SlideShare a Scribd company logo
1 of 100
Download to read offline
1
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

BUKU PINTAR
BERDEBAT DENGAN WAHHABI
@ Muhammad Idrus Ramli
Penerbit :
Bina ASWAJA
Surabaya, telp. 031 7871848
www.aswaja-nu.com
Bekerjasama dengan :
LBM NU Jember
Cetakan I, September 2010

Kompilasi Ebook PDF oleh:
Pustaka Aswaja
www.pustakaaswaja.web.id

Hak cipta dilindungi undang-undang.
Tidak diperkenankan untuk mengkomersilkan ebook ini.
Dukung selalu penerbit dan penulis atas karya-karya tulisnya dengan cara membeli
buku aslinya di toko-toko buku terdekat.

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
2
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dengan terbitnya buku sakti
ini yang berjudul Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi.
Terimakasih dan salam ta’dhim saya kepada Ust. Muh. Idrus
Ramli sebagai penulis bersama tim LBM NU Jember. Buku ini
menjadi panduan dalam berdialog dan berdebat dengan kalangan
Wahhabi yang dewasa ini menamakan dirinya Salafi. Tujuan itu
agaknya tercermin dari judul buku yang mentasbihkan diri
sebagai ‘buku pintar’. Sebuah pilihan judul yang menarik dan
sesuai pula dengan muatannya.
Mengingat pentingnya buku ini, saya rasa setiap orang harus
memiliki buku ini sebagai bahan untuk membentengi diri dengan
argumentasi-argumentasi untuk mematahkan pendapat di
kalangan salafi wahhabi dewasa ini. Oleh karena itu pula saya
menerbitkan ebook dalam bentuk PDF ini semata-mata karena
ingin membuat orang lain lebih tahu banyak tentang isi buku ini,
sebagai bahan preview sebelum membeli, untuk selanjutnya
diharapkan membeli buku aslinya ini di toko-toko buku terdekat
atau melalui online.
Tulisan-tulisan di ebook ini dari Bab 1 – 8 diambil dari situs
www.sidogiri.net , dan Bab 9 – 10 saya ketik sendiri secara
manual. Oleh karena itu, ada beberapa perbedaan yang tak
signifikan dengan buku aslinya, seperti penulisan teks arab hanya
saya sertakan yang pendek-pendek saja dan tanpa harokat.
Selanjutnya, saya juga memberikan keterangan penjelasan pada
Bab 9 tentang Tradisi Yasinan (lihat halaman 86 Ebook ini).
Demikianlah semoga ebook ini bermanfaat dan untuk dapat
dipergunakan sewajarnya dan semestinya serta tidak
disalahgunakan.
Makassar,

Ramadhan 1432 H

Luqman Firmansyah
www.pustakaaswaja.web.id

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
3
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

DAFTAR ISI
1. NGALAP BAROKAH

4

2. ALLAH MAHA SUCI

12

3. BID’AH HASANAH

23

4. OTORITAS ULAMA

34

5. BUKAN AHLUSSUNNAH

42

6. MENURUT AL-SYATHIBI

52

7. ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL

63

8. CERDAS BERMADZAB

75

9. TRADISI YASINAN

83

10. PERMASALAHAN TRADISI

90

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
4
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

BAB I
NGALAP BAROKAH

Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di
Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru
yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh
Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia
memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya
yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir
setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di
kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum
Sunni.
Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun
demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari
manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda alSayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil
Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain
serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama
anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam
ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas
Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya
sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas
Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari
saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang
Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan
mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka,
dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang
sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan
mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur
kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap
barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri
kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
5
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai
orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan
syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan
Wahhabi itu.
Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun
segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar
murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau,
mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang
mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan
bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya.
Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya
untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju
saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh
darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika
para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang
Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi
berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi
Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka.
Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air
hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi
Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil
selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi.
Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi.
Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua
ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh
dua ulama besar itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh
Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda
berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di
Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar.
Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata:
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
Kitab-Nya tentang air hujan:

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
6
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

َّ َ
َ ُ ً َ ِ َ َّ َ
.(٩ : ‫و َنز ْل َنا مِن السماء ماء م َباركا ً. )ق‬
“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:

ً َ ُ َ َّ ِ
ٍ َ َّ
.(٩٦ : ‫إِنَّ أَول َب ْيت وُ ضِ ع لِل َّناس لَلَّذِيْ ب َبكة م َباركا. )آل عمران‬
َ
ِ
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah
rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki
dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada
Baitullah ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum
kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu
Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan
kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana
kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan
meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata
kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat
para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin
dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu
sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan
mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti
Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju
saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu,
sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit
menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun
mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.
Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi
meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat
(kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan
termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang
tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
7
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat
bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang
diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi
sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.

Ngalap Berkah
Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair).
Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap
barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh
dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

‫عليه وسلم: اَ ْل َبركة مع‬
‫عن ابْن عبَّاس رضِ ي ُ ع ْنھما قال قال رسُول ِ صلى‬
ُ ْ َ َ َ َ َ َُ َ
َ َ ُ َ َ
َ َ ٍ َ ِ ِ َ
‫أَكابركم ”. رواه ابن حبان )٢١٩١( وأبو نعيم في ”الحلية“ )٨/٢٧١( و الحاكم في‬
ُْ ِِ َ
‫”المستدرك“ )١/٢٦( و الضياء في ”المختارة“ )٤٦/٥٣/٢( و قال الحاكم : ”صحيح‬
.‫على شرط البخاري“ . و وافقه الذھبي‬
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn
Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam alMustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata,
hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut
mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang
besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa
dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orangorang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih
tua.
Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang
bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke
makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”
Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa
ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut
dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena
tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
8
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah
tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak
menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa
ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik
dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh
Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

‫عليه‬

‫ قال: ربِّ أَدننِيْ مِن ْاألَرْ ض المقدسة رم َية بحجر وأَنَّ ال َّنبيَّ صلى‬u ‫أَنَّ مُوسى‬
ِْ
َ ٍ َ َ ِ ً ْ َ ِ َ َّ َ ُ ْ ِ
َ
َ َ َ
َ ْ
ِ
َّ ِ ْ َ
ِّ ْ
.«‫وسلم قال: »و ِ لَو أَنيْ عِ ندهُ ألَريتكم قبْرهُ إِلَى جنب الطريْق عِ ندَ الكثيب األَحْ مر‬
َْ
َ َ َُُْْ
َ َ َ
ِ َ ْ ِ ِْ َ ْ ْ ِ ِ

“Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah
suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu
kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

‫وف ْيه اسْ تِحْ َبابُ معْ رفة قُبُور الصَّالِحيْن لِز َيارتھا والق َيام بحقھا، وقد ذكر ال َّنبيُّ صلى‬
ِ ِ َ
ِ َ َ َ ْ َ َ َ ِّ َ ِ ِ ِ ْ َ َ ِ َ ِ َ ِ
ِ ْ َِ ِ َ
َ‫ عالَمة ھِي م ْوجُودةٌ فِيْ قبْر مشھُور عِ ْند ال َّناس ْاآلَن بأ َّن‬u ‫عليه وسلم لِقبْر السيد مُوسى‬
ًَ َ
ْ َ ٍ َ
‫َ ِ ه‬
ُ
َ ٍ ْ
َ ْ َ َ
َ ْ ِ ِّ َّ ِ َ
ِ
.‫ق ْبرهُ، والظاھر أَنَّ الم ْوضِ ع المذك ْور ھُو الَّذِيْ أَشار ال َّنبيُّ علَ ْيه الصَّالةُ والسالَم‬
ُ ِ َّ َ ُ َ
ِ َ ِ َ َ
َ َ ُ َْْ َ
َْ
ُ َّ َ َ
“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh
untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang
sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat
tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
(Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫قال رسُول ِ صلى عليه وسلم : » ك ْنت َنھ ْيتكم عنْ ز َيارة القُبُور فز ْورُوھا « رواه‬
ُ ْ َ َ َ
ََ
َ ْ ُ َ ِ ْ ْ َِ ِ َ ُُْ َ ُ ُ
ََ
.«‫مُسْ لِم )٧/٦٤(. وفِيْ روا َية » فمنْ أَراد أَنْ َيز ْور القُبُور ف ْل َيزرْ فإِ َّنھا تذكر َنا ْاآلَخِرة‬
ُ ِّ َ ُ َ َ ُ َ َ ْ ْ َ ُ
َ َ ََ ٍ َِ
َ
ٌ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu
ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat,
“Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut
dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
9
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya
ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi,
tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa
ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu
meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih
hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya
orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah
subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
.‫البيھقي‬

ٌ
‫عليه وسلم: »اَالَ ْنب َياء أَحْ َياء فِيْ قُبُورھم يصلُّ ْون« رواه‬
ُ ِ
َ َ ُ ِْ ِ ْ

