Makalah ini membahas tentang aliran Mu'tazilah dalam Islam, meliputi (1) sejarah kemunculannya dari peristiwa Washil bin Atho' memisahkan diri dari gurunya, (2) tokoh-tokohnya seperti Wasil bin Atho', Abu Huzail al-Allaf, dan An-Nazzam, (3) ajaran utamanya seperti penolakan sifat-sifat Tuhan, dan (4) penyebarannya di berbagai daerah.
1. MAKALAH
ALIRAN MU’TAZILAH
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata
kuliah Tauhidyang diampu oleh Bapak Taufik Hidayat
Di susun oleh :
Robbiatul Addawiyah (132411186)
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nabi saw. Pernah bersabda bahwasanya umat Islam akan bercerai berai dan terpecah
menjadi 73 golongan dimana dari sekian banyak golongan hanya ada satu golongan yang
selamat, yaitu golongan ahlusunnah wal jama’ah. Seperti yang kita ketahui, sabda Nabi saw
tersebut benar adanya bahwa umat Islam sekarang ini telah bercerai berai dan terpecah ke
dalam berbagai golongan, tidak hanya 73 golongan melainkan lebih dari itu.
Di dalam makalah ini akan saya paparkan salah satu golongan dari umat Islam yang
terpecah menjadi banyak golongan tersebut, yaitu golongan Mu’tazilah. Mu’tazilah adalah
salah satu golongan dari sekian banyaknya golongan yang mengatas namakan dirinya sebagai
ahlusunnah wal jama’ah. Mereka membuat teori sendiri dan ajaran-ajaran sendiri yang
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw
kepada umat Islam. Walaupun begitu golongan ini tersebar di berbagai daerah dan menjadi
salah satu golongan Islam yang banyak pengikutnya. Ada banyak tokoh-tokoh masyhur yang
muncul dari aliran ini tidak hanya pada masa kemunculannya saja namun sampai
sekarangpun ada juga tokoh-tokoh yang hidup dengan paham rasionalitas sebagaimana
paham Mu’tazilah yang menjunjung tinggi kekuatan akal pikiran.
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa akal lebih tinggi derajatnya daripada wahyu.
Ajaran-ajaran agama yang menurut mereka bertentangan dengan akal pikiran maka mereka
tidak akan mempercayainya sekalipun terdapat di dalam dalil Al Qur’an dan Al Hadits. Maka
tidak heran jika mereka sangatlah gemar berdebat apalagi dihadapan publik. Mereka sangat
yakin dengan kekuatan akal pikiran sehingga ketika ada yang berbeda pendapat dengan
mereka, mereka pasti akan menentang dan mulailah suatu perdebatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah
2. Tokoh-tokoh dalam aliran Mu’tazilah
3. Ajaran-ajaran aliran Mu’taziah
4. Persebaran dan perkembangan aliran Mu’tazilah
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN MU’TAZILAH
Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti mengasingkan diri1
. Nama tersebut
diberikan karena suatu peristiwa yang dimana ada seorang murid memisahkan diri dari suatu
majelis karena berbeda pendapat dengan gurunya.
Ada seorang ulama yang terkenal bernama Imam Hasan al Basri (w. 110 H) yang
mengadakan majelis pengajaran di masjid kota Basrah2
. Ia mempunyai seorang murid yang
cukup pandai bernama Washil bin Atho’ (w. 131 H). Suatu hari Imam Hasan al Basri
menjelaskan bahwa seorang Islam yang telah beriman keda Tuhannya dan Rasulnya namun
ia melakukan dosa besar ia tetap disebut sabagai seorang muslim, namun muslim yang
durhaka. Di akhirat nanti ia akan dimasukkan kedalam neraka sebagai balasan atas dosa yang
telah dia lakukan dan kemudian akan dimasukkan ke dalam surga setelah masa hukumannya
di neraka telah usai.
