yang dibutuhkan kemudian adalah penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia. Metode pendekatan baru ini kemudian dikenal sebagai phenomenology of religion atau fenomenologi agama yang muncul pertama kali di negara Belanda dan Skandanavia. Para sarjana akhir abad ke-19 telah berusaha memahami esensi atau hakikat agama menurut alur generik. Sebuah metode alternatif dicoba oleh para filosof, terutama Hegel. (1770-1831) secara tandas pernah mengungkapkan bahwa tujuan utama mempelajari agama-agama adalah untuk memahami adanya kesatuan (unity) di balik keseragaman (diversity). Artinya, di balik aneka ragam manifestasi (perwujudan) agama-agama, terdapat kesatuan serta keutuhan esensi. Esensi yang tunggal itulah yang hendak dipelajari secara mendalam oleh para pemerhati agama. Sebelum Hegel, Kant telah memakai istilah fenomena untuk mendeskripsikan data pengalaman. Disekitar akhir abad ke-19, istilah fenomenologi mulai dipakai oleh Edmund Husserl. Pernyataannya yang penting adalah bahwa filsafat harus menjauhkan diri dari semua hal yang bersifat metafisik. Filsafat harus mempelajari apa sebenarnya yang dihadapi, tidak membiarkan faktor apa pun yang membuatnya melakukan intervensi 31
  • 32. dan menjauhkannya dari usaha melakukan analisis langsung terhadap esensi atau struktur-struktur umum. Pengaruh Husserl dan pengaruh dari aliran yang didirikannya sangat besar, akan tetapi pengaruhnya terhadap fenomenologi agama tidak banyak, kecuali dalam bidang pendekatan secara umum. Hanya sedikit dari ahli sejarah agama yang mau mengikuti pemikiran Husserl, walau demikian Husserl telah mewariskan bagi para ahli fenomenologi agama tentang dua hal, yaitu epoche dan eidetic vision. Jika para sarjana abad ke-19 menelurkan cara-cara bagaimana mengukur agama dan budaya dengan menghindari segala sesuatu yang supranaturalistik, fenomenologi abad ke-20 ingin mendudukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam. Jadi agama tidak lagi dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia. Capaian fenomenologi sangatlah penting bagi teoritisasi tentang hakekat agama, tetapi sedikit banyak membutuhkan konsekuensi metodologis. Fenomenologi melanjutkan karakter dan ensiklopedik dari allgemeine religionseschihte abad ke-19, yang lebih mengupayakan perbandingan sederhana melalui sintesis makna-makna umum dan lintas budaya. Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti menghadapi objek (fenomena keagamaan). Metode historiko-filologis lama mencari niat historis penulis teks dengan analisis tekstual, dengan kata lain mencari makna asli sehingga tujuan penjelasan terhadap teks sangtalah strukturalis, bukan merupakan makna historis, diakronik sebagai makna holistik, sinkronik. Fenomenologi juga sangat membutuhkan pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan. Salah satu kecenderungan penting histografi abad ke-19 adalah distingsi yang dibuat oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan tokoh lainnya antara ilmu alam dengan studi budaya. Dalam studi budaya atau studi manusia, objeknya adalah seluruh perbuatan dan tindakan manusia secara historis yang melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi, agama, politik. Dari studi manusia sekaligus studi fenomenologi, pemahaman tentang budaya menghendaki pengetahuan luas termasuk di dalamnya psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra, pendeknya semua disiplin yang mengkaji, aktivitas intelektual dan sosialnya. 32
  • 33. Oleh Dilthey, yang merupakan komponen metodologis penting dalam histografi adalah das verstehen, suatu istilah yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan perasaan orang atau masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan. Metode verstehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat dan lingkungan sejarah akan mengalami kehidupan yang bermakna dan mereka mengungkap makna-makna tersebut ke dalam pola-pola yang dapat dilihat, sehingga dapat dianalisis dan dipahami. Selanjutnya adalah pendekatan personalis atau dialogis yang dicetuskan oleh Wilfred Cantwell Smith yang mengambil posisi nominalis terhadap istilah dan kategori standar di mana komponen-komponen agama secara tradisional di uraikan. Smith mengatakan bahwa objek pemahaman ilmiah adalah keimanan yang diyakini individu Muslim (Hindu, Budha, Kristen, dll.) dalam konteks kehidupan nyata. Pemahaman akan menjadi rancu jika penjelasan dan interpretasi tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Muslim itu sendiri. Pandangan Smith ini bersifat ekumene, yang mengundang semua elemen manusia untuk berdialog dalam mencapai pemahaman atas dasar kemanusiaan. Menurut Richard, yang perlu dicatat adalah revivalisasi baru dalam studi tentang agama-agama oleh antropolog budaya, sekalipun belum diakui secara eksplisit dalam karya-karya sejarawan agama-agama, bagaimanapun telah memperkuat agama sebagai salah satu bidang kajian. 3. Studi Islam Akhir-akhir ini pengkajian Islam oleh orang-orang non Islam terus dilakukan bahkan semakin intensif. Pengkajian itu masih didominasi oleh para pemikir Barat. Hanya kalau dahulu para peneliti Islam disebut orientalis maka sekarang mereka tidak suka disebut orientalis. Sebutan yang mereka lebih sukai adalah Islamisis. Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis muncul setelah kritik tajam Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme. Dalam buku ini Said mengungkapkan secara tajam bias intelektual Barat terhadap dunia Timur (oriental) umumnya, dan Islam serta dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia mengemukakan gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan. Dengan demikian, secara sederhana 33
