SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 58
KATA PENGANTAR

              Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha

Esa yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada Penulis agar

dapat menyelesaikan penulisan Makalah ini yang berjudul “Peradilan Administari

Negara (PTUN) Dan Implementasi Dalam Penegakan Hukum”

              Penulisan makalah ini diberikan sebagai tugas perkuliahan pada mata

Kuliah Hukum Tata Negara, dan semoga makalah ini dapat diterima sebagai nilai tugas.

              Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan

masih terdapat banyak kekurangan karena segala keterbatasan yang dimilik Penulis.

Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang sifatnya

membangun sangat Penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

              Makalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak

baik bantuan yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung. Atas segala

bantuan yang telah diberikan, Penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih

yang sebenar-benarnya kepada para pihak yang telah banyak membantu dan

menolong Penulis selama pembuatan makalah ini.

              Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.



                                                            Tembilahan, April 2012



                                                                 Penulis




                                            1
PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA DAN IMPLEMENTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM




 1. Tujuan dan Fungsi Peradialn Administrasi Negara (PTUN)

              Tujuan   pembentukan         suatu   Peradilan      Administrasi   selalu   terkait

dengan falsafah negara yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut

faham demokrasi liberal, maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh

dari falsafah liberalnya, yaitu dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat

yang menitikberatkan pada kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda

dengan

              Negara Hukum Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan

porsi     yang seimbang antara kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan

bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata

Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN

adalah:

              a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber

                  dari hak-hak individu;

             b.   Memberikan       perlindungan        terhadap   hak-hak   masyarakat      yang

                  didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup

                  dalam masyarakat tersebut.

             Menurut     Sjahran    Basah    (1985;154),      tujuan   peradilan   administrasi

adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi

rakyat maupun bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan

kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda,

SF Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara

                                                   2
represif.

            Tujuan Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah mencegah

tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau

merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan

badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan rakyat, perlu

dan harus dijatuhi sanksi.

            Fungsi    Peradilan     Tata    Usaha       Negara       adalah   sebagai   sarana

untukmenyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN)

dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah

sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

Untuk lebih mendalami urgensi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dilihat dari

tujuan dan fungsinya dapat dilihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan dari

segi filsafat,segi teori, segi historis dan segi sistem terhadap peradilan administrasi.

 a. Pendekatan dari segi filsafat

              Eksistensi     Peradilan   Administrasi     bertitik    tolak   dari   kebutuhan

untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap sesuai dengan

fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune) seluas-

luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti

luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat

(kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat). Pengujian yang dilaksanakan oleh

peradilan administrasi terhadap keputusan tata usaha negara ditujukan agar terwujud

kesatuan yang harmonis antara norma umum abstrak yang terkandung dalam

peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara. Menurut Hans Kelsen, hukum

berlaku karena semua hukum berakar pada satu norma dasar (grundnorm).

                                                 3
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum

positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku.

               Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan

secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-

undang terhadap         UUD,   Mahkamah    Agung    berwenang     menguji     Peraturan

Perundang-undangan       dibawah   UU   terhadap   UU   dan   Peradilan     Tata   Usaha

Negara   yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji

materiil tersebut diharapkan dapat tersusun suatu bentangan norma hukum yang

sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori hierarkhi peraturan perundang-

undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum yang ada adalah bentuk

dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma dasar negara

(Gundnorm).

 b. Pendekatan dari segi teori

              Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-

unsur Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie

desRecht (1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat

unsurpenting, yaitu :

               a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;

               b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

               c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan

                  perundang-

                  undangan yang berlaku;

               d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.




                                             4
Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di

Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun

setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of

Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law

of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang

dinegara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-

jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum

harusmemiliki unsur-unsur :

                a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)

                b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)

                c.   Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions

                     Based on

                     Individual Right)

                Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum

tersebut mempunyaipersamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep

Rule of Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan

perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat

terlihat adanya persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan

berdasarkan atas hukum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka

(Machtstaat).

                Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hukum tersebut

adalah keharusan        adanya     Peradilan      Administrasi   guna   melindungi    rakyat

dari tindak/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak

dapat menimbulkan         kerugian       bagi   warganya.   Negara-negara   yang   menganut

                                                    5
konsepsi negara      hukum   Rechtstaat,    menganggap       bahwa        kehadiran    peradilan

administrasi negara adalah penting adanya guna memberikan perlindungan hukum

bagi warga negara atas tindakan/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi

warganya dalam       lapangan     hukum     administrasi,    termasuk       juga   memberikan

perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah bertindak benar (sesuai

aturan hukum).

              Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama

kepada warga dan        pejabat    administrasi     negara      (S.F     Marbun,      8;   2003).

Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak yang harus

dipenuhi oleh suatu negara,jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam konsepsi

Rechtstaat.

              Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of

Law, menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah

keharusan. Prinsip Equality Before the Law (persamaan                     kedudukan didepan

hukum) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara

rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan.

Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan

badan peradilan khusus       (peradilan     administrasi)    yang       berwenang      mengadili

sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of

Law tidak ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan

administrasi negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata

tetap ada. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang

mengklasifikasikan     secara      khusus       administratif          dispute     sebagaimana

pengadministrasian berbagai jenis perkara lain.

                                                6
Kebutuhan    akan    Peradilan       Administrasi   semakin    urgen    setelah

konsepsi negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat

koreksi        dari teori   negara     hukum     materiil     (Welfare     State/negara    hukum

kesejahteraan). Dalam konsepsi negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki

tugas yang amat luas, tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan

negara (pemerintah) adalah sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau

Bestuurszorg (meminjam istilah Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut,

maka pemerintah diberikanwewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan

masalahmasalah penting dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana

peraturan belum ada (kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen

atau Discretionaire).

                   Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi

dalam      berbagai bidang, misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan

perundang-undangan dan lain             sebagainya.       Menurut      Utrecht,   adanya    Freies

Ermessen memiliki beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundangundangan,

antara lain :

          1)    Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan

                perundang-undanganyang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU,

          2) Kewenangan atas delegasi perundang-undangan                   dari    UUD,      yaitu

                kewenangan        untuk        membuat          peraturan perundangundangan

                dibawah UU, dan

          3)    Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai

                ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif.

                   Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang

                                                    7
bagi terjadinya de ournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur

(perbuatan sewenangwenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun

(10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber

yang menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha Negara

dengan warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking).

 c. Pendekatan dari segi sejarah

             Pada   masa    Hindia    Belanda       belum    ada   peradilan   yang   secara

khusus berkompeten     mengadili     sengkata       administrasi   negara.   Namun    begitu

setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat dikatakan

sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan tersebut

adalah :

             1.   Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS

             2.   Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het

                  Beleid der Justitie in Indonesie),

             3.   Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan

                  Ordonansi Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan

                  dalam Perkara Pajak (mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa

                  atau Raad van Beroep voor Belastingzaken).

             4.   Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan

                  khusus bagi bendaharawan (Comptabelrechtspraak).

                  Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan

bahwa : 1). Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-

undang, 2). Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang

lembaga administrasi itu sendiri (S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000).

                                                8
Perselisihan perdata antara rakyat pencari keadilan (naturlijk persoon atau rechts

persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui peradilan perdata, sedangkan

penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan melalui Administratiefberoep

(penyelesaian sengketa internal melalui administrasi negara itu sendiri dimana

dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau oleh oleh instansi

lain diluar instansi yang memberikan keputusan).

               Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia

telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas

perintah Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang

tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR

Nomor II/MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi,

maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu

konsep rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun

1964 dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat

ketentuan bahwa Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di

Indonesia.

               Untuk      merealisasikan   hal        tersebut,   maka   berdasarkan   Surat

Keputusan     Menteri Kehakiman No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965,

dibentuklah     panitia    kerja   penyusun      Rancangan        Undang-Undang    Peradilan

Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966 dalam sidang pleno ke-VI LPHN,

disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut, namun rancangan undang-undang

tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong

(DPRGR.).     Pada   tahun    1967 DPRGR         menjadikan       Rancangan   Undang-Undang

                                                  9
Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk dilakukan pembahasan,

namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan Pemerintahan dari

Orde Lama ke Orde Baru.

              Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10

Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

pengadilan dalam     lingkungan     Peradilan        Umum,    Peradilan     Agama,    Peradilan

Militer    dan Peradilan Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan

Administrasi Negara semakin jelas dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan

MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16

April 1986, pemerintah dengan Surat Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan

kembali Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi kepada DPR untuk

dilakukan pembahasan.

              Akhirnya    pada     tanggal      20    Desember     1986     DPR      menyetujui

Rancangan Undang-Undang          tersebut    dan      pada   tanggal   28   Desember      1986,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan barulah

undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7 Tahun

1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya

telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990

tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan

Ujung     Pandang   dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang

Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya,

Ujung Pandang. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang

                                                 10
Peradilan Tata Usaha Negara mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan               Tata    Usaha     Negara      (UU     PTUN).

Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar

Negara   Republik    Indonesia    Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

 d. Pendekatan dari segi sistem

              Sistem   norma      di   Indonesia   menganut        asas   hierarki     peraturan

perundang- undangan, yaitu penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-

undangan dimana peraturan-perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lihat ketentuan normatifnya

dalam UU No.10 Tahun 2004). Menurut Hans Kelsen, norma merupakan kesatuan

dengan struktur piramida, dimulai dari yang tertinggi yaitu norma dasar (Grundnorm),

norma-norma umum        (Generalnorm),     dan     diimplementasikan        menjadi      norma-

norma konkret (Concrete norm). Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus

menerus, mulai dari yang abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya sampai

menjadi yang nyata/konkrit.

              Guna     menjaga      guna    menjaga       konsistensi     vertikal     peraturan

perundang-undangan RI (termasuk Keputusan) diperlukan instrumen pengujian materiil

(judicial riview) terhadap perundang-undangan. Judicial riview (uji materiil) terhadap

produk hukum pemerintah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi

yang berwenang menguji           Undang-undang     terhadap     UUD,      Mahkamah        Agung

berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan

Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara

                                              11
akibat adanya Sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara melakukan

pengujian materiil secara terbatas menyangkut konsistensi vertikal suatu KTUN

terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya. Dikatakan terbatas

karena kewenangan pengujian KTUN hanya terbatas pada segi hukumnya saja

(rechtmatige), sedangkan keputusan pemerintah yang merupakan diskresi nampaknya

tidak menjadi kewenangannya (lihat penjelasan Pasal 1 angka 1 UU PTUN).




                                           12
EKSISTENSI PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN) DALAM
              MEWUJUDKAN SUATU SISTEM PEMERINTAHAN YANG BAIK
                         (GOOD GOVERNANCE) DI INDONESIA



 A. Konsep Dasar Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dalam Negara Hukum

              Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di

negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi

kehidupan masyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan

perantaraan pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah

ditentukan terlebih dahulu oleh hukum.

              Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan

penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang

telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara.

Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan

hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.

              Dalam mempergunakan istilah “Negara Hukum”, ternyata terdapat

perbedaan penggunaan istilah diantara para ahli ketatanegaraan. Para ahli di Eropa Barat

(Kontinental) seperti Immanuel Kant dan F.J. Stahl menggunakan istilah “Rechtsstaat”,

sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah “Rule Of Law”. Kedua istilah tersebut secara

formil dapat mempunyai arti yang sama, yaitu negara hukum, akan tetapi secara materiil

mempunyai                arti             yang               berbeda               yang

disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.

              A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari “the rule of law” yaitu pertama,

supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di hadapan hukum (equality

before the law); ketiga, terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam Konstitusi. Adapun
                                             13
untuk “rechtsstaat” menurut F.J. Stahl mempunyai unsur-unsur : pertama, pengakuan

dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; kedua; pemisahan dan pembagian

kekuasaan negara (trias politica); ketiga, pemerintah berdasarkan undang-undang

(wetmatig bestuur); keempat, adanya peradilan administrasi negara (PTUN) (lihat

Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 66 dan Philipus M. Hadjon, 1987 : 80).

            Dalam rule of law menurut sistem Anglosaxon terdapat perbedaan dengan

rechsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rule of

law, tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan

umum. Lain halnya dalam rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN)

yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum. Adapun persamaannya antara lain

keduanya           (baik         rechtsstaat          maupun            rule          of

law) mengakui perlindungan HAM, adanya “kedaulatan hukum” atau “supremsi hukum”,

tidak ada penyalah gunaan kekuasaan atau perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa

(absence of arbitrary power).

            Melihat kedua sistem tersebut, sebagaimana diketahui secara umum negara

Indonesia identik dengan rechtsstaat. Untuk lebih detailnya perlu pula penulis telaah

pemikiran-pemikiran ahli hukum Indonesia yang terkenal, yaitu Oemar Seno Adji, Padmo

Wahyono, dan Philipus M. Hadjon.

             Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki

ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber

hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila

(Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69). Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini

muncul karena digali oleh para proklamator negara dari adat-istiadat asli masyarakat di




                                               14
Indonesia                   secara                   keseluruhan                    yang

heterogen dan majemuk berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika.

            Menyambung pengertian Negara Hukum Pancasila tersebut, Padmo

Wahyono menelaahnya dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum

dalam UUD 1945 (asas ini masih tetap ada meskipun UUD 1945 telah di amandemen,

vide Pasal 33). Menurut Padmo Wahyono dalam asas kekeluargaan maka yang

diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”

(Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69-70). Jadi menurut beliau, pemerintah dalam

menjalankan roda pemerintahan maka harus memperhatikan aspek kepentingan umum

dan hak asasi manusia. Selanjutnya Philipus M. Hadjon (1987 : 84-85) mengemukakan

bahwa negara hukum di Indonesia tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan

rechtsstaat maupun rule of law dengan alasan sebagai berikut ; (1) baik konsep

rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau

perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia

sejak         perencanaan            berdirinya          jelas-jelas         menentang

segala bentuk kesewenangan atau absolutisme; (2) baik konsep rechtsstaat maupun rule

of law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai

titik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah

keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; (3)

untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip

wetmatigheid dan rule of law mengedepankan prinsip equality before the law,

sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan

antara pemerintah dan rakyat.