Washil bin Atho’ ternyata berbeda pendapat dengan gurunya tersebut. Al Bagdadi
mengatakan bahwa Washil bin Atho’ menyatakan orang Islam yang berbuat dosa besar tidak
bisa dikatakan muslim tidak pula dikatakan kafir, ia berada ditengah-tengahnya yaitu fasik.
Hasan al Basri mendengar pernyataan Washil bin Atho’ maka iapun mengursir Washil bin
Atho’ dari majelisnya. Washil bin Atho’ tidaklah sendirian, ia ditemani oleh teman setianya
dalam mempertahankan pendapatnya tersebut yaitu Amr bin Ubaid bin Bab. Mereka
mendirikan majelis sendiri di suatu sudut masjid kota Basrah.
Hasan al Basri menyebutkan i’tazala anna yang berarti “ia memisahkan diri dari
kami” sebagai komentarnya atas keluarnya Washil bin Atho’ dari majelisnya dan mulai saat
itu Washil bin Atho’ dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab disebut-sebut dengan nama
Mu’tazilah.
B. TOKOH-TOKOH DALAM ALIRAN MU’TAZILAH
Adapun tokoh-tokoh terkemuka yang muncul dari ajaran kalam kaum Mu’tazilah
sangatlah banyak, namun kali ini akan saya sebutkan beberapa tokoh yang memang sudah
termasyhur sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam perkembangan aliran Mu’tazilah.
Mereka adalah:
1
Richard C. Martin, Post Mu’tazilah:Genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam (Penerjemah:
Muhammad Syukri), 2002, Yogyakarta: IRCiSoD, hal. 329
2
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), 2010, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 163
4. 1. Wasil bin Atho’ (80-131 H/699-748 M),
Wasil bin Atha’ Al-Ghazal dikenal sebagai seorang pendiri aliran Mu’tazilah,
sekaligus sebagai pemimpinya yang pertama. Dia juga terkenal sebagai orang yang telah
menyimpan prinsip pemikiran kaum Mu’tazilah yang rasional.
Dia adalah orang pertama yang meletakan kerangka dasar ajaran kelompok
Mu’tazilah. Ajaran pokok yang didengungkannya ada tiga macam yaitu, faham al-Manzilah
bain al-Manzilatain, faham aliran Qodariah yang diambil dari tokohnya Ma’bad dan Gailan,
serta faham yang ,meniadakan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran pokok itu lalu menjadi
ajaran Mu’tazilah, yaitu “al-Manzilah bain al-Manzilatain” dan peniadaan sifat-sifat
Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf (135-235 H),
Nama lengkapnya ialah Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al-Allaf Ia adalah
sebagai pemimpin kaum Mu’tazilah yang kedua di kota Basrah. Ia banyak sekali menekuni
filsafat bangsa Yunani. Pengetahuanya mengenai filsafat memudahkan utuknya dalam
menyusun dasar-dasar ajaran Mu’tazilah dengan teratur. Pengetahuanya berkaitan dgn
logika, membuat Ia menjelma menjadi ahli dalam debat. Lawan2nya dari kaum zindik dari
kelompok majusi, serta Zoroaster, dan atheis tidak mampu membantah argumen yang ia
berikan. Menurut suatu riwayat, 3000 orang telah masukIslam pada tanganya. Puncak
kebesaranya itu di raih pada waktu khalifah Al-Makmun, karena khalifah ini pernah menjadi
salah seorang muridnya.
3. Bisyir Al-Mu’tamir (w. 226 H)
Ia merupakan pemimpin Mu’tazilah di kota Baghdad. Pandanganya yang sangat
luas berkenaandengan kasusastraan melahirkan prasangka bahwa ia merupakan orang yang
pertama kali menyusun Ilmu Balaghah. Ia jug seorang tokoh aliran kelompok ini yang
membahas konsep tawallud (reproduction) yaitu batas2 pertanggung jawaban manusia atas
kelakuaanya Ia memiliki murid-murid yang sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran
paham aliran Mu’tazilah, khususnya di Baghdad.
