Dokumen tersebut membahas tentang Syariah, Fikih, dan Hukum Islam. Syariah berasal dari Allah sebagai pedoman kehidupan umat Islam, Fikih merupakan interpretasi hukum Syariah oleh ulama berdasarkan ijtihad, sedangkan Hukum Islam adalah perundang-undangan yang lebih statis yang mengatur kehidupan umat Islam. Dokumen ini juga membahas tentang peranan akal dan wahyu dalam pembentukan hukum Islam, di mana wahyu
1. A. Antara Syari’ah, Fikih dan Hukum Islam
1. Syari’ah Islam
Bangsa Arab mengartikan “jalan lurus yang harus dituntut”. Masyarakat Indonesia
banyak berucap “syareat, syariat, syaringat, dan syariah”. Menurut Manna’ al
Qathan, syari’ah adalah “segala ketentuan Allah yang diisyaratkan bagi hamba-hamba-
Nya, baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.
Syariah Islam (Arab: إسلامية شريعة Syariah Islamiyyah) adalah hukum atau
peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain
berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh
kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan
panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan
kehidupan dunia ini1.
Dapat disimpulkan bahwa Syari’ah itu identik dengan agama (din/millah)2.
2. Fikih Islam
Menurut bahasa kata Fiqh berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan
baik”. Menurut para ulama seperti al-Jurjani “hukum-hukum syariat yang
menyangkut praktek keagamaan (amaliyah) dengan dalil-dalilnya yang terperinci
(tafshili).
Fikih tetap bukan hukum syariat. Fikih adalah hasil ijtihad yang dicapai oleh
seseorang pakar dalam usahanya menemukan hukum Tuhan. Fikih merupakan
intepretasi terhadap hukum syariat.Sifat intepretasi ini merupakan
dugaan/hipotesis sehingga fikih bisa terikat dengan situasi dan kondisi serta
senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat.
3. Hukum Islam
Menurut bahasa “hukm” berarti halangan, keputusan, dan pemisahan. Menurut
istilah hukum didefinisikan secara berbeda oleh para ulama Sunni dan Mu’tazilah.
Bagi ulama Sunni hukum ialah “titah Allah yang berkaitan dengan orang yang
berakal dan dewasa melalui tuntutan (al-iqtidla’), pilihan (al-takhyir), dan
1 http://penaraka.blogspot.com/2012/12/akal-dan-wahyu-dalam-islam.html
2 Tim MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya:UIN Sunan Ampel Press, 2013), 37
2. penentuan sebab, syarat dan penghalang hukum (al-wadl’). Sedangkan menurut
ulama Mu’tazilah “ sesuatu yang ditetapkan oleh Allah dalam bentuk perbuatan
yang sesuai dengan apa yang ada dalam sifat akal, karena teks Al-Quran dan Al-
Sunnah berfungsi sebagai pembuka rahasia hukum dan akal bebas untuk
mendapatkannya. Oleh karena itu hukum islam adalah hukum perundang-undangan
Islam.
4. Hubungan Syariah,Fikih dan Hukum Islam
Syariah merupakan syariat yang berasal dari Allah, kemudian para ulama
berijtihad sehingga muncullah Ilmu Fikih yang juga berpedoman pada Syariah,
karena sifat Fikih berubah-ubah (dinamis) mengikuti perkembangan jaman ,
waktu dan kondisi kemudian muncul Hukum Islam yang lebih statis dan mengikat
sehingga bisa dijalankan seluruh kalangan. Ketiganya saling berkaitan karena
ketiganya memilki fungsi yang saling berpengaruh satu sama lain.
B. Klasifikasi Hukum Islam
1. Bidang Ibadah (Ritual)
Kata Ibadah berasal dari tiga huruf asal, yaitu ‘ain, ba’ dan dal, dari ketiganya
lahir makna pengabdian, penyembahan, letaatan, merendahkan diri , dan doa.
Menurut hukum islam ibadah dibagi menjadi dua bentuk yaitu, Bentuk pertama
adalah ibadah dalam pengertian yang luasdalam hal ini sikap dan tindakan
manusia ditujukan untuk tunduk kepada Allah swt. Bentuk kedua yaitu dalam
pengertian yang sempit, hukum islam menunjuk pada perbuatan ritual sebagai
ibadah. Perbuatan ini murni ditujukan kepada Allah swt, jika ada tujuan lain maka
itu menjerumuskan kedalam kemusyrikan.
Ada lima syarat agar perkataan dan perbuatan manusia dinilai sebagai ibadah ,
Pertama tidak bertentangan dengan syariat islam, Kedua dilandasi dengan niat
yang suci dan ikhlas, Ketiga membawa kebaikan, Keempat tidak mengandung
kerusakan dan bahaya, Kelima tidak menghalangi kewajiban agama.
