1. Aa Sekilas Tentang A. Hasan
A.Hasan lahir di singapura tahun 1887 Ia terlahir hasil pernikahan Ahmad dengan Muznah.
Mereka menikah di Surabaya, ketika Ahmad sedang melakukan perjalanan perdagangannya di
kota dagang itu. Usai menikah, Ahmad memboyong Muznah ke Singapura. Meski lahir di
Surabaya, Muznah berasal dari Palekat, Madras.
Selain berdagang, Ahmad adalah seorang wartawan. Ia adalah pemimpin koran Nurul Islam yang
terbit di Singapura. Ahmad ahli dalam bahasa dan agama, dan ia tak jarang terlibat perdebatan
mengenai dua soal itu. Di dalam surat kabarnya, Ahmad mengasuh rubrik tanya jawab.
Ibarat pepatah, “Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.” Begitu pula dengan Hassan, rupanya,
juga mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Sejak usia 7 tahun, Hassan sudah belajar Al-Quran dan
ilmu-ilmu agama. Lalu, ia masuk sekolah Melayu, dan belajar bahasa Melayu, Arab, Inggris, dan
Tamil. Dengan ilmu alat itulah Hassan secara otodidak memperdalam agama, seperti Fara’id,
Fiqh, Mantiq, Tafsir, dan lain-lainnya.
Secara formal, Hassan tak pernah bernar-benar menamatkan pelajarannya di sekolah dasar yang
ditempuhnya di Singapura itu. Soalnya, di usia 12 tahun, Hasan sudah ikut berdagang, menjaga
toko milik iparnya, Sulaiman. Sambil berdagang, Hassan memperdalam ilmu agamanya pada
Haji Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road untuk belajar ilmu Nahwu dan
Saraf.
Ketika usianya masih remaja, Hassan sudah mencari nafkah, dari pelayan toko sampai membuka
vulkanisir ban. Setelah ilmunya dirasa cukup, pada tahun 1910, Hassan mengajar di di
madrasah, dari tingkat Ibtidaiyah sampai Tsnawiyah.
Pada tahun 1912, Hassan bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press.
Hassan menulis artikel yang berisikan nasihat-nasihat, mengajak pada kebaikan, dan menjauhi
kemunkaran. Tidak jarang, Hassan menulis dalam bentuk puisi yang cukup menggelitik dan
menyentuh.
Dalam perkembangannya, tulisan Hassan mulai menemukan bentuknya. Yakni, punya sikap yang
tegas terhadap persoalan yang, menurut dia, masuk ke wilayah prinsip. Hassan, misalnya,
mengecam keras terhadap Qadli (hakim) yang memeriksa perkara dan mengumpulkan antara
pria dan wanita di tempat duduk yang sama. Di surat kabar ini, Hassan bekerja sampi tahun
1916.
Suratan takdir Hassan rupanya tidak hanya mukim di Singapura. Pada tahun 1921, Hassan
berangkat ke Surabaya, mengelola toko milik paman yang sekaligus gurunya, Abdul Lathif.
Sebelum berangkat, Abdul Lathif berpesan pada sang keponakan, jangan bergaul dengan Faqih
Hasyim yang dianggap sesat karena berfaham Wahabi.
2. Rupanya, di Surabaya, waktu itu, sedang terjadi konflik antara kaum tua dengan kaum muda
yang dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pedagang yang sekaligus pendakwah. Fakih
Hasyim, yang berasal dari Padang itu, menggunakan rujukan dari buku-buku yang dikarang oleh
Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Zainuddin Labay –ketiganya asal Sumatera—dan
Ahmad Soorkati, ulama asal Sudan yang mukim di Jakarta (dulu masih bernama Batavia).
Hassan datang ke Surabaya, awalnya, semata-mata hanya sebagai pedagang. Ia tinggal di rumah
pamannya yang lain, Abdullah Hakim. Suatu hari, sang paman meminta agar Hassan menemui
KH A Wahab Hasbullah. Belakangan, Kiai Wahab menjadi terkenal karena ia adalah salah
seorang pendiri Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Dalam pertemuan itu, Kiai Wahab bertanya pada Hassan, hukum membaca ushalli. “Pak kiai,
ushalli itu hukumnya sunnat,” jawab Hassan.“Dasarnya apa?” pak Kiai kembali bertanya.“Kalau
itu, bisa dicari di kitab mana pun,” jawab Hassan. Dalam benaknya, Hassan bertanya-tanya,
masalah yang ringan seperti ini kok ditanyakan?
