SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 9
Baixar para ler offline
Makalah Manajemen Hutan Lanjutan (KTMK 612)

Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manajemen Konservasi Sumber
Daya Aalam dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Dosen Pengampu : Dr. Ir. Agus Setyarso, M.Sc


      KELAYAKAN KOMPENSASI YANG DITAWARKAN
           DALAM PERDAGANGAN KARBON

                                    Oleh:

                               Abdul Razak

                          07/262791/PKT/701

                                 Abstrak
     Gagasan perdagangan karbon (Carbon Trade) merupakan implementasi
kesepakatan yang dicetuskan dalam Protokol Kyoto, 1997 yaitu penurunan gas
rumah kaca (GRK), yang sampai saat ini telah 161 negara yang meratifikasi
kesepakatan itu, kecuali Amerika Serikat dan Australia. Penurunan gas rumah
kaca ini dilakukan melalui berbagai cara antara lain implementasi bersama,
perdagangan emisi (Emission Trading), dan Clean Development Mechanism
(mekanisme pembangunan bersih).

      Perdagangan karbon yang memiliki makna yaitu melindungi karbon dan
menjualnya kepada negara-negara emisi. Negara-negara emisi memberikan
kompensasi dana untuk pembangunan bagi negara-negara yang telah
mempertahankan karbon mereka.Namun perlu juga dicermati apakah nilai tukar
yang ditawarkan oleh negara-negara emisi sudah pantas terhadap negara yang
telah mempertahankan karbon mereka. Dan pertanyaan mendasar bahwa
mampukan program perdagangan karbon ini mengurangi perubahan iklim global,
tanpa ada penurunan emisi dari negara-negara maju.

     Dalam makalah ini akan menguraikan beberapa fenomena yang berkaitan
dengan isu perdagangan karbon, baik isu dalam negeri dan isu-isu internasional
yang mungkin bagi sebagian masyarakat belum begitu mengerti, walaupun
Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto dalam Undang-Undang No.14 tahun
2004. Dari paparan fenomena yang ada, maka penulis akan mencoba
menjatuhkan suatu tingkat kelayakan dari isu perdagangan karbon ini, dikaitkan
dengan konsekwensi-konsekwensi yang harus dilakukan oleh negara-negara
yang menjual karbon mereka.



Pendahuluan



                                                                            1
Munculnya isu perdagangan karbon internasional dilatar belakangi
adanya “Global Warming” (Pemanasan Global), sebagai efek rumah kaca,
sebagaimana yang disepakati pada Protokol Kyoto, 1997. Emisi (hasil
buangan)     industry   merupakan        sumber   kerusakan   utama     bagi
terbentuknya karbon di atmosfir yang menyebabkan pemanasan global.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi “Protokol Kyoto”
yang artinya kita juga ikut didalam kegiatan penurunan emisi dan
mekanisme pembangunan bersih (MPB), termasuk negara yang memiliki
besar didalam perdangan karbon internasional.

       Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar sektor
energi memiliki potensi penjualan karbon hingga 60 juta ton, sedangkan
sektor kehutanan memiliki potensi hingga 28 juta ton, dan diperkirakan
setiap tahunnya Indonesia dapat menjual 20.000 ton karbon. Jika saat ini
harga pasaran karbon di dunia internasional mencapai USD 5-6 per-ton,
maka Indonesia dapat meraup keuntungan hingga USD 528 juta.



Perdagangan Karbon

       Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk
membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan
karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan
penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan yang sudah
distandardisasi.

       Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki
ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi
yang     mereka    keluarkan   melalui    mekanisme    sekuestrasi    karbon
(penyimpanan karbon).




                                                                          2
Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual
kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam
pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang
mengurangi emisi karbon mereka menjual emisi mereka yang telah
dikurangi kepada emitor lain.

     Perdagangan    karbon      tidak   hanya   terbatas   pada   mekanisme
sekuestrasi, tetapi juga adanya teknologi-teknologi baru yang bersifat
mengurangi emisi, seperti kegiatan yang dilakukan dalam rangka
mekanisme pembangunan bersih. Salah satu proyek yang dilakukan di
Aceh yaitu kompor gas tenaga surya. Proyek ini menyediakan 1.000 unit
kompor gas tenaga surya, dimana proyek ini diharapkan mampu
mengurangi CO2 sebesar 3.500 ton/tahun.

     Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan
CO2 ini yang diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar
763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan asumsi 4 – 6
USD untuk setiap ton karbon.

Peran Hutan dalam Perdagangan Karbon

     Hutan kita yang dikenal sebagai “paru-paru dunia” karena masuk
dalam hutan tropis, dimana secara fisika dalam proses fotosintesis hutan
menghasilkan O2 dan menyerap CO2, merupakan siklus penting bagi
kelangsungan seluruh makhluk hidup di dunia. Fungsi hutan disini sebagai
penyerap buangan atau emisi yang dikeluarkan dari aktifitas maskhluk
hidup secara keseluruhan yakni CO2, sehingga keseimbangan dapat
terjaga.