‫ِ صلى‬

‫قال رسُول‬
ُ ْ َ َ َ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam
kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat alAnbiya’, [1]).
Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat,
dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:
‫عنْ ع ْبد ِ بْن مسْ عُود رضي عنه عنْ رسُول ِ صلى عليه وسلم قال: »ح َياتيْ خ ْير لَكم تحْ دِثون ويُحْ دَث لَكم‬
ٍ ْ َ ِ
ِ َ َ
َ َ ُْ ُ ْ ُ ٌ َ ِ َ
َ َ
ُْ ُ
ِ ْ َ َ
َ َ َ ُ َ
َ َ ُْ ٌ َ ِ ََ َ
ُ‫ومماتيْ خ ْير لَكم فإِذا أَ َنا مِت عُرضت علَيَّ أَعْ مالُكم فإِنْ رأَيْت خيْرً ا حمِدت َ وإِنْ رأَيْت غيْر ذلِك ِاسْ َتغفرْ ت َلك‬
ُ َ
ُ ْ َ
َ ُ َ َ ْ
«‫َْ ُ م‬
َ
َ
َ ْ َ ِ ُّ
ْ
ُ َّ ْ َ َ
.‫رواهُ ال َبزار‬
“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku
dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku
wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat
amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar,
[1925]).
Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum
salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi
wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu
masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan
bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut
ini:
َْ
‫والَ َيدخل فيْ ھذا ال َباب )أَيْ مِن الم ْنكرات عِ ْندَ السلَفِ ( ما يُرْ وى منْ أَنَّ قومًا سمعُوا رد السالَم منْ قبْر النبيِّ صلى‬
َّ
ِ َ
ِ َ َ ُْ َ
ِ ْ ََ ِ ُ ُ ْ
َ
َ
ِ َّ ِ َ ِ ِ َّ َّ َ ْ ِ َ
ْ َ
َ‫عليه وسلم أ َْو قُبُور غيْره مِن الصَّالِحيْن وأَنَّ سعيْدَ بْن المسيب كان َيسْ معاْألَذان مِن القبْر لَ َيالِي الحرَّ ة و َنحْ وُ ذ‬
َْ َ َ َ ُ َ
َ ِ َّ َ ُ ْ ِ
َ ِ ْ
‫لِك‬
َِ
َ
َ ِ َ
َ
َ َ ِ
َ ِِ
ِ
َّ ِ َ
ٌّ َ ُ ُ َ َ َ
‫فھذا كلُّه حق لَيْس ممَّا َنحْ نُ ف ْيه و ْاألَمرُأَجل منْ ذلِك وأَعْ ظم وكذلِك أَ ْيضا ما يُرْ وى أَنَّ رجالً جاء إِلَى قبْر النبيِّ صلى‬
ِ َ
َ َ ُ َ
َ
َ ً
َ َ َ َ ُ َ َ َ َ ِ ُّ َ ْ َ ِ ِ
ِ
ََ َ
َّ
َ َ ْ
ََ َ
ُ ُ َ َ ََ ِ
‫عليه وسلم فشكا إِلَ ْيه الجدَب عام الرَّ مَادَ ة فرآهُ وھُو َيأْمرهُ أَنْ َيأْتِي عمر ف َيأْمُرھُأَنْ َيخرُج ف َيسْ َتسْ قِي الناسُ فإِنَّ ھذا‬
َ َ َ َُ َ
َ َ َ َ ْ ِ
ْ‫لَيْس منْ ھذا ال َباب ومِثل ھذا َيقع كثيْرً ا لِم ْنھُو دون النبيِّ صلى عليه وسلم وأَعْ رفُ منْ ھذه ال‬
ََ ُ ْ َ ِ ْ ََ ِ َ
‫ِ َ ِ ِ وقائِع كثيْرً ا. )الشيخ‬
َِ ِ َ َ
َِ َُ
ِ َّ َ ْ ُ َ َ
ِ َ
.(٣٧٣/١ ‫ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم‬

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
10
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa
yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari
makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga
Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya
benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih
serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah
apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau
pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab
agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk
kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang
kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri
banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas,
telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid
terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah.
Beliau berkata:
َّ َ ٍ َ َ ِ ِ َ ُ ْ
َّ َ َ َ ُّ ِ َ ْ ٍ ْ ْ َ َ َ
ْ
‫وقال الحافِظ اَبُو َبكر ا ْل َب ْيھقِيُّ اَخ َبر َنا اَبُو َنصْ ر بْنُ ق َتادَ ة واَبُو َبكر الفارسِ يقاال حد َث َنا اَبُو عمر بْن مطر حد َث َنا ِابْراھ ْيم‬
َ ْ
َ
ُ ِ َ
ٍ
ٍ ْ ْ ُ َ ْ َ َ َ
ُّ
ُ
َّ َ
َّ َ
‫بْنُ علِيٍّ الذھْ لِيُّ حد َث َنا َيحْ َيى ْبن َيحْ َيى حد َث َنا اَبُو معاو َية عن ْاألَعْ مش عنْ اَبيْ صالِح عنْ مالِكٍ قال اَصاب الناس‬
َ َّ َ َ َ َ
َ َ ٍ َ
َ
ِ َ ِ َ
ِ َ َ ِ َُ ْ
َّ َ ْ ِ
َّ‫قحْ طفيْ زمن عمر بْن الخطاب فجاء رجل ِالَى قبْر النبيِّ صلى عليه وسلم فقالَ َيارسُول ِ ِاسْ َتسْ ق َ الُمتِك فان‬
َّ ِ َ
ٌ ُ َ َ َ َ ِ
‫ِ َّ َ َ ِ ھم‬
َ ْ َ ََ
َُ ِ َ َ ٌِ َ
ُْ
ِ
ِ
ِ
ِّ ِ
َ ُْ َ َْ
ُ ْ َ
‫عليه وسلم فِي الم َنام فقال ِا ْيت عمر فأ َْقرءْ هُ مني السالَم واَخبرْ ھم ِانھم مُسْ قون‬
‫قد ھلَكوا فأ َ َتاهُ رسُول ِ صلى‬
َ َْ
ْ ُ َّ ْ ُ ِ ْ َ َ َّ
ِ َ َ َ ُ ِ َ ََ ِ َْ
ْ ِ َْ ِ َ َ ُ َ
َ‫وقُ ْللَه علَيْك بالكيْس الكيْس فا َ َتى الرَّ جل فاَخ َبر عمر فقال َياربِّ ما آَل ُْوا ِاالَّ ما عجزتع ْنهُ، وھذ‬
ْ َ ُ ُ
ُْ َ َ َ
َ ِ َ
ٌ ِ َ ٌ
‫َ َ ا ِاسْ َناد صح ْيح. )الحافظ‬
َ
َ َ َ ََ َ َ ُ َ
‫ابن كثير، البداية والنھاية ٧/٢٩ وقال في جامع المسانيد ١/٣٣٢: اسناده جيد قوي، وروى ھذا الحديث ابن ابي‬
‫خيثمة. انظر: االصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في االرشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في االستيعاب ٢/٤٦٤ وصححه‬
.٤٩٥/٢ ” ‫الحافظ ابن حجر في ” فتح الباري‬
“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar
al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada
kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya
mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari alA’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin
al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa
Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan:
“Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena
sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi
bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata
kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan
akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
11
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan
memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar
menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku
kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, alBidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn
Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi
Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal.
313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh alHafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).
Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami
bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang
ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan
tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada
Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak
menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada
laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke
makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan
beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti
bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam
mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan
penerusnya.

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
12
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

BAB II
ALLAH MAHA SUCI
Allah Ada tanpa Tempat
Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan.
Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah
subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa
ta‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap
Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan
semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat
Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak
menyerupai makhluk-Nya.
Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah
subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang
berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat. Wahhabi berkata:
“Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap
sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa
tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab; “Sekarang
saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat
sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa
tempat sebelum terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya
Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula
dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah
ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat
sebelum terciptanya tempat?” Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung
dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali
(tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan
termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah
subhanahu wa ta‘ala:
.(٦٢ : ‫َ ُ خالِق كل شيْ ء. )الزمر‬
ٍ َ ِّ ُ ُ َ
“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).
Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya
Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala:

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
13
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

ُ ِ َ ُ َّ َ
.(٣ : ‫ھُو ْاألَول و ْاآلَخر. )الحديد‬
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha
Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid : 3).
Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada
dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu
wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari
keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala
Maha Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk
membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat
di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang sama.
Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah
ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan
tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat
menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah
autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut
ini.
“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul
dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah
yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka
menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits
dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan
ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka
menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (zhahir) mengarah
pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai
keyakinan mereka. Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah
ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Wahhabi
menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud
ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata:
“Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
.(٤ : ‫وھُو معكم أَ ْي َنما ك ْنتم. )الحديد‬
ُْ ُ َ ُْ ََ َ َ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
14
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Apakah ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk alQur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
.(٧ : ‫ما َيكونُ منْ َنجْ وى َثالَ َثة إِالَّ وھُو رابعھم. )المجادلة‬
ٍ
ِ ُْ َ
َ
ُْ ُِ َ َ َ
“Tiada pembicaraan rahasia antara
keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).

tiga

orang,

melainkan

Dia-lah

Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk
al-Qur’an.” Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda
sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya
sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di
langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu
menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak
mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun
keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa
ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada
mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan
melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan
menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan
kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang
ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an,
bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan
pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam alHafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum
Wahhabi.
Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang
Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya
berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula,

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
15
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH:
“Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang
menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas
menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para
ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan
ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain
yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit.
Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain
Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
.(٩٩ : ‫وقال إ ِِّنيْ ذاھبٌ إِلَى ربِّيْ س َيھديْن. )الصافات‬
ِ َ
َ
َ َ َ
ِ ِْ َ
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina),
yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya,
padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara
literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di
langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu
menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
‫ِ . قا ل‬
َ َ

ْ َ
ُ ْ َ ْ َ
‫ُ؟ قالَت: فِي السماء. قال منْ أَ َنا؟ قالَت: رسُول‬
َ َ َ ِ َ َّ

ُ ْ َ َ َ
‫قال رسُول ِ صلى عليه وسلم ل ِْلجار َية السَّودَ اء: أَيْن‬
َ
ِ ْ ِ ِ َ
ٌ‫أَعْ تقھا فإ َِّنھا مُؤم َنة‬
.‫ِ ْ َ َ َ ْ ِ . رواه مسلم‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak
perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab:
“Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia
menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak
yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan
berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme
ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama
tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya),
sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan
setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
16
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala.
Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut
dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah
subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu
Maha Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan
dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
ًَ َ ُ
‫عنْ أَ َنس أَنَّ النبيَّ صلى عليه وسلم رأَى نخامة فِي الق ْبلَة فحكھا ب َيده ورُؤي م ْنه كراھ َية وقال: إِنَّ أَحدَ كم إِذا قام‬
َ َ َ ٌ ِ َ َ ُ ِ َ ِ َ ِ ِ ِ َ َّ َ َ ِ ِ ْ
َ
َ
َ َ َ ُْ َ
ٍ
ِ َّ
ْ‫فيْ صالَته فإ َِّنما ي َناجيْ ربه أ َْو ربه َب ْي َنه و َبيْن ق ْبلَته فالَ َي ْبزقنَّ فيْ قِ ْبلَته ولَكنْ عنْ َيساره أ َْو َتحْ تَ قدمه. رواهُ ال‬
َ
َ ِ ِ ِ َ َ ُ ُ َّ َ
ُ َّ َ ِ ُ َ َ ِ َ
. ُّ‫َ َ ِ ِ َ َ بُخاري‬
ِِ َ
ِ َُ
ِ
َ ِ َ ِِ
ِ
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan
tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia
sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di
antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah
kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.”
(HR. al-Bukhari [405]).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang
yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits
riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab
demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia
merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain
dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu
saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit,
adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda
beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda
sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi
sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
ٌ‫وأَجْ معُوا علَى أ ََّنه الَ َيحْ و ْيه مكانٌ والَ َيجْ ريْ علَ ْيه زمان‬
ُ
َ َ ِ َ
َ ََ ِ ِ
َ ْ َ َ
ِ