Rupanya, Kiai Wahab sedang menjajagi Hassan. Pak kiai juga menyampaikan pada Hassan,
bahwa di Surabaya, sedang terjadi “perang dingin” antara kaum tua dengan kaum muda. Kiai
Wahab lalu meminta Hassan untuk mencari dalil-dalilnya di dalam Al-Quran dan hadits. Hassan
minta waktu sehari. Ia semalaman mencari dalillnya ushalli di kitab-kitab Sahih Bukhari-
Muslim, juga ayat-ayat Al-Quran. Ternyata, masalah ushalli tak ditemukannya. Hassan akhirnya
sampai pada kesimpulan, bahwa pandangan kaum muda ada di jalur yang benar. Maka, ia pun
bersahabat dengan Faqih Hasyim yang mewakili golongan muda.
Hassan masuk Persis tatkala ormas Islam ini berusia 3 tahun. Dan rupanya, ia segera populer di
kalangan kaum muda yang progresife. Tahun tahun berikutnya, Hassan identik dengan Persis,
begitu pula Persis, identik dengan Hassan.
Sepanjang hidupnya, Hassan mempunyai seorang istri, Maryam, yang dinikahinya di Singapura
pada tahun 1911. Maryam adalah seorang peranakan Tamil-Melayu, dari keluarga yang taat
berpegang pada agama. Dari pernikahannya ini, pasangan Hassan-Maryam punya 7 anak, satu di
antaranya, Abdul Qadir Hassan, yang juga penerus ayahnya. Pada tahun 1940, Hassan pindah ke
Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Persis. Pada 10
November 1958, Hassan menghadap pada-Nya.
Ahmad Soorkati, ulama asal Sudan yang juga pendiri jamiyah Al-Irsyad itu, memberi komentar
tentang Ahmad Hassan, “Sebagai seorang yang terpelajar, mempunyai tingkatan tauhid yang
tinggi, dan seorang pembela agama Allah yang selalu berjuang menghindarkan umat Islam dari
kesesatan.”
Sebagai manusia, Hassan punya batasan usia. Ia telah tiada. Tapi, semangat pemurnian Islam
yang dikumandangkannya, dan ilmu yang diwariskannya, tak pernah pudar.Selain buku Soal-
Jawab dan at-Tauhid yang sangat terkenal itu, Hassan juga menulis tentang Pemerintahan Cara
3. Islam, ABC Politik, Islam dan kebangsaan, dan Merebut Kekuasaan. Buku Soal-Jawab,
misalnya, merupakan rujukan bagi persoalan hidup sehari-hari, dari masalah fikih, akhlak,
sampai akidah.
Selama ini, ada kesan, bahwa Hassan berperangai keras dan kritikannya tajam menghujam,
seakan tidak melihat kondisi psikologis orang yang dikritiknya. Tapi, kesan itu akan sirna ketika
mereka melihat Hassan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang ternyata sangat lembut, baik
ucap maupun geraknya.
Analisis Metodologi Tafsir Al-Furqaan Karya A.Hasan
Profil Kitab Tafsir Al-Furqaan.
Penulisan tafsir Al-Furqan berlangsung berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Terbagi
kedalam empat edisi penerbitan sampai sekarang. Edisi pertama diterbitkan pada tahun 1928,
akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi
sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat Islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan
desakan anggota Persatuan Islam, edisi ke dua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada tahun 1941,
namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab
tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa'ad Nabhan
hingga akhirnya tulisan Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan
dapat diterbitkan pada tahun 1956, yang kemudian tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali
diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan Universitas al-Azhar Indonesia, dalam satu
jilid.
Metode penerjemahan tafsir al-Furqan ini menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan
kata demi kata, kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan
secara harfiah, akan tetapi penulis menggunakan metode maknawiyah. Selanjutnya ia
memberikan kesimpulan bahasan pada setiap akhir surat.
Tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan
Universitas al-Azhar dalam satu jilid.
Metodologi Penafsirannya
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa metode tafsir yang dipakai A. Hassan adalah
metode harfiyah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak
memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode
maknawiyah. Seperti perkataan beliau yang kami kutip dari muqadimah kitab Al-Furqan cetakan
4. Pustaka Mantiq yang bekerja sama dengan Universitas A-Azhar Indonesia Cetakan 2006,
"Dalam menerjemahkan ayat, sedapat mungkin saya lakukan pad setiap kata. Jika cara itu tidak
dapat dilakukan, baru saya menerjemahkan suatu kata dengan melihat maknanya, karena
menurut saya, cara itu akan berguna bagi orang yang teliti dalam melihat tejemahan." Hal ini
dilakukan oleh penulis dengan maksud berusaha mempertahankan sepenuhnya nuansa teks asli
dalam terjemahnya. Akan tetapi metode ini pula diakui oleh beliau tidak menghasilkan
terjemahan yang mudah difahami oleh setiap orang yang membacanya, dan tidak begitu sejalan
dengan kaedah-kaedah bahasa Indonesia. Sehingga dalam beberapa hal beliau menerjemahkan
secara maknawiyah.
