Dokumen tersebut merupakan bab-bab dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang ketentuan umum, ruang lingkup, dasar peradilan, penyidik, penuntut umum, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, tersangka, terdakwa, bantuan hukum, sidang pengadilan, upaya hukum, pelaksanaan putusan dan ketentuan penutup dalam proses perad
1. KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang
Bab III Dasar Peradilan
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Umum
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat
Bab VI Tersangka dan Terdakwa
Bab VII Bantuan Hukum
Bab VIII Berita Acara
Bab IX Sumpah atau Janji
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu : Praperadilan
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadilan Negeri
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadilan Tinggi
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung
Bab XI Koneksitas
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kedua : Rehabilitasi
Bab XIII Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Bab XIV Penyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan
Bab XIV Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
Bab XV Penuntutan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua : Memutus Sengketa
Mengenai Wewenang Mengadili
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat : Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk Kasasi
2. Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Demi Kepentingan Hukum
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
Bab XIX Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XX Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XXI Ketentuan Peralihan
Bab XXII Ketentuan Penutup
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1.Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
2.Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
3.Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena
diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
undang-undang ini.
4.Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5.Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6.a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b.Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7.Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.
3. 8.Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili.
9.Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
10.Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
11.Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
12.Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
13.Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14.Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
15.Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.
16.Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan.
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau
penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
18.Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan
badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada
badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19.Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan,
atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
4. melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa
ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
20.Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
21.Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
22.Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.
23.Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
24.Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
25.Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
26.Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.
27.Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
28.Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
5. 30.Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu
atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
31.Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh hari.
32.Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan
peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
BAB III
DASAR PERADILAN
Pasal 3
Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Pasal 5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
6. a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih lanjut
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang
sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
7. pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Pasal 9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai
wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kedua
Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat
oleh Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat
(2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 11
8. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik,
kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada
penuntut umum.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Ketiga
Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
9. i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut
ketentuan undang-undang.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kesatu
Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan
penangkapan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan
penangkapan.
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik
Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang
ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Pasal 19
10. (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama
satu hari.
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia
telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan
yang sah.
BAB V
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN
PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim
yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia
ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
(4)Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak
pidana tersebut dalam hal:
a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
11. b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal
335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undangundang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran
terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931
Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi
(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),
Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37,
Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
Pasal 22
(1) Jenis penahanan dapat berupa:
a.penahanan rumah tahanan negara;
b.penahanan rumah;
c.penahanan kota.
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka
atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala
sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan.
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu yang
ditentukan.
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dan pidana yang
dijatuhkan.
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima darijumlah lamanya waktu
penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu
penahanan.
Pasal 23
(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan
yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari
penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada
tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang benkepentingan.
Pasal 24
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
12. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang
untuk paling lama empat puluh hari.
(3) Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka
dan tahanan demi hukum.
Pasal 25
(1) Penintah penahanan yang dibenikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua pulub hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 26
(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84,
guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk
paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadii perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87,
guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama tiga puluh hari.
13. (2) Jangka waktu sebagaimatia tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua peiigadilan tinggi yang
bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 28
(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88,
guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama lima puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk
paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 29
(1) Dikecualikan dan jangka waktu penahanan sebagahnana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat
dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau
lebih.
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam
hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh
hari.
(3) Perpanjangan penahanan tersebut átas dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam
tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
14. b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oIeh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4)Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3)
dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tauggung jawab.
(5)Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(6)Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau
belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(7)Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam tingkat:
a.penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b.pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29
ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Pasal 31
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Ketiga
15. Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
Pasal 33
(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan
dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka
atau penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan
dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu
berita acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang
bersangkutan.
Pasal 34
(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada
di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan
tempat umum lainnya
(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik
tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda
yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
16. a.ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b.tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
c.ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus
diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di
mana penggeledahan itu dilakukan.
Pasal 37
(1)Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian
termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang
cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2)Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau
menggeledah badan tersangka.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Keempat
Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk
itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 39
(1)Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
17. a.benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;
b.benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c.benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang
memenuhi ketentuan ayat (1).
Pasal 4O
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang
patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat
dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutavnya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut
diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada tersangka
dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penenimaan.
Pasal 42
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat
disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika
surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau
kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakah alat untuk
melakukan tindak pidana.
Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang
untuk merahasiakannya, sepanjang tidak rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan
atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeni setempat kecuali
undang-undang menentukan lain.
18. Pasal 44
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab
atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap
perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan
benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau
kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a.apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut
dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b.apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat
diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan
perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan
siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana;
c.perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut
ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut
putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan
19. sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal
barang bukti dalam perkara lain.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kelima
Pemeriksaan Surat
Pasal 47
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor
pos dan teIekomunikasi, jawatan atau pcrusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda
tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana
yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan
negeri.