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
17
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat
bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna alFiraq, 256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah,
risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
ُ َِ ْ ِ ِ
ُّ
.‫والَ َتحْ و ْيه الجھات السِ ت‬
َ
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH:
“Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya
bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada
di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan
yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari
semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas
hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat
menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu,
sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab,
“Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa
pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam,
telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa
pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
ََ ِ َ ْ ِ ْ
‫عنْ عِ مران بْن حصيْن قال إ ِِّنيْ عِ ْندَ النبيِّ صلى عليه وسلم إ ِْذ دَ خل َناسٌ منْ أَھل ال َيمن فقال ُْوا: ج ْئ َناك لِ َن َتفقه فِي‬
ِ
َ َّ َ َ ِ
َ َ
َ َ ٍ َ ُ ِ َ َ ْ
َ
ِ َّ
ََ ِ
َ َ َ َ َ َ ِ ْ
ِّ
ُ‫الديْن ولِ َنسْ أ َلَك عنْ أَوَّ ل ھذا ْاألَمر ما كان. قال: كان ُ ولَم َيكنْ شيْ ء غ ْيره‬
ُ َ ٌ َ ُ ْ َ
.(‫. )رواه البخاري‬
َ َ
َ ِ
َ
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman
dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang
permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun
selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam
al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
18
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

ْ
ُ َ َ ٍ ِ َ ِ َ
ُ َ َْ َ َ ٌ َ َ ُ َ َ ٍ َ َ ِ َ َ َ َ ُ َ َ
‫عنْ أَبيْ رزيْن قال قُ ْلت : َيا رسُول ِ أَيْن كان رب َنا ق ْبل أَنْ َيخلُقَ خ ْلقه ؟ قال كان فيْ عماء ما تحْ َته ھواء وما فوقه‬
َ َ ُّ َ َ َ َ
َ ْ َ
ََ َ
ِّ َ َ ٌ َ ُ َ َ َ
َ َ ٌ ََ
ُ ِ َ َ ٍ َِ
َُ َ َ ِ َْ َ َ َُ َ
ُ َ َْ َ ْ َ
‫ھواء وخلَقَ عرْ شه على الماء قال أَحْ مد بْنُ منيْع قال َيز ْيد ْبنُ ھارُون العماء أَيْ لَيْس معه شيْ ء قال الترْ مذِيُّ وھذا‬
ِ
. ٌ‫حديْث حسن‬
َ َ ٌ َِ
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di
manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa
Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu
apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini
bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi,
pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan
dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya
mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni
berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan
menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat
adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan
tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
‫ُ والَ مكان وھُو ْاآلَن علَى ما علَ ْيه كان‬
َ َ ِ َ َ َ َ
َ َ َ ََ َ

‫كان‬
َ َ

“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah
sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin
dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij
akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah
berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.
Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab alSyafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau
sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki
usia senja juga mereka sembelih.

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
19
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak
berdebat tentang tauhid, Asma Allah subhanahu wa ta‘ala dan sifat-sifat-Nya.
Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan
ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari
Hijaz.
Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah alSyanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya,
di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan
perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan
dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks
tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan
secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih
jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada
pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi
berkata kepada si tuna netra itu:
“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka
sesungguhnya Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an:
.(٧٢: ‫ومنْ كان فيْ ھذه أَعْ مى فھُو فِي ْاآلَخِرة أَعْ مى وأَضل سب ْيالً. )اإلسراء‬
َ َ َ َِِ ِ َ َ َ َ
ِ َ ُّ َ َ َ ِ َ
“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih
buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang
tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih
tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada
majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu
pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak
buahnya agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian
si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari
Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh
Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi
dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan,

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
20
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki
dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang,
pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan
mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya.
“Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren
itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut
mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang
sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak
biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa
orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi
kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa
Dengan Salafi?
Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab.
Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis
mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan
tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut
mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu
harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu,
saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya
dengan berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat
Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi
sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang
Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya
bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan
menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah WalJama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli
hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam
bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau
benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan
ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga
melakukan ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar pertanyaan
Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau
lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata:
“Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan:
ٌ َ ٍ َ ُّ ُ
ُ َْ
َُ َ
.‫َبابُ – كل شيْ ء ھالِك إِالَّ وجْ ھه اَيْ مُلكه‬

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
21
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya,
artinya Kekuasaan-Nya.”
Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya
kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat
ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut
aliran sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak
terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini,
sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan
Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya
dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah
mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani
berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini
tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar
Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat:
ٌ َ ٍ َ ُّ ُ
ُ َْ
َُ َ
.‫َبابُ – كل شيْ ء ھالِك إِالَّ وجْ ھه اَيْ مُلكه‬
Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan alImam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya mengambil
photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi
ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar
Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat
dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di
antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan
tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan
berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat. Seorang teman
saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM,
tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD
bercerita begini.
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta
Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia.
Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal dari Sumatera
dan saat ini tinggal di Jember. Di antara materi yang disampaikannya adalah
persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak
boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
22
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

subhanahu wa ta‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan
ayat al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS. Thaha : 5).
Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di atas ‘Arasy. Akibatnya, terjadiah dialog sengit
antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya
membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa
dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan-shaffa
(QS. al-Fajr : 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu
wa qhadha’uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa ta‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software
Maktabah Syamilah. Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar
Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak
ada nodanya alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa
komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la
ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas
kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah
tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli
hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza alisnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya
sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh
panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan
mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada
saya secara pribadi.

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
23
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

BAB III
BID’AH HASANAH
Bid’ah Hasanah dan Dalilnya
Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini
di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam
bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam
yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam.
Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan
dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah
menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi.
Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang
menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga
karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa
Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah
hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang
diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli
2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir
dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian
bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan
dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif
(mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ْ َ َ َ
َ َ ٍ َّ َ
‫ِ وخيْرالھُدَ ى ھُدَ ى مُحمد وشرُّ ْاألُمُور مُحْ دَ َثاتھا‬
َُ
ِ ْ

ُ‫: إِنَّ خيْر الحد ْيث ك َتاب‬r ِ
ِ ِ َِ ْ َ َ

ُ ْ َ َ َ َ َ
‫ قال قال رسُول‬t ِ ‫عنْ جابر بْن ع ْبد‬
ِ َ ِ ِِ َ َ
ُ َ ٍ َ ْ ِ ُّ ُ َ
.(‫وكل بدعة ضالَلَة. )رواه مسلم‬

“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah
itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
ُ‫ منْ سنَّ فِي ْاإلسْ الَم سنة حس َنة فلَه أَجْ رھا وأَجْ ر منْ عمل بھا َبعْ دَ ه‬r ِ ‫جريْر بْن ع ْبد ِ ال َبجلِيِّ قال قال رسُول‬
ُ ْ َ َ َ َ َ َ ْ
ِ َ ِ ِ ِ َ
َ ِ َ ِ َ َ ُ َ َ ُ ُ َ ً َ َ ً َّ ُ ِ ِ
َ َ
ْ‫غيْر أَنْ َي ْنقُص منْ أُجُورھم شيْ ء ومنْ سنَّ فِي ْاإلسْ الَم سنة سي َئة كان علَ ْيه وزرھا ووز‬
ْ ِ ِ َ َ َ ً ِّ َ ً َّ ُ ِ ِ
ُ‫ُ َ َ ِ ر منْ عمل بھا منْ َبعْ دَ ه‬
ِ َ
َ َِ َ ِ َ َ ُ
َ َ َ ٌ َ ِْ ِ ْ
ِ َ
ٌ َ ِْ ِ َ
‫غيْر أَنْ َي ْنقُص منْ أ َْوزارھم شيْ ء. رواه مسلم‬
ِ َ
ِ َ

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |

ْ‫عن‬
َ
ْ‫من‬
ِ
ْ‫من‬
ِ
24
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam
Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan,
bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang
memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian,
hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam alNawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan
yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah
dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau
belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali
melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah
diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq
dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
َّ َ َ َ َ
‫ إِذا جاء الرَّ جل وقد فا َته شيْ ء مِن الصالَة أَشار‬r ِ ‫عنْ ع ْبدِالرَّ حْ من بْن أَبيْ لَ ْيلَى قال: )كان الناسُ علَى عھد رسُول‬
َ َ ِ َّ
َ ٌ َ ُ َ َْ َ ُ ُ
َ َ َ
َ
َ َ
ِ ْ َ ِْ َ
ِ ِ ِ
ٌ َُ
ُ ِ َّ
َ‫إِلَ ْيه الناسُ فصلَّى ما فا َته ثم دَ خل فِي الصالَة ثم جاء َيومًا معاذ بْنُ ج َبل فأَشارُوا إِلَ ْيه فدَ خل ولَم َي ْن َتظِ رْ ما قال ُْوا فل‬
َّ ِ
َ
َ َ
َ َ ِ
َ َ ٍ َ
َ َّ ُ ُ َ َ
َ
ْ
ْ َ َ َّ
‫مَّا‬
َ
َ
ْ َ َ
ٌ َ ُ ُْ َ َْ ُ
َّ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ
‫ »سنَّ لَكم معاذ«.وفِيْ روا َية سيد َنا معاذ بْن ج َبل: )إ َِّنه قد سنَّ لَكم معاذ‬r ُّ‫ ذكرُوا لَه ذلِك فقال لَھم النبي‬r ُّ‫صلَّى النبي‬
َ ٌ َُ ُْ َ
َ
ٍ َ ِ ٍ َ ُ ِ ِّ َ ِ َ ِ
ِ
ِ َّ
َ‫فھكذا فاصْ ن‬
َ ََََ
ْ
‫عُوا(. رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرھم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن‬
.‫حزم‬
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat
berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat
kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan
mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke
dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal
datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah
rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk
dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera
mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal
yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam
menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
25
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz
telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang
harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi
Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan
al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti
shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata,
“Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai
dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam
hadits lain diriwayatkan:
َ
‫ فلَمَّا رفع ر ْأسه مِن الرَّ كعة قال )سمِع ُ لِمنْ حمِدَ هُ( قال‬r ِّ‫ قال : كنا نصلِّيْ وراء النبي‬t ‫وعنْ سيد َنا رفاعة بْن رافِع‬
َ َ
َ َ
َ َ َ َ ِ َْ
َ ُ َ َ َََ
ِ َّ َ َ َ َ ُ َّ ُ َ َ ٍ َ ِ َ َ َ ِ ِ ِّ َ َ َ
ُ‫رجل وراءهُ رب َنا ولَك الحمد حمدا كثيْرً ا طيبًا م َباركا ف ْيه فلَمَّا ا ْنصرف قاَل )من الم َتكلِّم؟( قال : أَ َنا قاَل: »رأَيْت‬
َ ُ َ ُْ ِ َ َ
َ ِ ِ ً َ ُ ِّ َ
ِ َ ً ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ ٌ ُ َ
َ َ َ
َ
َ
َ
ً َ َ ِ َ ًَ ِ
.‫بضْ عة و َثالَثيْن ملَكا َي ْب َتدرُو َنھا أ َُّيھم َيكتبھا«. رواه البخاري‬
َ ُُ ْ ُْ َ ْ ِ
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata:
“sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata:
“rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah
selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu
menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat
berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah
diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir
dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan
mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan,
karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat
memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani
menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya
membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir
yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya
mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat
umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan
melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah,
juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk
Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
26
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