4. An-Nazzam (183-231 H)
Ia merupakan murid dari Abul Huzail Al-Allaf. Ia juga banyak bergaul dengan ahli
fillsapat. Pendapatnya itu banyak yang tidak samaa dengan aliran Mu’tazilah lainya. Dia
mempunyai ketajaman dalam berfikir yang sungguh luar biasa, antara lain tentang metode
keraguan serta metode empirika yang merupakan cikal bakal lahirnya renainssance
(pembaharuan) Eropa.
5. Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869),
Dia merupakan pencetus aliran naturalisme atau kepercayaan pada hukum alam
yang oleh paham Mu’tazilah dinamakan sunnah Allah.dia diantaranya menerangkan bahwa
5. perbuatan-perbuatan manusia yu tidaklah bisa semuanya diwujudkan manusia itu sendiri,
melainkan adanya pengaruh hukum alam.
6. Al-Jubba’i (w. 302 H),
Nama asli Al-Jubba’I di ambil dari nama kota kelahiranya, yaitu dari daerah yang
bernama Jubba, di provinsi CHuzestan-Iran. Dia merupakan guru imam Abu Hasan al-
Asy’ari, pendiri kelompok Asy’ariyah. Pada saat Al-Asy’ari keluar dari barisan Mu’tazilah
serta menyerang pendapatnya, Ia membalas serangan dari Asy’ari tersebut. Pikirannya
tentang tafsiran Al-Qur’an banyak di ambil oleh Az-Zamakhsyari. Dia dan anaknya yaitu
Abu Hasyim Al-Jubba’I memperlihatkan akhir kejayaan mmenurut aliran Mu’tazilah
Pendapatnya yang mashur yaitu mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban seorang manusia,serta daya ingat . Mengenai kalam Allah SWT, ia sependapat
sama dengan an-Nazzam. Mengenai Sifat Allah SWT, ia menjrlaskan bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat, kalau disebutkan Tuhan berkuasa, atau berkehendak, dan mengetahui berarti
Dia berkuasa, juga berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-
Nya itu. Tentang kewajiban umat manusia, ia membaginya kedalam dua kelompok yaitu
kewajiban-kewajiban yang pahami oleh manusia dengan akalnya (wajibah ‘aqliyah) dan
kewajiban-kewajiban manusia melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul serta para nabi
(wajibah syar’iah). Sementara itu, daya akal menurut pendapat al-Jubba’i sangatlah besar.
melalui akalnya, manusia bisa mengetahui adanya Tuhan serta kewajibanuntuk bersyukur
kepada-Nya. Akal manusia seterusnyan dapat mengenal apa-apa yang baik dan yang buruk
serta mengetahui kewajiban berbuat baik serta meninggalkan yang buruk. Pendapat ini
menjadi bagian dari ajaran Mu’tazilah yang penting.
7. Mu’ammar bin Abbad,
Dia merupakan pendiri Mu’tazilah aliran kota Baghdad. Pendapatnya yang penting
yaitu mengenai kepercayaan pada hukum alam, sama seperti pendapat al-Jahiz. Ia
menyatakan bahwa Tuhan hanya menjadikan benda-benda materi saja , sementara al-‘arad
atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam itu.
Contohnya,seperti jika sebuah batu dilempar kedalam air, maka gelombang yang
dihasilkannya oleh lemparan batu itu merupakan hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil
ciptaan dari Tuhan.
8. Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H),
Ajarannya yang terpenting berkaitan dengan pertanggungjawaban perbuatan
manusia. Baginya, anak seorang kecil tidak diminta pertanggungjawaban atas kelakuaanya
diakhirat kelak karena ia belum termasuk mukalaf. Seorang yang berdosa besar lalu bertobat,
kemudian mengulangi lagi melakukan dosa besar, akan menerima siksa ganda, meskipun ia
sudah bertobat atas dosa besarnya yang telah lalu.
9. Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H),
6. Dia dianggap sebagai pemimpin Mu’tazilah yang sangat ekstrim karena
pendapatnya yanggampang mengkafirkan orang lain. Menurut Syahrastani, menuduh kafir
semua orang yang meyakini keqadiman al-Quran. Ia juga membantah pendapat bahwa Allah
SWT bisa dilihat dengan mata kepala akhirat.
10. Hisyam bin Amr al-Fuwati,
Dia berpendapat bahwa apa yang disebut surga dan neraka hanyalah ilusi semata,
belum ada wujudnya pada saat ini. Alasannya yang dikemukakan adalah tidak ada manfaat
menciptakan surga serta neraka sekarang karena belum saatnya orang memasuki surga dan
neraka.
11. Sumamah bin Asyras (w. 213 H),
Dia berpendapat bahwa manusia sendirilah yang melahirkan perbuatan-perbuatannya
karena dalam dirinya sudah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya akal, ia
berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum datangnya wahyu bisa tahu adanya Tuhan serta
mengenal perbuatan yang baik dan perbuatan buruk, wahyu hanya turun untuk memberikan
konfirmasi.
12. Abu al-Hussain al-Khayyat (w. 300 H),
Dia mengatakan penafsiran yang berbeda dengan para pemuka Mu’tazilah lainnya
mengenai peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa seandainya Tuhan disebut
berkehendak, maka keinginan Tuhan itu bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan
tidak pula diwujudkan melalui zat-Nya. Jadi, kehendak Tuhan itu bukanlah zat-Nya,
melainkan diinterpretasikan oleh Tuhan mengetahui serta berkuasa mewujudkan perbuatan-
Nya selaras dengan Pengetahuan-Nya
13. Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 1024 H)
Dia diangkat sebagai hakim oleh Ibnu Abad. Diantara bagian karyanya yang besar
ialah tentang ulasan pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Karangan itu demikian luas dan amat
sangat mendalam yang ia sebut Al-Mughni. Kitab ini begitu besar, satu kitab yang terdiri
lebih dari (15) lima belas jilid. Dia tergolong tokoh yang hidup pada jaman kemunduran
aliran Mu’tazilah namun Ia bisa berprestasi baik dalam bidang keilmuan maupun pada
jabatan kenegaraan.
14. Az-Zamakhsyari (467-538 H).
Dia dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarizm, negara Iran. Sebutan Jarullah artinya
ialah tetangga Allah, karena memang beliau lama hidup di kota mekah, dekat ka’bah. Ia
terkenal sebagai tokoh dalam Ilmu Tafsir, serta nahwu, dan paramasastra. Dalam karanganya
Ia secara terang-terangan memperlihatkan faham Mu’tazilah. Seperti Misalnya dalam kitab
tafsir Al-Kassyaf, ia berusaha menafsirkan ayat2 Al-Qur,an berdasarkan ajaran-ajaran
Mu’tazilah, terutama lima prinsip ajaranya yang akan di bahas pada Sub-Bab berikutnya.
7. Selain itu kitab Al-Kassyaf dijelaskan dalam ilmuBalaghah yang tinggi, sehingga para
mufassirin banyak yang memakainya hingga saat ini.
C. AJARAN-AJARAN ALIRAN MU’TAZILAH
Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok dan resmi dan harus diyakini oleh setiap para
pengikutnya yang biasa mereka sebut sebagai Usul al Khamsa yang terdiri dari al Tauhid, al
Adl, al Wa’du, al Manzilah bayna al Manzilatayn, dan al Amr bi al Ma’ruf wa al Nahi al
Munkar3
. Berikut pengertiannya:
1. Al Tauhid, yaitu kemahaesaan Tuhan. Tuhan Maha Esa, hanya kalau Tuhan betul-
betul merupakan dzat yang unik, tiada yang serupa dengan-Nya. Paham-paham yang
membuat Tuhan tidak unik lagi, seperti adanya sifat, antropomorfisme, beatific
vision, ada yang qodim selain Tuhan, dan sebagainya mereka tolak dengan kuat.