(2) Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk
menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda
penerimaan.
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat
tersebut.
Pasal 48
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Apabila sesudab diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi
cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta
identitas penyidik.
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang
dikembalikan itu.
Pasal 49
(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
dan Pasal 75.
20. (2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kaiitor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan.
BAB VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal 50
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat
diajukan kepada penuntut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk rnempersiapkan pembelaan:
a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai,
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang didakwakan kepadanya
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 53
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 177.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagainiana
dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
21. Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa
berhak memiih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57
(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat
hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses
perkaranya.
Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng hubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya
dengan proses perkara maupun tidak.
Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang
penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau
terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60
Tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang
mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna
mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan
bantuan hukum.
Pasal 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara Iangsung atau dengan perantaraan penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak
22. ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau
untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62
(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan
menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan
olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan
negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu
disalahgunakan.
(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut
umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau
terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang
berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara
cepat.
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 95.
23. BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 69
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada
semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan
berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya.
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam
pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut
umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum.
(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat
yang tersebut pada ayat (2).
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut
disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka
hubungan selanjutnya dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan
tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan
tanpa mendengar isi pembicaraan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat
mendengar isi pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan
turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pernbelaannya.
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali dikehendaki
olehnya.
Pasal 74
24. Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana
tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang
tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain
dalam proses.
BAB VIII
BERITA ACARA
Pasal 75
(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a.pemeriksaan tersangka;
b.penangkapan;
c.penahanan;
d.penggeledahan;
e.pemasukan rumah;
f.penyitaan benda;
g.pemeriksaan surat;
h.pemeriksaan saksi;
l.pemeriksaan di tempat kejadian;
j.pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k.pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut
pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalath tindakan tersebut pada ayat (1).
BAB IX
SUMPAH ATAU JANJI
25. Pasal 76
(1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya
pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundangundangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai
tatacaranya.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah
atau janji tersebut batal menurut hukum.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kesatu
Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 78
(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
adalah praperadilan.
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
26. Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebut alasannya.
Pasal 82
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknyapenangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan
ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita
yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka
atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;
c. perneriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim
harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka
permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut
umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan
alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat
hal sebagai berikut
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak
sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masingmasing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi
yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
27. adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk
alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
dan Pasal 95.
Pasal 83
(1)Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.
(2)Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan
akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kedua
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Ketiga
Pengadilan Tinggi
Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
28. Bagian Keempat
Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 89
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan
Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu
tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai
dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan
perkara pidana.
(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Pasal 90
(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan
dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi
dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal
89 ayat (2).
(2) Pendapat dan penelitian bersama tersebut dituangkan dalam. berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi
kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jenideral
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 91
(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian
yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya
29. perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka
perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk
dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.
(2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimaña dimaksud dalam
Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahan dan Keamanan, agar dengan persetujuan
Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang
menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara dan
jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau
mahkamah militer tinggi.
Pasal 92
(1) Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara,
bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau oditur
militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan dalam Iingkungan
peradilan militer.
Pasal 93
(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat
perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka
masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai
berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada
Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah
untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 94
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang
mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga
orang hakim.
30. (2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari
lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan
umum dan peradilan militer secara berimbang.
(3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana
tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari Iingkungan
peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan
peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding.
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik
mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).
BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Ganti Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat
(1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka,
terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara
pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan.
Pasal 96
31. (1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan Iengkap semua hal
yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 97
(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
BAB XIII
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN
Pasal 98
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambatlambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum
tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Pasal 99
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang
32. kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan
tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan
hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan
oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila
putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 100
(1) Apabila teriadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur.
Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur lain.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada
Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib
membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
33. (1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu.
(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk
oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan
petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam
penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti
yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada
penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
34. (2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib
seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada
penyelidik atau penyidik.
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan
surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan
kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih
kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik
disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum
tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir
telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 111
35. (1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib,
menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik
atau penyidik.
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik
atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
(3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat
kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di
situ belum selesai.
(4) Pelanggar Iarangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai.
Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara
jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan
surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara
diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik
memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke
tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan
oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan
bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka penasihat hukum
dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka
Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
36. (2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain
dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang
dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut.
Pasal 117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa
pun dan atau dalam bentuk apapun.
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam
berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh
penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan
terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman
atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal 120
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus.
(2) AhIi tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan
memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan
rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal
dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan
keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan
atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu
yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
37. Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan
dan harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(I) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan
atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan
tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan
tertentu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada
dalam jenis tahanan tertentu.
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat
mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.
Pasal 124
DaIam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga
atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk
diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka
tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.
PasaI 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda
pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam PasaI 33 dan Pasal 34.