ً
َّ ً َ ِ ِ َ ْ
ُ‫ لَ ْيلَة فِيْ رمضان إلى المسْ جد فإِذا الناس‬t ‫عنْ ع ْبد الرَّ حْ من بْن ع ْبد القاريِّ أ ََّنه قال: خرجْ ت مع عمر بْن الخطاب‬
ِ َّ َ ْ ِ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َ َ ُ
ِ َ َ
َ َ َ َ
ِ َْ ٍ َ ِ ِ َ
ُ َ َ
َ ُ ٌ َ
ُ َ ُ َ ََ ُ
َُ ُ ُ
ُ َ ِ ْ ُ ُ
ُ َ
‫: إ ِِّنيْ أَرى ل َْو جمعْ ت ھؤُ الَء‬t ‫أ َْوزاع م َتفرِّ ق ُْون يصلِّي الرَّ جل لِ َنفسِ ه ويصلِّي الرَّ جل فيصلِّيْ بصالَته الرَّ ھْ ط فقال عمر‬
ِِ َ ِ َ
َ
َ
َ
ِ َ
َّ َ َ ْ ً ُ َ َ ُ َ َ َّ ُ ٍ َ ِ
‫علَى قارئ واحد لَكان أَم َثل ثم عزم فجمعھم علَى أ ُ َبيِّ بْن كعْ ب ثم خرجْ ت معه لَ ْيلَة أُخرى والناسُ يصل ُّْون بصالة‬
ِ َ ِ َ َ ُ
َ ْ ُ َ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َ ْ َ َ ٍ ِ َ ٍ ِ َ َ
َّ َ َ َ ِ
ُ ِ َ ْ
‫قارئِھم قال عمر: نعْ مت البدعة ھذه والَّتيْ َنامُوا ع ْنھا أَفضل مِن الَّتيْ َيق ُْومُون يُر ْيد آخِر اللَّيْل وكان الناسُ َيق ُْومُون‬
ِ َ ُ َ ْ َ َ ْ
ِ َ ِ ِ َ ُ َ ِْْ ِ َ ِ ُ َ ُ َ َ ْ ِ ِ َ
َ ْ
َ
ُ َّ
.‫أَولَه. رواه البخاري‬
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku
pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid
berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga
yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu
berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam,
tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab.
Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan
mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal
itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di
akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih
secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap
malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula
pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu
anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang
imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan
ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
‫ وأَبيْ َبكر‬r ِّ‫ قال: كان النداء َيوم الجمعة أَوله إِذا جلَس اإلِمام علَى الم ْن َبر علَى عھد النبي‬t َ‫وعن السَّائب بْن َيزيْد‬
َ ِ ِْ
َ ُ َ
َ َ َ ُ َّ ِ َ ُ ُ ْ َ ْ ُ َ ِّ َ َ َ َ
ٍ ْ ِ َ
ِ َّ ِ ْ َ
ِ َ َ
ِ ِ ِ ِ
َّ َ ِّ
ْ‫ وكثر الناسُ زادَ الندَاء الثالِث على الزوراء وھِي دَار فيْ سُوق ال‬t ُ‫وعمر رضِ ي ُ ع ْنھما فلَمَّا كان عُثمان‬
َّ َ ُ َ َ
َ
َ َُ َ
.‫ْ ِ مد ْي َنة‬
ِ َِ
ِ ٌ َ َ ِ َ ْ َّ َ َ َ
َْ َ َ
َ َ َ َُ َ
.‫رواه البخاري‬
“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah
imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat
semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu
nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa
Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat,
sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir
ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’,
tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan
shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
27
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah,
tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar
pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin
yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh
para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa
sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, alHasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah
haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam
Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan
shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para
sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua,
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri
madzhab al-Syafi’i berkata:
ً َّ ُ
ُ َ ِْ َ َ ً َ
َ
َ
َ
َ َ
‫اَ ْلمُحْ دَ َثات ضرْ َبان: ما أُحْ دِث يُخالِفُ ك َتابًا أ َْو سنة أ َْو إِجْ ماعا فھُو بدعة الضَّاللَة وما أُحْ دِث فِي الخيْر الَ يُخالِفُ ش ْي ًئا‬
ِ
َ َ ِ
َ ِ َ ُ
ِ َ ْ
ْ‫منْ ذلِك فھُو مُحْ دَ َثة غ ْير مذ‬
.(٤٦٩/١ ،‫ٌ َ ُ َ مُومة. )الحافظ البيھقي، مناقب اإلمام الشافعي‬
ٍ َ ْ
َ َ َ َ ِ
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang
menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah
(tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi alQur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi,
Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah alHarrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20,
hal. 163).”
Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara
yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil
yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut
asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Seharusnya dalam
sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap
dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu
Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak
lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh
membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan
hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah
batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
28
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah yang Anda
sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda
sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya
bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak
boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah.
Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah
adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya.
Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti,
kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya
jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
. ْ‫اَ ْل َيوم اَكم ْلت لَكم د ْي َنكم وأَ ْتممْ ت علَ ْيكم نعْ متي‬
َِ ِ ُْ َ ُ َ َ ُْ ِ ُْ ُ َ ْ َ ْ
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan
bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang
yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum
sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak
berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan
penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama
tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedahkaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh
melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu
Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua
kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab
hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak halhal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang
Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah
hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat
dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para
sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil
bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil
Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar
belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
29
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan
dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut
kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang
dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara
lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah
mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik
perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak
bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a
‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala
sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan,
perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits
seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam
teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah
Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian
hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks
hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna
sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna
sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut
kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam
terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada
yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu,
para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil
islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin
dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab alwurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini
sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah,
al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna
suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada
konteksnya yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada.
Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn
Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya
saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau
namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn
Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi
Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan alImam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
30
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan
mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti
dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah.
Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits
‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku
dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian,
apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami
sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak
bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan
bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita
mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah
hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita
melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan
adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah
hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin
dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat,
bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang
berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa
sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani
mengartikan demikian?”
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau
membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti
hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para
ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar
bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian.
Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap
kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak
menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan
tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam
sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah.
Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa
nafsu.” Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada
akhir Juli 2010 yang lalu.

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
31
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Di Islamic Center Jakarta Utara
Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di
sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang
tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok
Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada
pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center
Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat,
dua tokoh Wahhabi di Indonesia.
Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok
Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul
Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua
tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah.
Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah.
Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat
dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada
masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena
termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda
sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang
belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti
bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin alKhaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina
Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain
juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda
mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya
termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya,
Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan
kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka
dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab
Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.
Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah
tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada
beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah
tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang
bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di
Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
32
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori,
tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan
bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa
saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang
bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa
semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak
ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan,
karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang
disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal
dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
ُ ُ ِ َ
ً َ َ ِ
َُ ُ َِ َ َ
ُ
‫قال ْاإلمام أَحْ مد بْنُ ح ْن َبل: إ ِِّنيْ أل َْدعُو َ لِلشافعِيِّ فيْ صالَتيْ م ْنذ أَرْ َبعيْن س َنة، أَق ُْول: اَللَّھم اغفرْ لِيْ ولِوالِدَ يَّ ولِمُحمد‬
ِ َّ َ َ
ِ ْ َّ ُ
ِ
ِ َّ
َ َ
ٍ َ
.(٢/٢٥٤ ،‫بْن إِدريْس الشافعِيِّ . )الحافظ البيھقي، مناقب اإلمام الشافعي‬
ِ َّ َ ِ ْ ِ
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam
shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku,
kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi,
Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal
melakukannya selama empat puluh tahun.
Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan
dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari
naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang
saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal
dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang
Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang
belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan
malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini
diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti
acara daurah tersebut.
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh.
Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah
ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
33
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika
dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama
sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
34
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

BAB IV
OTORITAS ULAMA
Sumber Liberalisme
Pada tahun 2009, saya terlibat perdebatan sengit di Surabaya dengan seorang
tokoh Salafi dari Malang, berinisial AH. Di bagian awal buku yang
dipromosikannya pada waktu itu, ia menulis, bahwa madzhab al-Asy’ari
merupakan sumber pemikiran liberal. Saya merasa heran dengan asumsi
murahan AH yang mengatakan bahwa pemikiran liberal sumbernya dari
madzhab al-Asy’ari. Logika dan paradigma apa yang dijadikan barometer untuk
menilai madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal.
Seandainya ada seseorang berpendapat bahwa ajaran Islam itu sumber
kejahatan pencurian dan perzinahan, karena ia melihat dalam kitab-kitab tafsir
ada beberapa ayat yang turun berkaitan dengan sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima logika berpikir
seperti ini? Tentu saja dia tidak akan menerima.
Seandainya AH berkomunikasi terlebih dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi
yang menjadi gurunya di Saudi Arabia, mungkin ia tidak akan menulis tuduhan
keji seperti itu. Karena para ulama Wahhabi sendiri mengakui, bahwa mayoritas
ulama dari berbagai bidang, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli sejarah,
gramatika dan lain-lain mengikuti madzhab al-Asy’ari.
AH sepertinya tidak pernah membaca sejarah bahwa para ulama yang berhasil
membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada akhir abad keenam
Hijriah adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari. Dalam sejarah pemikiran
Islam, Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam
arena dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal sebagai aliran yang
mendahulukan akal daripada nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah. Di tangan
Mu’tazilah, teks-teks al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang nilai sakralitasnya
karena harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar. AH juga
sepertinya tidak tahu sejarah, bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber
pemikiran liberal dalam Islam, menjadi terkapar untuk selama-lamanya dari
ranah intelektual kaum Muslimin setelah dibabat habis oleh Hujjatul Islam alGhazali dengan kitabnya Tahafut al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh
madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal? Bukankah lebih layak kalau
dikatakan bahwa liberalisme sumbernya dari Wahhabi.
Sebagaimana dimaklumi, di antara ciri khas liberalisme, adalah upaya
desakralisasi otoritas ulama. Ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan
kepada kaum liberal, maka dengan serta merta mereka akan menolaknya

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
35
Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi

dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti halnya mereka. Kaum
Wahhabi juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada
mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya, dengan bahasa
yang terkadang lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”.
Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti al-Qur’an
dan Sunnah.
Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi seperti AH menuduh madzhab alAsy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Bukankah pendiri aliran Wahhabi sendiri,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi telah mengatakan bahwa kitabkitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik. Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah fi
al-Ajwibah al-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang
dihimpun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Najdi al-Wahhabi, juz 3
hal. 59, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen yang
cukup ekstrem bahwa ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para
ulama fuqaha yang menulis kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan
manusia dan jin. Astaghfirullah.