  • 34. dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritik metodologis, historis dan empiris, sedangkan jika dilihat dari segi historis yakni Islam dalam artian diaktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu Ilmu Keislaman atau Studi Islam. Perbedaan sudut pandang akan Islam yang demikian itu dapat menimbulkan distingsi dalam menjabarkan Islam itu sendiri. Manakala Islam dilihat dari sudut pandang normatif, Islam merupakan agama yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut pandang historis atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (studi Islam). Implikasi dari distorsi informasi dan pemahaman akan Islam di antaranya dangkalnya pengetahuan akan Islam atau dengan kata lain Islam tidak ditampilkan secara komprehensif serta objektif. Hal ini dapat dilihat dari komentar Bernad Lewis dalam esai berjudul The State of Middle Eastern Studies, yang mengatakan bahwa studi Timur Tengah gersang dalam perspektif dengan menelaah kembali sejarah studi tentang Islam di Barat sejak masa pertengahan. Yang memotivasi orang-orang Eropa untuk mengkaji Islam adalah bersumber dari dua motif yaitu pertama, untuk belajar lebih banyak warisam klasik yang masih terpelihara dalam bentuk terjemahan dan komentar- komentar dalam bahasa Arab. Kedua, Menyokong polemik orang Kristen terpelajar melawan Islam. Ketika umat Kristen masih di bawah pengaruh (conversion) Muslim di bidang ilmu pengetahuan dan politik yang berlangsung hingga abad pertengahan, semakin nyata bahwa umat Muslim tidak pernah melakukan konversi dalam skala besar. Hal ini memudarkan dua hal yang dijadikan argumen di atas. Bahkan ketika masa renaisans dimulai, muncul argumen-argumen baru, pertama adanya rasa ingin tahu akan kebudayaan-kebudayaan asing (rasa ingin tahu yang dijumpai oleh Lewis yang juga ditemukan oleh G.E. von Grunebaum). Ada perdebatan menarik terkait dengan apakah studi Timur Tengah merupakan program interdisipliner atau disiplin sendiri? Problem lain dimunculkan oleh Binder yang dituangkan di dalam papernya yang berjudul Area Studies Versus The Disciplines, ia menyatakan bahwa banyak disiplin ilmu menolak paham bahwa budaya itu unik, oleh 34
  • 35. karenanya tidak dapat diperbandingkan. Yang menjadi akar permasalahan dalam hal ini adalah apakah materi studi kawasan (Timur Tengah yang didominasi oleh Islam) penting dan membutuhkan metode studi yang diambil dari materi itu sendiri (disebabkan menginginkan disiplin tersendiri, katakanlah studi Timur Tengah); atau berbagai disiplin akademik dianggap penting (ilmu bahawa, studi sejarah, ilmu politik, antropologi dan seterusnya) karenanya dapat menerapkan metode penelitian yang valid pada studi Timur Tengah. Membandingkan studi ketimuran abad ke-19 dan studi Timur Tengah abad ke-20, Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan standar masuk yang rendah bagi manusia. Hal ini dibuktikan oleh Leonard Binder yang telah melakukan analisis kritis yang menjumpai banyak kesalahan pada fakultas- fakultas yang kurang persiapan dalam mengajarkan materi terkait. Kritik atas studi Islam menurut Richard haruslah mengambil dimensi baru dengan memperbaharui di mensi lama. Binder di bagian lain esainya membahas tentang orientalism Versus Area Stuidies menyatakan bahwa tradisi studi ketimuran pada abad ke-19 didasarkan pada paradigma sejarah dan filologi yang dibangun oleh studi tentang masa klasik. Orientalisme telah banykak memberikan kontribusi bagi perkembangan tentang studi agama, sejarah, dan masyarakat Islam yang belum terpikirkan dalam studi Timur Tengah dan studi Islam sekarang. Kebanyakan dari para sarjana sepakat akan dua hal yang dilontarkan oleh Binder, yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Kemudian muncul pertanyaan, seberapa besar prasangka tersebut memotivasi dalam mengkaji timur Muslim dan apakah pengaruhnya tetap berlanjut pada mereka yang mengajar studi Timur Tengah sekarang? Pertanyaan ini dijawab oleh Edward W. Said dalam bukunya Orientalism yang memberikan gambaran bahwa studi ketimuran sebagai sebuah disiplin keilmuwan secara material dan intelektual berkaitan dengan ambisis politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah telah menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologi antara Timur dan Barat dalam banyak hal. Hal ini pula yang memapankan superioritas budaya Barat terhadap atas budaya lain, ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Michael Foucoult. 35