2. Al Adl, yaitu keadilan Tuhan. Kalau al Tauhid mengandung keunikan Tuhan dalam
dzat, maka paham keadilan Tuhan mengandung arti keunikan Tuhan dalam
perbuatanNya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil. Segala kehendak dan perbuatan
Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan Tuhan inilah
yang menjadi titik tolak bagi pemikiran rasional kaum Mu’tazilah mengenai
pendapat-pendapat keagamaan mereka. Dari ajaran dasar keadilan Tuhan inilah
timbul paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, paham manusia
bertanggungjawab atas perbuatan dan kelakuannya, paham al shalih wa al ashlah,
wajib bagi Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia, wajib bagi Tuhan untuk
menguts nabi-nabiNya untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tak dapat
diketahui oleh akal, keadaan Tuhan tidak memberikan beban kepada manusia beban
yang tak dapat dipikulnya, terikatnya Tuhan kepada janji-janjiNya, dan sebagainya.
3. Al Wa’du wa al Wa’id, dalam arti bahwa Tuhan tidak akan adil apabila Ia tidak
memberi pahala bagi orang-orang yang berbuat baik dan tidak memberi hukuman
kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Dalam soal janji dan ancaman Tuhan ini,
terdapat paham kewajiban yang sebagian dilihat diatas, dipakai kaum Mu’tazilah
terhadap Tuhan. Tuhan wajib memberi upah orang yang berbuat baik dengan surga
dan memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat dengan neraka. Tidak adil
jika Tuhan melakukan yang sebaliknya, memberi neraka kepada orang baik dan
memberi surga kepada orang jahat dan hal tersebut tidaklah sesuai dengan janji dan
ancaman yang telah Tuhan buat.
4. Al Manzilah bayna al manzilatayn, yaitu posisi tengah bagi orang yang berbuat dosa
besar, tidak mukmin dan tidak pula kafir atau yang biasa disebut fasiq. Posisinya
berada diantara keduanya, tidak berada di surga tetapi tidak pula berada di neraka,
3
Richard C. Martin, Post Mu’tazilah:Genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam (Penerjemah:
Muhammad Syukri), hal. 340
8. bisa dikatakan ia hanya mendapat siksaan yang ringan. Begitulah konsep keadilan
yang dianut paham Mu’tazilah dan paham inilah yang menyebabkan Washil bin
Atho’ memisahkan diri dari gurunya karena perbedaan pendapat tentang posisi orang
Islam yang berbuat dosa besar.
5. Al Amr bi al Ma’ruf wa al Nahy ‘an al Munkar, yaitu perintah Tuhan kepada manusia
unuk berbuat kebaikan dan melarangnya untuk berbuat kejahatan. Prinsip ini lebih
banyak berhubungan dengan fiqih ketimbang dengan tauhidnya. Di dalam Al Qur’an
terdapat banyak ayat yang menerangkan tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar, seperti
Al Qur’an Surat ali Imron ayat 104 dan surat Luqman ayat 17. Ajaran ini tidak hanya
dilakukan oleh kaum Mu’tazilah saja namun harus dilakukan, diajarkan, disiarkan,
dan ditegakkan oleh semua golongan umat Islam. namun sejarah telah mencatat
bahwa orang-orang Mu’tazilah begitu gigihnya dalam mempertahankan Islam,
memberantas kesesatan yang pada saat itu tersebar luas dan berniat menghancurkan
umat Islam, oleh kaum Mu’tazilah tak segan-segan untuk menggunakan kekerasan
dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar sekaliipun kepada sesama umat
Islam4
.