                                             15
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua

kelompok negara hukum tersebut, namun akibat penjajahan Belanda yang menganut

sistem hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di

Indonesia banyak terpengaruh oleh sistem hukum kontinental (rechtsstaat).

               Sebagaimana diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1995 : 238) :

“Hukum Kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang — mempertimbangkan

substansinya — secara formal masih berlaku, dan sebagian besar kaidah-kaidahnya

masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan.

Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kekuasaan kolonial sampai

pun ke masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak ke arah dan/ atau

menurut pola-pola hukum Eropa, dan dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur

perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional sebagaimana pernah

terkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda — yang sebenarnya juga ikut

meliput berbagai aspek yang sifatnya institusional, seperti misalnya peradilan dan

pendidikannya — akan berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya

dengan beranjak dari awal lagi, dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah

tercapai….”.

               Oleh karena hal tersebut diatas, Negara Indonesia pun dalam hal

mewujudkan suatu negara hukum menginginkan terbentuknya pengadilan administrasi

negara (PTUN) sebagaimana yang dianut negara eropa kontinental. Keberadaan

pengadilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-

negara penganut paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak

yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan




                                             16
hakhaknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara

karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya.

             Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi

negara (PTUN) diperlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari

keadilan yang merasa kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan

kekuasaannya itu ternyata pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti

melanggar ketentuan hukum.

             Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan pengadilan

tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah

dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009

(perubahan kedua). Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang

Dasar 1945 yang disahkan 10 November 2001 Jo pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu: Peradilan Umum,

Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tiap-tiap lembaga

ini mempunyai kewenangan dan fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga

peradilan ini mempunyai kompetensi absolut yang berbeda satu dengan lainnya.

 B. Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat

    di Indonesia

             Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi negara

(PTUN) dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara

Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga

hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan

masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, menurut S.F Marbun (1997 : 27) secara

                                            17
filosofis tujuan pembentukan peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk

memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat,

sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan

perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.

             Selain itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo (1977 : 69), tujuan dibentuknya

peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara

administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut

undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara

efisien. Sedangkan Sjachran Basah (1985 : 25) secara gamblang mengemukakan bahwa

tujuan pengadilan administrasi negara (PTUN) ialah memberikan pengayoman hukum

dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi

administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan

masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga

ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi

terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan berwibawa dalam negara hukum

berdasarkan Pancasila.

              Dengan demikian, lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah

sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman,

merupakan kekuasaan yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam

rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan

hukum dan keadilan ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas

perbuatan         hukum         publik          oleh      pejabat        administrasi

negara yang melanggar hukum.




                                           18
Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN)

diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan

ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang

merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi

negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang

administrasi negara.

              Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan

pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi

negara, akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi

negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Atas

dasar itulah, eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) merupakan sesuatu yang

wajib, dalam arti selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi

negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat

karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah.

              Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum bagi masyarakat di

Indonesia, sesungguhnya beranjak dari makna Pancasila yang berarti kekeluargaan atau

gotong royong, menurut Philipus M. Hadjon (1993 : 85-89) asas berdasarkan jiwa

kekeluargaan ini dapat disebut pula sebagai asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut

melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan

negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan hubungan fungsional proporsional

antara kekuasaan-kekuasaan negara.

              Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka

sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan

peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan

                                            19
perlindungan hukum preventif berupa pemberian kesempatan kepada rakyat untuk

mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah memberikan keputusan

yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan pemerintahan

yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah akan terdorong untuk

mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan dapat terjadi dapat

dicegah.

              Sengketa yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1 butir 10 UU No.51

Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa :

      “Sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) adalah sengketa yang

      timbul dalam bidang tata usaha negara (administrasi negara) antara orang atau

      badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara (pejabat

      administrasi negara) baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

      dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (keputusan administrasi negara),

      termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

      berlaku.”

              Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara muncul jikalau

seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya

suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam

fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan

keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan

kerugian. Selain berbentuk keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk perbuatan

materiil sepanjang dalam rangka melaksanakan perbuatan hukum publik. Akan tetapi

terhadap pelanggaran hukum atas perbuatan hukum publik yang bersifat materiil

(onrechmatige overheidsdaad) sampai saat ini penyelesaian sengketanya bukan

                                           20
kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN), karena undang-undang pengadilan

administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi sebagaimana yang ada dalam

sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang nota benenya menjadi kiblat

penyelesaian sengketa administrasi di dunia. Meskipun demikian melihat perkembangan

ke depan nantinya (dalam rangka reformasi administrasi pemerintahan) menurut penulis

suatu hal yang harus dibentuk satu sistem peradilan administrasi negara terpadu, artinya

segala sengketa administrasi negara diselesaikan melalui pengadilan administrasi negara

(PTUN). Kenyataan ini diperlukan karena disamping esensi pengadilan administrasi

negara (PTUN) sebagai satu-satunya lembaga penegakan hukum administrasi negara

sebagaimana termaktub       dalam   Konstitusi juga membuat        sederhana    (simple)

penyelesaian sengketa administrasi negara melalui satu pintu lembaga peradilan dan

untuk menghindari overlap kewenangan dalam penyelesaian sengketa administrasi

negara.

             Erat kaitannya dengan penegakan hukum administrasi negara, saat ini

pemerintah sedang membuat suatu rancangan undang-undang tentang administrasi

pemerintahan (RUUAP) yang telah memasuki tahap konsep (draft bulan Agustus 2008).

Bila kita amati undang-undang tersebut merupakan hukum materiil dari hukum

administrasi negara di Indonesia, didalamnya mengatur mengenai dasar hukum dan

pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan dalam menetapkan keputusan,

mencegah penyalahgunaan kewenangan dan menutup kesempatan untuk melakukan

KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Yang terlebih penting undang-undang ini nantinya

selain sebagai dasar reformasi birokrasi juga menjadi landasan untuk perubahan mindset

dan cultural-set aparatur pemerintah, merubah mentalitas priyayi atau penguasa yang

minta dilayani, menjadi sosok aparatur pemerintah yang berperilaku sebagai abdi negara

                                             21
dan abdi masyarakat, yang profesional,dan selalu memperhatikan kepentingan rakyat

selaku pemegang kedaulatan. Bahkan lebih menarik lagi setelah undang-undang sebagai

HAN materiil ini disahkan akan menuntut untuk merevitalisasi peranan pengadilan

administrasi negara (PTUN). Dengan kata lain undang-undang HAN formil yang ada saat

ini (UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan

pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua)) harus segera direvisi, karena

aturan dalam undang-undang administrasi pemerintahan memberi kewenangan

pengadilan administrasi negara (PTUN) menjadi lebih luas.

             Kewenangan itu diantaranya berupa subjek penggugat selain orang per-

orangan bisa juga organisasi (melalui legal standing) dan badan atau pejabat

pemerintahan itu sendiri, lalu subjek tergugat adalah selain badan atau pejabat yang

menjalankan fungsi pemerintahan, termasuk juga badan hukum lain (seperti : otorita,

lembaga pendidikan, notaris, dll) yang menerima pelimpahan wewenang berdasarkan

peraturan perundang-undangan untuk mengeluarkan keputusan pemerintahan tersebut.

Serta penyelesaian sengketa administrasi negara yang berupa tindakan faktual pejabat

administrasi negara pun menjadi kompetensi absolut pengadilan administrasi negara

(PTUN). Hanya saja yang perlu dikritisi dari RUUAP ini adalah belum adanya subjek

penggugat yang terdiri dari masyarakat yang menggugat secara class action (padahal

dalam konsep sebelumnya sempat muncul) dan masih banyak lagi permasalahan-

permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan ganti rugi, eksekusi melalui

pengenaan uang paksa dan sanksi administrasi apabila norma hukum didalamnya tidak

mengatur secara tegas, serta peraturan pelaksananya pun terlalu lama dikeluarkan.

             Dalam kaitan dengan pengadilan administrasi negara sebagai salah satu

badan peradilan yang menjalankan “kekuasaan kehakiman yang bebas” sederajat dengan

                                            22
pengadilan-pengadilan lainnya dan berfungsi memberikan pengayoman hukum akan

bermanfaat                                                                   sebagai:

Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat;

      1.     Stabilisator hukum dalam pembangunan;

      2. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat;

      3. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan

           umum(Sjachran Basah, 1985 : 25).

               Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa

di samping peradilan umum, peradilan administrasi negara (PTUN) merupakan sarana

perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan

mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga

senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan

pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara hukum di

Indonesia.

 C. Penegakan Hukum Administrasi Negara sebagai Upaya membentuk Sistem

     Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa (Good Governance)

               Indonesia sebagai penganut paham negara hukum modern, dituntut

adanya peranan dan fungsi hukum yang secara stabil dan dinamis mampu mengatur

berbagai kepentingan tanpa meninggalkan ide dasarnya yaitu keadilan. Hukum yang

demikian juga mengandung tuntutan untuk ditegakkan atau dengan kata lain,

perlindungan hukum yang diberikan merupakan suatu keharusan dalam penegakan

hukum.

               Maksud penegakan hukum tersebut diatas, penulis sependapat dengan apa

yang diutarakan Abdulkadir Muhammad (2001 : 115). Menurutnya, penegakan hukum

                                              23
dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya,

mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran

maka untuk memulihkannya kembali dengan penegakan hukum. Dengan demikian

penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum, yang menurut penulis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

         Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat

         lagi.

         Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian dan atau denda).

         Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi administrasi ringan, sedang, dan berat

         seperti : berupa pencopotan jabatan atau pemberhentian dengan tidak

         hormat).

         Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak dan atau elektronik).

         Rekomendasi black list secara politis (kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan

         yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper

         test).

         Pengenaan sanksi badan (pidana penjara).

                 Meskipun penegakan hukum administrasi negara sebagaimana tersebut

diatas dalam prakteknya jarang dipatuhi, menurut hemat penulis permasalahan semua

ini bermuara pada moralitas dari pejabat yang bersangkutan dan peraturan perundang-

undangan yang tidak secara tegas mengatur pengenai pelaksanaan hukuman/ sanksi dari

lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN).

                 Permasalahan mengenai moralitas pejabat memang sangat abstrak

sehingga sangat sulit dianalisa ketidak patuhan secara hukum pejabat tersebut karena

berkenaan dengan kejiwaan (humanistis) dan latar belakang kehidupan pejabat yang

                                             24
bersangkutan. Meskipun demikian, perlu adanya alat kontrol lainnya dalam rangka

penegakan hukum administrasi negara ini yaitu peraturan perundang-undangan.

Celakanya sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai,

yang menurut penulis permasalahan tersebut karena :

      1.   Sempitnya pengertian objek sengketa administrasi negara yang dapat

           diselesaikan di PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No.

           51 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986 menyimpang dari

           pengertian sengketa administrasi negara secara luas yang secara teoritis

           mencakup seluruh perbuatan hukum publik.

      2.   Hukum administrasi negara formil (hukum acara PTUN) sudah terwujud akan

           tetapi hukum administrasi negara materiil belum terbentuk.

      3.   Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana

           diatur dalam Pasal 116 UU No.51 Tahun 2009 perubahan kedua dan UU No. 9

           Tahun 2004 perubahan pertama atas UU No.5 Tahun 1986 belum ditindak

           lanjuti oleh peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai

           prosedur dan penerapan hukuman administrasi negaranya.

      4.   Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi

           wewenang didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi

           sehingga menjadi overlap dengan wewenang pengadilan administrasi negara

           (PTUN), seperti : penyelesaian sengketa perburuhan yang berkaitan dengan

           keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang bersifat administratif, sengketa

           pajak, dll.

              Permasalahan-permasalahan ini muncul, menurut penulis disebabkan

karena tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang

                                             25
ada. Seharusnya sebelum membuat undang-undang para pembentuk undang-undang

(DPR dan Pemerintah) membahas dengan cermat dan seksama serta mengikut sertakan

para praktisi hukum (hakim TUN dan advokat) maupun pakar hukum hukum administrasi

negara, apabila perlu disosialisasikan kepada publik (masyarkat/akademisi/LSM) sebelum

disahkan, untuk menghindari tumpang tindihnya materi muatan antara undang-undang

satu dengan lainnya.

             Selain itu untuk efektifitas dan efisiensi penegakkan hukum administrasi

negara, tidak perlu dibentuk peradilan-peradilan khusus karena disamping menghambur-

hamburkan anggaran negara juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam rangka

penegakkan hukum. Apabila alasan dibentuknya peradilan khusus hanya karena

kurangnya keahlian hakim dalam menyelesaikan perkara tertentu dan lambannya proses

berperkara di pengadilan sebetulnya bisa diatasi. Dalam sistem peradilan di Indonesia

dimungkinkan keikut sertaan saksi ahli dan hakim ad-hoc karena dibutuhkan disaat

lembaga peradilan memerlukan keahliannya untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu

dan apabila perlu para hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) diberi kesempatan

studi lanjut untuk mendalami pendidikan khusus (spesialisasi) tentang bidang hukum

administrasi negara tertentu (misalnya : Pajak, HAKI, Ketenagakerjaan, dll) sehingga

alasan kurangnya keahlian hakim bisa diatasi, sedangkan alasan dibentuknya peradilan

khusus dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara pun kurang tepat karena

dalam praktek justru para pihak yang bersengketa biasanya terlalu lama/ bertele-tele

dalam bersidang bahkan ada beberapa pihak yang secara sengaja memperlambat

jalannya persidangan dengan maksud-maksud tertentu, seperti : ketika pemeriksaan

persiapan meskipun dalam undang-undang diatur maksimal perbaikan gugatan dalam

tenggang waktu 30 hari, akan tetapi pihak penggugat tidak bisa memperbaiki

                                            26
gugatannnya secepat mungkin. Selain itu, sama halnya dalam persidangan yang terbuka

untuk umum dimana para pihak tidak bisa mempersiapkan Jawaban/ Replik/ Duplik/ Alat

Buktinya secara cepat dimana dalam prakteknya tiap-tiap acara mereka meminta

pengunduran waktu sidang satu minggu atau lebih, padahal seandainya para pihak siap

segalanya bisa saja dalam satu minggu dua atau tiga acara persidangan sekaligus. Bila

para pihak yang bersengketa ada itikad baik mematuhi asas cepat dan sederhana dalam

persidangan, tidak akan ada lagi alasan bersengketa melalui peradilan administrasi

negara (PTUN) terlalu lama, apalagi semenjak adanya pembatasan Kasasi terhadap

sengketa administrasi negara berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan

keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sesuai Pasal 45 A ayat (2)

Huruf C UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA ini telah ada perubahan

keduanya yaitu UU No.3 Tahun 2009). Berdasarkan permasalahan tersebut menurut

penulis, perlu dibuat suatu klausul tertentu dalam suatu ketentuan hukum acara (dalam

revisi UU PTUN nantinya) yang memberi kewenangan hakim untuk melanjutkan jalannya

persidangan apabila menurutnya salah satu pihak/ para pihak dianggap memperlambat

jalannya proses persidangan, dengan demikian untuk kelancaran/ cepatnya penyelesaian

perkara hakim yang bersangkutan apabila mengambil sikap/ keputusan berdasarkan asas

cepat dan sederhana dalam persidangan tidak melanggar hukum acara yang ada.

