Pandangan Perhutani atas Putusan MK 45/PUU-IX/2011
1. KAWASAN HUTAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
( Putusan MK No 45/PUU-IX/2011 )
A. Pengertian Hutan dan Kawasan Hutan
Secara yuridis normatif, menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu satu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumbersaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam kingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Sedangkan kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaaannya sebagai
hutan tetap.
B. Pengertian Kawasan Hutan Posta Putusan Mahkamah Konstitusi
Terhadap pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang menyatakan: “ Kawasan hutan
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap” tersebut, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kapuas ( diwakili oleh Bupati Ir.H.Muhammad Mawardi,MM, (2) Drs.
Hambit Bintih ( Bupati Gunung Mas),(3) Drs. Duwel Rawing ( Bupati Katingan ),
(4) Drs. Zain Alkim ( Bupati Barito Timur ) (5 ) H. Ahmad Dirman ( Bupati
Sukamara ); dan (5) Drs. Akhmad Taufik, MPd (Wiraswasta ); mengajukan
permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut para
Pemohon, frasa “ ditunjuk dan atau “ dalam Pasal 1 angka 3 tersebut bertentangan
dengan UUD 1945.
Atas permohonan ini kemudian pada tanggal 21 Februari 2012 terbit Putusan MK Nomor :
45/PUU-IX/2011 tentang Uji Materi Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan. Dalam Putusan
tersebut, MK mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya dengan
menghapus frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, sehingga
berbunyi : “ Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Implikasinya, penentuan
kawasan hutan tidak hanya sekedar penunjukan kawasan hutan, tetapi juga dilakukan
proses penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Sebaliknya, dalam bagian akhir putusannya, MK juga memberikan pertimbangan
mengenai ketentuan peralihan dari UU Kehutanan, khususnya Pasal 81 yang
2. menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang – undangan yang berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini “, menurut Mahkamah,
meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-undang Kehutanan mempergunakan
frasa “ ditunjuk dan atau ditetapkan “ namun berlakunya untuk yang “ ditunjuk dan atau
ditetapkan “ dalam Pasal 81 Undang-undang kehutanan tetap sah dan mengikat.
Adapun inti utama pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah :
a. Bahwa dalam suatu negara hukum,pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat
sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang – undangan , serta tindakan berdasarkan freies Ermenssen
( dicretionary powers ). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan
kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai
pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang - undangan , merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan
kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan
harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermerssen
( dicretionary powers ). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap menguasai hajat hidup orang
banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan ;
b. Bahwa antara pengertian yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 dan ketentuan Pasal
15 UU Kehutanan terdapat perbedaan. Pengertian dalam Pasal 1 angka 3 Undang-
undang Kehutanan hanya menyebutkan bahwa : “Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan dalam dalam pasal 15 ayat (1)
Undang-undang Kehutanan menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam
proses pengukuhan suatu kawasan hutan. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang
Kehutanan menentukan ,” Pengukuhan kawasab hutan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut : “a. penunjukan kawassan hutan; b.
penataan kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan ; dan d. penetapan kawasan
hutan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Kehutanan
penujukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan
hutan, sementara itu “penunjukan” dalam ketentuan pasal 1 angka 3 Undang-undang
Kehutanan dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan yang tidak
1
3. memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang Kehutanan;
c. Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan
hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan diatas sejalan
dengan negara hukum yang antara lain bahwa Pemerintah atau pejabat administrasi
negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya ayat (2)
dari pasal tersebut yang menentukan ,” Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah “
menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan tersebut antara lain memperhatikan
kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat ) pada
kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika
terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan
harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian pihak
lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan
sebagai kawasan hutan tersebut.
d. Menimbang bahwa karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari
rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan,maka frasa, ” ditunjuk dan atau ” yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara
hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu frasa , “ ditunjuk
dan atau ditetapkan “ tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-undang Kehutanan.
Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum
yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan , dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
e. Menimbang bahwa adapun mengenai ketetuan peralihan dari UU Kehutanan,
Khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum
berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang
ini “, menurut Mahkamah meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-undang
Kehutanan mempergunakan frasa “ ditunjuk dan atau ditetapkan “ ,
namun berlakunya Untuk yang “ ditunjuk dan atau ditetapkan “ dalam Pasal 81
Undang-undang Kehutanan tetap sah dan mengikat.
4. Menurut MK dalam pertimbangan diatas, maka kawasan hutan memiliki kepastian hukum
setelah melalui 4 tahapan, yakni penunjukan,penataan batas,pemetaan dan penetapan.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, kementerian Kehutanan telah
menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor : S.E3/MENHUT-II/2002, tanggal 3 Mei 2012,
ditujukan kepada : (1) Gubernur di seluruh Indonesia, (2) Bupati/Walikota di seluruh
Indonesia, dan (3) Kepala Dinas Provinsi,Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan,
yang intinya sebagai berikut :
a. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2004
menjadi : Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
b. Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi maupun parsial yang telah dterbitkan
Menteri Kehutanan serta segala perbuatan Hukum yang timbul dari berlakunya
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tetap sah dan mempunyai hukum
mengikat
c. Keputusan Menteri tentang penunjukan kawasan hutan baik provinsi maupun parsial
yang diterbitkan Menteri kehutanan setelah Putusan mahkamah Konstitusi tetap sah
dan dimaknai sebagai penetapan awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
C. Implikasi Hukum Putusan MK Terhadap Kawasan Hutan Jawa
Kawasan hutan negara yang merupakan wilayah kerja Perum Perhutani merupakan suatu
wilayah yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
sebagai hutan tetap.
Suatu wilayah yang berstatus bukan kawasan hutan untuk kemudian menjadi kawasan
hutan dilakukan melalui proses atau kegiatan yang dimanakan pengukuhan kawasan
hutan.
Kegiatan pengukuhan kawasan hutan dapat dibedakan dalam 2 periode, yaitu periode
sebelum nerlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
5. Pokok Kehutanan ( UU No. 5 Tahun 1967 ), dan setelah berlakunya UU No.5 Tahun 1967.
Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan ditetapkannya Undang-
undang No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan, suatu areal
atau wilayah tertentu yang bukan hutan dapat dijadikan hutan/kawasan hutan melaui 2
(dua) tahapan saja, yaitu :
a. Penunjukan (Aanwijzing )
Penunjukan ini dilakukan oleh Gubernur Jenderal, atau Directeur van Landbouw,
Nijnerheid en Hendel atau Directeur van Economishe Zaken ( Departemen yang
membawahi Jawatan Kehutanan/den Diens van het Boshwezen ) dengan suatu
keputusan Penunjukan atau suatu Aanwijzing Besluit.
b. Penataan Batas ( Grensregeling)
Berdasarkan keputusan Penunjukan maka diselenggarakan kegiatan penataan batas
yang mencakup antara lain kegiatan pemancangan patok batas, pengukuran,
pemancangan pal batas, pemetaan,pembuatan Berita Acara Tata Batas.
Dengan ditandainya Berita Acara Tata Batas ( BATB ) oleh Panitia Tata Batas dan
disahkan oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini Kepala Jawatan Kehutanan ( Hoofd
van den Dienst van het Boschwezen ) maka resmilah areal/wilayah tertentu yang
sebelumnya bukan hutan tersebut menjadi kawasan hutan. Tahapan atau proses tersebut
diatas didasarkan pada Bosch Ordonansi voor Java en Madoera 1927 dan Bosch
Verordening Java en Madoera 1932.
Status hukum areal atau wilayah yang merupakan kawasan hutan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda sampai
dengan diterapkannya UU No 5 Tahun 1967, yaitu Bosch Ordonantie Java en Madura
1927 dan Bosch Verordening Java en Madoera 1932.