     Berkaitan dengan fungsi hutan tersebut, muncullah paradigm baru
akan manfaat hutan yang berperan didalam penyimpanan karbon.



                                                                          3
Disebutkan bahwa biomas pohon dan vegetasi hutan berisi cadangan
karbon yang sangat besar yang dapat memberikan keseimbangan siklus
karbon bagi keperluan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini.

     Mekanisme baru yang muncul dalam perdagangan karbon berkaitan
dengan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara penghasil
polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan
cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan
tropis yang mereka miliki sehingga terjadi “sequestration” (penyimpanan
sejumlah besar karbon).

     Lalu muncul pertanyaan hutan yang seperti apa yang layak untuk
dilakukan kompensasi. Mendasari Protokol Kyoto dengan mewujudkan
Mekanisme Pembangunan Bersih, Pemerintah telah memberikan batasan
kriteria hutan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No. P 14 Tahun 2004, tentang Tata Cara Aforestasi Dan
Reforestasi   Dalam    Kerangka      Mekanisme       Pembangunan        Bersih
menyebutkan bahwa hutan dalam rangka mewujudkan Mekanisme
Pembangunan Bersih adalah ;

   1. Luas hutan minimal 0,25 Ha
   2. Posentase penutupan tajuk 30 %
   3. Tinggi pohon minimal 5 meter

     Indonesia dengan luasan hutan yang cukup besar, dengan adanya
kompensasi perdagangan karbon, tentunya merupakan peluang besar
untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang
tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh
negara-negara   yang      membeli   sertifikat   perdagangan   karbon     dari
Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah layakkah nilai yang ditawarkan
dari kompensasi perdagangan karbon tersebut dengan nilai kemanfaatan
yang diperoleh Indonesia atas kompensasi tersebut.


                                                                            4
Kelayakan Kompensasi Perdagangan Karbon

     WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), beberapa waktu yang lalu
menggelar unjuk rasa di Denpasar Bali dalam rangka menentang
perdagangan karbon yang bakal dibicarakan pada Kovensi Perubahan
Iklim di Nusa Duas Bali. Bahkan sebuah sepanduk menuliskan “Hutan
Kami bukan untuk negara-negara maju”.

     Menurut Koordinator WALHI Bali Sri Widihiyanti, langkah yang harus
dilakukan adalah mengurangi emisi dari negara-negara maju. Kenyataan
yang ada bahwa Amerika dan Australia menentang cara-cara penurunan
emisi dan menawarkan solusi dalam bentuk perdagangan karbon ini.
Tanpa penurunan emisi, perdagangan karbon tidak akan mampu
menurunkan iklim global yang kini telah mencapai 0,6 derajat celsius,
karena 85 % dari total emisi dunia berasal dari negara-negara maju.

     WALHI sangat menyesalkan bila pemerintah Indonesia melanjutkan
rencana untuk menjual hutan tropis Indonesia seluas 91 juta hektar untuk
penyerapan karbon dengan harga 5 – 20 dollar, yang tidak sebanding
dengan bencana ekologis yang telah dan akan kita alami, meskinya
negara maju memberikan kompensasi atas semua bencana itu.

     Merujuk kepada fenomena yang terjadi di atas, maka perlu dikaji
lebih lanjutan tentang kesiapan Indonesia sendiri didalam menghadapi
kebijakan tentang perdagangan karbon ini. Jika dilihat secara umum,
bahwa negara-negara berkembang sangat banyak sekali dihadapkan oleh
permasalahan dalam negeri mereka, walaupun selama ini negara maju
telah konsen akan kemajuan negara berkembang.

     Di Indonesia sendiri banyak hal yang perlu dipersiapkan antara lain
pembenahan aturan-aturan yang baku terhadap perdagangan karbon ini.



                                                                      5
Wacana perdagangan karbon ini lebih dapat dilakukan pada kondisi
ekonomi yang stabil, dimana kondisi masyarakat secara umum telah
sejahtera.

     Sebagaimana penelitian tentang kompensasi karbon yang dilakukan
di Costa Rika, bahwa pemilik lahan yang berhutan mendapat kompensasi,
atas hutan yang mereka miliki dan berkewajiban melindunginya. Namun
dari penelitian ini menyebutkan, bahwa model ini cocok di terapkan di
negara dengan penduduk yang tingkat kesejahteraannya tinggi, dimana
mereka mempunyai modal yang cukup tinggi untuk merawat hutan.

     Sementara    itu   untuk      di   negara     miskin   atau   negara    yang
berkembang, model ini kurang efektif untuk diterapkan, dimana modal
yang mereka gunakan lebih banyak kepada pembangunan ekonomi, dan
cenderung    hanya      sedikit    untuk      pembangunan       hutan.     Bahkan
kecenderungan yang ada yaitu pemanfaatan hutan untuk modal dalam
pembangunan.     Gambaran         itu   terlihat   dari   bentuk-bentuk     proyek
penghutanan yang ada, belum mencapai sasaran karena beberapa
kendala, termasuk didalamnya adalah modal.