Pasal 126
(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada
yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun
tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi.
(3) Dalam haI tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu
dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya
38. Pasal 127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak
meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya
kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 129
(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan
disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu
dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan dengan dua orang saksi.
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang
darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh
penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi.
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari
mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masingmasing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana
benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani
oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada
benda tersebut.
Pasal 131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat
diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik
segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau
kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129
undang-undang ini.
39. Pasal 132
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau
diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat
dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada
pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang
disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak
dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 131, penyidik dapat minta
supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan
kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu
daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima
kembali yang dibagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat
permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya.
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan
sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi
label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu
jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
40. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal
134 ayat (1) undang-undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Bagian Kedua Bab 14 ditanggung oleh negara.
BAB XV
PENUNTUTAN
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dan penyidik segera mempelajari dan
menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil
penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi
dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk
dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
41. (2) a.Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
b.Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib
segera dibebaskan.
c.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa
berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan
tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan
Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa
secara terpisah.
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar
segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi:
a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b.uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b batal demi hukum.
42. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka
atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya
tujuh hari sebelum sidang dirnulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada
tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kesatu
Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan Secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau
apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa
atau tempat kediaman terakhir.
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui
pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orarig lain atau melalui
orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili
perkaranya.
Pasal 146
(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal,
hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang
bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
43. (2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari
serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang
bersangkutan selambat-Iambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kedua
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua
mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 148
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk
wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia
menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap
berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya.
(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya
kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat
pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disarnpaikan kepada
terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.
Pasal 149
(1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:
a.Ia mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu
tujuh hari setelah penetapan tersebut diterima;
b.tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan batalnya
perlawanan;
c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku daftar panitera;
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut
kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.
44. (2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima perlawanan
tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.
(3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat
penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan
perkara tersebut.
(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang bcrsangkutan.
(5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi:
a.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara
yang sama;
b.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara
yang sama.
Pasal 151
(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri
atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
wewenang mengadili:
a.antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan
peradilan yang lain;
b.antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan
tinggi yang berlainan;
c.antara dua pengadilan tinggi atau lebih.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Ketiga
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152
45. (1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa
perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang.
(2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang
di sidang pengadilan.
Pasal 153
(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang.
(2) a.Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara
lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi;
b.Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum.
(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh
belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.
Pasal 154
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam
tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang
yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara
sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan
yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir
pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah
setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang
pertama berikutnya.
46. (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Pasal 155
(1) Pada permulaan sidang. hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama
Iengkap. tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaannya sertta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala
sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
(2)a.Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat
dakwaan;
b.Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benarbenar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan
hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Pasal 156
(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan.
(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa
lebih .lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru
dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.
(3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka Ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri
yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.
(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas
hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi
dengan keputusan membátalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk
pengadilan negeri yang berwenang;
b.Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri
yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang
bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang
telah melimpahkan perkara itu.
(6) Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) berkedudukan
di daerah hukum pengadilan tinggi lain maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut
47. kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang di tempat
itu.
(7) Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah
mdndengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat
alasannya dapat menyatakán pengadilan tidak berwenang.
Pasal 157
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat
hubungan keluarga sedarah atau Semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri
meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut
umum atau panitera.
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mengundurkan diri
dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semeñda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau
dengan penasihat hukum.
(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkan diri harus diganti
dan apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara
wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang
keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 159
(1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir
dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang
lain sebelum memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam hal saksi tidák hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim
ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
Pasal 160
(1)a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b.Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa
yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selamã berIangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusán, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
48. (2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan,
selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi
dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat
keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah
bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji
sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan
terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat
dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap
tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 162
(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat
kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan
kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.
(2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita
acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang.
Pasal 164
(1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(2) Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau
penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya.
49. Pasal 165
(1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang
dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.
(2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasannya.
(4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan
mereka masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak bolèh diajukan baik kepada terdakwa; maupun kepada
saksi
Pasal 167
(1) Setelah saksi .memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang
memberi izin untuk meninggalkannya.
(2) Izin itu tidak diberikán jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang.
(3) Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya
dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
b. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anakanak saudara terdakwa sampal derajat ketiga
c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
Pasal 169
(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut
umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
50. (2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan
memberikan keterangan tanpa sumpah.
Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah :
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b.orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 172
(1) Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut
yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi
lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang
demi seorang maupun bersama-sama tanpa hádirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.
(2) Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang tèlah
didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan
saksi yang lain.
Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya
terdakwa, untuk itu Ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu
pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua
hal pada waktu ia tidãk hadir.
Pasal 174
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh -sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan
mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu
ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.