Selain itu, sekitar dua abad lamanya aliran ini sangat berpengaruh di dunia Islam
karena adanya dukungan dari para penguasa pada waktu itu khususnya pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah. Selama itu ada banyak masalah-masalah yang berkaitan
dengan keyakinan kaum Mu’tazilah yang selalu diperdebatkan, di antaranya yaitu:
1. Sifat-sifat Allah itu ada atau tidak, menurut Washil bin Atho’ sifat-sifat Tuhan itu
tidak ada. Menurutnya hal ini akan lebih mengarah kepada syirik dan politeisme.
Apabila Tuhan memiliki sifat, apalagi sifat itu sangat banyak dapat dikatakan bahwa
di dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak pula.
2. Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal pikiran, kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk ditentukan oleh akal. Dimana apabila
sesuatu itu adalah baik maka Allah akan memerintahkannya kepada manusia dan
sebaliknya apabila sesuatu itu adalah buruk maka Allah akan melarang manusia untuk
melakukannya.
3. Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak, kaum Mu’tazilah
mengatakan hal ini sabagai manzilah bayna al manzilatayn. Dimana seorang mukmin
menjadi bukan mukmin melainkan fasik setelah melakukan dosa besar. Untuknya
tidak diberi surga juga tidak di beri neraka melainkan mendapat siksaan kecil atau
ringan.
4. Al Qur’an itu mahluk atau bukan qadim, menurut Mu’tazilah hal ini berkaitan dengan
pendiriannya Allah itu tidak bersifat. Apabila yang dikatakan sebagai mahluk itu
adalah huruf-huruf dan suara yang tertulis di atas kertas hal itu benar demikian, akan
4
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hal. 174
9. tetapi kalam Allah yang berdiri pada dzatNya yang qadim tentu juga merupakan
kalam yang qadim pula.
5. Perbuatan manusia itu dijadikannya sendiri atau dijadikan oleh Allah SWT,
Mu’tazilah mengatakan bahwa segala perbuatan manusia dilakukan oleh manusia
sendiri dan diikuti dengan kehendak Tuhan. Sehingga manusia dibebani
tanggungjawab atas kehidupannya oleh Allah dan oleh sebab itu Allah memberi janji
dan ancaman sebagai bentuk balasan atas apa yang manusia perbuat.
6. Allah SWT. Itu dapat dilihat atau tidak di akhirat kelak, menurut kaum Mu’tazilah
sendiri Allah tidak bisa dilihat sekalipun di akhirat. Sebab sesuatu yang dapat dilihat
berada pada tempat dan arah tertentu. Segala hadits yang menyatakan bahwa Allah
dapat dilihat oleh kaum Mu’tazilah mereka tolak karena hadits-hadits tersebut ahad
dan kaum Mu’tazilah mendasarkan pemikirannya pada Al Qur’an Surat Al An’am
ayat 103 yang artinya “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui”.
7. Allah SWT. Wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah).
Itulah yang selalu diperdebatkan oleh golongan kaum Mu’tazilah dengan golongan
lain maupun dengan sesama anggota golongan kaum Mu’tazilah.
D. PERSEBARAN DAN PERKEMBANGAN ALIRAN MU’TAZILAH
Pada awal kemunculan aliran Mu’tazilah, mereka di hindari oleh masyarakat karena
bertentangan dengan ajaran yang ada. Namun, seiring berlalunya waktu paham ini tidak
malah hancur dan hilang. Washil bin Atho’ adalah seorang yang pandai, ditemani oleh teman
setianya Amr bin Ubaid mereka mampu menghasilkan pengikut dan pendukung setia dari
masyarakat bahkan tak hanya terbatas pada masyarakat. Washil bin Atho’ dan Amr bin
Ubaid emdapat dukungan yang besar dari para penguasa sehingga memudahkan mereka
dalam melakukan penyiaran ajaran mereka. Paham Washil bin Atho’ ini semakin menyebar
dan banyak pengikutnya sehingga terdapat dua pergerakan yang berpusat di dua kota, yaitu :
a. Di Basrah. Pada permulaan abad II H di pimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin
Ubaid yang kemudian diperkuat oleh murid-muridnya Utsman at Thawil, Hafsh bin
Salim, Hasan bin Zakwan, Khalik bin Sofwan, dan Ibrahim bin Yahya al Madani.