             Dengan adanya keterbatasan hukum formil peradilan administrasi negara

(PTUN), tidak berarti pula bahwa para penegak hukum harus mengabaikan atau

meremehkan kesadaran-hukum mereka sendiri. Hal ini pun berdasarkan suatu teori yang

mengira dapat hidup tanpa perasaan hukum (rechtsgevoel) tiap-tiap individu terutama

penegak hukum, tak mungkin akan mampu memberi tafsiran yang tepat tentang hukum,

dan apabila teori serupa itu diterapkan dalam bidang peradilan yang bebas, sering akan

                                            27
menyebabkan diambilnya keputusan-keputusan yang tidak adil, juga bertentangan

dengan tujuan hukum, sebab tujuan hukum adalah pada asasnya menegakkan KEADILAN.

                Untuk merealisasikan keadilan dalam penegakan hukum administrasi

negara, yaitu apabila hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) tidak dapat

menemukan peraturan dalam undang-undang, maka ia harus mengambil keputusan

berdasarkan hukum tidak tertulis yang dalam hukum administrasi negara dikenal dengan

asas-asas umum pemerintahan yang baik.

                Asas-asas ini menurut penulis bisa ditemukan dalam Pancasila, UUD 1945,

dan kebiasaan dalam pemerintahan (konvensi). Adanya perlindungan hukum bagi

masyarakat terhadap perbuatan hukum publik pejabat administrasi yang melanggar

hukum dikaitkan dengan keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai

lembaga penegak hukum dan keadilan, menurut hemat penulis keadaan seperti ini

sebagai wujud dari suatu pemerintahan yang baik dan berwibawa. Penyelenggaraan

sistem pemerintahan yang baik dan berwibawa secara teoritis dikenal dengan apa yang

disebut good governance. Menurut Adnan Buyung Nasution (1998), konsep good

governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan yang menempatkan

transparansi,                                kontrol,                              dan

accountability yang dijadikan sebagai nilai-nilai yang sentral. Dalam implementasi good

governance ini hukum harus menjadi dasar, acuan, dan rambu-rambu bagi penerapan

konsep tersebut. Artinya, perlu suatu upaya bagaimana rule of law itu sendiri di dalam

menentukan suatu good governance. Hal inipun diakui oleh B. Arief Sidharta (1999),

bahwa good governance hanya mungkin terwujud dalam negara hukum yang di dalam

penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan negara berlaku supremasi hukum.




                                              28
Sebagaimana sudah banyak diketahui, konsep good governance berakar

pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari

bermacam-macam sektor kelembagaan di semua level di dalam negara terutama

lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berkenaan dengan kontrol yuridis oleh

lembaga yudikatif terhadap lembaga eksekutif pelaksanaan good governance diharapkan

dapat terealisasi dengan baik. Kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif dalam hal

pemerintah melaksanakan fungsi administrasi negaranya dilaksanakan oleh peradilan

administrasi negara (PTUN). Maksudnya adalah peradilan administrasi negara (PTUN)

menjadi salah satu komponen dalam suatu sistem yang menentukan terwujudnya good

governance.

              Penulis melihat adanya keterkaitan yang erat antara konsep good

governance dengan konsep keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN).

Keterkaitan ini dapat diketahui dengan memahami prinsip-prinsip utama dari good

governance itu sendiri dan fungsi utama dari pengadilan administrasi negara (PTUN).

Meskipun unsur-unsur dari good governance banyak yang masih memberikan kriteria

masing-masing, tetapi pada intinya ada lima prinsip utama dalam good governance, yaitu

akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (openess),

penegakan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level playing field (perlakuan

yang adil atau perlakuan kesetaraan). Prinsip terakhir ini sering disebut dengan

perlindungan terhadap hak asasi manusia.

              Apabila konsep good governance disambung-hubungkan dengan konsep

supremasi hukum dan konsep sistem pemerintahan yang baik dan bersih dalam hukum

administrasi negara secara normatif, maka akan ditemukan persamaannya dengan

konsep rechtmatigheid van bestuur yang dimaknakan sebagai “asas keabsahan dalam

                                             29
pemerintahan” atau asas menurut hukum. Jika perbuatan hukum publik oleh pejabat

administrasi itu onrechtmatigheid, maka perbuatan pejabat administrasi tersebut telah

“melanggar hukum”.

             Makna good dalam good governance disini menurut Sjahruddin Rasul

(2000 : 121) mengandung dua pengertian; pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi

keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat

dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan

keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien

dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itupun

beliau memaknai governance sebagai institusi yang terdiri dari tiga domain, yaitu state

(negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society

(masyarakat). Dengan demikian ketiga domain ini dalam upaya mewujudkan good

governance saling berinteraksi dan terkoordinasi serta dapat menjalankan peran dan

fungsinya masing-masing dengan baik.

             Beranjak dari ketiga domain tersebut, sektor negara atau pemerintah

dalam arti luas merupakan sektor yang sangat kuat, lain dengan sektor swasta dan

masyarakat yang posisinya lebih lemah karena segala kebijakan ditentukan oleh sektor

negara tersebut. Oleh karena itu, sektor swasta dan masyarakat ini mendapat

perlindungan hukum dari pengadilan administrasi negara (PTUN) apabila ada perbuatan

hukum publik dari pejabat administrasi yang merugikan hak-haknya. Perlindungan

hukum ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan bahwa :

             “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan

oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada

pengadilan yang berwenang yang berisi agar keputusan tata usaha negara yang

                                             30
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan

ganti rugi dan/ atau direhabilitasi.”

              Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat adanya unsur penegakan hukum

dan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia dalam undang-undang peradilan

administrasi negara (PTUN) ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ke-4 dan ke-5 dari lima

prinsip good governance, sedangkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan

juga merupakan unsur penting dalam hal penyelenggaraan sistem pemerintahan.

              Menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 135-136), akuntabilitas merupakan suatu

perwuju dan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan

pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam

pemerintahan, akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban dari suatu instansi

pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan

misinya. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, pejabat administrasi negara dalam

menjalankan tugasnya pun dimintai pertanggungjawabannya ketika melakukan

perbuatan hukum publik, terlebih apabila perbuatannya itu melanggar hukum.

Pertanggungjawaban ini secara hukum dapat diajukan ke pengadilan administarasi

negara (PTUN) sebagai lembaga hukum yang melaksanakan fungsi judicial control.

              Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good

governance merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan

perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara merupakan bentuk

perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena dalam hal pejabat

administrasi negara membuat suatu kebijakan atau keputusan administrasi negara maka

rakyat yang mempunyai kepentingan atas kebijakan atau keputusan tersebut harus

mengetahui secara transparan atau terbuka. Misalnya dalam perekrutan pegawai negerai

                                            31
sipil atau penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi negeri harus dibuat dalam suatu

keputusan administrasi yang sifatnya transparan dan terbuka bagi publik untuk

mengetahui proses dan hasil perekrutan tersebut. Hal ini pun nantinya ada suatu

pertanggung jawaban secara hukum, bila ada pihak yang merasa dirugikan atas

keputusan administrasi negara tentang hasil penerimaan tadi.




                                            32
Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik
                                          dan Berwibawa



     LATAR BELAKANG

              Fungsi hukum administrasi negara adalam menciptakan penyelenggaraan

pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat dibutuhkan. Salah satu agenda

pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan

berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan

yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung

tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin

kelancaran,      keserasian       dan   keterpaduan    tugas   dan   fungsi   penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang

terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya

manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

     PEMBAHASAN

             Fungsi Hukum Administrasi Negara yang melihat negara dalam keadaan

bergerak, pada hakikatnya bertujuan mengatur lembaga kekuasaan / pejabat atasan

maupun bawahan dalam melaksanakan peranannya berdasarkan Hukum Tata Negara,

yaitu :

     a. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan abstrak

          yang berlaku umum.

     b. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk subyek

          tertentu, di bidang :




                                                  33
1) Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau

          kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan dan pemeliharaan

          perlengkapan administrasi.

       2) Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan.

       3) Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan mediasi.

          Kegiatan penciptaan ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum

tercermin dalam kegiatan Pembentukan Undang – Undang, Peraturan Pemerintah serta

Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri.

          Kegiatan menciptakan ketentuan – ketentuan konkrit untuk subyek tertentu,

tercermin dalam kegiatan : pemberian ijin penyimpangan jam kerja, ijin pemutusan

hubungan kerja dan ijij mempekerjakan wanita pada malam hari. Demikian pula

penentuan status terlihat dalam kegiatan pemberhentian buruh oleh P4P. Kegiatan

pembuktian dapat dilihat dari pendaftaran serikat buruh pada Departemen Tenaga Kerja.

          Kegiatan pengawasan dalam arti pencegahan, tercermin dalam ketentuan

keselamatan kerja, ketentuan upah minimum dan sebagainya. Sedangkan kegiatan

pengawasan dalam arti penindakan, tercermin dalam ketentuan yang mencantumkan

ancaman sanksi pidana / administratif. Kegiatan peradilan di sini, tercermin dalam

mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan yang dikenal arbitrase wajib (

pemerintah mempunyai peranan yang penting ).

    PERMASALAHAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH YANG BAIK

          Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal

tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi

perbaikan. Demikian pula, masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang,




                                            34
banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur

negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan.

           Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belum sepenuhnya

teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, berbagai faktor seperti

demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada

tingkat kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi lima tahun ke depan.

Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga

akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang

aparatur negara.

           Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa

dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait

dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan

publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik

antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;

meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan

pengambilan keputusan.

           Demikian pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi itu sendiri, berbagai

permasalahan masih banyak yang dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain adalah:

pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek KKN;

rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem

kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum

memadai; rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum;

rendahnya kesejahteraan PNS; dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang

sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.

                                                35
BAGIAN

            Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-

Government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan

yang bersih, baik dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya

ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang

terjadi dengan cepat; makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat

menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat

(digital divide).

            Perubahan-perubahan ini, membutuhkan aparatur negara yang memiliki

kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi,

menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan. Di samping itu,

aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga keutuhan bangsa

dan wilayah negara. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan

terintegrasi dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara dalam

menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang merupakan amanah

reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia.

     Sasaran Penyelenggaraan Kebijakan Negara

            Secara umum sasaran penyelenggaraan negara adalah terciptanya tata

pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang

diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat

memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan hal

tersebut di atas, secara khusus sasaran yang ingin dicapai adalah:

     1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran

         (jajaran) pejabat yang paling atas;

                                               36
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang

         bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel;

    3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap

         warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat;

    4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;

    5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak

         bertentangan peraturan dan perundangan di atasnya.

    Arah Kebijakan

           Dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara

dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, maka kebijakan

penyelengaraan negara diarahkan untuk:

    1)    Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk

          praktik-praktik KKN dengan cara:

          a.   Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance)

               pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan;

          b.   Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan

               ketentuan yang berlaku;

          c.   Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi

               dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;

          d.   Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif

               dan bertanggung jawab;

          e.   Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan

               pemeriksaan;




                                                37
f.   Peningkatan pemberdayaan penyelenggara negara, dunia usaha dan

          masyarakat dalam pemberantasan KKN.

2)    Meningkatkan kualitas penyelengaraan administrasi negara melalui:

     a.   Penataan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat

          berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih

          proporsional, ramping, luwes dan responsif;

     b.   Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada

          semua tingkat dan lini pemeritahan;

     c.   Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur agar

          lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan

          pelayanan yang terbaik bagi masyarakat;

     d.   Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier

          berdasarkan prestasi;

     e.   Optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan e-Government, dan

          dokumen/arsip negara dalam pengelolaan tugas dan fungsi pemerintahan.

3)   Meningkatkan      keberdayaan      masyarakat      dalam   penyelenggaraan

     pembangunan dengan:

     a.   Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar,

          pelayanan umum dan pelayanan unggulan;

     b.   Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan

          dirinya, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi

          jalannya pemerintahan;

     c.   Peningkatan tranparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui

          peningkatan akses dan sebaran informasi

                                        38
Program-Program Pembangunan

    Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik

          Program ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,

profesional, responsif, dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pemerintahan

dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

    1.    Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan pelaksanaan

          prinsip-prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik;

    2.    Menerapkan nilai-nilai etika aparatur guna membangun budaya kerja yang

          mendukung produktifitas kerja yang tinggi dalam pelaksanaan tugas dan

          fungsi penyelenggaraan negara khususnya dalam rangka pemberian pelayanan

          umum kepada masyarakat.

    Program Peningkatan Pengawasan Aparatur Negara

          Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem

    pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan

    aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN.

    Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

    1.   Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit

         internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat;

    2.   Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan

         prosedur pengawasan yang independen, efektif, efisien, transparan dan

         terakunkan;

    3.   Meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum;

    4.   Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif;

    5.   Mengembangkan penerapan pengawasan berbasis kinerja;

                                            39
6.   Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional;

    7.   Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan

         implementasinya pada seluruh instansi;

    8.   Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi APFP dan perbaikan

         kualitas informasi hasil pengawasan; dan

    9.   Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan.