     Perlu digaris bawahi bahwa didalam kegiatan penghutanan bukan
hanya penanaman, tetapi juga pemeliharaan, pengamanan dan lain-lain
yang membutuhkan dana tidak sedikit. Padahal bentuk-bentuk kegiatan
juga telah dibantu oleh pihak-pihak luar yang konsen terhadap pelestarian
hutan di Indonesia.

     Beberapa    hal    yang      menyebabkan        kurang   efektifnya    sistim
perdagangan karbon ini diterapkan di Indonesia terlepas dari nominal
harga yang ditawarkan antara lain adalah ;




                                                                                6
1. Kesiapan kelembagaan untuk mengkoordinir alokasi dana yang
      dikompensasikan. Harapan dari kompensasi ini adalah dana
      tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, sehingga dapat
      meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga mengurangi akses
      mereka terhadap hutan.
   2. Kesiapan regulasi yang mengatur secara detail mulai dari tata
      ruang wilayah, sampai kepada sistim pembagian kompensasi yang
      diperoleh.
   3. Status kawasan hutan yang masih tumpang tindih juga merupakan
      permasalahan perlu dibenahi terlebih dahulu.
   4. Moralitas seluruh elemen yang terkait dengan penggunaan dana
      kompensasi, dimana misi yang akan dicapai adalah bagaimana
      masyarakat dapat hidup sejahtera dengan jalan peningkatan
      ekonomi masyarakat tersebut, sehingga mengurangi dampak
      kegiatan mereka terhadap hutan, yang selama ini termasuk salah
      satu kendala terjadinya degradasi hutan.

    Namun jika kondisi Indonesia sudah lebih stabil, dalam artian baik
ekonomi maupun SDM yang ada telah siap, maka kompensasi yang ada
sah-sah saja dengan pertimbangan ;


   1. Tanpa kompensasi tersebut, sudah merupakan kewajiban kita
      untuk menjaga lingkungan dalam hal ini kelestarian hutan dengan
      melihat secara ekofeminimisme, bukan anthroposentris.
   2. Kompensasi tersebut merupakan tambahan modal bagi Indonesia
      didalam pembangunan ekologi, sementara modal yang tadinya
      dialokasikan untuk pembangunan lingkungan dapat dialihkan untuk
      tujuan memperkuat sektor ekonomi, tanpa harus mengorbankan
      sumberdaya alam yang ada.




                                                                     7
Secara global dapat dikatakan, mampukah dengan dana kompensasi
itu   negara-negara   berkembang    dapat   meningkatkan    kesejahteraan
mereka dengan tetap eksis didalam mempertahankan hutan mereka.
Sehingga jangan sampai kata-kata yang ditulis oleh WALHI dalam unjuk
rasa bahwa “Negara-negara Berkembang adalah toilet bagi negara-negara
maju”. Jika ini terjadi, maka kesenjangan akan semakin terasa, dan
tingkat ketergantungan terhadap negara-negara maju semakin tinggi.

      Sebagai wacana bahwa aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan
di Wana Riset Semboja (kalimantan), kerjasama Gibon Indonesia dan BOS
(Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana terdapat areal hutan
seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga
USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang
dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika
dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan luasan
hutan Indonesia yang 91 juta         hektar, bisa dibayangkan berapa
pendapatan yang dihasilkan dari penjualan karbon ini.

      Namun secara lebih mendalam sebagai renungan dapat dikatakan
bahwa perdagangan karbon adalah bentuk penindasan dan pengekangan
negara-negara maju, dimana negara-negara berkembang tidak bisa
membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi, karena karbon
yang mereka punya telah dijual untuk negara-negara maju dan itu
membuat ketergantungan industri terhadap negara maju. Padahal nilai
kompensasi itu tidak berarti apa-apa bagi mereka dengan keuntungan
yang dihasilkan dan dijual kembali kepada negara-negara berkembang.
Inilah yang mungkin disebut kebohongan negara-negara maju terhadap
negara-negara miskin dan berkembang.

Kesimpulan dan Saran



                                                                        8
Berdasarkan hal-hal diatas, penulis memandang nominal kompensasi
diperhitungkan dengan bentuk pemulihan (restorasi) kondisi hutan yang
ada secara umum, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga
kompensasi yang diberikan benar-benar mencapai sasaran. Pemerintah
juga tidak lagi tergantung kepada sumberdaya hutan sebagai modal
pembangunan.

    Sudah banyak program-program yang diusulkan oleh negara-negara
maju baik mengatasnamakan kesejahteraan umat manusia, sampai
kepada perdamaian dunia, namun hanya sebatas tameng bagi negara-
negara maju untuk menamcapkan imperialis modern mereka terhadap
negara-negara miskin dan negara-negara berkembang.