Pada permulaan abad III H, Mu’tazilah yang berpusat di kota Basrah di pimpin oleh
Abu Hudzail al Allaf (w. 235 H), Ibrahim bin Sayar an Nazham (w. 221 H), Abu
Basyar al Marrisi (w. 218 H), Utsman al Jahis (w. 255 H), Ibnu al Mu’ammar (w. 210
H), dan Abu Ali al Juba’i (w. 303 H).
10. b. Di Baghdad. Pergerakan ini di pimpin oleh Basyar bin al Mu’tammar yang kemudian
dibantu oleh Abu Musa al Murdan, Ahmad bin Abi Dawud (w. 240 H), Ja’far bi
Mubasysyar (w. 234 H), dan Ja’far bin Harib al Hamdani (w. 235 H).
Mu’tazilah mendapatkan dukungan dan penganut dari kalangan Bani Umayah, seperti
Khalifah Jazid bin Walid (125-126 H). Sedangkan dari kalangan Bani Abbasiyah ada
beberapa khalifah yang mendukung pergerakan ini, antara lain:
a. Khalifah Ma’mun bin Harun ar Rasyid (198-218 H)
b. Khalifah al Mu’tashim bin Harun al Rasyid (218-227 H)
c. Al Watsiq bin al Mu’tashim (227-232 H)
Seiring perjalanan waktu, agama Islam semakin menyebar luas dan ajaran Mu’tazilah
ini juga semakin dikenal umat Islam di kalangan luas. Namun bukan berarti orang yang baru
masuk Islam begitu saja menganut paham Washil bin Atho’ ini. Bahkan pada masa itu
sebagian orang yang baru masuk Islam, masuk Islam karena takut pedang dan hanya berpura-
pura. Dapat dikatakan pada zaman dahulu banyak orang Islam yang disebut musuh dalam
selimut. Dan kaum Mu’tazilah tidak pernah segan untuk memerangi mereka demi
mengamalkan ajaran mereka tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dari dua kota pusat pergerakan Mu’tazilah serta lamanya waktu yang telah sang
bapak pendiri Mu’tazilah lalui, dapat dikatakan bahwa Washil bin Atho’ telah sukses
mempertahankan pendapatnya yang bertentangan dengan ajaran yang ada. Setelah Washil
bin Atho’ wafat mulailah bermunculan tokoh-tokoh terkemuka dari aliran Mu’tazilah sebagai
bentuk pencapaian dan upaya mempertahankan ajaran kaum Mu’tazilah. Tokoh-tokoh
tersebut diantaranya ialah:
1. Abu Huzail al-Allaf (135-235 H),
2. Bisyir Al-Mu’tamir (w. 226 H)
3. An-Nazzam (183-231 H)
4. Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869),
5. Al-Jubba’i (w. 302 H),
6. Mu’ammar bin Abbad,
7. Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H),
8. Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H),
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati,
10. Sumamah bin Asyras (w. 213 H),
11. Abu al-Hussain al-Khayyat (w. 300 H),
12. Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 1024 H)
13. Az-Zamakhsyari (467-538 H).
Tokoh-tokoh tersebut sangatlah berjasa bagi kaum Mu’tazilah. Karena dengan adanya
mereka maka Mu’tazilah tetap ada dan hidup hingga sekarang. Mu’tazilah juga sudah mulai
11. dikenal di Indonesia sekitar akhir abad enambelas. Pada akhir abad enambelas ini, sebuah
teks jawa mistik yang dibawa ke Belanda, The Admonition oh Seh Bari. Sebagian besar dari
teks tersebut ditemukan berbentuk rangkaian percakapan antara Imam Al Ghazali (w. 1111)
dengan orang-orang yang melakukan perbuatan bid’ah. Ketika ditanya masalah ajaran beliau
tentang penciptaan, seorang syekh sufi menjawab: “Imam Ghazali ! perkataan saya ini
bukanlah pendapat saya bahwa : “Tuhan tidak menciptakan”, harus dipahami begitu saja.