    Program Penataan Kelembagaan Dan Ketatalaksanaan

           Program ini bertujuan untuk menata dan menyempurnakan sistem organisasi

dan manajemen pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan

kabupaten/ kota agar lebih proporsional, efisien dan efektif.

    Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

    1.   Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel

         berdasarkan prinsip-prinsip good governance;

    2.   Menyempurnakan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI

         dan mempercepat proses desentralisasi;

    3.   Menyempurnakan struktur jabatan negara dan jabatan negeri;

    4.   Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat dan

         antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota;

    5.   Menciptakan sistem administrasi pendukung dan kearsipan yang efektif dan

         efisien; dan

    6.   Menyelamatkan dan melestarikan dokumen/arsip negara.




                                              40
Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur

          Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas

sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas

kepemerintahan dan pembangunan.

    Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

    1.   Menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan akan

         jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS;

    2.   Menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia

         aparatur terutama pada sistem karier dan remunerasi;

    3.   Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam pelaksanaan

         tugas dan tanggungjawabnya;

    4.   Menyempurnakan sistem dan kualitas penyelenggaraan diklat PNS;

    5.   Menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan

         manajemen kepegawaian; dan

    6.   Mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui penyempurnaan

         aturan etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin.

    Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

          Program ini bertujuan untuk mengembangkan manajemen pelayanan publik

yang bermutu, tranparan, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada

seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan dunia usaha, serta

mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

    Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

    1.   Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha.




                                            41
2.   Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam setiap proses

         pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka mendukung penerimaan

         keuangan negara seperti perpajakan, kepabeanan, dan penanaman modal;

    3.   Meningkatkan      upaya     untuk     menghilangkan       hambatan      terhadap

         penyelenggaraan pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi, dan

         privatisasi;

    4.   Meningkatkan penerapan sistem merit dalam pelayanan;

    5.   Memantapkan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan pengembangan

         kualitas aparat pelayanan publik;

    6.   Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan

         publik;

    7.   Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat;

    8.   Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota dalam

         perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog

         dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk di masing-masing

         wilayah; dan

    9.   Mengembangkan        mekanisme      pelaporan       berkala   capaian     kinerja

         penyelenggaraan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada

         publik.

    Program Peningkatan Sarana Dan Prasarana Aparatur Negara

           Program ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan administrasi

pemerintahan secara lebih efisien dan efektif serta terpadu.

    Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

    1.   Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; dan

                                              42
2.   Meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk pengadaan,

        perbaikan dan perawatan gedung dan peralatan sesuai dengan kebutuhan dan

        kemampuan keuangan negara.

   Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan Dan Kepemerintahan

           Program ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas

pimpinan   dan    fungsi   manajemen    dalam      penyelenggaraan   kenegaraan   dan

kepemerintahan.

   Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

   1.   Menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan;

   2.   Mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi kantor kenegaraan dan

        kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan,

        belanja modal, dan belanja lainnya;

   3.   Menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja

        kementerian dan lembaga;

   4.   Mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi pendukung

        pelayanan; dan

   5.   Meningkatkan fungsi manajemen yang efisien dan efektif.




                                              43
Kesimpulan

              Dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, HAN sangat dibutuhkan

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi HAN dapat dijabarkan sebagai berikut:

    a.   Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan

         abstrak yang berlaku umum.

    b.   Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk

         subyek tertentu, di bidang :

         1)      Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau

                 kedudukan,    pembuktian,    pemilikan    dalam   penggandaan     dan

                 pemeliharaan perlengkapan administrasi.

         2)      Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan.

         3)      Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan

                 mediasi.

          Diharapkan dengan penegakan Hukum Administrasi Negara dengan baik maka,

upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan berwibawa akan dapat terlaksana

dengan baik pula.

          Konsep Negara Hukum dan Relevansinya Dengan Pembentukan Peradilan

Administrasi. Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-unsur

Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht

(1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting,

yaitu:

    a.   adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;

    b.   adanya pembagian kekuasaan dalam negara;




                                              44
c.   setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-

         undangan yang berlaku;

    d.   adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.

          Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat

(Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep

Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang

dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the

constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang di negara-

negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-jajahan

Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki

unsur-unsur :

    a.   Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)

    b.   Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)

    c.   Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on

         Individual Right)

          Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut

mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep Rule of

Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan perlindungan Hak

Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat terlihat adanya

persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan berdasarkan atas

hukum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

          Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hokum tersebut adalah

keharusan adanya Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat dari tindak/perbuatan

pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak dapat menimbulkan kerugian

                                           45
bagi warganya. Negara-negara yang menganut konsepsi negara hukum Rechtstaat,

menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah penting adanya

guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan/perbuatan

pemerintah yang melanggar Hak Asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi,

termasuk juga memberikan perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah

bertindak benar (sesuai aturan hukum). Dalam negara hukum harus diberikan

perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F

Marbun, 8; 2003). Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak

yang harus dipenuhi oleh suatu negara, jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam

konsepsi Rechtstaat.

           Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of Law,

menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan.

Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan hukum) lebih

ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan

pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan (S.F Marbun, 8;

2003). Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak

diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili

sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of Law tidak

ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan administrasi

negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata tetap ada. Hal

ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang mengklasifikasikan

secara khusus administratif dispute sebagaimana pengadministrasian berbagai jenis

perkara lain (Riawan Tjandra, 3: 2005).




                                            46
Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah konsepsi

negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat koreksi dari teori

negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum kesejahteraan). Dalam konsepsi

negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki tugas yang amat luas, tidak hanya

terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan negara (pemerintah) adalah

sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau Bestuurszorg (meminjam istilah

Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut, maka pemerintah diberikan

wewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah-masalah penting

dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana peraturan belum ada

(kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen atau Discretionaire).

Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam berbagai bidang,

misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-undangan dan lain

sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen memiliki beberapa implikasi

dalam bidang peraturan perundang-undangan, antara lain :

    1)   Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan

         perundang-undangan yang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU,

    2)   Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu kewenangan

         untuk membuat peraturan perundang-undangan dibawah UU, dan

    3)   Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai

         ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif.

          Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang bagi

terjadinya de’tournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur

(perbuatan sewenang-wenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun

(10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber yang

                                             47
menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha negara dengan

warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking).

          Akibat diberikannya kekuasaan yang besar kepada negara untuk mengurus

negara dan mensejahterakan warga negaranya, warga negara membutuhkan adanya

jaminan perlindungan hukum yang cukup terhadap kekuasaan negara yang besar

tersebut. Untuk mewujudkan perlindungan tersebut, dibutuhkan satu media atau

institusi keadilan, yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat, untuk

mendapatkan rasa keadilan tersebut. Institusi keadilan dalam sistem hokum moderen

dewasa ini , salah satunya diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan.

Lembaga pengadilan ini pada masa peradaban hukum moderen, secara simbolik telah

menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata. Proses-proses

peradilan dari mulai masuknya suatu perkara, hingga pelaksanaan putusan , sering

dianggap sebagai indikator serta bukti berjalannya hukum di suatu negara. Salah satu

lembaga peradilan di Indonesia, adalah PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). PTUN ini

mendapat tugas khusus, yakni sebagai salah satu badan peradilan, yang memberi akses

keadilan bagi pencari keadilan di bidang tata usaha negara. PTUN lahir berdasarkan UU

No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan baru efektif 5 (lima) tahun

kemudian atau tepatnya tahun 1991.

          Jika melihat rentetan perjalanan konsep Negara hokum dalam dimensi

kesejarahan diatas, maka tepatlah apa yang dinyatakan oleh Sunaryati Hartono dalam

Martiman Projohamidjodjo (1993; 11-12), yaitu “urgensi suatu PERATUN tidak hanya

dimaksudkan sebagai pengawasan intern (penulis lebih sepakat ekstern) terhadap

pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi (dan

harus dipegang teguh oleh) Negara hokum. Akan tetapi, yang benar-benar berfuungsi

                                           48
sebagai badan peradilan yang secara bebas dan objektif diberi wewenang untuk menilai

dan mengadili pelaksanaan Hukum Administrasi Negara yang dilakukan oleh pejabat

eksekutif kita.

C. Peradilan Tata Usaha Negara :

           Suatu Tinjauan Kesejarahan Pada masa Hindia Belanda belum terdapat

peradilan yang secara khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara.

Namun begitu setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat

dikatakan sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan

tersebut adalah:

    1.   Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS,

    2.   Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het Beleid der Justitie in

         Indonesie),

    3.   Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan Ordonansi

         Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan dalam Perkara Pajak

         (mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa atau Raad van Beroep voor

         Belastingzaken) dan

    4.   Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan khusus bagi

         bendaharawan (Comptabelrechtspraak).

           Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan bahwa : 1). Perselisihan

perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang, 2). Pemeriksaan serta

penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri

(S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000). Perselisihan perdata antara rakyat pencari

keadilan (naturlijk persoon atau rechts persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui

peradilan perdata, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan

                                                49
melalui Administratiefberoep (penyelesaian sengketa internal melalui administrasi

negara itu sendiri dimana dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau

oleh oleh instansi lain diluar instansi yang memberikan keputusan).

           Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia telah

dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas perintah

Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang

acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/

MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi, maka oleh

Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu konsep

rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun 1964

dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa

Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di Indonesia. Untuk

merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman

No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965, dibentuklah panitia kerja penyusun

Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966

dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut,

namun rancangan undang-undang tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.). Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan

Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk

dilakukan pembahasan, namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan

Pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.

           Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 Undang-

                                              50
Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan

Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi Negara semakin jelas

dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April 1986, pemerintah dengan Surat

Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang

Peradilan Administrasi kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Akhirnya pada tanggal

20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada

tanggal 28 Desember 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan

barulah undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7

Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya

telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990 tentang

Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang

dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata

Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Pada tahun 2004,

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengalami

perubahan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha

Negara (UU PTUN). Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

          Pembentukan PERATUN sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan tekad

negara dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia

                                           51
dari tindakan administrasi negara yang dirasa merugikan. Namun demikian, pelembagaan

Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara Pancasila memiliki kekhasan yang

menunjukkan ciri dari Sistem Hukum Pancasila.

d.Peradilan Tata Usaha Negara dan Negara Hukum Pancasila

           Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan

diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki

ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi

disamping pengaruh falsafah bangsa dan ideologi politik suatu negara. Secara historis

dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum

menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep

eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-

Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir

Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).

           Konsep negara hukum Pancasila dapat disandingkan dengan konsep negara-

negara hukum lain didunia. Konsep negara hukum Pancasila berakar dan dikembangkan

berdasarkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Menurut Supomo, Negara

Hukum Pancasila menganut faham integralistik, sebuah faham yang sangat berbeda

dengan    faham     komunisme      dan   liberalisme-kapitalisme,   Ciri-ciri   khusus   yang

membedakan negara hukum pancasila dengan faham negara hukum lainnya dapat

terlihat dari hal-hal sebagai berikut:

    1. Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan;

    2. Tidak mengenal sekulerisme mutlak;

    3. Kebebasan beragama dalam arti positif, setiap orang diharuskan beragama;




                                               52
4. HAM bukanlah titik sentral, tapi keserasian hubungan antara pemerintah &

       rakyat lebih diutamakan.

    5. Demokrasi       disusun     dalam    bingkai    permusyawaratan       perwakilan.

       Menurut Padmo Wahyono, unsur-unsur utama negara hukum pancasila adalah:

       a.    Hukum harus bersumber pada Pancasila, Pancasila adalah sumber segala

             sumber hukum;

       b.    Negara berdasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka;

       c.    Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional;

       d.    Equality before the law;

       e.    Kekuasaan kehakiman yang merdeka

            Kalau ditelaah dari latar belakang sejarahnya, baik konsep rule of law maupun

konsep rechtstaat lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenang-

wenangan penguasa, sedangkan negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan

berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenang-wenangan atau absolutisme.

Baik konsep rule of law mapun rechtstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik central, sedangkan bagi negara Republik

Indonesia, yang menjadi titik central adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan

rakyat berdasarkan asas kerukunan. Dalam Negara Hukum Pancasila juga menunjukkan

adanya ciri hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara,

disamping itu juga dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan

merupakan unsur terakhir (PM Hadjon, 1985;84).

            Untuk mengetahui bagaimana Politik Hukum Nasional yang berlandaskan

Pancasila terhadap pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan di

Indonesia, maka perlu untuk mengatahui bagaimana tujuan dan fungsi Peradilan TUN.

                                              53
Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan falsafah negara

yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut faham demokrasi liberal,

maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu

dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada

kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila

(demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan

individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan

pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat

pembahasan RUU PTUN adalah:

    a.   memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-

         hak individu;

    b.   memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan

         kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat

         tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai

         RUU PTUN tanggal 29 April 1986).

           Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah

untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun

bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan

kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF Marbun menyoroti tujuan

peadilan administrasi secara preventif dan secara represif. Tujun Peradilan Administrasi

negara secara preventif adalah mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha

negara yang melawan hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif

ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan

hukum dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi.

                                             54
Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk

menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan

rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha

negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam Negara Hukum

Pancasila penyelesaian. Sarana penyelesaian konflik atau sengketa Tata Usaha Negara

dikonstruksikan melalui 2 jalur, yaitu jalur upaya administrative yang menekankan upaya

permusyawaratan dan perdamaian (di luar pengadilan) dan upaya peradilan yang

kedudukannya netral, impartial, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

           Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum (supremation of law) dalam

menjalankan pemerintahannya, faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan

yang bersih tentunya adalah faktor yang berkaitan dengan kontrol yudisial, kontrol

yudisial adalah salah satu faktor yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi

maupun berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan pemerintah lainnya, selain

menyelesaikan sengketa administrasi, kontrol yudisial inilah yang mendasari konsepsi

eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara yang tujuannya merupakan pelembagaan kontrol

yudisial terhadap tindakan pemerintah (government act). Bertitik tolak dari kebutuhan

untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah yang mal administrasi maupun

yang tergolong abuse of power, dengan tujuan akhir bahwa perbuatan pemerintah

sebagai amanat rakyat tetap selalu berjalan diranah hukum, perundang-undangan,

keadilan dan kemanfaatan sehinga terwujudnya tujuan Negara untuk mensejahterakan

rakyat.