Contoh penerjemahan beliau ketika menerjemahkan secara maknawiyah, seperti ketika beliau
menerjemahkan 'qaala lahu'. Ketika diterjemahkan kata perkata berarti 'dia berkata baginya', tapi
beliau menerjemahkan 'dia berkata kepadanya'. Contoh lain 'aamanaa billaahi', biasanya
diterjemahkan 'dia percaya dengan Allah', tetapi beliau terjemahkan 'dia percaya kepada Allah'.
Dalam penerjemahan ayat-ayat al-Qur'an, A. Hasan memberikan tekanan yang berbeda. Seperti,
menurut bahasa Arab, frasa al-hamdu lillaahi diterjemahkan dengan 'segala puji (hanya milik)
Allah, Tuhan semesta alam', tetapi Lillaahil-hamdu diterjemahkan 'kepunyaan Allah-lah segala
pujian'. Na'buduka diterjemahkan 'kami menyembah-Mu' tapi iyyaka na'budu diterjemahkan
'hanya Engkaulah yang kami sembah'. Huwa samii'un diterjemahkan 'Dia Yang Mendengar',
tetapi huwa samii'u diterjemahkan Dialah Yang Maha Mendengar'.
Adapun jika kita lihat, sebenarnya metode penerjemahan harfiyah ini merupakan bagian dari
pada metode ijmali (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-
ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas
setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan
dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada
pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian
singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang
memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan
tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga
masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh
dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode
ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan
metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
5. Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan
metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili (analitis). Mekanisme penafsiran
dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi
surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari
awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam
metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara
lain :
1. Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh
Menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
2. Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
3. Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun
tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai
pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat
urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal :
a. peristiwa
b. pelaku, dan
c. waktu.
6. 4.Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan
dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in
maupun tokoh tafsir
Keistimewaan Metodologi Ijmaly
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak
mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak
berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali
memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an
sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode tematik. Kedua metode
tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara metode ijmali tidak sepopuler kedua
metode tersebut. Adapun keistimewaannya dapat kita lihat dari cirri-ciri khas metode ijmali,
antara lain:
Petama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan
upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode
komparatif (muqaran) dan metode maudhu’I (tematik).
Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat
tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan
penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga
membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas,
terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai
mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang
ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.
7. Analisa Terhadap Tafsir Al-Furqaan
Dalam menganalisa tafsir Al-Furqaan alangkah baiknya jika kita mencoba memahami definisi
dan perbedaan Tafsir, Ta'wil dan Terjemah
Definisi Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan "taf'il," artinya menjelaskan, menyingkap dan
menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan "dharaba-yadhribu" dan
"nashara-yanshuru." Dikatakan: "fasara asy-syai'a yafsiru" dan "yafsuru, fasran," dan
"fassarahu," artinya "abanahu" (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul 'Arab dinyatakan kata "al-fasr"
berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata "at-tafsir" berarti menyingkapkan maksud
suatu lafadz yang musykil .
Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, "Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafadz-lafadzn Al-Qur'an, indicator-indikatornya, masalah hokum-hukumnya baik yang
independent maupun yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya.
Menurut Az-Zarkasyi, "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada
Muhammad, Menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hokum dan hikmah-
hikmahnya."
Definisi Ta'wil
Adapun ta'wil berbeda dengan tafsir. Menurut ulama salaf, ta'wil mengandung dua pengertian,
yaitu:
1. Ta'wil ialah mena'wilkan kalamullah dan menjelaskan pengertiannya, baik sesuai dengan
makna dzahir dan bertentangan. Maka menurut pendapat ini kata ta'wil muradif (sinonim)
dengan kata tafsir.
2. Ta'wil ialah maksud kalimat itusendiri, jika kalimat itu menunjukan tuntutan (perintah atau l
8. arangan), maka takwilnya adalah perbuatan yang ditntut itu. Jika kalimat itu berupa
khabar, maka takwilnya adalah sesuatu yang diberitaka itu.