Daftar Pustaka

   .................. 2006. The Carbon Trade. BBC News, Download Internet
   Hasan, Rofiqi. 2007. WALHI Tolak Perdagangan Karbon, Tempo.
               Download Internet
   ................ 2007. Gagasan Perdagangan Kabon, Dephut. Download
               Internet
   Marsono, Joko. 2007. Bahan Kuliah Konservasi Ekositim, MKSDAL,
               Pascasarjana, Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah
               Mada.




                                                                            9

Mais conteúdo relacionado

Destaque

Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...
Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...
Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...CTA
 
Top 10 Things I Learned
Top 10 Things I LearnedTop 10 Things I Learned
Top 10 Things I Learnedkdwhigham
 
Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02
Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02
Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02Carolina Rossini
 
CMO study prez dma detroit - may 2012
CMO study prez   dma detroit - may 2012CMO study prez   dma detroit - may 2012
CMO study prez dma detroit - may 2012dmadetroit
 
OPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEM
OPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEMOPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEM
OPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEMEditor IJCATR
 
Presentation1
Presentation1Presentation1
Presentation1blawro
 
How to canoe image instruction
How to canoe image instructionHow to canoe image instruction
How to canoe image instructionsteevedoubt
 
The breakfast revolution the smarties india
The breakfast revolution   the smarties indiaThe breakfast revolution   the smarties india
The breakfast revolution the smarties indiashyni Johnson
 
FiFa South Africa 2010 Mahindra Satyam
FiFa South Africa 2010 Mahindra SatyamFiFa South Africa 2010 Mahindra Satyam
FiFa South Africa 2010 Mahindra Satyampaawaan
 
Proposal marketing by august_2011
Proposal marketing by august_2011Proposal marketing by august_2011
Proposal marketing by august_2011Sergey Skorokhod
 
Mega Foods Ppt Completed 1
Mega Foods  Ppt  Completed 1Mega Foods  Ppt  Completed 1
Mega Foods Ppt Completed 1arunus
 
De Reis van de Heldin December
De Reis van de Heldin DecemberDe Reis van de Heldin December
De Reis van de Heldin DecemberPeter de Kuster
 
November 7 campus notes 11072013
November 7 campus notes 11072013November 7 campus notes 11072013
November 7 campus notes 11072013Abigail Bacon
 
International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)
International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)
International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)inventionjournals
 
De thi hoa 9 hki 20122013
De thi hoa 9 hki  20122013De thi hoa 9 hki  20122013
De thi hoa 9 hki 20122013Han Tran Truong
 

Destaque (20)

Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...
Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...
Agricultural Water Use in River basins : A Comparison between the Limpopo and...
 
Effective management of nonprofit investments
Effective management of nonprofit investmentsEffective management of nonprofit investments
Effective management of nonprofit investments
 
Top 10 Things I Learned
Top 10 Things I LearnedTop 10 Things I Learned
Top 10 Things I Learned
 
Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02
Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02
Cr4ocwcbr 121030145301-phpapp02
 
CMO study prez dma detroit - may 2012
CMO study prez   dma detroit - may 2012CMO study prez   dma detroit - may 2012
CMO study prez dma detroit - may 2012
 
OPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEM
OPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEMOPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEM
OPTICAL SWITCHING CONTROLLER USING FPGA AS A CONTROLLER FOR OCDMA ENCODER SYSTEM
 
Presentation1
Presentation1Presentation1
Presentation1
 
Evidencias academicas-castaneda
Evidencias academicas-castanedaEvidencias academicas-castaneda
Evidencias academicas-castaneda
 
How to canoe image instruction
How to canoe image instructionHow to canoe image instruction
How to canoe image instruction
 
The breakfast revolution the smarties india
The breakfast revolution   the smarties indiaThe breakfast revolution   the smarties india
The breakfast revolution the smarties india
 
FiFa South Africa 2010 Mahindra Satyam
FiFa South Africa 2010 Mahindra SatyamFiFa South Africa 2010 Mahindra Satyam
FiFa South Africa 2010 Mahindra Satyam
 
Proposal marketing by august_2011
Proposal marketing by august_2011Proposal marketing by august_2011
Proposal marketing by august_2011
 
Mega Foods Ppt Completed 1
Mega Foods  Ppt  Completed 1Mega Foods  Ppt  Completed 1
Mega Foods Ppt Completed 1
 
De Reis van de Heldin December
De Reis van de Heldin DecemberDe Reis van de Heldin December
De Reis van de Heldin December
 
November 7 campus notes 11072013
November 7 campus notes 11072013November 7 campus notes 11072013
November 7 campus notes 11072013
 
International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)
International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)
International Journal of Engineering and Science Invention (IJESI)
 
50120140506006
5012014050600650120140506006
50120140506006
 
De thi hoa 9 hki 20122013
De thi hoa 9 hki  20122013De thi hoa 9 hki  20122013
De thi hoa 9 hki 20122013
 