  • 36. Richard merujuk pada pendapat Said bahwa akan lebih berharga untuk memasukkan wacana tentang Timur Tengah (dunia Islam) dalam bahasa dan metode disiplin serta mengkoordinasikannya sebagai sebuah multi disiplin (lintas petualangan). 4. Islam di dalam Disiplin Studi Agama Berbicara tentang studi agama, ada baiknya kita mengangkat kembali pemikiran Jacob Neusner yang sempat menuliskan di artikelnya terkait dengan persoalan tentang disiplin studi agama di tingkat keilmuwan. Ketiga hal itu adalah: 1. Apakah disiplin ilmu yang dibangun dapat melahirkan kurikulum yang dibangun atas dasar konsensus mengenai apakah kita memikirkan suatu lembaga kependidikan dan mensosialisasikannya di kalangan internal? dan apakah teks mentransmisikan tradisi belajar pada tahapan selanjutnya? 2. Apakah program pendidikan ikut menentukan bobot keilmuwan dari disiplin studi agama, sehingga dapat dilihat adanya kemajuan dari hasil penyelidikan yang dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dalam jangka panjang? 3. Apakah ada kriteria-kriteria spesifik untuk mengakui capaian dan menandai kesepelean serta pretensi (dalih/tuntutan) secara layak? Jawaban yang muncul kemudian dianggap memalukan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Neusner : Even though, through philology, we understand every word of a text, through history, we know just what happened Indonesia the event or time to which the text testifies, we still do not understand that text, a religious text serves not merely the purposes of philology or history. It demands its profer place as a statement of religion, read as anything but a statement of religion, it is misunderstood. Accordingly, despite the primitive condition of religious studies as presently practiced, the discipline in the making known as religious studies does promise for Jewish learning that what has not yet been attained. Inti dari ungkapan ini adalah ―kita belum mampu memahami teks itu sendiri, kita belum bisa membahasakan teks tersebut, hingga dari agama lain pun dapat mempelajarinya. Walaupun studi agama dianggap masih gagal dalam membakukan diri sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi prospeknya menjanjikan, dengan 36
  • 37. mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah dan kriteria dari tujuan yang akan dicapai. F. Kesimpulan Kegelisahan akademik yang dirasakan oleh Richard terkait dengan studi Islam dan studi agama-agama, antara lain : 1. Pamahaman terhadap studi Islam dan studi agama-agama masih berkutat pada pendekatan normative dan tidak menyentuh aspek deskriftifnya. 2. Titik tekan pendidikan hanya seputar believer atau pendidikan iman seharusnya menyentuh aspek historians. 3. Di kembangkannya sikap Lidiest subjectivism (lawan dari scientific objectivism) 4. Kendala mencari format bagaimana menghubungkan antara studi Islam dengan studi agama-agama. Fenomenologi mempelajari manusia yang ditinjau dari aspek psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra. Adapu cara kerja fenomenologi yang ditawarkan oleh Richard adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan terbuka dan empatik 2. Epoche yaitu menghilangkan prasangka atau prejudice. 3. Eidetic vision 4. Agama merupakan aspek hakiki dari kehidupan manusia bukan berasal dari evolusi. 5. Harus menemukan sikap universal. Dilthey menawarkan metodologi yaitu das verstehen yang mengungkap pemahaman manusia tentang gagasan, intensi, dan perasaan orang. Terkait dengan orientalisme bahwa para sarjana agama-agama sepakat akan dua hal sebagaimana yang dilontarkan oleh Binder, yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Di antara problem yang dihadapi oleh studi Islam hingga kini belum dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu lainnya antara lain Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan standar masuk yang rendah bagi manusia. Walaupun studi agama dianggap masih gagal 37
  • 38. dalam membakukan diri sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi prospeknya menjanjikan, dengan mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah dan kriteria dari tujuan yang akan dicapai.24 DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004. Charles J. Adam, " Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.). --------------------, "The History of Religions and the Study of Islam", in The History of Religions : Essays on the Problem of Understanding, ed., Joseph M. Kitagawa, Mircea Eliade dan Charles H. Long, Chicago and London : University of Chicago Press, 1967. Djam'annuri, Studi Agama-agama : Sejarah dan Pemikiran, Pustaka Rihlah, 2003. Harold H. Titus, Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1984. http://www.uika-bogor.ac.id/jur01.htm. Jacque Waardenburg, ―Religion between Reality and Idea‖, dalam Numen xix/2-3 (19720, PP. 168FF. Mengenai Husserl lebih jauh lihat Ricoeur, Husserl : An Analysis of his Pheno-menology 1967. Majalah Islamia, Vol. II No. 3, Desember 2005. 24 http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalampengkajian.html (diakses pada 30 Maret 2011) 38
  • 39. Mircea aliade dkk., Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. Grasindo Persada, 2002. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama ; Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989. http://laluemha.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pendekatan-dalam-pengkajian.html 39