Pernyataan tersebut harus ditafsirkan sebagai ungkapan mistik dimana pada saat seseorang
melihat dan berbicara, sebenarnya dibalik itu dzat Tuhanlah yang melakukannya, oleh karena
itu saya katakan bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi tidaklah menciptakan”. Terhadap
pernyataan ersebut maka Imam Al Ghazali menjawab: “menurut empat madzab anda sudah
termasuk kafir, karena doktrin anda telah mengurangi sifat Tuhan. Karena anda memberi
sifat tidak-ada atu telah mengurangi sifat Tuhan. Ucapan anda telah di cap sebagai
kafir...anda telah dinodai oleh kekafiran Mu’tazilah”5
. Begitulah sebagian isi teks Jawa
mistik tersebut yang dapat disimpulkan bahwa Mu’tazilah dikenal di Indonesia pada akhir
abad enambelas. Namun dikenalnya Mu’tazilah ini baru sebatas pengetahuan tentang
Mu’tazilah, belum ada upaya pengajaran tentang aliran ini di Indonesia.
Saat ini, mayoritas muslim Indonesia lebih menganut paham Ash’ari. Untuk
perkembangan Mu’tazilah sendiri di Indonesia lebih dikenal sebagai salah satu rangkaian
dari perbuatan bid’ah. Tidak ada bukti yang menegaskan bahwa pemikiran Mu’tazilah pernah
dikaji secara serius. Namun ada beberapa tokoh Indonesia yang mempelajari tentang Aliran
Mu’tazilah secara serius, salah satunya adalah Harun Nasution. Ia mempelajari rasionalitas
seperti halnya yang diterapkan oleh kaum Mu’tazilah.
5
Richard C. Martin, Post Mu’tazilah:Genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam (Penerjemah:
Muhammad Syukri), hal. 255
12. BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mu’tazilah adalah sebuah paham yang menganut paham rasionalitas dimana mereka
sangta menjunjung tinggi kehebatan akal pikiran. Sekalipun terdapat hadits dan nash, mereka
lebih memilih untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka. Hal ini disebabkan oleh
mereka lebih terpengaruh oleh budaya dan filosofi luar seperti Yunani, Yahudi, dan Kaum
Kristen.
Meskipun begitu, aliran yang didirikan oleh Washil bin Atho’ ini terbilang sukses
dalam mengembangkan dan menyebarkan pahamnya. Pahamnya yang sering dikenal sebagai
Usul al Khamsa sedikit banyak bertentangan dengan ajaran yang yang disampaikan Nabi
Muhammad saw. Namun ajaran-ajaran mereka dapat diterima dengan logis dan lebih mudah
dipahami, tidak heran jika seperti itu. Karena seperti yang kita tau, Mu’tazilah menganut
paham rasionalitas, sehingga apapun yang mereka kemukakan pastilah sesuai dan mampu
dicapai oleh akal. Namun kita harus kembali lagi kepada ajaran yang benar, bahwa akal
manusia itu terbatas dan sangat mungkin melakukan kesalahan.
B. SARAN
Sekian makalah tentang aliran Mu’tazilah ini yang saya tulis. Pastilah tidak luput dari
kesalahan, oleh karenanya kritik dan saran sangat saya harapkan demi perbaikan di masa
mendatang. Untuk itu saya ucapkan terimakasih.
13. DAFTAR PUSTAKA
Martin, Richard C, dkk. 2002. Post Mu’tazilah: Genealogi Konflik Rasionalisme dan
Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: Rajawali Pers.