Tatoos
TatoosTatoos
Tatoos
 
Lotus
LotusLotus
Lotus
 

Semelhante a Env carbon media_2008_00_00

CCN business plan Indonesian version
CCN business plan Indonesian versionCCN business plan Indonesian version
CCN business plan Indonesian versionAntal Boros
 
Policy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdf
Policy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdfPolicy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdf
Policy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdfLavayrter
 
Pipib untuk-emisi-karbon
Pipib untuk-emisi-karbonPipib untuk-emisi-karbon
Pipib untuk-emisi-karbonDaud Sutrisno
 
Bagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan Berulang
Bagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan BerulangBagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan Berulang
Bagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan BerulangAnjasDong1
 
PPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptx
PPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptxPPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptx
PPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptxIlhamFajar14
 
Aplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenaga
Aplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenagaAplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenaga
Aplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenagaMohd Yusrie Masri
 
Hukum Lingkungan
Hukum LingkunganHukum Lingkungan
Hukum Lingkunganblack511229
 
Makalah pemanasan global
Makalah pemanasan globalMakalah pemanasan global
Makalah pemanasan globalsjati212
 

Semelhante a Env carbon media_2008_00_00 (20)

TET Kelompok 2.pptx
TET Kelompok 2.pptxTET Kelompok 2.pptx
TET Kelompok 2.pptx
 
Forest initiative
Forest initiativeForest initiative
Forest initiative
 
Forest initiative
Forest initiativeForest initiative
Forest initiative
 
CCN business plan Indonesian version
CCN business plan Indonesian versionCCN business plan Indonesian version
CCN business plan Indonesian version
 
Policy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdf
Policy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdfPolicy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdf
Policy Brief - Tren dan Nilai Ekonomi Karbon Biru oleh CarbonEthics .pdf
 
Basic CCUS.pptx
Basic CCUS.pptxBasic CCUS.pptx
Basic CCUS.pptx
 
Pipib untuk-emisi-karbon
Pipib untuk-emisi-karbonPipib untuk-emisi-karbon
Pipib untuk-emisi-karbon
 
Bagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan Berulang
Bagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan BerulangBagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan Berulang
Bagaimana Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan Berulang
 
Buku carbon isi
Buku carbon isiBuku carbon isi
Buku carbon isi
 
Modul 6
Modul 6Modul 6
Modul 6
 
Mari Berdagang Karbon
Mari Berdagang KarbonMari Berdagang Karbon
Mari Berdagang Karbon
 
PPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptx
PPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptxPPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptx
PPT GREEN ECONOMY BAHAN.pptx
 
Aplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenaga
Aplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenagaAplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenaga
Aplikasi bioteknologi dalam penyelamatan sumber dan tenaga
 
Hukum Lingkungan
Hukum LingkunganHukum Lingkungan
Hukum Lingkungan
 
#pasarkarbon
#pasarkarbon#pasarkarbon
#pasarkarbon
 
Makalah pemanasan global STIP WUNA
Makalah pemanasan global STIP WUNA Makalah pemanasan global STIP WUNA
Makalah pemanasan global STIP WUNA
 
PEMANASAN GLOBAL KELAS XI
PEMANASAN GLOBAL KELAS XIPEMANASAN GLOBAL KELAS XI
PEMANASAN GLOBAL KELAS XI
 
Makalah pemanasan global
Makalah pemanasan globalMakalah pemanasan global
Makalah pemanasan global
 
Makalah pemanasan global
Makalah pemanasan globalMakalah pemanasan global
Makalah pemanasan global
 
Makalah pemanasan global
Makalah pemanasan globalMakalah pemanasan global
Makalah pemanasan global
 

Mais de Ardi Green

Indigenous peoples law review
Indigenous peoples law reviewIndigenous peoples law review
Indigenous peoples law reviewArdi Green
 
Booklet panduan wto dan fta
Booklet panduan wto dan ftaBooklet panduan wto dan fta
Booklet panduan wto dan ftaArdi Green
 
Menghidupkan Konstitusi Kepulauan
Menghidupkan Konstitusi Kepulauan Menghidupkan Konstitusi Kepulauan
Menghidupkan Konstitusi Kepulauan Ardi Green
 
Gor side event
Gor side eventGor side event
Gor side eventArdi Green
 
Ftw cover (final)
Ftw cover (final)Ftw cover (final)
Ftw cover (final)Ardi Green
 
Free trade watch (final)
Free trade watch (final)Free trade watch (final)
Free trade watch (final)Ardi Green
 
Isa1 ism2002 resume
Isa1 ism2002 resumeIsa1 ism2002 resume
Isa1 ism2002 resumeArdi Green
 
Pp 7 tahun 2000 tentang kepelautan
Pp 7 tahun 2000 tentang kepelautanPp 7 tahun 2000 tentang kepelautan
Pp 7 tahun 2000 tentang kepelautanArdi Green
 