           Menurut Riawan Tjandra (2005; 2), Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik

tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap

sesuai dengan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune)

                                             55
seluas-luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti

luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat

(kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat).

          Pengujian yang dilaksanakan oleh peradilan administrasi terhadap keputusan

tata usaha negara ditujukan agar terwujud kesatuan yang harmonis antara norma umum

abstrak yang terkandung dalam peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara

(Riawan Tjandra, 2005; 2). Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum

berakar pada satu norma dasar (grundnorm). Keputusan Tata Usaha Negara yang

disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib

hukum (rechtsorde) yang berlaku.

          Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan secara

bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang

terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan

dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji

Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji materiil tersebut diharapkan dapat tersusun

suatu bentangan norma hukum yang sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori

hierarkhi peraturan perundang-undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum

yang ada adalah bentuk dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma

dasar negara (Gundnorm).

          Bertolak dari pemikiran demikian, maka sesungguhnya Negara Hukum

Pancasila hendak mewujudkan perlindungan hokum bagi individu-individu warga

negaranya, sekaligus melindungi kepentingan umum. Dibukanya kran kebebsan warga

negara sama sekali tidak menghilangkan dimensi kepentingan public yang diwakili oleh

nagara. Kepentingan warga negara sebagai individu adalah penting, namun kepentingan

                                            56
public juga tidak kalah pentingnya, dan oleh karenanya juga harus dilindungi oleh hokum.

Dengan kata lain, dimensi perlindungan hokum terhadap rakyat sedapat mungkin

berjalan secara sinergis antara kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan

public.

Penutup

            Dapatlah disimpulkan disini bahwa eksistensi pengadilan administrasi negara

(PTUN) adalah selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena

pengadilan administrasi negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan

hukum publik pejabat administrasi negara. Kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam good

governance pada dasarnya menjadi pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam

melaksanakan urusan pemerintahan yaitu mencegah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme), menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta

membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan profesional dalam rangka

menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan kepastian hukum

dalam masyarkat.

          Terdapat hubungan teoritik antara urgensi dan eksistensi Peradilan Tata

Usaha Negara di Indonesia dengan dianutnya asas negara hokum dalam system hokum

Indonesia. Kebijakan formulasi atas eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia

telah melalui lika-liku kesejarahan yang panjang, dimulai dari usaha Wiryono Projodikoro

yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal

tata usaha negara, juga dari amanat Ketetapan MPR, usaha-usaha yang dilakukan oleh

LPHN/BPHN dalam rangka penyusunan RUU PTUN, sampai pada amanat UU Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman, hingga pada akhirnya pada taun 1986 diterbitkanlah UU No.5

                                             57
Tahun 1986 tentang PTUN, yang mulai berlaku efektif tahun 1991. Dalam perspektif

Negara Hukum Pancasila (secara konseptual), keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara

mengandung konsep perlindungan hukum yang mono-dualistik, ialah ide keseimbangan

antara perlindungan kepentinga publik sekaligus kepentingan individu warga negara.




                                            58

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

ILMU PEMERINTAHAN
ILMU PEMERINTAHAN ILMU PEMERINTAHAN
ILMU PEMERINTAHAN Sri Suwanti
 
Pengantar Ilmu Pemerintahan
Pengantar Ilmu PemerintahanPengantar Ilmu Pemerintahan
Pengantar Ilmu PemerintahanMuhamad Yogi
 
Analisis sistem politik
Analisis sistem politikAnalisis sistem politik
Analisis sistem politikbedhess
 
Ppt Mengupas penyelenggara kekuasaan negara
Ppt Mengupas penyelenggara kekuasaan negaraPpt Mengupas penyelenggara kekuasaan negara
Ppt Mengupas penyelenggara kekuasaan negaraDoris Agusnita
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraNina Ruspina
 
Negara hukum rule of law
Negara hukum rule of lawNegara hukum rule of law
Negara hukum rule of lawGozali Ghozi
 
Konsep ketahanan regional
Konsep ketahanan regionalKonsep ketahanan regional
Konsep ketahanan regionalAsri Wulandari
 
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politikKekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politikWandi Suhardi
 
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikHubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikShelly Selviana
 
Evolusi Perbandingan Administrasi Negara
Evolusi Perbandingan Administrasi NegaraEvolusi Perbandingan Administrasi Negara
Evolusi Perbandingan Administrasi NegaraSiti Sahati
 
Lembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara IndonesiaLembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara Indonesiabulan purnama
 
Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusia
Teori dan Prinsip Hak Asasi ManusiaTeori dan Prinsip Hak Asasi Manusia
Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusiadichasenja
 

Mais procurados (20)

Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
 
Ideologi
IdeologiIdeologi
Ideologi
 
hukum Adat
hukum Adathukum Adat
hukum Adat
 
ILMU PEMERINTAHAN
ILMU PEMERINTAHAN ILMU PEMERINTAHAN
ILMU PEMERINTAHAN
 
Pengantar Ilmu Pemerintahan
Pengantar Ilmu PemerintahanPengantar Ilmu Pemerintahan
Pengantar Ilmu Pemerintahan
 
Analisis sistem politik
Analisis sistem politikAnalisis sistem politik
Analisis sistem politik
 
Ppt Mengupas penyelenggara kekuasaan negara
Ppt Mengupas penyelenggara kekuasaan negaraPpt Mengupas penyelenggara kekuasaan negara
Ppt Mengupas penyelenggara kekuasaan negara
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negara
 
TEORI KONSTITUSI DAN NEGARA HUKUM
TEORI KONSTITUSI DAN NEGARA HUKUMTEORI KONSTITUSI DAN NEGARA HUKUM
TEORI KONSTITUSI DAN NEGARA HUKUM
 
Negara hukum rule of law
Negara hukum rule of lawNegara hukum rule of law
Negara hukum rule of law
 
Konsep ketahanan regional
Konsep ketahanan regionalKonsep ketahanan regional
Konsep ketahanan regional
 
Hukum Privat dan Hukum Publik
Hukum Privat dan Hukum PublikHukum Privat dan Hukum Publik
Hukum Privat dan Hukum Publik
 
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politikKekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
 
Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
 
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikHubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
 
Evolusi Perbandingan Administrasi Negara
Evolusi Perbandingan Administrasi NegaraEvolusi Perbandingan Administrasi Negara
Evolusi Perbandingan Administrasi Negara
 
Politik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesia
Politik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesiaPolitik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesia
Politik Hukum - Pertemuan Kedua - 2. politik hukum di indonesia
 
SANKSI dalam HAN
SANKSI dalam HANSANKSI dalam HAN
SANKSI dalam HAN
 
Lembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara IndonesiaLembaga-lembaga Negara Indonesia
Lembaga-lembaga Negara Indonesia
 
Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusia
Teori dan Prinsip Hak Asasi ManusiaTeori dan Prinsip Hak Asasi Manusia
Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusia
 

Destaque

PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI Heru Fernandez
 
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...Shalahuddin Al Ayoubi
 
Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi NegaraHukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negaraaishkhuw fillah
 
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Silvia Kumalasari
 
Resume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata NegaraResume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata NegaraIca Diennissa
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.UtrechPet-pet
 
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Raja Matridi Aeksalo
 
Bentuk - Bentuk Negara dan Pemerintahan
Bentuk - Bentuk Negara dan PemerintahanBentuk - Bentuk Negara dan Pemerintahan
Bentuk - Bentuk Negara dan PemerintahanGarnis Mitafahrany
 

Destaque (8)

PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
 
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
 
Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi NegaraHukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara
 
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
 
Resume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata NegaraResume Hukum Tata Negara
Resume Hukum Tata Negara
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
 
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
 
Bentuk - Bentuk Negara dan Pemerintahan
Bentuk - Bentuk Negara dan PemerintahanBentuk - Bentuk Negara dan Pemerintahan
Bentuk - Bentuk Negara dan Pemerintahan
 

Semelhante a Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum

makalah han.docx
makalah  han.docxmakalah  han.docx
makalah han.docxsandiadipu1
 
Konsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of lawKonsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of lawTOFIK SUPRIYADI
 
BUKU HUKUM TATA NEGARA.pdf
BUKU HUKUM TATA NEGARA.pdfBUKU HUKUM TATA NEGARA.pdf
BUKU HUKUM TATA NEGARA.pdfJarotWilliam
 
DOC-20230403-WA0010..pptx
DOC-20230403-WA0010..pptxDOC-20230403-WA0010..pptx
DOC-20230403-WA0010..pptxSriRahayu777458
 
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...Alorka 114114
 
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdfMAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdfAgusDermawan12
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukumiwan Alit
 
09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukum09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukummudanp.com
 
Pengantar ilmu hukum kuliah 13
Pengantar ilmu hukum   kuliah 13Pengantar ilmu hukum   kuliah 13
Pengantar ilmu hukum kuliah 13Hanna Simatupang
 
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...Eny Ardhika Putri
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumAndrew Hutabarat
 
Negara hukum dan ham
Negara hukum dan hamNegara hukum dan ham
Negara hukum dan hamRobet Saputra
 
Semester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdf
Semester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdfSemester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdf
Semester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdfJhonatanTelaumbanua
 

Semelhante a Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum (20)

Hubungan warga negara(mustina)
Hubungan warga negara(mustina)Hubungan warga negara(mustina)
Hubungan warga negara(mustina)
 
makalah han.docx
makalah  han.docxmakalah  han.docx
makalah han.docx
 
Ptun
PtunPtun
Ptun
 
Konsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of lawKonsepsi rechtstaat dan rule of law
Konsepsi rechtstaat dan rule of law
 
BUKU HUKUM TATA NEGARA.pdf
BUKU HUKUM TATA NEGARA.pdfBUKU HUKUM TATA NEGARA.pdf
BUKU HUKUM TATA NEGARA.pdf
 
DOC-20230403-WA0010..pptx
DOC-20230403-WA0010..pptxDOC-20230403-WA0010..pptx
DOC-20230403-WA0010..pptx
 
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Unda...
 
Materi HAN 1.pptx
Materi HAN 1.pptxMateri HAN 1.pptx
Materi HAN 1.pptx
 
Negara Hukum
Negara HukumNegara Hukum
Negara Hukum
 
Hukum dan ham
Hukum dan hamHukum dan ham
Hukum dan ham
 
Modul 4 kb 3
Modul 4 kb 3Modul 4 kb 3
Modul 4 kb 3
 
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdfMAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
MAKALAH KELOMPOK 6_PENEGAKKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (1).pdf
 
Perlindungan hukum
Perlindungan hukumPerlindungan hukum
Perlindungan hukum
 
09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukum09 sistem dan klasifikasi hukum
09 sistem dan klasifikasi hukum
 
Bahan kuliah han
Bahan kuliah hanBahan kuliah han
Bahan kuliah han
 
Pengantar ilmu hukum kuliah 13
Pengantar ilmu hukum   kuliah 13Pengantar ilmu hukum   kuliah 13
Pengantar ilmu hukum kuliah 13
 
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA K...
 
Tugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukumTugas merangkum ilmu hukum
Tugas merangkum ilmu hukum
 
Negara hukum dan ham
Negara hukum dan hamNegara hukum dan ham
Negara hukum dan ham
 
Semester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdf
Semester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdfSemester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdf
Semester Ganjil TA 2020-2021-Hukum Tata Negara-Perkuliahan 03revisi,.pdf
 

Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum

  • 1. KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada Penulis agar dapat menyelesaikan penulisan Makalah ini yang berjudul “Peradilan Administari Negara (PTUN) Dan Implementasi Dalam Penegakan Hukum” Penulisan makalah ini diberikan sebagai tugas perkuliahan pada mata Kuliah Hukum Tata Negara, dan semoga makalah ini dapat diterima sebagai nilai tugas. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan karena segala keterbatasan yang dimilik Penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat Penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Makalah ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak baik bantuan yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung. Atas segala bantuan yang telah diberikan, Penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang sebenar-benarnya kepada para pihak yang telah banyak membantu dan menolong Penulis selama pembuatan makalah ini. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Tembilahan, April 2012 Penulis 1
  • 2. PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA DAN IMPLEMENTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM 1. Tujuan dan Fungsi Peradialn Administrasi Negara (PTUN) Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan falsafah negara yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut faham demokrasi liberal, maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN adalah: a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu; b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara 2
  • 3. represif. Tujuan Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi. Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untukmenyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk lebih mendalami urgensi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dilihat dari tujuan dan fungsinya dapat dilihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan dari segi filsafat,segi teori, segi historis dan segi sistem terhadap peradilan administrasi. a. Pendekatan dari segi filsafat Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap sesuai dengan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune) seluas- luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat (kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat). Pengujian yang dilaksanakan oleh peradilan administrasi terhadap keputusan tata usaha negara ditujukan agar terwujud kesatuan yang harmonis antara norma umum abstrak yang terkandung dalam peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara. Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum berakar pada satu norma dasar (grundnorm). 3
  • 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku. Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang- undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji materiil tersebut diharapkan dapat tersusun suatu bentangan norma hukum yang sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori hierarkhi peraturan perundang- undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum yang ada adalah bentuk dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma dasar negara (Gundnorm). b. Pendekatan dari segi teori Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur- unsur Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie desRecht (1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat unsurpenting, yaitu : a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara; c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang- undangan yang berlaku; d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara. 4
  • 5. Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang dinegara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan- jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harusmemiliki unsur-unsur : a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law) b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law) c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on Individual Right) Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut mempunyaipersamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep Rule of Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat terlihat adanya persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan berdasarkan atas hukum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hukum tersebut adalah keharusan adanya Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat dari tindak/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak dapat menimbulkan kerugian bagi warganya. Negara-negara yang menganut 5
  • 6. konsepsi negara hukum Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah penting adanya guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi, termasuk juga memberikan perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah bertindak benar (sesuai aturan hukum). Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F Marbun, 8; 2003). Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu negara,jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam konsepsi Rechtstaat. Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of Law, menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan. Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan hukum) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan. Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of Law tidak ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan administrasi negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata tetap ada. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang mengklasifikasikan secara khusus administratif dispute sebagaimana pengadministrasian berbagai jenis perkara lain. 6
  • 7. Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah konsepsi negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat koreksi dari teori negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum kesejahteraan). Dalam konsepsi negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki tugas yang amat luas, tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan negara (pemerintah) adalah sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau Bestuurszorg (meminjam istilah Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut, maka pemerintah diberikanwewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalahmasalah penting dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana peraturan belum ada (kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen atau Discretionaire). Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen memiliki beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundangundangan, antara lain : 1) Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undanganyang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU, 2) Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundangundangan dibawah UU, dan 3) Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif. Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang 7
  • 8. bagi terjadinya de ournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur (perbuatan sewenangwenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun (10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber yang menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha Negara dengan warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking). c. Pendekatan dari segi sejarah Pada masa Hindia Belanda belum ada peradilan yang secara khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara. Namun begitu setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat dikatakan sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan tersebut adalah : 1. Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS 2. Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het Beleid der Justitie in Indonesie), 3. Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan Ordonansi Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan dalam Perkara Pajak (mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa atau Raad van Beroep voor Belastingzaken). 4. Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan khusus bagi bendaharawan (Comptabelrechtspraak). Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan bahwa : 1). Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang- undang, 2). Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri (S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000). 8
  • 9. Perselisihan perdata antara rakyat pencari keadilan (naturlijk persoon atau rechts persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui peradilan perdata, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan melalui Administratiefberoep (penyelesaian sengketa internal melalui administrasi negara itu sendiri dimana dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau oleh oleh instansi lain diluar instansi yang memberikan keputusan). Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas perintah Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi, maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu konsep rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun 1964 dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965, dibentuklah panitia kerja penyusun Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966 dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut, namun rancangan undang-undang tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.). Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan Rancangan Undang-Undang 9
  • 10. Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk dilakukan pembahasan, namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan Pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi Negara semakin jelas dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April 1986, pemerintah dengan Surat Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada tanggal 28 Desember 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan barulah undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang 10
  • 11. Peradilan Tata Usaha Negara mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. d. Pendekatan dari segi sistem Sistem norma di Indonesia menganut asas hierarki peraturan perundang- undangan, yaitu penjenjangan setiap jenis peraturan perundang- undangan dimana peraturan-perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lihat ketentuan normatifnya dalam UU No.10 Tahun 2004). Menurut Hans Kelsen, norma merupakan kesatuan dengan struktur piramida, dimulai dari yang tertinggi yaitu norma dasar (Grundnorm), norma-norma umum (Generalnorm), dan diimplementasikan menjadi norma- norma konkret (Concrete norm). Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus menerus, mulai dari yang abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya sampai menjadi yang nyata/konkrit. Guna menjaga guna menjaga konsistensi vertikal peraturan perundang-undangan RI (termasuk Keputusan) diperlukan instrumen pengujian materiil (judicial riview) terhadap perundang-undangan. Judicial riview (uji materiil) terhadap produk hukum pemerintah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara 11
  • 12. akibat adanya Sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara melakukan pengujian materiil secara terbatas menyangkut konsistensi vertikal suatu KTUN terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya. Dikatakan terbatas karena kewenangan pengujian KTUN hanya terbatas pada segi hukumnya saja (rechtmatige), sedangkan keputusan pemerintah yang merupakan diskresi nampaknya tidak menjadi kewenangannya (lihat penjelasan Pasal 1 angka 1 UU PTUN). 12
  • 13. EKSISTENSI PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA (PTUN) DALAM MEWUJUDKAN SUATU SISTEM PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) DI INDONESIA A. Konsep Dasar Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dalam Negara Hukum Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi kehidupan masyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh hukum. Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri. Dalam mempergunakan istilah “Negara Hukum”, ternyata terdapat perbedaan penggunaan istilah diantara para ahli ketatanegaraan. Para ahli di Eropa Barat (Kontinental) seperti Immanuel Kant dan F.J. Stahl menggunakan istilah “Rechtsstaat”, sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah “Rule Of Law”. Kedua istilah tersebut secara formil dapat mempunyai arti yang sama, yaitu negara hukum, akan tetapi secara materiil mempunyai arti yang berbeda yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa. A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari “the rule of law” yaitu pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di hadapan hukum (equality before the law); ketiga, terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam Konstitusi. Adapun 13
  • 14. untuk “rechtsstaat” menurut F.J. Stahl mempunyai unsur-unsur : pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; kedua; pemisahan dan pembagian kekuasaan negara (trias politica); ketiga, pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); keempat, adanya peradilan administrasi negara (PTUN) (lihat Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 66 dan Philipus M. Hadjon, 1987 : 80). Dalam rule of law menurut sistem Anglosaxon terdapat perbedaan dengan rechsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rule of law, tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan umum. Lain halnya dalam rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum. Adapun persamaannya antara lain keduanya (baik rechtsstaat maupun rule of law) mengakui perlindungan HAM, adanya “kedaulatan hukum” atau “supremsi hukum”, tidak ada penyalah gunaan kekuasaan atau perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa (absence of arbitrary power). Melihat kedua sistem tersebut, sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia identik dengan rechtsstaat. Untuk lebih detailnya perlu pula penulis telaah pemikiran-pemikiran ahli hukum Indonesia yang terkenal, yaitu Oemar Seno Adji, Padmo Wahyono, dan Philipus M. Hadjon. Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila (Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69). Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini muncul karena digali oleh para proklamator negara dari adat-istiadat asli masyarakat di 14
  • 15. Indonesia secara keseluruhan yang heterogen dan majemuk berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika. Menyambung pengertian Negara Hukum Pancasila tersebut, Padmo Wahyono menelaahnya dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945 (asas ini masih tetap ada meskipun UUD 1945 telah di amandemen, vide Pasal 33). Menurut Padmo Wahyono dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai” (Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69-70). Jadi menurut beliau, pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan maka harus memperhatikan aspek kepentingan umum dan hak asasi manusia. Selanjutnya Philipus M. Hadjon (1987 : 84-85) mengemukakan bahwa negara hukum di Indonesia tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan rechtsstaat maupun rule of law dengan alasan sebagai berikut ; (1) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenangan atau absolutisme; (2) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; (3) untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheid dan rule of law mengedepankan prinsip equality before the law, sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. 15
  • 16. Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut, namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di Indonesia banyak terpengaruh oleh sistem hukum kontinental (rechtsstaat). Sebagaimana diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1995 : 238) : “Hukum Kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang — mempertimbangkan substansinya — secara formal masih berlaku, dan sebagian besar kaidah-kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan. Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kekuasaan kolonial sampai pun ke masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak ke arah dan/ atau menurut pola-pola hukum Eropa, dan dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional sebagaimana pernah terkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda — yang sebenarnya juga ikut meliput berbagai aspek yang sifatnya institusional, seperti misalnya peradilan dan pendidikannya — akan berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya dengan beranjak dari awal lagi, dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai….”. Oleh karena hal tersebut diatas, Negara Indonesia pun dalam hal mewujudkan suatu negara hukum menginginkan terbentuknya pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana yang dianut negara eropa kontinental. Keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara- negara penganut paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan 16
  • 17. hakhaknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya. Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi negara (PTUN) diperlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar ketentuan hukum. Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua). Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November 2001 Jo pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tiap-tiap lembaga ini mempunyai kewenangan dan fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga peradilan ini mempunyai kompetensi absolut yang berbeda satu dengan lainnya. B. Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat di Indonesia Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi negara (PTUN) dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, menurut S.F Marbun (1997 : 27) secara 17
  • 18. filosofis tujuan pembentukan peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Selain itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo (1977 : 69), tujuan dibentuknya peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Sedangkan Sjachran Basah (1985 : 25) secara gamblang mengemukakan bahwa tujuan pengadilan administrasi negara (PTUN) ialah memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan berwibawa dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum. 18
  • 19. Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN) diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang administrasi negara. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi negara, akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Atas dasar itulah, eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) merupakan sesuatu yang wajib, dalam arti selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah. Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum bagi masyarakat di Indonesia, sesungguhnya beranjak dari makna Pancasila yang berarti kekeluargaan atau gotong royong, menurut Philipus M. Hadjon (1993 : 85-89) asas berdasarkan jiwa kekeluargaan ini dapat disebut pula sebagai asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan hubungan fungsional proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara. Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan 19
  • 20. perlindungan hukum preventif berupa pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah memberikan keputusan yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah akan terdorong untuk mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan dapat terjadi dapat dicegah. Sengketa yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1 butir 10 UU No.51 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa : “Sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara (administrasi negara) antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara (pejabat administrasi negara) baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (keputusan administrasi negara), termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian. Selain berbentuk keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk perbuatan materiil sepanjang dalam rangka melaksanakan perbuatan hukum publik. Akan tetapi terhadap pelanggaran hukum atas perbuatan hukum publik yang bersifat materiil (onrechmatige overheidsdaad) sampai saat ini penyelesaian sengketanya bukan 20
  • 21. kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN), karena undang-undang pengadilan administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang nota benenya menjadi kiblat penyelesaian sengketa administrasi di dunia. Meskipun demikian melihat perkembangan ke depan nantinya (dalam rangka reformasi administrasi pemerintahan) menurut penulis suatu hal yang harus dibentuk satu sistem peradilan administrasi negara terpadu, artinya segala sengketa administrasi negara diselesaikan melalui pengadilan administrasi negara (PTUN). Kenyataan ini diperlukan karena disamping esensi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai satu-satunya lembaga penegakan hukum administrasi negara sebagaimana termaktub dalam Konstitusi juga membuat sederhana (simple) penyelesaian sengketa administrasi negara melalui satu pintu lembaga peradilan dan untuk menghindari overlap kewenangan dalam penyelesaian sengketa administrasi negara. Erat kaitannya dengan penegakan hukum administrasi negara, saat ini pemerintah sedang membuat suatu rancangan undang-undang tentang administrasi pemerintahan (RUUAP) yang telah memasuki tahap konsep (draft bulan Agustus 2008). Bila kita amati undang-undang tersebut merupakan hukum materiil dari hukum administrasi negara di Indonesia, didalamnya mengatur mengenai dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan dalam menetapkan keputusan, mencegah penyalahgunaan kewenangan dan menutup kesempatan untuk melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Yang terlebih penting undang-undang ini nantinya selain sebagai dasar reformasi birokrasi juga menjadi landasan untuk perubahan mindset dan cultural-set aparatur pemerintah, merubah mentalitas priyayi atau penguasa yang minta dilayani, menjadi sosok aparatur pemerintah yang berperilaku sebagai abdi negara 21
