1. Kultur (Kebudayaan) vs Masyarakat
Culture vs Society
Culture is changing constantly. Certain products of culture are governments, languages, buildings and
man made things. It is a powerful tool for the survival of mankind. Cultural patterns of ancient people
are reflected in their artifacts and are studied by archaeologists to understand their way of life. Culture
is an important part of a society for the very existence of society. Culture also plays an important role to
establish discipline in a society. According to the behavior patterns and perceptions, there are three
levels of culture.
First one is the body of cultural traditions that makes you to differentiate a society from others. When
people speak German, Japanese or Italian, then they are referred as the language, beliefs and traditions
shared by each set of people that is different from others. Second one is the subculture in which
different societies from different parts of the world preserve their original culture. Such people are the
part of a subculture in the new society. For example, subcultures in United States consist of ethnic
groups like Mexican Americans, African Americans and Vietnamese Americans. The members of each
subculture share a common language, identity, food tradition and other traits through a common
ancestral upbringing. The third level is the cultural universals that consist of behavior patterns shared by
the humanity as a whole. Some examples of such behavior patterns are communicating with a verbal
language, use of age and gender to classify people, differentiation based on marriage and relationships.
Society is referred to as a group of people who share common area, culture and behavior patterns.
Society is united and referred as a distinct entity. Society consists of a government, health care,
education system and several occupations of people. In a society each and every individual is important
because each individual can contribute something to the society. Also you can find smaller groups of
people with a certain goal which include groups of students, government agencies or groups that raise
money for a specific cause in a society. Many different cultures can be found within a society. You can
find several differences within a country or town.
In a broad sense, the society is made of varied multitude of individuals with social, economic or
industrial infrastructure. One of the major benefits of a society is that it serves the individuals in the
time of crisis. Societies are also organized depending up on their political structure such as State, bands,
chiefdoms and tribes. The degrees of political power vary according to the cultural, historical and
geographical environments. Certain societies give certain status to an individual or group of people
when an individual or group performs a favorable action for the society.
Read more: Difference Between Culture and Society Difference Between Culture vs Society
http://www.differencebetween.net/miscellaneous/difference-between-culture-and-
society/#ixzz1NFsPSpkj
2. Sumber:
http://www.differencebetween.net/miscellaneous/difference-between-culture-and-society/
Teori Konstruksi Sosial (P.L. Berger)
Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut
Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut
Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan
Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala
sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam
masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger? Tulisan ini
mencoba untuk mengelaborasi ‟teori makna‟ Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka
tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi.
Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna
perspektif Berger. Ragam Aliran Teori Sosiologi Secara sistematis, George Ritzer
mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga
paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan
perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar
dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi
simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990).1 Sedangkan ilmuwan mazhab
Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni;
positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi
(kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan
kelima: 2003). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda Dalam pandangan Ritzer,
paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi
sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim,
terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.2 Durkheim menyatakan bahwa fakta
sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social
institution)3. Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus
“positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma
ini. Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah
kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori
Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.4 Teori
Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional
cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama
dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung
menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan
melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.5 Teori sistem (Parson) juga termasuk
dalam paradigma ini. Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang
tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini.
Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam
interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan
kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui
penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut
3. dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz),
Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk
dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi
penganut aliran ini adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah
pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni „perilaku individu
yang tak terpikirkan‟. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang
diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan
paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya,
juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode
eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology
behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma
integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan
realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa),
makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan
interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang
realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer. Sejumlah pendahulunya,
Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro-
mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun
sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan
kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan
tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the
Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959) tentang hubungan
antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis
persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit.8 Kritik Multi-Paradigma Ritzer Penempatan
perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah
sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat
senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang
mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-
masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju
keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial,
sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari
pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan
adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara
terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme
dengan teori pertukaran.9 Selain itu, paradigma integratif sebagai „konsensus‟ antar paradigma,
atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi-
patut diperdebatkan. Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan
berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai
paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma
tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai
paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma
perilaku sosial. Metateori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif
baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung
dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk
menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin
menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi
4. sombolik) tak lagi relevan.10 Jurgen Habermas; Empiris-analitis, Historis-hermeneutis, dan
Emansipatorik Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni;
positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris
analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-
ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada
filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil
epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan
keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick
Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam
metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika
deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif.
Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif,
dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik;
penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Positivisme Plato menganggap bahwa
pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori). Penerus gagasan ini
diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan Aristoteles menganggap empiris berperan besar
terhadap obyek pengetahuan (aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat
Thomas Hobbes dan John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap
perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science, ilmu alam
dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi obyektif. Adopsi
saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857).
Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi menandai
positivisme awal ilmu sosial.12 Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte.
Karena itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari
praktik sosial dan moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis. Teori untuk
teori –bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci
dan universal, dan tercapailah pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917)
adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik, terutama
sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa pemikran positivisme
pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme,
determinisme, dan asumsi bebas nilai.13 Humanisme Berbeda dengan positivis yang berusaha
memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba
memahami tindakan sosial pada level makna –yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya,
sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha
menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini
berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari
pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan
bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya.
Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus
menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati
(obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.14
Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada
fenomena „spiritual‟ atau „ideal‟ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat
dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan
manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey
memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-
5. produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz
memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah
dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang
memiliki makna subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya
etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi
(Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger).15
Kritis Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak
selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah
menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas
positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk
kritis. Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk
membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam
masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah
interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai berikut:
1. teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi atas dunia statis “di
luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu
tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika
positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam, maka kritis percaya bahwa masyarakat
akan terus mengalami perubahan.
2. teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh
dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk
mendorong perubahan.
3. teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis adalah
mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar global dan
rasional penindasan yang mereka alami.
4. pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh kesadaran palsu
manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran
satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida).
5. teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-
hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini, teori sosial kritis
menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme.
6. mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur manusia
secara dialektis.
7. teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang dapat
dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis juga menolak
pragmatisme revolusioner.
Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih
dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan
(Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi
sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif
dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah.
Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis
sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian
survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
6. penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu
fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Jauh berbeda dengan
Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur
bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis. Menurutnya, teori interpretatif adalah
cabang dari teori kritis. Clough –juga Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan
sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan
dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.16
Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis)
kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme
dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial.
Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi ”kesadaran palsu”. Interpretatif
berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa masyarakat
memiliki ”kesadaran palsu” atau ”sejati”. Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat
memiliki ”kesadaran palsu” –yang mesti dilawan dan dihancurkan. Metodologi Epistemologi
yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang berbeda. Secara kasar;
positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan kritis dengan
kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode
empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan
berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-
hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis
mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Walaupun
begitu, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda –walau
masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme dan kritik. Walaupun sama-sama menekuni
makna, Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki perbedaan dengan fenomenologi
Schutz. Berger, yang membidik makna dalam skala lebih luas, menggunakan studi sejarah
sebagai bagian dari metodologinya.
Posisi Teori Berger Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era
1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya
oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena
itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi
lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil
sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi „perang‟ antar aliran dalam sosiologi.
Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang
merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu
pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni
makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan
subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus
berdialektika (Marx). Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau
kritis? Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan
suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori
konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger
terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi ke-humanis-annya. Pengambilan
itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Berger sebagai Durkheimian:
Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya
7. merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan
fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa
pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam
mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan
Luckmann, 1990: 268). Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog
tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam posisinya sendiri. Dengan
mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik.
Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan
spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog
lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori)
antar sosiolog, bukan menggolong-golongkan. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog
sebelumnya yang kentara mempengaruhi teorinya adalah (sebagaimana disinggung di atas): Max
Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber
nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji
gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat
adalah produk manusia) Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai
realitas obyektif –yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah
sumbangan Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang
makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi,
termasuk tentang ’I’ and ’me’ dan significant others, Mead menjadi rujukan Berger. Selain
konsep diri atau self, makna adalah istilah yang sentral dari sosiologi humanis. Pembahasan
mengenai makna sangat nampak dalam Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada
tiga premis utama yang melibatkan makna;
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi
mereka
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain
3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Bagi Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa
sehingga pengalaman itu “punya arti”. Etnometodologi Garfinkel menyangkut isu realitas
common sense di tingkat individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa tingkat
kolektif.1 Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz –sebagaimana juga
Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan makna. Schutz menjelaskan tiga unsur
pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari,
sosialitas, dan makna (Novri Susan, 2003:46). Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari
kenyataan (the first order of reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi
manusia. Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi
setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa mengiringi tindakan
sosial, dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai makna –yang “bersembunyi”/”melekat”.
Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang makna dan
bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan “pembentukan
makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari, sedangkan makna dasar bagi
pengertian manusia adalah common sense (dunia akal sehat). Dunia akal sehat terbentuk dalam
percakapan sehari-hari. Common sense merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang
dewasa yang sadar. Pengetahuan ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi –dari
orang-orang sebelumnya, terlebih dari significant others. Common sense terbentuk dari tipifikasi
8. yang menyangkut pandangan dan tingkah laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena
individu-individu yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian
membangun semacam sistem relevansi kolektif.