Adapun menurut ulama mutaakhirin, para ahli fiqih, ahli ilmu kalam, ahli hadits dan ahli ilmu
tasawuf, takwil adalah memalingkan lafaz dari makna yang rajah kepada makna yang marjuh
karena ada dalil yang menghendaki.
Perbedaan antara tafsir dengan ta'wil, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani ialah tafsir itu lebih
umum dari pada ta'wil. Kebanyakan penggunaan tafsir itu dalam lafadz, sedangkan ta'wil dalam
makna menafsirkan mimpi. Kebanyakan ta'wil itu dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan,
sedangkan tafsir dipergunakan dalam kitab-kitab Tuhan lainnya. Kebanyakan tafsir dipergunakan
dalam mufradat lafadz. Ta'wil itu kebanyakan dipergunakan dalam kalimat-kalimat.
Definisi Terjemahan
Menurut bahasa terjemah artinya memindahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain (alih
bahasa). Sedangkan menurut istilah adalah mengungkapkan pengertian kalimat dalam suatu
bahasa dengan kalimat bahasa lain lengkap dengan seluruh pengertian dan maksud-maksudnya.
Dalam kaitannya dengan istilah menterjemah Al-Qur'an, Az Zurqany membaginya kae dalam
dua bagian, yaitu:
Terjemah harfiyah, yaitu terjemah yang susunan dan urutan-urutan katanya selalu terpelihara,
sehingga menterjemah itu sama dengan sama dengan meletakan kata-kata persamaan (sinonim)
dengan sinonimnya (ke dalam bahasa baru). Sebagian orang menyebut terjemahan ini dengan
terjemah lafdziah (leterlijkl) dan sebagian orang menyebutnya dengan musawiyah.
Menurut Alwi bin As-Syayyid Abbas, bahwa terjemahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata
persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah
terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.
b. Terjemah harfiyah bi duunil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan kata
9. persamaan dari bahasa yang baru, dengan memperhatikan urut makna dan rahasia sastra
di bawah kemampuan bahasa yang baru dan kemampuan orang yang menterjemahkan.
c. Terjemah tafsiriyah/maknawiyah, yaitu terjemah yang tersusun dan urutan-urutan kata-
katanya tidak terpelihara. Yang dipentingkan ialah baiknya pengertia-pengertian dan
tujuan-tujuannya secara sempurna. Oleh karena itu disebut juga dengan terjemahan
maknawiyah. Dan disebut tafsiriyah karena baiknya pengertian dan tujuan dari pada kalam
sehingga menyerupai tafsir, namun bukan tafsir.
Makna Metode Terjemah Harfiyah dalam Al-Furqaan
Metode terjemah harfiyah di sini maksudnya adalah seperti sebagai berikut:
Qur’an ketika masih dalam bentuk Arabnya, seperti yang bisa ditemui dalam mushaf, merupakan
wujud awal yang berasal dari bahasa Allah sebagai Tuhan. Namun, setelah Qur’an itu
diterjemahkan, Qur’an dalam bentuk yang kedua ini merupakan hasil ijtihad seorang manusia
yang mencoba memahami dan mengalih bahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia. Di
sinilah kerja penerjemah mempunyaai kesamaan yang asasi dengan kerja penafsir. Dimana
seseorang harus menggunakan ijtihad dalam menerjemahkan suatu ayat dalam hal memilih
makna yang tepat, seperti halnya dalam terjemah maknawiyah yang disebut juga terjemahan
tafsiriyah. Sehingga kemungkinan dengan adanya penerjemahan maknawiyah ini lah yang
menyebabkan al-Furqaan dikatakan sebagai kitab tafsir.
Satu sisi bahasa Arab terlalu kompleks untuk dimaknai dengan bahasa Indonesia, yang pada
banyak bagian masih terbatas dalam memberikan padanan terhadap konsep kata dalam bahasa
Arab. Sebagai contoh kata خوفdan kata , خشيةyang keduanya dalam bahasa Indonesia
diartikan ‘takut’. Padahal, masing-masing mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda. Kata
10. خشيةmempunyai nilai cakupan semantik lebih tinggi daripada kata .خوفKata خشية
mengandung arti ‘rasa takut yang besar bercampur baur dengan rasa hormat, meskipun orang
yang takut itu adalah orang kuat’, sedangkan kata خوفlebih berarti ‘ketakutan yang disebabkan
oleh ketakutan orangnya, meskipun sesuatu yang ditakuti itu bukanlah hal yang layak untuk
ditakuti’.