Tidak Perlu Mengikuti Ulama
Kejadian itu agak mirip dengan kejadian berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi
pengajian di daerah Kesiman Denpasar Timur Bali. Setelah saya memaparkan
tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an dan hadits, lalu saya mengutip
pendapat para ulama sejak Khulafaur Rasyidin yang mengakui dan
mengamalkan bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat bicara dengan
nada emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti imam ini maupun imam
itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik. Setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tidak ada orang yang perlu kita ikuti.” Demikian
perkataan orang Wahhabi tersebut dengan suara berapi-api dan nada suara
tinggi.
Orang Wahhabi ini sepertinya tidak tahu, bahwa yang memberikan otoritas
kepada ulama agar diikuti oleh umat Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika
kita mengikuti ulama, itu bukan berarti kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi kita justru mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan
pemahaman para ulama yang lebih mengerti dari pada kita. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
ِّ
َ
.(٤٣ : ‫فاسْ أَل ُْوا أَھْ ل الذكر إِنْ ك ْنتم الَ َتعْ لَمُون. )النحل‬
َ ْ
ُْ ُ
ِ ْ َ
“Bertanyalah kamu kepada para ulama apabila kamu tidak tahu.” (QS. al-Nahl:
43 dan al-Anbiya’: 7).

www.pustakaaswaja.web.id
| Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi
Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi

More Related Content

Viewers also liked

Viewers also liked (8)

Asbabul wurud
Asbabul wurudAsbabul wurud
Asbabul wurud
 
Bacaan tahlil rmi project syndication - www.rmi-nu.or.id
Bacaan tahlil    rmi project syndication - www.rmi-nu.or.idBacaan tahlil    rmi project syndication - www.rmi-nu.or.id
Bacaan tahlil rmi project syndication - www.rmi-nu.or.id
 
Tahlilan madzhab syafii
Tahlilan madzhab syafiiTahlilan madzhab syafii
Tahlilan madzhab syafii
 
Do'a dan Tahlil
Do'a dan TahlilDo'a dan Tahlil
Do'a dan Tahlil
 
Bab. ii tauhid dalam islam powerpoint
Bab. ii tauhid dalam islam powerpointBab. ii tauhid dalam islam powerpoint
Bab. ii tauhid dalam islam powerpoint
 
BUKU ELEKTRONIK (E-BOOK)
BUKU ELEKTRONIK (E-BOOK)BUKU ELEKTRONIK (E-BOOK)
BUKU ELEKTRONIK (E-BOOK)
 
Bangga Jadi Muslim
Bangga Jadi MuslimBangga Jadi Muslim
Bangga Jadi Muslim
 
Matan
MatanMatan
Matan
 

More from Ahmad Rouf

Retorika dakwah ans mkl
Retorika dakwah ans mklRetorika dakwah ans mkl
Retorika dakwah ans mklAhmad Rouf
 
Panduan membentuk ans mkl
Panduan membentuk ans mklPanduan membentuk ans mkl
Panduan membentuk ans mklAhmad Rouf
 
Modul dan kurikulum pendidikan dakwah nu
Modul dan kurikulum pendidikan dakwah nuModul dan kurikulum pendidikan dakwah nu
Modul dan kurikulum pendidikan dakwah nuAhmad Rouf
 
Aswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyahAswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyahAhmad Rouf
 
Aswaja politik
Aswaja politikAswaja politik
Aswaja politikAhmad Rouf
 
Aswaja an nahdliyah nu
Aswaja an nahdliyah nuAswaja an nahdliyah nu
Aswaja an nahdliyah nuAhmad Rouf
 
Akidah ahlussunnah nu
Akidah ahlussunnah nuAkidah ahlussunnah nu
Akidah ahlussunnah nuAhmad Rouf
 

More from Ahmad Rouf (7)

Retorika dakwah ans mkl
Retorika dakwah ans mklRetorika dakwah ans mkl
Retorika dakwah ans mkl
 
Panduan membentuk ans mkl
Panduan membentuk ans mklPanduan membentuk ans mkl
Panduan membentuk ans mkl
 
Modul dan kurikulum pendidikan dakwah nu
Modul dan kurikulum pendidikan dakwah nuModul dan kurikulum pendidikan dakwah nu
Modul dan kurikulum pendidikan dakwah nu
 
Aswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyahAswaja an-nahdliyah
Aswaja an-nahdliyah
 
Aswaja politik
Aswaja politikAswaja politik
Aswaja politik
 
Aswaja an nahdliyah nu
Aswaja an nahdliyah nuAswaja an nahdliyah nu
Aswaja an nahdliyah nu
 
Akidah ahlussunnah nu
Akidah ahlussunnah nuAkidah ahlussunnah nu
Akidah ahlussunnah nu
 