Pada waktu Indonesia Merdeka, status hukum tersebut tetap dipertahankan berdasarkan
ketentuan :
a. UUD 1945, yaitu Pasal II aturan Peralihan :
“ Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakannya yang baru menurut Undang-undang Darurat ini “.
b. Undang-Undang No.5 Tahun 1967, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan,
6. yaitu Pasal 20 Ketentuan Peralihan, berbunyi : “ Hutan yang telah ditetapkan
sebagai hutan tetap, cagar alam dan suaka margasatwa berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini,
dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan peruntukan dan fungsi
sesuai dengan penetapannya.”
Ketentuan tersebut semakin ditegaskan dalam penjelasan Pasal 20 Undang-
undang No.5 Tahun 1967, yaitu : “ hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan
tetap , suaka margasatwa dan cagar alam oleh pejabat-pejabat yang berwenang,
baik berdasar Ordonansi dan Verordening, Pemerintah, Peraturan Daerah dan/atau
Peraturan Swapraja yang berlaku sebelum keluarnya Undang-undang ini, dianggap
telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan peruntukan dan fungsi sesuai
dengan penetapannya.”
c. Undang-undang N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,( Pengganti UU No.5 Tahun
1967 ) pada ketentuan Peralihan ( Pasal 81 ) menyatakan :
“ Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.”
d. Pada masa Indonesia merdeka, yaitu dengan telah diundangkannya Undang-
undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ( yang
lalu diperbarui/diganti dengan Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang
Kehutanan); suatu areal/wilayah tertentu dapat dijadikan hutan/kawasan hutan
melalui 4 ( empat ) tahapan yaitu :
1) Penunjukan
2) Penataan Batas
3) Pemetaan; dan
4) Penetapan
Sebelum terbentuknya Departemen Kehutanan, SK Penunjukan dan SK Penetapan
diterbitkan oleh Menteri Pertanian/Menteri yang membidangi Kehutanan.
Terbitnya Putusan MK Nomor : 045/PUU-IX/2011 tentang Uji Materi Pasal 1 angka 3 UU
Kehutanan , pada prinsipnya tidak berpengaruh terhadap eksistensi kawasan hutan dalam
wilayah kerja Perum Perhutani, karena kawasan hutan Perum Perhutani telah dikukuhkan
pada masa kolonial ( baik masa kolonial Hindia Belanda maupun Jepang ) dan sebelum
berlakunya UU No, 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang
7. kedudukannya tetap kuat dengan tetap diberlakukannya ketentuan peralihan pasal 81 UU
No. 41 Tahun 1999 oleh Mahkamah Konstitusi.
Kawasan Hutan dalam wilayah kerja Perum Perhutani yang terkena dampak dari putusan
MK ini hanya sebagian kecil, dan pada umumnya adalah berupa :
(1) Lahan/tanah kompensasi yang berasal dari kegiatan pinjam pakai kawasan hutan ;
dan
(2) Tanah masuk/tanah penukar yang berasal dari kegiatan tukar-menukar kawasan
hutan yang telah ada SK Penunjukannya, namun prosesnya belum ditindak lanjuti
dengan proses penataaan batas ,pemetaan dan penetapan dari Menteri Kehutanan.
Terhadap lahan/tanah kompensasi “ yang berasal dari kegiatan pinjam pakai kawasan
hutan; dan “ tanah masuk/tanah penukar “ yang berasal dari kegiatan tukar menukar
kawasan hutan diwilayah kerja Perum Perhutani, yang baru dalam proses “ penunjukan “,
dan belum ditindak lanjuti dengan proses penataan batas, pemetaan dan penetapan dari
Menteri Kehutanan, agar diselesaikan proses pengukuhannya oleh Kementerian
Kehutanan.
Apabila semua pihak konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
khususnya pertimbangan MK tentang kedudukan “ pasal 81 UU Kehutanan “ yang
berbunyi : “ Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini, maka kawasan hutan wilayah
kerja Perum Perhutani yang telah dikukuhkan dalam arti telah ditunjuk dan BATB-nya
disahkan oleh pejabat yang bewenang pada masa pemerintahan kolonial berdasarkan
peraturan perundang-undangan kehutanan yang berlaku pada saat itu, maka harus tetap
diakui status hukumnya sebagai kawasan hutan.