Oleh karena itu makna harfiyah dalam al-Furqaan adalah pengalihan bahasa yang
mengindikasikan kepada tafsiran ayat dengan metode pemilihan arti kata yang sesuai dan
mengena untuk menghasilkan makna yang dapat dimengerti.
Tafsir Al-furqaan Lebih Cenderung Sebagai Terjemah Al-Qur'an
Ketika melihat tafsir Al-Furqan, dan membuka lebaran-lembarannya, maka kesan awal yang
tersirat adalah bahwa itu sebuah kitab terjemah Al-Quran, bukan kitab tafsir. Karena tidak ada
kesan seperti kitab tafsir pada umumnya. Al-Furqaan seperti terjemah Al-qur'an sebagaimana
terjemahan yang lainnya, yang dibubuhi dengan catatan kaki. Itupun tidak semua surah ada
catatan kakinya, bahkan ada surah yang sama sekali tidak ada catatan kakinya, seperti surah
Quraisy. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lainnya, dimana penjelasan atas suatu ayat
terurai panjang dengan menyertakan dalil-dalilnya, baik tafsir itu ma'tsur ataupun ra'yi, seperti
halnya tafsir Ibnu Katsir, tafsir Hamka dan lainnya.
Seperti diurai diatas, tafsir dan terjemahan berbeda secara definisi dan juga penempatannya. Jika
tafsir adalah mengurai makna-makna. hukum-hukum, dan hikmah-hikmahnya, sementara
terjemah hanyalah sebatas memindahkan bahasa Al-Qur'an ke dalam bahasa-bahasa lainnya.
Adapun metode harfiah yang dimaksud adalah metode dalam penerjemahan, bukan dalam
penafsiran. Seperti yang telah diurai di atas, dalam penerjemahan ini A. Hasan cenderung
memakai metode terjemah harfiyah dan kemudian ada beberapa bagian yang diterjemahkan
secara maknawiyah. Jika dikatakan Al-Furqaan adalah tafsir, maka yang jadi pertanyaan adalah,
apa metode yang dipakai? Perhatikan dengan seksama tentang catatan-catatan yang A. Hasan
bubuhkan pada al-furqaan. Catatan –catatan tersebut singkat dan hanya menjelaskan maksud ayat
yang kurang jelas secara singkat dan umum. Melihat dari sana, maka metode yang dipakai oleh
A. Hasan dalam menafsirkan Al-Quran adalah dengan memakai metode ijmali. Adapun metode
ijmali A. Hasan terkesan hanya seperti terjemah biasa yang diberikan catatan-catatan kecil.
Sementara jika kita rujuk kepada definisi tafsir secara umum, bahwa tafsir merupakan ilmu
memahmi al-Qur'an dengan menjelaskan makna-maknanya, hukum-hukumnya, hikmah-
hikmahnya yang didukung dengan ilmu-ilmu ushul lainnya. Lalu jika tafsir al-Qur'an hanya
11. seperti itu (seperti terjemah al-Qur'an biasa), maka kita tidak dapat memahami apa-apa, atau
sebatas apa yang kita fahamai pada terjemahnya saja. Adapun yang tersirat di dalam ayat-ayat al-
Quran yang syarat dengan makna tidak kita dapatkan secara eksplisit.
Mayoritas A. Hasan Menggunakan Metode Ijmaly dalam Tafsir Al-furqaan
Seperti yang telah disebut di atas, A. Hasan memakai metode ijmali dalam menafsirkan Al-
Qur'an. Dimana tafsir itu hanya menafsirkan ayat secara global, sehingga makna-makana yang
tersirat di dalamnya tidak dapat diungkap secara lengkap (Konferhensif).
Ketika kita membuka tafsir Al-Furqaan dan melihatnya sebagai sebuah kitab tafsir, maka
metodologi apa yang diterapkan akan membuat kita sedikit kebingungan dalam memahaminya.
Dalam mkajian yang penulis lakukan ternyata A.Hasan juga di beberapa surat dan ayat dalam al-
Qur'an menggunakan metode bil ma'tsur, Bdan bil Ra'yi sehingga tafsir Al-Furqaan ini
sebenarnya juga bisa disebut sebagai tafsir yang menggunakan metode bil Ma'tsur dan bil Ra'yi
akan tetapi dikarnakan metode yang mendominasi tafsir Al-Furqaan ini adalah metode Ijmali
maka penulis berkesimpulan bahwa metode tafsir Al-Furqaan karya A.Hasan ini Menggunakan
metode Ijmaly.