Buku pintar-berdebat-dengan-wahhabi

  • 1.
  • 2. 1 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI @ Muhammad Idrus Ramli Penerbit : Bina ASWAJA Surabaya, telp. 031 7871848 www.aswaja-nu.com Bekerjasama dengan : LBM NU Jember Cetakan I, September 2010 Kompilasi Ebook PDF oleh: Pustaka Aswaja www.pustakaaswaja.web.id Hak cipta dilindungi undang-undang. Tidak diperkenankan untuk mengkomersilkan ebook ini. Dukung selalu penerbit dan penulis atas karya-karya tulisnya dengan cara membeli buku aslinya di toko-toko buku terdekat. www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 3. 2 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dengan terbitnya buku sakti ini yang berjudul Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi. Terimakasih dan salam ta’dhim saya kepada Ust. Muh. Idrus Ramli sebagai penulis bersama tim LBM NU Jember. Buku ini menjadi panduan dalam berdialog dan berdebat dengan kalangan Wahhabi yang dewasa ini menamakan dirinya Salafi. Tujuan itu agaknya tercermin dari judul buku yang mentasbihkan diri sebagai ‘buku pintar’. Sebuah pilihan judul yang menarik dan sesuai pula dengan muatannya. Mengingat pentingnya buku ini, saya rasa setiap orang harus memiliki buku ini sebagai bahan untuk membentengi diri dengan argumentasi-argumentasi untuk mematahkan pendapat di kalangan salafi wahhabi dewasa ini. Oleh karena itu pula saya menerbitkan ebook dalam bentuk PDF ini semata-mata karena ingin membuat orang lain lebih tahu banyak tentang isi buku ini, sebagai bahan preview sebelum membeli, untuk selanjutnya diharapkan membeli buku aslinya ini di toko-toko buku terdekat atau melalui online. Tulisan-tulisan di ebook ini dari Bab 1 – 8 diambil dari situs www.sidogiri.net , dan Bab 9 – 10 saya ketik sendiri secara manual. Oleh karena itu, ada beberapa perbedaan yang tak signifikan dengan buku aslinya, seperti penulisan teks arab hanya saya sertakan yang pendek-pendek saja dan tanpa harokat. Selanjutnya, saya juga memberikan keterangan penjelasan pada Bab 9 tentang Tradisi Yasinan (lihat halaman 86 Ebook ini). Demikianlah semoga ebook ini bermanfaat dan untuk dapat dipergunakan sewajarnya dan semestinya serta tidak disalahgunakan. Makassar, Ramadhan 1432 H Luqman Firmansyah www.pustakaaswaja.web.id www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 4. 3 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi DAFTAR ISI 1. NGALAP BAROKAH 4 2. ALLAH MAHA SUCI 12 3. BID’AH HASANAH 23 4. OTORITAS ULAMA 34 5. BUKAN AHLUSSUNNAH 42 6. MENURUT AL-SYATHIBI 52 7. ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL 63 8. CERDAS BERMADZAB 75 9. TRADISI YASINAN 83 10. PERMASALAHAN TRADISI 90 www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 5. 4 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi BAB I NGALAP BAROKAH Dialog Publik di Masjidil Haram Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni. Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya. Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda alSayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu. Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 6. 5 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan Wahhabi itu. Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau, mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya. Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.” Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh dua ulama besar itu. Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?” Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.” Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan: www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 7. 6 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi َّ َ َ ُ ً َ ِ َ َّ َ .(٩ : ‫و َنز ْل َنا مِن السماء ماء م َباركا ً. )ق‬ “Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9). Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah: ً َ ُ َ َّ ِ ٍ َ َّ .(٩٦ : ‫إِنَّ أَول َب ْيت وُ ضِ ع لِل َّناس لَلَّذِيْ ب َبكة م َباركا. )آل عمران‬ َ ِ “Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96). Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.” Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.” Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.” Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu. Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 8. 7 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya. Ngalap Berkah Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan. Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ‫عليه وسلم: اَ ْل َبركة مع‬ ‫عن ابْن عبَّاس رضِ ي ُ ع ْنھما قال قال رسُول ِ صلى‬ ُ ْ َ َ َ َ َ َُ َ َ َ ُ َ َ َ َ ٍ َ ِ ِ َ ‫أَكابركم ”. رواه ابن حبان )٢١٩١( وأبو نعيم في ”الحلية“ )٨/٢٧١( و الحاكم في‬ ُْ ِِ َ ‫”المستدرك“ )١/٢٦( و الضياء في ”المختارة“ )٤٦/٥٣/٢( و قال الحاكم : ”صحيح‬ .‫على شرط البخاري“ . و وافقه الذھبي‬ “Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam alMustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.) Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orangorang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua. Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?” Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 9. 8 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali. Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits: ‫عليه‬ ‫ قال: ربِّ أَدننِيْ مِن ْاألَرْ ض المقدسة رم َية بحجر وأَنَّ ال َّنبيَّ صلى‬u ‫أَنَّ مُوسى‬ ِْ َ ٍ َ َ ِ ً ْ َ ِ َ َّ َ ُ ْ ِ َ َ َ َ َ ْ ِ َّ ِ ْ َ ِّ ْ .«‫وسلم قال: »و ِ لَو أَنيْ عِ ندهُ ألَريتكم قبْرهُ إِلَى جنب الطريْق عِ ندَ الكثيب األَحْ مر‬ َْ َ َ َُُْْ َ َ َ ِ َ ْ ِ ِْ َ ْ ْ ِ ِ “Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.” Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata: ‫وف ْيه اسْ تِحْ َبابُ معْ رفة قُبُور الصَّالِحيْن لِز َيارتھا والق َيام بحقھا، وقد ذكر ال َّنبيُّ صلى‬ ِ ِ َ ِ َ َ َ ْ َ َ َ ِّ َ ِ ِ ِ ْ َ َ ِ َ ِ َ ِ ِ ْ َِ ِ َ َ‫ عالَمة ھِي م ْوجُودةٌ فِيْ قبْر مشھُور عِ ْند ال َّناس ْاآلَن بأ َّن‬u ‫عليه وسلم لِقبْر السيد مُوسى‬ ًَ َ ْ َ ٍ َ ‫َ ِ ه‬ ُ َ ٍ ْ َ ْ َ َ َ ْ ِ ِّ َّ ِ َ ِ .‫ق ْبرهُ، والظاھر أَنَّ الم ْوضِ ع المذك ْور ھُو الَّذِيْ أَشار ال َّنبيُّ علَ ْيه الصَّالةُ والسالَم‬ ُ ِ َّ َ ُ َ ِ َ ِ َ َ َ َ ُ َْْ َ َْ ُ َّ َ َ “Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]). Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ُ‫قال رسُول ِ صلى عليه وسلم : » ك ْنت َنھ ْيتكم عنْ ز َيارة القُبُور فز ْورُوھا « رواه‬ ُ ْ َ َ َ ََ َ ْ ُ َ ِ ْ ْ َِ ِ َ ُُْ َ ُ ُ ََ .«‫مُسْ لِم )٧/٦٤(. وفِيْ روا َية » فمنْ أَراد أَنْ َيز ْور القُبُور ف ْل َيزرْ فإِ َّنھا تذكر َنا ْاآلَخِرة‬ ُ ِّ َ ُ َ َ ُ َ َ ْ ْ َ ُ َ َ ََ ٍ َِ َ ٌ “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]). www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 10. 9 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: .‫البيھقي‬ ٌ ‫عليه وسلم: »اَالَ ْنب َياء أَحْ َياء فِيْ قُبُورھم يصلُّ ْون« رواه‬ ُ ِ َ َ ُ ِْ ِ ْ ‫ِ صلى‬ ‫قال رسُول‬ ُ ْ َ َ َ “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat alAnbiya’, [1]). Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini: ‫عنْ ع ْبد ِ بْن مسْ عُود رضي عنه عنْ رسُول ِ صلى عليه وسلم قال: »ح َياتيْ خ ْير لَكم تحْ دِثون ويُحْ دَث لَكم‬ ٍ ْ َ ِ ِ َ َ َ َ ُْ ُ ْ ُ ٌ َ ِ َ َ َ ُْ ُ ِ ْ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ ُْ ٌ َ ِ ََ َ ُ‫ومماتيْ خ ْير لَكم فإِذا أَ َنا مِت عُرضت علَيَّ أَعْ مالُكم فإِنْ رأَيْت خيْرً ا حمِدت َ وإِنْ رأَيْت غيْر ذلِك ِاسْ َتغفرْ ت َلك‬ ُ َ ُ ْ َ َ ُ َ َ ْ «‫َْ ُ م‬ َ َ َ ْ َ ِ ُّ ْ ُ َّ ْ َ َ .‫رواهُ ال َبزار‬ “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]). Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini: َْ ‫والَ َيدخل فيْ ھذا ال َباب )أَيْ مِن الم ْنكرات عِ ْندَ السلَفِ ( ما يُرْ وى منْ أَنَّ قومًا سمعُوا رد السالَم منْ قبْر النبيِّ صلى‬ َّ ِ َ ِ َ َ ُْ َ ِ ْ ََ ِ ُ ُ ْ َ َ ِ َّ ِ َ ِ ِ َّ َّ َ ْ ِ َ ْ َ َ‫عليه وسلم أ َْو قُبُور غيْره مِن الصَّالِحيْن وأَنَّ سعيْدَ بْن المسيب كان َيسْ معاْألَذان مِن القبْر لَ َيالِي الحرَّ ة و َنحْ وُ ذ‬ َْ َ َ َ ُ َ َ ِ َّ َ ُ ْ ِ َ ِ ْ ‫لِك‬ َِ َ َ ِ َ َ َ َ ِ َ ِِ ِ َّ ِ َ ٌّ َ ُ ُ َ َ َ ‫فھذا كلُّه حق لَيْس ممَّا َنحْ نُ ف ْيه و ْاألَمرُأَجل منْ ذلِك وأَعْ ظم وكذلِك أَ ْيضا ما يُرْ وى أَنَّ رجالً جاء إِلَى قبْر النبيِّ صلى‬ ِ َ َ َ ُ َ َ َ ً َ َ َ َ ُ َ َ َ َ ِ ُّ َ ْ َ ِ ِ ِ ََ َ َّ َ َ ْ ََ َ ُ ُ َ َ ََ ِ ‫عليه وسلم فشكا إِلَ ْيه الجدَب عام الرَّ مَادَ ة فرآهُ وھُو َيأْمرهُ أَنْ َيأْتِي عمر ف َيأْمُرھُأَنْ َيخرُج ف َيسْ َتسْ قِي الناسُ فإِنَّ ھذا‬ َ َ َ َُ َ َ َ َ َ ْ ِ ْ‫لَيْس منْ ھذا ال َباب ومِثل ھذا َيقع كثيْرً ا لِم ْنھُو دون النبيِّ صلى عليه وسلم وأَعْ رفُ منْ ھذه ال‬ ََ ُ ْ َ ِ ْ ََ ِ َ ‫ِ َ ِ ِ وقائِع كثيْرً ا. )الشيخ‬ َِ ِ َ َ َِ َُ ِ َّ َ ْ ُ َ َ ِ َ .(٣٧٣/١ ‫ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم‬ www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 11. 10 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373). Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata: َّ َ ٍ َ َ ِ ِ َ ُ ْ َّ َ َ َ ُّ ِ َ ْ ٍ ْ ْ َ َ َ ْ ‫وقال الحافِظ اَبُو َبكر ا ْل َب ْيھقِيُّ اَخ َبر َنا اَبُو َنصْ ر بْنُ ق َتادَ ة واَبُو َبكر الفارسِ يقاال حد َث َنا اَبُو عمر بْن مطر حد َث َنا ِابْراھ ْيم‬ َ ْ َ ُ ِ َ ٍ ٍ ْ ْ ُ َ ْ َ َ َ ُّ ُ َّ َ َّ َ ‫بْنُ علِيٍّ الذھْ لِيُّ حد َث َنا َيحْ َيى ْبن َيحْ َيى حد َث َنا اَبُو معاو َية عن ْاألَعْ مش عنْ اَبيْ صالِح عنْ مالِكٍ قال اَصاب الناس‬ َ َّ َ َ َ َ َ َ ٍ َ َ ِ َ ِ َ ِ َ َ ِ َُ ْ َّ َ ْ ِ َّ‫قحْ طفيْ زمن عمر بْن الخطاب فجاء رجل ِالَى قبْر النبيِّ صلى عليه وسلم فقالَ َيارسُول ِ ِاسْ َتسْ ق َ الُمتِك فان‬ َّ ِ َ ٌ ُ َ َ َ َ ِ ‫ِ َّ َ َ ِ ھم‬ َ ْ َ ََ َُ ِ َ َ ٌِ َ ُْ ِ ِ ِ ِّ ِ َ ُْ َ َْ ُ ْ َ ‫عليه وسلم فِي الم َنام فقال ِا ْيت عمر فأ َْقرءْ هُ مني السالَم واَخبرْ ھم ِانھم مُسْ قون‬ ‫قد ھلَكوا فأ َ َتاهُ رسُول ِ صلى‬ َ َْ ْ ُ َّ ْ ُ ِ ْ َ َ َّ ِ َ َ َ ُ ِ َ ََ ِ َْ ْ ِ َْ ِ َ َ ُ َ َ‫وقُ ْللَه علَيْك بالكيْس الكيْس فا َ َتى الرَّ جل فاَخ َبر عمر فقال َياربِّ ما آَل ُْوا ِاالَّ ما عجزتع ْنهُ، وھذ‬ ْ َ ُ ُ ُْ َ َ َ َ ِ َ ٌ ِ َ ٌ ‫َ َ ا ِاسْ َناد صح ْيح. )الحافظ‬ َ َ َ َ ََ َ َ ُ َ ‫ابن كثير، البداية والنھاية ٧/٢٩ وقال في جامع المسانيد ١/٣٣٢: اسناده جيد قوي، وروى ھذا الحديث ابن ابي‬ ‫خيثمة. انظر: االصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في االرشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في االستيعاب ٢/٤٦٤ وصححه‬ .٤٩٥/٢ ” ‫الحافظ ابن حجر في ” فتح الباري‬ “Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari alA’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 12. 11 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, alBidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh alHafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495). Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya. www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 13. 12 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi BAB II ALLAH MAHA SUCI Allah Ada tanpa Tempat Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak menyerupai makhluk-Nya. Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat. Wahhabi berkata: “Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab; “Sekarang saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.” Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?” Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: .(٦٢ : ‫َ ُ خالِق كل شيْ ء. )الزمر‬ ٍ َ ِّ ُ ُ َ “Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62). Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 14. 13 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi ُ ِ َ ُ َّ َ .(٣ : ‫ھُو ْاألَول و ْاآلَخر. )الحديد‬ “Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid : 3). Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari segala kekurangan. Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama. Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini. “Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka. Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: .(٤ : ‫وھُو معكم أَ ْي َنما ك ْنتم. )الحديد‬ ُْ ُ َ ُْ ََ َ َ “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 15. 14 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Apakah ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk alQur’an.” Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: .(٧ : ‫ما َيكونُ منْ َنجْ وى َثالَ َثة إِالَّ وھُو رابعھم. )المجادلة‬ ٍ ِ ُْ َ َ ُْ ُِ َ َ َ “Tiada pembicaraan rahasia antara keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7). tiga orang, melainkan Dia-lah Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.” Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.” Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil. Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi? Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam alHafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi. Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 16. 15 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?” Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: .(٩٩ : ‫وقال إ ِِّنيْ ذاھبٌ إِلَى ربِّيْ س َيھديْن. )الصافات‬ ِ َ َ َ َ َ ِ ِْ َ “Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99). Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih: ‫ِ . قا ل‬ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ‫ُ؟ قالَت: فِي السماء. قال منْ أَ َنا؟ قالَت: رسُول‬ َ َ َ ِ َ َّ ُ ْ َ َ َ ‫قال رسُول ِ صلى عليه وسلم ل ِْلجار َية السَّودَ اء: أَيْن‬ َ ِ ْ ِ ِ َ ٌ‫أَعْ تقھا فإ َِّنھا مُؤم َنة‬ .‫ِ ْ َ َ َ ْ ِ . رواه مسلم‬ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).” Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 17. 16 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah. Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi. Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: ًَ َ ُ ‫عنْ أَ َنس أَنَّ النبيَّ صلى عليه وسلم رأَى نخامة فِي الق ْبلَة فحكھا ب َيده ورُؤي م ْنه كراھ َية وقال: إِنَّ أَحدَ كم إِذا قام‬ َ َ َ ٌ ِ َ َ ُ ِ َ ِ َ ِ ِ ِ َ َّ َ َ ِ ِ ْ َ َ َ َ َ ُْ َ ٍ ِ َّ ْ‫فيْ صالَته فإ َِّنما ي َناجيْ ربه أ َْو ربه َب ْي َنه و َبيْن ق ْبلَته فالَ َي ْبزقنَّ فيْ قِ ْبلَته ولَكنْ عنْ َيساره أ َْو َتحْ تَ قدمه. رواهُ ال‬ َ َ ِ ِ ِ َ َ ُ ُ َّ َ ُ َّ َ ِ ُ َ َ ِ َ . ُّ‫َ َ ِ ِ َ َ بُخاري‬ ِِ َ ِ َُ ِ َ ِ َ ِِ ِ “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]). Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq: ٌ‫وأَجْ معُوا علَى أ ََّنه الَ َيحْ و ْيه مكانٌ والَ َيجْ ريْ علَ ْيه زمان‬ ُ َ َ ِ َ َ ََ ِ ِ َ ْ َ َ ِ www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 18. 17 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna alFiraq, 256). Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi: ُ َِ ْ ِ ِ ُّ .‫والَ َتحْ و ْيه الجھات السِ ت‬ َ “Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.” Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH. Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: ََ ِ َ ْ ِ ْ ‫عنْ عِ مران بْن حصيْن قال إ ِِّنيْ عِ ْندَ النبيِّ صلى عليه وسلم إ ِْذ دَ خل َناسٌ منْ أَھل ال َيمن فقال ُْوا: ج ْئ َناك لِ َن َتفقه فِي‬ ِ َ َّ َ َ ِ َ َ َ َ ٍ َ ُ ِ َ َ ْ َ ِ َّ ََ ِ َ َ َ َ َ َ ِ ْ ِّ ُ‫الديْن ولِ َنسْ أ َلَك عنْ أَوَّ ل ھذا ْاألَمر ما كان. قال: كان ُ ولَم َيكنْ شيْ ء غ ْيره‬ ُ َ ٌ َ ُ ْ َ .(‫. )رواه البخاري‬ َ َ َ ِ َ “Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]). Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini: www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 19. 18 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi ْ ُ َ َ ٍ ِ َ ِ َ ُ َ َْ َ َ ٌ َ َ ُ َ َ ٍ َ َ ِ َ َ َ َ ُ َ َ ‫عنْ أَبيْ رزيْن قال قُ ْلت : َيا رسُول ِ أَيْن كان رب َنا ق ْبل أَنْ َيخلُقَ خ ْلقه ؟ قال كان فيْ عماء ما تحْ َته ھواء وما فوقه‬ َ َ ُّ َ َ َ َ َ ْ َ ََ َ ِّ َ َ ٌ َ ُ َ َ َ َ َ ٌ ََ ُ ِ َ َ ٍ َِ َُ َ َ ِ َْ َ َ َُ َ ُ َ َْ َ ْ َ ‫ھواء وخلَقَ عرْ شه على الماء قال أَحْ مد بْنُ منيْع قال َيز ْيد ْبنُ ھارُون العماء أَيْ لَيْس معه شيْ ء قال الترْ مذِيُّ وھذا‬ ِ . ٌ‫حديْث حسن‬ َ َ ٌ َِ “Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]). Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: ‫ُ والَ مكان وھُو ْاآلَن علَى ما علَ ْيه كان‬ َ َ ِ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ ‫كان‬ َ َ “Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256). Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab alSyafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih. www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 20. 19 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah subhanahu wa ta‘ala dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz. Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah alSyanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi. Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu: “Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an: .(٧٢: ‫ومنْ كان فيْ ھذه أَعْ مى فھُو فِي ْاآلَخِرة أَعْ مى وأَضل سب ْيالً. )اإلسراء‬ َ َ َ َِِ ِ َ َ َ َ ِ َ ُّ َ َ َ ِ َ “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72). Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?” Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar. Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan, www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 21. 20 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya. “Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi? Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu, saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”. Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.” Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah WalJama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab: “Benar begitu.” Saya berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar pertanyaan Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata: “Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan: ٌ َ ٍ َ ُّ ُ ُ َْ َُ َ .‫َبابُ – كل شيْ ء ھالِك إِالَّ وجْ ھه اَيْ مُلكه‬ www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 22. 21 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.” Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran sesat?”. Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat: ٌ َ ٍ َ ُّ ُ ُ َْ َُ َ .‫َبابُ – كل شيْ ء ھالِك إِالَّ وجْ ھه اَيْ مُلكه‬ Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan alImam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat. Seorang teman saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini. “Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Di antara materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 23. 22 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi subhanahu wa ta‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan ayat al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS. Thaha : 5). Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di atas ‘Arasy. Akibatnya, terjadiah dialog sengit antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan-shaffa (QS. al-Fajr : 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu wa qhadha’uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa ta‘ala). Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih. Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza alisnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi. www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 24. 23 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi BAB III BID’AH HASANAH Bid’ah Hasanah dan Dalilnya Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya. Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ْ َ َ َ َ َ ٍ َّ َ ‫ِ وخيْرالھُدَ ى ھُدَ ى مُحمد وشرُّ ْاألُمُور مُحْ دَ َثاتھا‬ َُ ِ ْ ُ‫: إِنَّ خيْر الحد ْيث ك َتاب‬r ِ ِ ِ َِ ْ َ َ ُ ْ َ َ َ َ َ ‫ قال قال رسُول‬t ِ ‫عنْ جابر بْن ع ْبد‬ ِ َ ِ ِِ َ َ ُ َ ٍ َ ْ ِ ُّ ُ َ .(‫وكل بدعة ضالَلَة. )رواه مسلم‬ “Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]). Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda: ُ‫ منْ سنَّ فِي ْاإلسْ الَم سنة حس َنة فلَه أَجْ رھا وأَجْ ر منْ عمل بھا َبعْ دَ ه‬r ِ ‫جريْر بْن ع ْبد ِ ال َبجلِيِّ قال قال رسُول‬ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ْ ِ َ ِ ِ ِ َ َ ِ َ ِ َ َ ُ َ َ ُ ُ َ ً َ َ ً َّ ُ ِ ِ َ َ ْ‫غيْر أَنْ َي ْنقُص منْ أُجُورھم شيْ ء ومنْ سنَّ فِي ْاإلسْ الَم سنة سي َئة كان علَ ْيه وزرھا ووز‬ ْ ِ ِ َ َ َ ً ِّ َ ً َّ ُ ِ ِ ُ‫ُ َ َ ِ ر منْ عمل بھا منْ َبعْ دَ ه‬ ِ َ َ َِ َ ِ َ َ ُ َ َ َ ٌ َ ِْ ِ ْ ِ َ ٌ َ ِْ ِ َ ‫غيْر أَنْ َي ْنقُص منْ أ َْوزارھم شيْ ء. رواه مسلم‬ ِ َ ِ َ www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah | ْ‫عن‬ َ ْ‫من‬ ِ ْ‫من‬ ِ