  • 22. dan abdi masyarakat, yang profesional,dan selalu memperhatikan kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan. Bahkan lebih menarik lagi setelah undang-undang sebagai HAN materiil ini disahkan akan menuntut untuk merevitalisasi peranan pengadilan administrasi negara (PTUN). Dengan kata lain undang-undang HAN formil yang ada saat ini (UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua)) harus segera direvisi, karena aturan dalam undang-undang administrasi pemerintahan memberi kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN) menjadi lebih luas. Kewenangan itu diantaranya berupa subjek penggugat selain orang per- orangan bisa juga organisasi (melalui legal standing) dan badan atau pejabat pemerintahan itu sendiri, lalu subjek tergugat adalah selain badan atau pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan, termasuk juga badan hukum lain (seperti : otorita, lembaga pendidikan, notaris, dll) yang menerima pelimpahan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk mengeluarkan keputusan pemerintahan tersebut. Serta penyelesaian sengketa administrasi negara yang berupa tindakan faktual pejabat administrasi negara pun menjadi kompetensi absolut pengadilan administrasi negara (PTUN). Hanya saja yang perlu dikritisi dari RUUAP ini adalah belum adanya subjek penggugat yang terdiri dari masyarakat yang menggugat secara class action (padahal dalam konsep sebelumnya sempat muncul) dan masih banyak lagi permasalahan- permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan ganti rugi, eksekusi melalui pengenaan uang paksa dan sanksi administrasi apabila norma hukum didalamnya tidak mengatur secara tegas, serta peraturan pelaksananya pun terlalu lama dikeluarkan. Dalam kaitan dengan pengadilan administrasi negara sebagai salah satu badan peradilan yang menjalankan “kekuasaan kehakiman yang bebas” sederajat dengan 22
  • 23. pengadilan-pengadilan lainnya dan berfungsi memberikan pengayoman hukum akan bermanfaat sebagai: Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat; 1. Stabilisator hukum dalam pembangunan; 2. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat; 3. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum(Sjachran Basah, 1985 : 25). Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa di samping peradilan umum, peradilan administrasi negara (PTUN) merupakan sarana perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara hukum di Indonesia. C. Penegakan Hukum Administrasi Negara sebagai Upaya membentuk Sistem Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa (Good Governance) Indonesia sebagai penganut paham negara hukum modern, dituntut adanya peranan dan fungsi hukum yang secara stabil dan dinamis mampu mengatur berbagai kepentingan tanpa meninggalkan ide dasarnya yaitu keadilan. Hukum yang demikian juga mengandung tuntutan untuk ditegakkan atau dengan kata lain, perlindungan hukum yang diberikan merupakan suatu keharusan dalam penegakan hukum. Maksud penegakan hukum tersebut diatas, penulis sependapat dengan apa yang diutarakan Abdulkadir Muhammad (2001 : 115). Menurutnya, penegakan hukum 23
  • 24. dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran maka untuk memulihkannya kembali dengan penegakan hukum. Dengan demikian penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum, yang menurut penulis dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian dan atau denda). Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi administrasi ringan, sedang, dan berat seperti : berupa pencopotan jabatan atau pemberhentian dengan tidak hormat). Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak dan atau elektronik). Rekomendasi black list secara politis (kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper test). Pengenaan sanksi badan (pidana penjara). Meskipun penegakan hukum administrasi negara sebagaimana tersebut diatas dalam prakteknya jarang dipatuhi, menurut hemat penulis permasalahan semua ini bermuara pada moralitas dari pejabat yang bersangkutan dan peraturan perundang- undangan yang tidak secara tegas mengatur pengenai pelaksanaan hukuman/ sanksi dari lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN). Permasalahan mengenai moralitas pejabat memang sangat abstrak sehingga sangat sulit dianalisa ketidak patuhan secara hukum pejabat tersebut karena berkenaan dengan kejiwaan (humanistis) dan latar belakang kehidupan pejabat yang 24
  • 25. bersangkutan. Meskipun demikian, perlu adanya alat kontrol lainnya dalam rangka penegakan hukum administrasi negara ini yaitu peraturan perundang-undangan. Celakanya sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai, yang menurut penulis permasalahan tersebut karena : 1. Sempitnya pengertian objek sengketa administrasi negara yang dapat diselesaikan di PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986 menyimpang dari pengertian sengketa administrasi negara secara luas yang secara teoritis mencakup seluruh perbuatan hukum publik. 2. Hukum administrasi negara formil (hukum acara PTUN) sudah terwujud akan tetapi hukum administrasi negara materiil belum terbentuk. 3. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU No.51 Tahun 2009 perubahan kedua dan UU No. 9 Tahun 2004 perubahan pertama atas UU No.5 Tahun 1986 belum ditindak lanjuti oleh peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai prosedur dan penerapan hukuman administrasi negaranya. 4. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi wewenang didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi sehingga menjadi overlap dengan wewenang pengadilan administrasi negara (PTUN), seperti : penyelesaian sengketa perburuhan yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang bersifat administratif, sengketa pajak, dll. Permasalahan-permasalahan ini muncul, menurut penulis disebabkan karena tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang 25
  • 26. ada. Seharusnya sebelum membuat undang-undang para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) membahas dengan cermat dan seksama serta mengikut sertakan para praktisi hukum (hakim TUN dan advokat) maupun pakar hukum hukum administrasi negara, apabila perlu disosialisasikan kepada publik (masyarkat/akademisi/LSM) sebelum disahkan, untuk menghindari tumpang tindihnya materi muatan antara undang-undang satu dengan lainnya. Selain itu untuk efektifitas dan efisiensi penegakkan hukum administrasi negara, tidak perlu dibentuk peradilan-peradilan khusus karena disamping menghambur- hamburkan anggaran negara juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam rangka penegakkan hukum. Apabila alasan dibentuknya peradilan khusus hanya karena kurangnya keahlian hakim dalam menyelesaikan perkara tertentu dan lambannya proses berperkara di pengadilan sebetulnya bisa diatasi. Dalam sistem peradilan di Indonesia dimungkinkan keikut sertaan saksi ahli dan hakim ad-hoc karena dibutuhkan disaat lembaga peradilan memerlukan keahliannya untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu dan apabila perlu para hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) diberi kesempatan studi lanjut untuk mendalami pendidikan khusus (spesialisasi) tentang bidang hukum administrasi negara tertentu (misalnya : Pajak, HAKI, Ketenagakerjaan, dll) sehingga alasan kurangnya keahlian hakim bisa diatasi, sedangkan alasan dibentuknya peradilan khusus dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara pun kurang tepat karena dalam praktek justru para pihak yang bersengketa biasanya terlalu lama/ bertele-tele dalam bersidang bahkan ada beberapa pihak yang secara sengaja memperlambat jalannya persidangan dengan maksud-maksud tertentu, seperti : ketika pemeriksaan persiapan meskipun dalam undang-undang diatur maksimal perbaikan gugatan dalam tenggang waktu 30 hari, akan tetapi pihak penggugat tidak bisa memperbaiki 26
  • 27. gugatannnya secepat mungkin. Selain itu, sama halnya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dimana para pihak tidak bisa mempersiapkan Jawaban/ Replik/ Duplik/ Alat Buktinya secara cepat dimana dalam prakteknya tiap-tiap acara mereka meminta pengunduran waktu sidang satu minggu atau lebih, padahal seandainya para pihak siap segalanya bisa saja dalam satu minggu dua atau tiga acara persidangan sekaligus. Bila para pihak yang bersengketa ada itikad baik mematuhi asas cepat dan sederhana dalam persidangan, tidak akan ada lagi alasan bersengketa melalui peradilan administrasi negara (PTUN) terlalu lama, apalagi semenjak adanya pembatasan Kasasi terhadap sengketa administrasi negara berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sesuai Pasal 45 A ayat (2) Huruf C UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA ini telah ada perubahan keduanya yaitu UU No.3 Tahun 2009). Berdasarkan permasalahan tersebut menurut penulis, perlu dibuat suatu klausul tertentu dalam suatu ketentuan hukum acara (dalam revisi UU PTUN nantinya) yang memberi kewenangan hakim untuk melanjutkan jalannya persidangan apabila menurutnya salah satu pihak/ para pihak dianggap memperlambat jalannya proses persidangan, dengan demikian untuk kelancaran/ cepatnya penyelesaian perkara hakim yang bersangkutan apabila mengambil sikap/ keputusan berdasarkan asas cepat dan sederhana dalam persidangan tidak melanggar hukum acara yang ada. Dengan adanya keterbatasan hukum formil peradilan administrasi negara (PTUN), tidak berarti pula bahwa para penegak hukum harus mengabaikan atau meremehkan kesadaran-hukum mereka sendiri. Hal ini pun berdasarkan suatu teori yang mengira dapat hidup tanpa perasaan hukum (rechtsgevoel) tiap-tiap individu terutama penegak hukum, tak mungkin akan mampu memberi tafsiran yang tepat tentang hukum, dan apabila teori serupa itu diterapkan dalam bidang peradilan yang bebas, sering akan 27
  • 28. menyebabkan diambilnya keputusan-keputusan yang tidak adil, juga bertentangan dengan tujuan hukum, sebab tujuan hukum adalah pada asasnya menegakkan KEADILAN. Untuk merealisasikan keadilan dalam penegakan hukum administrasi negara, yaitu apabila hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) tidak dapat menemukan peraturan dalam undang-undang, maka ia harus mengambil keputusan berdasarkan hukum tidak tertulis yang dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas ini menurut penulis bisa ditemukan dalam Pancasila, UUD 1945, dan kebiasaan dalam pemerintahan (konvensi). Adanya perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap perbuatan hukum publik pejabat administrasi yang melanggar hukum dikaitkan dengan keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan, menurut hemat penulis keadaan seperti ini sebagai wujud dari suatu pemerintahan yang baik dan berwibawa. Penyelenggaraan sistem pemerintahan yang baik dan berwibawa secara teoritis dikenal dengan apa yang disebut good governance. Menurut Adnan Buyung Nasution (1998), konsep good governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan yang menempatkan transparansi, kontrol, dan accountability yang dijadikan sebagai nilai-nilai yang sentral. Dalam implementasi good governance ini hukum harus menjadi dasar, acuan, dan rambu-rambu bagi penerapan konsep tersebut. Artinya, perlu suatu upaya bagaimana rule of law itu sendiri di dalam menentukan suatu good governance. Hal inipun diakui oleh B. Arief Sidharta (1999), bahwa good governance hanya mungkin terwujud dalam negara hukum yang di dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan negara berlaku supremasi hukum. 28
  • 29. Sebagaimana sudah banyak diketahui, konsep good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam sektor kelembagaan di semua level di dalam negara terutama lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berkenaan dengan kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif terhadap lembaga eksekutif pelaksanaan good governance diharapkan dapat terealisasi dengan baik. Kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif dalam hal pemerintah melaksanakan fungsi administrasi negaranya dilaksanakan oleh peradilan administrasi negara (PTUN). Maksudnya adalah peradilan administrasi negara (PTUN) menjadi salah satu komponen dalam suatu sistem yang menentukan terwujudnya good governance. Penulis melihat adanya keterkaitan yang erat antara konsep good governance dengan konsep keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN). Keterkaitan ini dapat diketahui dengan memahami prinsip-prinsip utama dari good governance itu sendiri dan fungsi utama dari pengadilan administrasi negara (PTUN). Meskipun unsur-unsur dari good governance banyak yang masih memberikan kriteria masing-masing, tetapi pada intinya ada lima prinsip utama dalam good governance, yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (openess), penegakan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level playing field (perlakuan yang adil atau perlakuan kesetaraan). Prinsip terakhir ini sering disebut dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Apabila konsep good governance disambung-hubungkan dengan konsep supremasi hukum dan konsep sistem pemerintahan yang baik dan bersih dalam hukum administrasi negara secara normatif, maka akan ditemukan persamaannya dengan konsep rechtmatigheid van bestuur yang dimaknakan sebagai “asas keabsahan dalam 29
  • 30. pemerintahan” atau asas menurut hukum. Jika perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi itu onrechtmatigheid, maka perbuatan pejabat administrasi tersebut telah “melanggar hukum”. Makna good dalam good governance disini menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 121) mengandung dua pengertian; pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itupun beliau memaknai governance sebagai institusi yang terdiri dari tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Dengan demikian ketiga domain ini dalam upaya mewujudkan good governance saling berinteraksi dan terkoordinasi serta dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dengan baik. Beranjak dari ketiga domain tersebut, sektor negara atau pemerintah dalam arti luas merupakan sektor yang sangat kuat, lain dengan sektor swasta dan masyarakat yang posisinya lebih lemah karena segala kebijakan ditentukan oleh sektor negara tersebut. Oleh karena itu, sektor swasta dan masyarakat ini mendapat perlindungan hukum dari pengadilan administrasi negara (PTUN) apabila ada perbuatan hukum publik dari pejabat administrasi yang merugikan hak-haknya. Perlindungan hukum ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan bahwa : “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi agar keputusan tata usaha negara yang 30
  • 31. disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau direhabilitasi.” Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat adanya unsur penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia dalam undang-undang peradilan administrasi negara (PTUN) ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ke-4 dan ke-5 dari lima prinsip good governance, sedangkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan juga merupakan unsur penting dalam hal penyelenggaraan sistem pemerintahan. Menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 135-136), akuntabilitas merupakan suatu perwuju dan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pemerintahan, akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misinya. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya pun dimintai pertanggungjawabannya ketika melakukan perbuatan hukum publik, terlebih apabila perbuatannya itu melanggar hukum. Pertanggungjawaban ini secara hukum dapat diajukan ke pengadilan administarasi negara (PTUN) sebagai lembaga hukum yang melaksanakan fungsi judicial control. Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good governance merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara merupakan bentuk perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena dalam hal pejabat administrasi negara membuat suatu kebijakan atau keputusan administrasi negara maka rakyat yang mempunyai kepentingan atas kebijakan atau keputusan tersebut harus mengetahui secara transparan atau terbuka. Misalnya dalam perekrutan pegawai negerai 31
  • 32. sipil atau penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi negeri harus dibuat dalam suatu keputusan administrasi yang sifatnya transparan dan terbuka bagi publik untuk mengetahui proses dan hasil perekrutan tersebut. Hal ini pun nantinya ada suatu pertanggung jawaban secara hukum, bila ada pihak yang merasa dirugikan atas keputusan administrasi negara tentang hasil penerimaan tadi. 32
  • 33. Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik dan Berwibawa LATAR BELAKANG Fungsi hukum administrasi negara adalam menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat dibutuhkan. Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif. PEMBAHASAN Fungsi Hukum Administrasi Negara yang melihat negara dalam keadaan bergerak, pada hakikatnya bertujuan mengatur lembaga kekuasaan / pejabat atasan maupun bawahan dalam melaksanakan peranannya berdasarkan Hukum Tata Negara, yaitu : a. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum. b. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk subyek tertentu, di bidang : 33
  • 34. 1) Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan dan pemeliharaan perlengkapan administrasi. 2) Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan. 3) Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan mediasi. Kegiatan penciptaan ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum tercermin dalam kegiatan Pembentukan Undang – Undang, Peraturan Pemerintah serta Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Kegiatan menciptakan ketentuan – ketentuan konkrit untuk subyek tertentu, tercermin dalam kegiatan : pemberian ijin penyimpangan jam kerja, ijin pemutusan hubungan kerja dan ijij mempekerjakan wanita pada malam hari. Demikian pula penentuan status terlihat dalam kegiatan pemberhentian buruh oleh P4P. Kegiatan pembuktian dapat dilihat dari pendaftaran serikat buruh pada Departemen Tenaga Kerja. Kegiatan pengawasan dalam arti pencegahan, tercermin dalam ketentuan keselamatan kerja, ketentuan upah minimum dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pengawasan dalam arti penindakan, tercermin dalam ketentuan yang mencantumkan ancaman sanksi pidana / administratif. Kegiatan peradilan di sini, tercermin dalam mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan yang dikenal arbitrase wajib ( pemerintah mempunyai peranan yang penting ). PERMASALAHAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH YANG BAIK Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula, masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, 34
  • 35. banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan. Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belum sepenuhnya teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi lima tahun ke depan. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara. Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan. Demikian pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi itu sendiri, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain adalah: pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek KKN; rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai; rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum; rendahnya kesejahteraan PNS; dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan. 35
  • 36. BAGIAN Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e- Government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat; makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide). Perubahan-perubahan ini, membutuhkan aparatur negara yang memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan. Di samping itu, aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga keutuhan bangsa dan wilayah negara. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang merupakan amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia. Sasaran Penyelenggaraan Kebijakan Negara Secara umum sasaran penyelenggaraan negara adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, secara khusus sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas; 36
  • 37. 2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel; 3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat; 4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik; 5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak bertentangan peraturan dan perundangan di atasnya. Arah Kebijakan Dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, maka kebijakan penyelengaraan negara diarahkan untuk: 1) Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktik-praktik KKN dengan cara: a. Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan; b. Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat; d. Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif dan bertanggung jawab; e. Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan; 37
  • 38. f. Peningkatan pemberdayaan penyelenggara negara, dunia usaha dan masyarakat dalam pemberantasan KKN. 2) Meningkatkan kualitas penyelengaraan administrasi negara melalui: a. Penataan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih proporsional, ramping, luwes dan responsif; b. Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada semua tingkat dan lini pemeritahan; c. Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat; d. Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi; e. Optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan e-Government, dan dokumen/arsip negara dalam pengelolaan tugas dan fungsi pemerintahan. 3) Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dengan: a. Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar, pelayanan umum dan pelayanan unggulan; b. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan dirinya, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi jalannya pemerintahan; c. Peningkatan tranparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui peningkatan akses dan sebaran informasi 38