Sebagai bukti bahwa A.Hasan juga menggunakan beberapa metode dalam menafsirkan Al-Qur'an
didalam Tafsir Al-Furqaannya berikut akan saya komparasikan beberapa surat dan ayat yang
ternyata A.Hasan menggunakan metode bil Ma'tsur, Ijmaly dan ternyata Tawaqquf juga..^_^….
Surat at-Takatsur
ّ الهاكم التكاثر )1( حتى زرتم المقابر )2( كل ّ سوف تعلموْن )3( ثم كل ّسوف تعلمون )4( كل
َ َ ْ ُ َْ َ َ ْ َ َ ّ ُ َ ُ َْ َ َ ْ َ َ َ ِ َ َ ْ ُ ُْ ُ َّ ُ ُ َ ّ ُ ُ َ َْ
8) )لوتعلمون علم اليقين لترون الجحيم )6( ثم لترونها عين اليقين )7( ثم لتسئلن يومئذ عن النعيم
ِ ِْ ّ ِ َ ٍ َِ ْ َ ّ َُْ َُ ّ ُ ِ ِْ َْ َ َْ َ ُّ َ ََ ّ ُ َ ِْ َ ْ ّ ُ َ ََ ِ ِْ َْ َ ِْ َ ْ ُ َْ َْ َ
1. Berlebih-lebihan telah melalaikanmu, <1>
2. Hingga kamu melawat kubur. <2>
12. 3. Tidk sekali-kali, <3> (bahkan) kamu akan mengetahui,
4. dan <4> tidak sekali-kali, (bahkan) kamu akan mengetahui.
5.Tidak sekali-kali, (alangkah baiknya) kalau kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.
6. Sesungguhnya kamu akan melihat neraka itu,
7. dan4 sesungguhnya kamu akan melihatnya dengan penglihatan yang yakin,
8. Kemudian sesungguhnya kamu akan diperiksa pada hari itu tentang kenikmatan. <5>
Penjelasan :
<1>. Kamu telah lalai karena harta benda, kemuliaan, kesenangan dan banyak lainnya.
<2>. Yakni, hingga kamu mati.
<3>. Persangkaanmu bahwa harta dan kemuliaanmu dapat menolongmu itu tidak benar
sama sekali.
<4>. Kata sambung "dan" dalam dua ayat itu padanan dari kata "tsumma' yang makna
asalnya adalah 'kemudian', tetapi dibeberapa tempat dipakai dengan arti "dan".
13. <5>. Kamu akan diperiksa, untuk urusan apa kamu membelanjakan nikmat-nikmat
pemberian…
Surat al-Ma'un
ارءيت الذي يكذ ب با الدين )1( فذا لك الذي يدع اليتيم )2( ول يحض على طعام المسكينِ )3( فويل
ٌ َْ َ ِْ ْ ِ ْ ِ َ َ ََ ّ ُ َ َ َ َ َِْْ ّ ُ َ ْ ِ ّ َ ِ َ َ ِ ّْ ِ ُ ّ َ ُ ْ ِ ّ َ َْ َ َ
7) )للمصلين )4( الذين هم عن صل تهم ساهون )5( الذين هم يرآءون )6( ويمْنعون الما عون
َ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ ََ َ ْ ُ َ ُ ْ ُ َ ِْ ّ َ ْ ُ َ ْ ِ ِ َ َ ْ َ ْ ُ َ ِْ ّ َ َّْ ُ ِْ
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan diin? <1>
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. <2>
4. Kecelakaan akan didapat oleh orang-orang yang shalat, <3>
5. yang lalai dari shalatnya, <4>
6. yang riya', <5>
7. Dan enggan memberikan pertolongan. <6>
Penjelasan :
<1>. Kata diin dapat berarti agama, pembalasan, atau ibadah.
<2>. Orang yang dimaksud di dalam ketiga ayat ini adalah orang munafik.
14. <3>. Kecelakaan di akhirat akan menimpa orang-oarang munafik seperti yang disebutkan
dalam ayat-ayat di atas, yang shalat bersama orang-orang Islam.
<4>. Yang lalai dari memperhatikan isi shalatnya, Karen memang mereka tidak shalat karena
Allah.
<5>. Yang berbuat sesuatu supaya dilihat dan dipuji orang lain.
<6>. Yakni, tidak mau member pertilingan kepada orang islam atau untuk urusan islam.