  • 25. 24 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi “Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]). Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam alNawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini: َّ َ َ َ َ ‫ إِذا جاء الرَّ جل وقد فا َته شيْ ء مِن الصالَة أَشار‬r ِ ‫عنْ ع ْبدِالرَّ حْ من بْن أَبيْ لَ ْيلَى قال: )كان الناسُ علَى عھد رسُول‬ َ َ ِ َّ َ ٌ َ ُ َ َْ َ ُ ُ َ َ َ َ َ َ ِ ْ َ ِْ َ ِ ِ ِ ٌ َُ ُ ِ َّ َ‫إِلَ ْيه الناسُ فصلَّى ما فا َته ثم دَ خل فِي الصالَة ثم جاء َيومًا معاذ بْنُ ج َبل فأَشارُوا إِلَ ْيه فدَ خل ولَم َي ْن َتظِ رْ ما قال ُْوا فل‬ َّ ِ َ َ َ َ َ ِ َ َ ٍ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ ْ ْ َ َ َّ ‫مَّا‬ َ َ ْ َ َ ٌ َ ُ ُْ َ َْ ُ َّ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ ‫ »سنَّ لَكم معاذ«.وفِيْ روا َية سيد َنا معاذ بْن ج َبل: )إ َِّنه قد سنَّ لَكم معاذ‬r ُّ‫ ذكرُوا لَه ذلِك فقال لَھم النبي‬r ُّ‫صلَّى النبي‬ َ ٌ َُ ُْ َ َ ٍ َ ِ ٍ َ ُ ِ ِّ َ ِ َ ِ ِ ِ َّ َ‫فھكذا فاصْ ن‬ َ ََََ ْ ‫عُوا(. رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرھم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن‬ .‫حزم‬ “Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 26. 25 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi). Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan: َ ‫ فلَمَّا رفع ر ْأسه مِن الرَّ كعة قال )سمِع ُ لِمنْ حمِدَ هُ( قال‬r ِّ‫ قال : كنا نصلِّيْ وراء النبي‬t ‫وعنْ سيد َنا رفاعة بْن رافِع‬ َ َ َ َ َ َ َ َ ِ َْ َ ُ َ َ َََ ِ َّ َ َ َ َ ُ َّ ُ َ َ ٍ َ ِ َ َ َ ِ ِ ِّ َ َ َ ُ‫رجل وراءهُ رب َنا ولَك الحمد حمدا كثيْرً ا طيبًا م َباركا ف ْيه فلَمَّا ا ْنصرف قاَل )من الم َتكلِّم؟( قال : أَ َنا قاَل: »رأَيْت‬ َ ُ َ ُْ ِ َ َ َ ِ ِ ً َ ُ ِّ َ ِ َ ً ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ ٌ ُ َ َ َ َ َ َ َ ً َ َ ِ َ ًَ ِ .‫بضْ عة و َثالَثيْن ملَكا َي ْب َتدرُو َنھا أ َُّيھم َيكتبھا«. رواه البخاري‬ َ ُُ ْ ُْ َ ْ ِ “Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]). Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup. Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 27. 26 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi ً َّ ً َ ِ ِ َ ْ ُ‫ لَ ْيلَة فِيْ رمضان إلى المسْ جد فإِذا الناس‬t ‫عنْ ع ْبد الرَّ حْ من بْن ع ْبد القاريِّ أ ََّنه قال: خرجْ ت مع عمر بْن الخطاب‬ ِ َّ َ ْ ِ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َ َ ُ ِ َ َ َ َ َ َ ِ َْ ٍ َ ِ ِ َ ُ َ َ َ ُ ٌ َ ُ َ ُ َ ََ ُ َُ ُ ُ ُ َ ِ ْ ُ ُ ُ َ ‫: إ ِِّنيْ أَرى ل َْو جمعْ ت ھؤُ الَء‬t ‫أ َْوزاع م َتفرِّ ق ُْون يصلِّي الرَّ جل لِ َنفسِ ه ويصلِّي الرَّ جل فيصلِّيْ بصالَته الرَّ ھْ ط فقال عمر‬ ِِ َ ِ َ َ َ َ ِ َ َّ َ َ ْ ً ُ َ َ ُ َ َ َّ ُ ٍ َ ِ ‫علَى قارئ واحد لَكان أَم َثل ثم عزم فجمعھم علَى أ ُ َبيِّ بْن كعْ ب ثم خرجْ ت معه لَ ْيلَة أُخرى والناسُ يصل ُّْون بصالة‬ ِ َ ِ َ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َ ْ َ َ ٍ ِ َ ٍ ِ َ َ َّ َ َ َ ِ ُ ِ َ ْ ‫قارئِھم قال عمر: نعْ مت البدعة ھذه والَّتيْ َنامُوا ع ْنھا أَفضل مِن الَّتيْ َيق ُْومُون يُر ْيد آخِر اللَّيْل وكان الناسُ َيق ُْومُون‬ ِ َ ُ َ ْ َ َ ْ ِ َ ِ ِ َ ُ َ ِْْ ِ َ ِ ُ َ ُ َ َ ْ ِ ِ َ َ ْ َ ُ َّ .‫أَولَه. رواه البخاري‬ “Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: ‫ وأَبيْ َبكر‬r ِّ‫ قال: كان النداء َيوم الجمعة أَوله إِذا جلَس اإلِمام علَى الم ْن َبر علَى عھد النبي‬t َ‫وعن السَّائب بْن َيزيْد‬ َ ِ ِْ َ ُ َ َ َ َ ُ َّ ِ َ ُ ُ ْ َ ْ ُ َ ِّ َ َ َ َ ٍ ْ ِ َ ِ َّ ِ ْ َ ِ َ َ ِ ِ ِ ِ َّ َ ِّ ْ‫ وكثر الناسُ زادَ الندَاء الثالِث على الزوراء وھِي دَار فيْ سُوق ال‬t ُ‫وعمر رضِ ي ُ ع ْنھما فلَمَّا كان عُثمان‬ َّ َ ُ َ َ َ َ َُ َ .‫ْ ِ مد ْي َنة‬ ِ َِ ِ ٌ َ َ ِ َ ْ َّ َ َ َ َْ َ َ َ َ َ َُ َ .‫رواه البخاري‬ “Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]). Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 28. 27 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya. Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, alHasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha. Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata: ً َّ ُ ُ َ ِْ َ َ ً َ َ َ َ َ َ ‫اَ ْلمُحْ دَ َثات ضرْ َبان: ما أُحْ دِث يُخالِفُ ك َتابًا أ َْو سنة أ َْو إِجْ ماعا فھُو بدعة الضَّاللَة وما أُحْ دِث فِي الخيْر الَ يُخالِفُ ش ْي ًئا‬ ِ َ َ ِ َ ِ َ ُ ِ َ ْ ْ‫منْ ذلِك فھُو مُحْ دَ َثة غ ْير مذ‬ .(٤٦٩/١ ،‫ٌ َ ُ َ مُومة. )الحافظ البيھقي، مناقب اإلمام الشافعي‬ ٍ َ ْ َ َ َ َ ِ “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi alQur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469). Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah alHarrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).” Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih. Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”. www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 29. 28 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.” HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan: . ْ‫اَ ْل َيوم اَكم ْلت لَكم د ْي َنكم وأَ ْتممْ ت علَ ْيكم نعْ متي‬ َِ ِ ُْ َ ُ َ َ ُْ ِ ُْ ُ َ ْ َ ْ “Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)” Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.” Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedahkaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak halhal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat.” HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 30. 29 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.” Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan. Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab alwurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).” HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.” Saya menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan alImam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 31. 30 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.” HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.” Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.” HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?” Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.” Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu. www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 32. 31 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Di Islamic Center Jakarta Utara Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia. Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin alKhaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban. Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya. Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam. www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 33. 32 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus. Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi: ُ ُ ِ َ ً َ َ ِ َُ ُ َِ َ َ ُ ‫قال ْاإلمام أَحْ مد بْنُ ح ْن َبل: إ ِِّنيْ أل َْدعُو َ لِلشافعِيِّ فيْ صالَتيْ م ْنذ أَرْ َبعيْن س َنة، أَق ُْول: اَللَّھم اغفرْ لِيْ ولِوالِدَ يَّ ولِمُحمد‬ ِ َّ َ َ ِ ْ َّ ُ ِ ِ َّ َ َ ٍ َ .(٢/٢٥٤ ،‫بْن إِدريْس الشافعِيِّ . )الحافظ البيھقي، مناقب اإلمام الشافعي‬ ِ َّ َ ِ ْ ِ “Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254). Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun. Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut. Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 34. 33 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 35. 34 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi BAB IV OTORITAS ULAMA Sumber Liberalisme Pada tahun 2009, saya terlibat perdebatan sengit di Surabaya dengan seorang tokoh Salafi dari Malang, berinisial AH. Di bagian awal buku yang dipromosikannya pada waktu itu, ia menulis, bahwa madzhab al-Asy’ari merupakan sumber pemikiran liberal. Saya merasa heran dengan asumsi murahan AH yang mengatakan bahwa pemikiran liberal sumbernya dari madzhab al-Asy’ari. Logika dan paradigma apa yang dijadikan barometer untuk menilai madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Seandainya ada seseorang berpendapat bahwa ajaran Islam itu sumber kejahatan pencurian dan perzinahan, karena ia melihat dalam kitab-kitab tafsir ada beberapa ayat yang turun berkaitan dengan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima logika berpikir seperti ini? Tentu saja dia tidak akan menerima. Seandainya AH berkomunikasi terlebih dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi yang menjadi gurunya di Saudi Arabia, mungkin ia tidak akan menulis tuduhan keji seperti itu. Karena para ulama Wahhabi sendiri mengakui, bahwa mayoritas ulama dari berbagai bidang, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli sejarah, gramatika dan lain-lain mengikuti madzhab al-Asy’ari. AH sepertinya tidak pernah membaca sejarah bahwa para ulama yang berhasil membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada akhir abad keenam Hijriah adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari. Dalam sejarah pemikiran Islam, Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam arena dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal sebagai aliran yang mendahulukan akal daripada nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah. Di tangan Mu’tazilah, teks-teks al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang nilai sakralitasnya karena harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar. AH juga sepertinya tidak tahu sejarah, bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber pemikiran liberal dalam Islam, menjadi terkapar untuk selama-lamanya dari ranah intelektual kaum Muslimin setelah dibabat habis oleh Hujjatul Islam alGhazali dengan kitabnya Tahafut al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal? Bukankah lebih layak kalau dikatakan bahwa liberalisme sumbernya dari Wahhabi. Sebagaimana dimaklumi, di antara ciri khas liberalisme, adalah upaya desakralisasi otoritas ulama. Ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada kaum liberal, maka dengan serta merta mereka akan menolaknya www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |
  • 36. 35 Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti halnya mereka. Kaum Wahhabi juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya, dengan bahasa yang terkadang lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti al-Qur’an dan Sunnah. Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi seperti AH menuduh madzhab alAsy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Bukankah pendiri aliran Wahhabi sendiri, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi telah mengatakan bahwa kitabkitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik. Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang dihimpun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Najdi al-Wahhabi, juz 3 hal. 59, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen yang cukup ekstrem bahwa ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para ulama fuqaha yang menulis kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan manusia dan jin. Astaghfirullah. Tidak Perlu Mengikuti Ulama Kejadian itu agak mirip dengan kejadian berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi pengajian di daerah Kesiman Denpasar Timur Bali. Setelah saya memaparkan tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an dan hadits, lalu saya mengutip pendapat para ulama sejak Khulafaur Rasyidin yang mengakui dan mengamalkan bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat bicara dengan nada emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti imam ini maupun imam itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak ada orang yang perlu kita ikuti.” Demikian perkataan orang Wahhabi tersebut dengan suara berapi-api dan nada suara tinggi. Orang Wahhabi ini sepertinya tidak tahu, bahwa yang memberikan otoritas kepada ulama agar diikuti oleh umat Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika kita mengikuti ulama, itu bukan berarti kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi kita justru mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang lebih mengerti dari pada kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim: ِّ َ .(٤٣ : ‫فاسْ أَل ُْوا أَھْ ل الذكر إِنْ ك ْنتم الَ َتعْ لَمُون. )النحل‬ َ ْ ُْ ُ ِ ْ َ “Bertanyalah kamu kepada para ulama apabila kamu tidak tahu.” (QS. al-Nahl: 43 dan al-Anbiya’: 7). www.pustakaaswaja.web.id | Download E-book | Kitab | MP3 Ceramah | MP3 Qashidah | Video Ceramah | Video Qashidah |