Banyak perbedaan yang dikemukakan para ulama namun apapun perbedaan
tersebut tetap harus memiliki dasar yang bersumber dari Nabi. Ibadah tanpa dasar
tidak boleh dilaksanakan. Dalam suatu kaedah Fikih “Pada dasarnya, hukum
pelaksanaan ibadah itu haram hingga ada dasar yang memperbolehkannya”.
3. 2. Bidang Mu’amalah (Sosial)
Ada lima level kategori hukum Islam dalam penerapannya :
a. Hukum Privat seperti hukum nikah, cerai, wakaf dan sodaqah.
b. Aturan masalah ekonomi seperti perbankan, dan bisnis lainnya.
c. Praktik keagamaan dalam arena publik seperti keharusan perempuan memakai
jilbab, larangan minum alkohol, judi dan praktik kehidupan lain yang tidak
sesuai dengan standar moral Islam.
d. Kriminal Islam seperti hudud.
e. Menggunakan Islam sebagai dasar negara.
Selain hubungan manusia dengan Allah , manusia juga memiliki hubungan
dengan makhluk Allah, hubungan ini disebut mu’amalah. Seperti hubungan antar
manusia, hubungan manusia dengan hewan, hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan
serta alam semesta. Semua terfokus kepada manusia maka hukum Islam
bersifat Antroposentris3.
Dibidang sosial hukum Islam juga memberikan petunjuk prinsip maupun
teknis. Petunjuk prinsip bersifat universal , seperti keadilan, musyawarah,
persamaan derajat dan sebagainya. Petunjuk teknis hanya dikemukakan untuk
beberapa kasus seperti, pembagian harta pusaka, beberapa ketentuan dalam
pernikahan, dan beberapa sanksi kasus pidana.
C. Peranan Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam
1. Wahyu Diatas Akal
Perbandingan wahyu dan akal berarti perbandingan Allah dan manusia, tentu
saja perbandingan yang tidak seimbang atau tidak bisa dibandingan sama sekali.
Wahyu pasti benar (kebenaran mutlak), dan akal belum tentu benar (kebenaran
relatif/nisbi).
Wahyu itu tunggal sedangkan akal beragam, akal manusia berbeda antara satu
dengan yang lain. Namun manusia selalu mencari kebenaran atas pemikirannya,
semakin banyak dukungan dari akal yang lain maka posisi pemikiran tersebut
semakin kuat, karena melibatkan manusia yang lain maka kebenaran ini disebut
kebenaran sosiologis.
3 Tim MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 56
4. Imam Syafi’i menyatakan bahwa Kebenaran itu tunggal (al-haqq wahid).
2. Akal di Atas Wahyu
Asumsi dasar peranan akal adalah kesejerahan manusia, peranan penting
dalam perubahan sosial adalah akal manusia. Akal memiliki hukum logika dalam
menemukan kebenaran hukum. Setidaknya ada empat teori kebenaran akal :
a. Teori Korespondensi
Sesuatu itu dianggap benar apabila sesuai dengan fakta atau realitas.
b. Teori Koherensi
Melihat kebenaran dari konsistensi suatu pernyataan dengan kebenaran
sebelumnya.
c. Teori Pragmatisme
Memandang kemanfaatan sebagai ukuran kebenaran.
d. Teori Performatif
Suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas.
Kaum rasionalis menggunakan metode rasional untuk menjawab kasus hukum
yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Quran. Dengan begitu kaum
rasionalis meyakini kebaikan dan keutamaan akal. Pemikiran kaum diatas ridak
lepas dari kelemahan yaitu relativitas kebenaran hukum. Semua orang berhak
dianggap benar (kullu mujtahid mushib).
3. Keseimbangan Akal dan Wahyu
Dilihat dari sumbernya, akal dan wahyu sama-sama berasal dari Allah untuk
menjadi pedoman hidup umat. Begitu pula, pemikiran akal juga merupakan ilham
yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Meski wahyu berada diatas akal,
namun wahyu tidak menjelaskan semua kehidupan secara terperinci. Penjelasan
terperinci ini merupakan wilayah akal. Wahyu tidak bisa dipahami tanpa peranan
akal, tidak ada wahyu yang menyulitkan akal untuk memahaminya. Jika ada
pernyataan wahyu yang dianggap tidak masuk akal, maka hal yang benar adalah
akal belum mampu menjelaskannya.
Kebenaran akal juga sulit dipercaya tanpa ada wahyu, tujuan dari kebenaran
adalah kepercayaan. Asumsi diatas menunjukkan bahwa kedudukan wahyu dan
akal adalah setara, saling membutuhkan satu sama lain dan keduanya berasal dari
5. satu sumber yaitu Allah swt. Jadi keunggulan wahyu tergantung pada kejelasan
maksud pernyataan wahyu. Semakin jelas suatu pernyataan, wahyu semakin
unggul atas akal. Semakin samar suatu pernyataan akal dapat lebih dominan
dibanding wahyu.