Surat al-Ashr
ِ ّْ
والعصر )1( ان ال ِنسا ن لفي خسر )2( ال ّ الذين أمنوا وعملواالصالحات وتواصوابا لحق وتواصوابا لصبر
ِ ْ َ َ ََ ّ َ ْ ِ ْ َ َ ََ ِ َ ِ ّ ُِ َ َ ْ َُ َ ِْ ّ ِ ٍ ْ ُ ْ ِ َ َ َ ْ ّ ِ ِ ْ َ ْ َ
3))
1. Perhatikanlah masa.
2. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal baik dan saling berpesan untuk (menjalankan)
kebenaran dan saling berpesan untuk (menjalankan) kesabaran.<1>
15. Penjelasan :
<1>. Manusia hidup dalam masa. Masa itu penting. Merugilah manusia yang melewatkan
masanya dengan tidak mengerjakan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
lingkungannya.
Surat Yunus Ayat 19
19) )وما كان الناس ال ّ امةواحدةفاختلفوا ولول َكلمة سبقت من ربك لقضي بينهم فيما فيه يحتلفون
َ ْ ُ َِْ َ ِ ِْ َ ِْ ْ ُ ََْ َ ِ ُ َ َ َّ ْ ِ ْ َ ََ ٌ َ َِ ْ ََ ْ ُ ََْ َ ً َ ِ ّ ً ّ ُ ِ ُ ّ َ َ َ َ
19. Tidak ada manusia itu dulunya melainkan umat yang satu, lalu mereka berselisih; jika
tidak ada kalimah dari tuhanmu Allah yang terdahulu, niscaya telah diberi keputusan
diantara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. <1>
Penjelasan:
<1.> Manusia pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu keluarga,
tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka berbeda-beda,
16. timbulah berbagai kepercayaan yng menimbulkan perpecahan; oleh karena itu Allah
mengutus Rasul yang membawa wahyu dn memberi petunjuk kepada mereka. Baca
Ayat 213 Surat Al-Baqarah.
Surat Yunus Ayat 26
َ ْ ُ ِ َ َ ِْ ْ ُ ِ َّ ْ ُ َ ْ َ َ ِ ُ ٌ ِّ َ ٌ ََ ْ ُ َ ْ ُ ُ ُ َ ْ َ َ َ ٌ َ َِ َ
26) )للذين احسنوا الحسنى وزيادة ول يرحق وجوههم قتر ول َذلة أولءك اصحاب الجنةهم فيها خالدون
َْ ُ ْ َُ ْ َ َ ِْ ِّ
26. Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada) kebaikan dan tambahan, wajah mereka-pun tidak
tertutup dengan warna hitam dan tidak pula kehinaan. Mereka itulah ahli syurga yang akan kekal
di dalamnya.
jika kita perhatikan ketiga surat yaitu surat at-Takasur, al-Ma'un dan al-Ashr serta ayat 19 dan 26
pada Surat Yunus yang saya nukil dari tafsir al-Furqan terbitan CV. Mantiq Jakarta. Jika diteliti
terjemahannya dan catatan-catatannya, sepintas seperti terjemahan biasa. Lihat pula cara A.
Hasan menerjemahkan ayat. Kita akan sedikit kesulitan dalam memahaminya. Struktur kalimat
yang digunakan sesuai dengan struktur dalam bahasa aslinya. Proses terjemah dilakukan perkata
tanpa merubah struktur terjemahan menjadi sesuatu yang mudah difahami. Itulah yang disebut
sebagai metode Terjemahan harfiyah bil mitsl, yaitu menyalin kata-kata dari bahasa asli dengan
kata persamaan dari bahasa baru, tanpa menghiraukan makna kalam asli, akan tetapi sudah
terpancang pada susunan urut lafaz bahasa asli.
Jika kita perhatikan surat al-'ashr Tiga ayat yang ada dalam surat tersebut hanya ditafsirkan
dengan singkat saja. Tanpa diterangkan Masa itu apa, bagaimana, seperti apa, lalu kerugian yang
17. bagaimana yang dimaksudkan di sana, dampaknya dan lain sebagainya. Sementara dalam al-
furqan hanya dituliskan keterangan dalam bentuk end note saja dari A. Hasan , adapun dalil-
dalilnya tidak diungkapkan. Begitupun dengan surat at-Takasur dan al-Ma'un sehingga metode
ini lebih condong ke arah metode Ijmaly dan metode inilah yang banyak dipakai oleh A.Hasan
didalam Tafsirnya Al-Furqaan ini. Berbeda dengan penafsiran A.Hasan pada ayat 19 Surat
Yunus, disini A.Hasan Menafsirkan Ayat dengan Ayat atau yang biasa disebut juga dengan
metode penafsiran bil ma'tsur. Beda pada ayat 19 beda pula pada ayat 26 surat Yunus, pada ayat
ini A.Hasan bersikap tawaquf (Berdiam Diri) pada tafsir Al-Furqaan-nya. Padahal ayat ini sangat
penting untuk ditafsirkan mengingat makna kata "Nikmat tambahan" pada ayat tersebut belum
jelas apa maksudnya. Tapi kita tidak akan mendapatkan penafsiran ayat ini didalam tafsir Al-
Furqaan.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Tafsir Al-Furqaan ini merupakan tafsir Al-Qur'an yang memberi kemudahan dalam mengurai
makna kandungan ayat secara ringkas dan padat serta bersifat global, yang dengan metode ini
dapat dengan mudah dimengerti oleh orang yang masih awam sekalipun.