  • 39. Program-Program Pembangunan Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik Program ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, profesional, responsif, dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik; 2. Menerapkan nilai-nilai etika aparatur guna membangun budaya kerja yang mendukung produktifitas kerja yang tinggi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara khususnya dalam rangka pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Program Peningkatan Pengawasan Aparatur Negara Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat; 2. Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efisien, transparan dan terakunkan; 3. Meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum; 4. Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif; 5. Mengembangkan penerapan pengawasan berbasis kinerja; 39
  • 40. 6. Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional; 7. Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan implementasinya pada seluruh instansi; 8. Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi APFP dan perbaikan kualitas informasi hasil pengawasan; dan 9. Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan. Program Penataan Kelembagaan Dan Ketatalaksanaan Program ini bertujuan untuk menata dan menyempurnakan sistem organisasi dan manajemen pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/ kota agar lebih proporsional, efisien dan efektif. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel berdasarkan prinsip-prinsip good governance; 2. Menyempurnakan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI dan mempercepat proses desentralisasi; 3. Menyempurnakan struktur jabatan negara dan jabatan negeri; 4. Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat dan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota; 5. Menciptakan sistem administrasi pendukung dan kearsipan yang efektif dan efisien; dan 6. Menyelamatkan dan melestarikan dokumen/arsip negara. 40
  • 41. Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan akan jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS; 2. Menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia aparatur terutama pada sistem karier dan remunerasi; 3. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya; 4. Menyempurnakan sistem dan kualitas penyelenggaraan diklat PNS; 5. Menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan manajemen kepegawaian; dan 6. Mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui penyempurnaan aturan etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Program ini bertujuan untuk mengembangkan manajemen pelayanan publik yang bermutu, tranparan, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan dunia usaha, serta mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha. 41
  • 42. 2. Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam setiap proses pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka mendukung penerimaan keuangan negara seperti perpajakan, kepabeanan, dan penanaman modal; 3. Meningkatkan upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi; 4. Meningkatkan penerapan sistem merit dalam pelayanan; 5. Memantapkan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan pengembangan kualitas aparat pelayanan publik; 6. Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik; 7. Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat; 8. Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk di masing-masing wilayah; dan 9. Mengembangkan mekanisme pelaporan berkala capaian kinerja penyelenggaraan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada publik. Program Peningkatan Sarana Dan Prasarana Aparatur Negara Program ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan administrasi pemerintahan secara lebih efisien dan efektif serta terpadu. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; dan 42
  • 43. 2. Meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk pengadaan, perbaikan dan perawatan gedung dan peralatan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan Dan Kepemerintahan Program ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas pimpinan dan fungsi manajemen dalam penyelenggaraan kenegaraan dan kepemerintahan. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan; 2. Mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi kantor kenegaraan dan kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan, belanja modal, dan belanja lainnya; 3. Menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja kementerian dan lembaga; 4. Mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi pendukung pelayanan; dan 5. Meningkatkan fungsi manajemen yang efisien dan efektif. 43
  • 44. Kesimpulan Dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, HAN sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi HAN dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Menciptakan peraturan – peraturan yang berupa ketentuan – ketentuan abstrak yang berlaku umum. b. Menciptakan ketentuan – ketentuan yang berupa ketentuan konkrit untuk subyek tertentu, di bidang : 1) Bestuur, yang berbentuk : perijinan, pembebanan, penentuan status atau kedudukan, pembuktian, pemilikan dalam penggandaan dan pemeliharaan perlengkapan administrasi. 2) Politie, mencakup proses pencegahan dan penindakan. 3) Rechtspraak, mencakup proses pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan mediasi. Diharapkan dengan penegakan Hukum Administrasi Negara dengan baik maka, upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan berwibawa akan dapat terlaksana dengan baik pula. Konsep Negara Hukum dan Relevansinya Dengan Pembentukan Peradilan Administrasi. Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-unsur Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht (1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting, yaitu: a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 44
  • 45. c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang- undangan yang berlaku; d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara. Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang di negara- negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki unsur-unsur : a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law) b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law) c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on Individual Right) Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep Rule of Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat terlihat adanya persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan berdasarkan atas hukum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hokum tersebut adalah keharusan adanya Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat dari tindak/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak dapat menimbulkan kerugian 45
  • 46. bagi warganya. Negara-negara yang menganut konsepsi negara hukum Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah penting adanya guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi, termasuk juga memberikan perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah bertindak benar (sesuai aturan hukum). Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F Marbun, 8; 2003). Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu negara, jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam konsepsi Rechtstaat. Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of Law, menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan. Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan hukum) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan (S.F Marbun, 8; 2003). Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of Law tidak ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan administrasi negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata tetap ada. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang mengklasifikasikan secara khusus administratif dispute sebagaimana pengadministrasian berbagai jenis perkara lain (Riawan Tjandra, 3: 2005). 46
  • 47. Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah konsepsi negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat koreksi dari teori negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum kesejahteraan). Dalam konsepsi negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki tugas yang amat luas, tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan negara (pemerintah) adalah sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau Bestuurszorg (meminjam istilah Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut, maka pemerintah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah-masalah penting dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana peraturan belum ada (kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen atau Discretionaire). Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen memiliki beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundang-undangan, antara lain : 1) Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU, 2) Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan dibawah UU, dan 3) Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif. Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang bagi terjadinya de’tournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur (perbuatan sewenang-wenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun (10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber yang 47
  • 48. menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha negara dengan warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking). Akibat diberikannya kekuasaan yang besar kepada negara untuk mengurus negara dan mensejahterakan warga negaranya, warga negara membutuhkan adanya jaminan perlindungan hukum yang cukup terhadap kekuasaan negara yang besar tersebut. Untuk mewujudkan perlindungan tersebut, dibutuhkan satu media atau institusi keadilan, yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat, untuk mendapatkan rasa keadilan tersebut. Institusi keadilan dalam sistem hokum moderen dewasa ini , salah satunya diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan. Lembaga pengadilan ini pada masa peradaban hukum moderen, secara simbolik telah menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata. Proses-proses peradilan dari mulai masuknya suatu perkara, hingga pelaksanaan putusan , sering dianggap sebagai indikator serta bukti berjalannya hukum di suatu negara. Salah satu lembaga peradilan di Indonesia, adalah PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). PTUN ini mendapat tugas khusus, yakni sebagai salah satu badan peradilan, yang memberi akses keadilan bagi pencari keadilan di bidang tata usaha negara. PTUN lahir berdasarkan UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan baru efektif 5 (lima) tahun kemudian atau tepatnya tahun 1991. Jika melihat rentetan perjalanan konsep Negara hokum dalam dimensi kesejarahan diatas, maka tepatlah apa yang dinyatakan oleh Sunaryati Hartono dalam Martiman Projohamidjodjo (1993; 11-12), yaitu “urgensi suatu PERATUN tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan intern (penulis lebih sepakat ekstern) terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi (dan harus dipegang teguh oleh) Negara hokum. Akan tetapi, yang benar-benar berfuungsi 48
  • 49. sebagai badan peradilan yang secara bebas dan objektif diberi wewenang untuk menilai dan mengadili pelaksanaan Hukum Administrasi Negara yang dilakukan oleh pejabat eksekutif kita. C. Peradilan Tata Usaha Negara : Suatu Tinjauan Kesejarahan Pada masa Hindia Belanda belum terdapat peradilan yang secara khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara. Namun begitu setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat dikatakan sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan tersebut adalah: 1. Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS, 2. Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het Beleid der Justitie in Indonesie), 3. Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan Ordonansi Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan dalam Perkara Pajak (mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa atau Raad van Beroep voor Belastingzaken) dan 4. Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan khusus bagi bendaharawan (Comptabelrechtspraak). Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan bahwa : 1). Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang, 2). Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri (S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000). Perselisihan perdata antara rakyat pencari keadilan (naturlijk persoon atau rechts persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui peradilan perdata, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan 49
  • 50. melalui Administratiefberoep (penyelesaian sengketa internal melalui administrasi negara itu sendiri dimana dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau oleh oleh instansi lain diluar instansi yang memberikan keputusan). Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas perintah Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi, maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu konsep rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun 1964 dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965, dibentuklah panitia kerja penyusun Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966 dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut, namun rancangan undang-undang tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.). Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk dilakukan pembahasan, namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan Pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 Undang- 50
  • 51. Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi Negara semakin jelas dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April 1986, pemerintah dengan Surat Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada tanggal 28 Desember 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan barulah undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pembentukan PERATUN sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan tekad negara dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia 51
  • 52. dari tindakan administrasi negara yang dirasa merugikan. Namun demikian, pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara Pancasila memiliki kekhasan yang menunjukkan ciri dari Sistem Hukum Pancasila. d.Peradilan Tata Usaha Negara dan Negara Hukum Pancasila Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi disamping pengaruh falsafah bangsa dan ideologi politik suatu negara. Secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo- Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1). Konsep negara hukum Pancasila dapat disandingkan dengan konsep negara- negara hukum lain didunia. Konsep negara hukum Pancasila berakar dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Menurut Supomo, Negara Hukum Pancasila menganut faham integralistik, sebuah faham yang sangat berbeda dengan faham komunisme dan liberalisme-kapitalisme, Ciri-ciri khusus yang membedakan negara hukum pancasila dengan faham negara hukum lainnya dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut: 1. Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan; 2. Tidak mengenal sekulerisme mutlak; 3. Kebebasan beragama dalam arti positif, setiap orang diharuskan beragama; 52
  • 53. 4. HAM bukanlah titik sentral, tapi keserasian hubungan antara pemerintah & rakyat lebih diutamakan. 5. Demokrasi disusun dalam bingkai permusyawaratan perwakilan. Menurut Padmo Wahyono, unsur-unsur utama negara hukum pancasila adalah: a. Hukum harus bersumber pada Pancasila, Pancasila adalah sumber segala sumber hukum; b. Negara berdasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka; c. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional; d. Equality before the law; e. Kekuasaan kehakiman yang merdeka Kalau ditelaah dari latar belakang sejarahnya, baik konsep rule of law maupun konsep rechtstaat lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenang- wenangan penguasa, sedangkan negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenang-wenangan atau absolutisme. Baik konsep rule of law mapun rechtstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik central, sedangkan bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik central adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan. Dalam Negara Hukum Pancasila juga menunjukkan adanya ciri hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, disamping itu juga dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan unsur terakhir (PM Hadjon, 1985;84). Untuk mengetahui bagaimana Politik Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila terhadap pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan di Indonesia, maka perlu untuk mengatahui bagaimana tujuan dan fungsi Peradilan TUN. 53
  • 54. Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan falsafah negara yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut faham demokrasi liberal, maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN adalah: a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu; b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986). Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara represif. Tujun Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi. 54
  • 55. Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam Negara Hukum Pancasila penyelesaian. Sarana penyelesaian konflik atau sengketa Tata Usaha Negara dikonstruksikan melalui 2 jalur, yaitu jalur upaya administrative yang menekankan upaya permusyawaratan dan perdamaian (di luar pengadilan) dan upaya peradilan yang kedudukannya netral, impartial, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum (supremation of law) dalam menjalankan pemerintahannya, faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih tentunya adalah faktor yang berkaitan dengan kontrol yudisial, kontrol yudisial adalah salah satu faktor yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi maupun berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan pemerintah lainnya, selain menyelesaikan sengketa administrasi, kontrol yudisial inilah yang mendasari konsepsi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara yang tujuannya merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah (government act). Bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah yang mal administrasi maupun yang tergolong abuse of power, dengan tujuan akhir bahwa perbuatan pemerintah sebagai amanat rakyat tetap selalu berjalan diranah hukum, perundang-undangan, keadilan dan kemanfaatan sehinga terwujudnya tujuan Negara untuk mensejahterakan rakyat. Menurut Riawan Tjandra (2005; 2), Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap sesuai dengan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune) 55
  • 56. seluas-luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat (kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat). Pengujian yang dilaksanakan oleh peradilan administrasi terhadap keputusan tata usaha negara ditujukan agar terwujud kesatuan yang harmonis antara norma umum abstrak yang terkandung dalam peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara (Riawan Tjandra, 2005; 2). Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum berakar pada satu norma dasar (grundnorm). Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku. Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji materiil tersebut diharapkan dapat tersusun suatu bentangan norma hukum yang sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori hierarkhi peraturan perundang-undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum yang ada adalah bentuk dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma dasar negara (Gundnorm). Bertolak dari pemikiran demikian, maka sesungguhnya Negara Hukum Pancasila hendak mewujudkan perlindungan hokum bagi individu-individu warga negaranya, sekaligus melindungi kepentingan umum. Dibukanya kran kebebsan warga negara sama sekali tidak menghilangkan dimensi kepentingan public yang diwakili oleh nagara. Kepentingan warga negara sebagai individu adalah penting, namun kepentingan 56
  • 57. public juga tidak kalah pentingnya, dan oleh karenanya juga harus dilindungi oleh hokum. Dengan kata lain, dimensi perlindungan hokum terhadap rakyat sedapat mungkin berjalan secara sinergis antara kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan public. Penutup Dapatlah disimpulkan disini bahwa eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena pengadilan administrasi negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara. Kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam good governance pada dasarnya menjadi pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan yaitu mencegah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan profesional dalam rangka menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan kepastian hukum dalam masyarkat. Terdapat hubungan teoritik antara urgensi dan eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan dianutnya asas negara hokum dalam system hokum Indonesia. Kebijakan formulasi atas eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia telah melalui lika-liku kesejarahan yang panjang, dimulai dari usaha Wiryono Projodikoro yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara, juga dari amanat Ketetapan MPR, usaha-usaha yang dilakukan oleh LPHN/BPHN dalam rangka penyusunan RUU PTUN, sampai pada amanat UU Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, hingga pada akhirnya pada taun 1986 diterbitkanlah UU No.5 57
  • 58. Tahun 1986 tentang PTUN, yang mulai berlaku efektif tahun 1991. Dalam perspektif Negara Hukum Pancasila (secara konseptual), keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara mengandung konsep perlindungan hukum yang mono-dualistik, ialah ide keseimbangan antara perlindungan kepentinga publik sekaligus kepentingan individu warga negara. 58