Mais de Ardi Green (11)

Indigenous peoples law review
Indigenous peoples law reviewIndigenous peoples law review
Indigenous peoples law review
 
Fahmi (7)
Fahmi (7)Fahmi (7)
Fahmi (7)
 
Booklet panduan wto dan fta
Booklet panduan wto dan ftaBooklet panduan wto dan fta
Booklet panduan wto dan fta
 
Menghidupkan Konstitusi Kepulauan
Menghidupkan Konstitusi Kepulauan Menghidupkan Konstitusi Kepulauan
Menghidupkan Konstitusi Kepulauan
 
Gor side event
Gor side eventGor side event
Gor side event
 
Ftw cover (final)
Ftw cover (final)Ftw cover (final)
Ftw cover (final)
 
Free trade watch (final)
Free trade watch (final)Free trade watch (final)
Free trade watch (final)
 
Ismposter
Ismposter Ismposter
Ismposter
 
Symbol
SymbolSymbol
Symbol
 
Isa1 ism2002 resume
Isa1 ism2002 resumeIsa1 ism2002 resume
Isa1 ism2002 resume
 
Pp 7 tahun 2000 tentang kepelautan
Pp 7 tahun 2000 tentang kepelautanPp 7 tahun 2000 tentang kepelautan
Pp 7 tahun 2000 tentang kepelautan
 