Metode harfiyah dalam kitab al-furqaan adalah metode dalam penerjemahannya bukan dalam hal
penafsiran, karena berbeda antara terjemah dengan tafsir. Adapun dalam hal penafsiran A. Hasan
lebih banyak menggunakan metode ijmali Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini
juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk
memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan
hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Kalau ditelaah secara mendalam dari sisi ilmu tafsir dan terjemah, Sebenarnya Al-furqaan
cenderung kepada terjemah al-Qur'an, bukan tafsir. Ini terkait dengan definisi tafsir yang
menggariskan bahwa tafsir itu merupakan Pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah
(yang terkandung dalam al-Qur'an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka dia mencakup
sekalian (pengetahuan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu, seperti
yang diungkapkan az-Zahaby dalam at-tafsir wal mufassiruun. Adapun catatan-catatan akhir itu,
bagi pemakalah kurang mewakili apa yang harus ditafsirkan.
Dalam pembahasan yang telah lalu mungkin pembaca akan bingung kesimpulan akhir yang akan
saya pilih mengingat dalam pembahasan lalu saya mengatakan bahwa:
18. Tafsir Al-Furqaan lebih cenderung sebagai terjemah Al-Qur'an
Tafsir al-Furqan Lebih Mendominasi metode Penafsirannya secara Ijmaly
Tafsir Al-Furqaan Juga Bisa disebut sebagai tafsir dengan metode bil-ma'tsur khusus pada ayat-
ayat tertentu yang memang memenuhi standar penafsiran dengan metode bil Ma'tsr.
Maka penulis, sekali lagi menyimpulkan bahwa Metode yang dipakai A.Hasan dalam tafsirnya
Al-Furqaan adalah metode Ijmaly, karena metode inilah yang paling banyak dipakai A.Hasan
dalam Tafsirnya Al-Furqaan.
Adapun kesimpulan-kesimpulan yang telah lalu penulis akui sebagai sebuah kebingungan
penulis dalam menelaah tafsir Al-Furqaan ini yang begitu unik dan terkesan sangat berbeda
dengan tafsir-tafsir yang lainnya yang sudah mahsyur dikalangan umat islam seperti tafsir Ibnu
katsiir, At-Thabaary, Fii Dzilalil Qur'an, Al-mannar dan lain sebagainya.
Usaha A.Hasan dalam menyusun tafsir al-Furqaan ini haruslah disikapi sebagai sesuatu karya
tokoh islam yang patut disyukuri Keberadaannya. Meskipun terdapat kekurangan disana-sini
tidaklah lantas membuat karya ini cacat seluruhnya sehingga tidak boleh dibaca dan dibuka sama
sekali. Karena sesungguhnya faedah dan pelajaran yang banyak akan kita dapatkan didalam
tafsir ini. Bagi umat islam tentunya tafsir Al-Qur'an ini merupakan sebuah karya yang akan
membuka dan menambah wacana kita terhadap isi kandungan Al-Qur'an secara singkat dan
mudah dengan gaya dan corak pemikiran ulama A.Hasan.
Wallahu 'Alam Bish Shawab
Daftar pustaka
Hasan, Ahmad, Al-Furqaan Tafsir Al-Qur’an (Edisi Bahasa Indonesia Mutakhir), Jakarta: CV.
Pustaka Mantiq, 2006, Cet. I
19. Mohammad, Herry, dkk., Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani
Press, 2006, Cet. I
Amanah, H. St., Pengantar Ilmu Al-Qur'an dan Hadits, Semarang : CV As-Syifa, 1994, Cet. II
Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet. III
DEPAG RI, Muqadimah Al-Quran dan Tafsirnya,1990