Env carbon media_2008_00_00

  • 1. Makalah Manajemen Hutan Lanjutan (KTMK 612) Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manajemen Konservasi Sumber Daya Aalam dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Pengampu : Dr. Ir. Agus Setyarso, M.Sc KELAYAKAN KOMPENSASI YANG DITAWARKAN DALAM PERDAGANGAN KARBON Oleh: Abdul Razak 07/262791/PKT/701 Abstrak Gagasan perdagangan karbon (Carbon Trade) merupakan implementasi kesepakatan yang dicetuskan dalam Protokol Kyoto, 1997 yaitu penurunan gas rumah kaca (GRK), yang sampai saat ini telah 161 negara yang meratifikasi kesepakatan itu, kecuali Amerika Serikat dan Australia. Penurunan gas rumah kaca ini dilakukan melalui berbagai cara antara lain implementasi bersama, perdagangan emisi (Emission Trading), dan Clean Development Mechanism (mekanisme pembangunan bersih). Perdagangan karbon yang memiliki makna yaitu melindungi karbon dan menjualnya kepada negara-negara emisi. Negara-negara emisi memberikan kompensasi dana untuk pembangunan bagi negara-negara yang telah mempertahankan karbon mereka.Namun perlu juga dicermati apakah nilai tukar yang ditawarkan oleh negara-negara emisi sudah pantas terhadap negara yang telah mempertahankan karbon mereka. Dan pertanyaan mendasar bahwa mampukan program perdagangan karbon ini mengurangi perubahan iklim global, tanpa ada penurunan emisi dari negara-negara maju. Dalam makalah ini akan menguraikan beberapa fenomena yang berkaitan dengan isu perdagangan karbon, baik isu dalam negeri dan isu-isu internasional yang mungkin bagi sebagian masyarakat belum begitu mengerti, walaupun Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto dalam Undang-Undang No.14 tahun 2004. Dari paparan fenomena yang ada, maka penulis akan mencoba menjatuhkan suatu tingkat kelayakan dari isu perdagangan karbon ini, dikaitkan dengan konsekwensi-konsekwensi yang harus dilakukan oleh negara-negara yang menjual karbon mereka. Pendahuluan 1
  • 2. Munculnya isu perdagangan karbon internasional dilatar belakangi adanya “Global Warming” (Pemanasan Global), sebagai efek rumah kaca, sebagaimana yang disepakati pada Protokol Kyoto, 1997. Emisi (hasil buangan) industry merupakan sumber kerusakan utama bagi terbentuknya karbon di atmosfir yang menyebabkan pemanasan global. Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi “Protokol Kyoto” yang artinya kita juga ikut didalam kegiatan penurunan emisi dan mekanisme pembangunan bersih (MPB), termasuk negara yang memiliki besar didalam perdangan karbon internasional. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar sektor energi memiliki potensi penjualan karbon hingga 60 juta ton, sedangkan sektor kehutanan memiliki potensi hingga 28 juta ton, dan diperkirakan setiap tahunnya Indonesia dapat menjual 20.000 ton karbon. Jika saat ini harga pasaran karbon di dunia internasional mencapai USD 5-6 per-ton, maka Indonesia dapat meraup keuntungan hingga USD 528 juta. Perdagangan Karbon Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan yang sudah distandardisasi. Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon). 2
  • 3. Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka menjual emisi mereka yang telah dikurangi kepada emitor lain. Perdagangan karbon tidak hanya terbatas pada mekanisme sekuestrasi, tetapi juga adanya teknologi-teknologi baru yang bersifat mengurangi emisi, seperti kegiatan yang dilakukan dalam rangka mekanisme pembangunan bersih. Salah satu proyek yang dilakukan di Aceh yaitu kompor gas tenaga surya. Proyek ini menyediakan 1.000 unit kompor gas tenaga surya, dimana proyek ini diharapkan mampu mengurangi CO2 sebesar 3.500 ton/tahun. Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO2 ini yang diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan asumsi 4 – 6 USD untuk setiap ton karbon. Peran Hutan dalam Perdagangan Karbon Hutan kita yang dikenal sebagai “paru-paru dunia” karena masuk dalam hutan tropis, dimana secara fisika dalam proses fotosintesis hutan menghasilkan O2 dan menyerap CO2, merupakan siklus penting bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di dunia. Fungsi hutan disini sebagai penyerap buangan atau emisi yang dikeluarkan dari aktifitas maskhluk hidup secara keseluruhan yakni CO2, sehingga keseimbangan dapat terjaga. Berkaitan dengan fungsi hutan tersebut, muncullah paradigm baru akan manfaat hutan yang berperan didalam penyimpanan karbon. 3
  • 4. Disebutkan bahwa biomas pohon dan vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini. Mekanisme baru yang muncul dalam perdagangan karbon berkaitan dengan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi “sequestration” (penyimpanan sejumlah besar karbon). Lalu muncul pertanyaan hutan yang seperti apa yang layak untuk dilakukan kompensasi. Mendasari Protokol Kyoto dengan mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih, Pemerintah telah memberikan batasan kriteria hutan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 14 Tahun 2004, tentang Tata Cara Aforestasi Dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih menyebutkan bahwa hutan dalam rangka mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih adalah ; 1. Luas hutan minimal 0,25 Ha 2. Posentase penutupan tajuk 30 % 3. Tinggi pohon minimal 5 meter Indonesia dengan luasan hutan yang cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon, tentunya merupakan peluang besar untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh negara-negara yang membeli sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah layakkah nilai yang ditawarkan dari kompensasi perdagangan karbon tersebut dengan nilai kemanfaatan yang diperoleh Indonesia atas kompensasi tersebut. 4
  • 5. Kelayakan Kompensasi Perdagangan Karbon WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), beberapa waktu yang lalu menggelar unjuk rasa di Denpasar Bali dalam rangka menentang perdagangan karbon yang bakal dibicarakan pada Kovensi Perubahan Iklim di Nusa Duas Bali. Bahkan sebuah sepanduk menuliskan “Hutan Kami bukan untuk negara-negara maju”. Menurut Koordinator WALHI Bali Sri Widihiyanti, langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi emisi dari negara-negara maju. Kenyataan yang ada bahwa Amerika dan Australia menentang cara-cara penurunan emisi dan menawarkan solusi dalam bentuk perdagangan karbon ini. Tanpa penurunan emisi, perdagangan karbon tidak akan mampu menurunkan iklim global yang kini telah mencapai 0,6 derajat celsius, karena 85 % dari total emisi dunia berasal dari negara-negara maju. WALHI sangat menyesalkan bila pemerintah Indonesia melanjutkan rencana untuk menjual hutan tropis Indonesia seluas 91 juta hektar untuk penyerapan karbon dengan harga 5 – 20 dollar, yang tidak sebanding dengan bencana ekologis yang telah dan akan kita alami, meskinya negara maju memberikan kompensasi atas semua bencana itu. Merujuk kepada fenomena yang terjadi di atas, maka perlu dikaji lebih lanjutan tentang kesiapan Indonesia sendiri didalam menghadapi kebijakan tentang perdagangan karbon ini. Jika dilihat secara umum, bahwa negara-negara berkembang sangat banyak sekali dihadapkan oleh permasalahan dalam negeri mereka, walaupun selama ini negara maju telah konsen akan kemajuan negara berkembang. Di Indonesia sendiri banyak hal yang perlu dipersiapkan antara lain pembenahan aturan-aturan yang baku terhadap perdagangan karbon ini. 5
  • 6. Wacana perdagangan karbon ini lebih dapat dilakukan pada kondisi ekonomi yang stabil, dimana kondisi masyarakat secara umum telah sejahtera. Sebagaimana penelitian tentang kompensasi karbon yang dilakukan di Costa Rika, bahwa pemilik lahan yang berhutan mendapat kompensasi, atas hutan yang mereka miliki dan berkewajiban melindunginya. Namun dari penelitian ini menyebutkan, bahwa model ini cocok di terapkan di negara dengan penduduk yang tingkat kesejahteraannya tinggi, dimana mereka mempunyai modal yang cukup tinggi untuk merawat hutan. Sementara itu untuk di negara miskin atau negara yang berkembang, model ini kurang efektif untuk diterapkan, dimana modal yang mereka gunakan lebih banyak kepada pembangunan ekonomi, dan cenderung hanya sedikit untuk pembangunan hutan. Bahkan kecenderungan yang ada yaitu pemanfaatan hutan untuk modal dalam pembangunan. Gambaran itu terlihat dari bentuk-bentuk proyek penghutanan yang ada, belum mencapai sasaran karena beberapa kendala, termasuk didalamnya adalah modal. Perlu digaris bawahi bahwa didalam kegiatan penghutanan bukan hanya penanaman, tetapi juga pemeliharaan, pengamanan dan lain-lain yang membutuhkan dana tidak sedikit. Padahal bentuk-bentuk kegiatan juga telah dibantu oleh pihak-pihak luar yang konsen terhadap pelestarian hutan di Indonesia. Beberapa hal yang menyebabkan kurang efektifnya sistim perdagangan karbon ini diterapkan di Indonesia terlepas dari nominal harga yang ditawarkan antara lain adalah ; 6
  • 7. 1. Kesiapan kelembagaan untuk mengkoordinir alokasi dana yang dikompensasikan. Harapan dari kompensasi ini adalah dana tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga mengurangi akses mereka terhadap hutan. 2. Kesiapan regulasi yang mengatur secara detail mulai dari tata ruang wilayah, sampai kepada sistim pembagian kompensasi yang diperoleh. 3. Status kawasan hutan yang masih tumpang tindih juga merupakan permasalahan perlu dibenahi terlebih dahulu. 4. Moralitas seluruh elemen yang terkait dengan penggunaan dana kompensasi, dimana misi yang akan dicapai adalah bagaimana masyarakat dapat hidup sejahtera dengan jalan peningkatan ekonomi masyarakat tersebut, sehingga mengurangi dampak kegiatan mereka terhadap hutan, yang selama ini termasuk salah satu kendala terjadinya degradasi hutan. Namun jika kondisi Indonesia sudah lebih stabil, dalam artian baik ekonomi maupun SDM yang ada telah siap, maka kompensasi yang ada sah-sah saja dengan pertimbangan ; 1. Tanpa kompensasi tersebut, sudah merupakan kewajiban kita untuk menjaga lingkungan dalam hal ini kelestarian hutan dengan melihat secara ekofeminimisme, bukan anthroposentris. 2. Kompensasi tersebut merupakan tambahan modal bagi Indonesia didalam pembangunan ekologi, sementara modal yang tadinya dialokasikan untuk pembangunan lingkungan dapat dialihkan untuk tujuan memperkuat sektor ekonomi, tanpa harus mengorbankan sumberdaya alam yang ada. 7
  • 8. Secara global dapat dikatakan, mampukah dengan dana kompensasi itu negara-negara berkembang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dengan tetap eksis didalam mempertahankan hutan mereka. Sehingga jangan sampai kata-kata yang ditulis oleh WALHI dalam unjuk rasa bahwa “Negara-negara Berkembang adalah toilet bagi negara-negara maju”. Jika ini terjadi, maka kesenjangan akan semakin terasa, dan tingkat ketergantungan terhadap negara-negara maju semakin tinggi. Sebagai wacana bahwa aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (kalimantan), kerjasama Gibon Indonesia dan BOS (Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana terdapat areal hutan seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan luasan hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan karbon ini. Namun secara lebih mendalam sebagai renungan dapat dikatakan bahwa perdagangan karbon adalah bentuk penindasan dan pengekangan negara-negara maju, dimana negara-negara berkembang tidak bisa membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi, karena karbon yang mereka punya telah dijual untuk negara-negara maju dan itu membuat ketergantungan industri terhadap negara maju. Padahal nilai kompensasi itu tidak berarti apa-apa bagi mereka dengan keuntungan yang dihasilkan dan dijual kembali kepada negara-negara berkembang. Inilah yang mungkin disebut kebohongan negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang. Kesimpulan dan Saran 8
  • 9. Berdasarkan hal-hal diatas, penulis memandang nominal kompensasi diperhitungkan dengan bentuk pemulihan (restorasi) kondisi hutan yang ada secara umum, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga kompensasi yang diberikan benar-benar mencapai sasaran. Pemerintah juga tidak lagi tergantung kepada sumberdaya hutan sebagai modal pembangunan. Sudah banyak program-program yang diusulkan oleh negara-negara maju baik mengatasnamakan kesejahteraan umat manusia, sampai kepada perdamaian dunia, namun hanya sebatas tameng bagi negara- negara maju untuk menamcapkan imperialis modern mereka terhadap negara-negara miskin dan negara-negara berkembang. Daftar Pustaka .................. 2006. The Carbon Trade. BBC News, Download Internet Hasan, Rofiqi. 2007. WALHI Tolak Perdagangan Karbon, Tempo. Download Internet ................ 2007. Gagasan Perdagangan Kabon, Dephut. Download Internet Marsono, Joko. 2007. Bahan Kuliah Konservasi Ekositim, MKSDAL, Pascasarjana, Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. 9