Sosiologi Pengetahuan Walaupun Berger berangkat dari pemikiran Schutz, Berger jauh keluar
dari fenomenologi Schutz –yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas. Karena itu garapan
Berger tak lagi fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan. Namun demikian, Berger tetap
menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan (sekali lagi) menggunakan studi
sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni
legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk
menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger, 1991: 36). Legitimasi merupakan
obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan
normatif –karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral. Legitimasi,
dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa
terjadi. Berger mencontohkan, tentang moral-moral kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur
dengan X”, karena “X adalah saudarimu, dan kamu adalah saudari X” (Berger, 1991: 37) Jika
dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka legitimasi itu misalnya, “Kamu tidak boleh
„berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu, dan jika engkau melakukan itu, maka
engkau telah berzina, telah melakukan perbuatan dosa yang besar”. Penelitian makna melalui
sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah
inilah yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
(1990). “Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang
memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang
kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa
fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.2
Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap
pengetahuan –dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi
oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan
adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3 Common sense
adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan
rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan
Luckmann, 1990: 34). Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan Berger dan Luckmann (1990) merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi
pengetahuannya. Buku ini terdiri dari tiga bab, yakni; dasar-dasar pengetahuan dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas
subyektif. Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari Kehidupan sehari-hari
telah menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing
perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang
ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Di sisi ‟lain‟, kehidupan sehari-
hari merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu,
dan dipelihara sebagai ‟yang nyata‟ oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar pengetahuan
tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses (dan makna-makna) subyektif –yang
membentuk dunia akal-sehat intersubyektif (hlm. 29). Pengetahuan akal-sehat adalah
pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam
kegiatan rutin yang normal (dalam kehidupan sehari-hari). Realitas kehidupan sehari-hari
merupakan taken for granted. Walaupun ia bersifat memaksa, namun ia hadir dan tidak (jarang)
9. dipermasalahkan oleh individu (Misalnya; civitas kampus FISIP Unair jarang, bahkan belum
pernah, menanyakan; mengapa gedung FISIP di Kampus B, mengapa kantor dekan di lantai satu,
mengapa kantinnya di sebelah utara. Hal itu sudah dianggap alamiah, sehingga tak perlu
dibuktikan kebenarannya). Selain itu, realitas kehidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan;
realitas sosial yang bersifat khas (dan individu tak mungkin untuk mengabaikannya), dan
totalitas yang teratur –terikat struktur ruang dan waktu, dan obyek-obyek yang menyertainya
(Samuel, 1993: 9). Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi oleh obyektivasi, juga memuat
signifikasi. Siginfikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh manusia, merupakan obyektivasi yang
khas, yang telah memiliki makna intersubyektif –walaupun terkadang tidak ada batas yang jelas
antara signifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda meliputi sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik
badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai
sistem tanda-tanda suara, merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua
ini merupakan sarana untuk memelihara realitas obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa
lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa memungkinkan
menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka.
Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif Manusia berbeda dengan binatang.
Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan, sejak dilahirkan hingga melahirkan –sampai mati.
Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan
berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian
menuntut manusia menciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial merupakan produk manusia
yang berlangsung terus menerus –sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis
manusia. Tatanan sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia
secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya (Berger,
1991: 4-5). Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses
pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –
sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian menghasilkan pembiasaan
(habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi.
Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa.
Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan
pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan
tatanan kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri.
Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya
peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor hukum. Masyarakat sebagai realitas
obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna
tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif –karena tidak
hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat
obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif. Perlu sebuah
universum simbolik yang menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan. Universum
simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna
bagi individu –dan individu harus melakukan sesuai makna itu. Agar individu mematuhi makna
itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam
kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik (teori/legitimasi). Di
sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum
simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui
organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori
10. dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legitimasi sebagai legitimasi lembaga
sosial” menuju ”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus berlangsung, dan dialektik.
Dialektika ini terus terjadi, dan dialektika ini yang berdampak pada perubahan sosial.
Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara
subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi
adalah proses yang dialami manusia untuk ‟mengambil alih‟ dunia yang sedang dihuni
sesamanya (Samuel, 1993: 16). Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi,
baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang
disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi
tersebut, individu pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu,
turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan
aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.
Metodologi Menurut Hanneman Samuel, metodologi Sosiologis Berger mengacu pada tiga poin
penting dalam kerangka teori Berger –yang berkaitan dengan arti penting makna yang dimiliki
aktor sosial, yakni: Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia
yang bermakna. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya sendiri,
tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat
dilakukan, Pertama, makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak segera tersedia secara
’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis membimbing tindakan dalam kehidupan sehari-
hari. Kedua, makna dapat dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil
tafsiran ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang diperoleh melalui
interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam interaksi (misalnya melalui media
massa). Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger
menjadikan interaksi sosial sebagai subject matter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan
individu dengan masyarakat. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang senantiasa
bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna
subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk
mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan
itu dilaksanakan. Masyarakat merupakan suatu satuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari
relasi-relasi antar manusia yang (relatif) besar dan berpola (Samuel, 1993: 3).4 Interaksi sosial
sebagai subject matter adalah interaksi sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal
tak hanya bermakna interaksi antar individu dengan individu lainnya, tetapi meliputi kelompok
dan struktur sosial. Karena itu faktor kultural, ekonomi, dan politik tak dapat diabaikan.
Perjalanan sosial manusia tak lepas dari masa lalu dan masa mendatang, sehingga aspek vertikal
(sejarah) menjadi penting. Hal ini tidak berarti menghilangkan sosiologi sebagai disiplin ilmiah
dan menyatu dengan ilmu sejarah, tapi sosiologi meminjam data sejarah untuk meningkatkan
pemahamannya tentang realitas masa kini.
Jihad sebagai Konstruksi Sosial (Sebuah Contoh Analisa Sederhana dengan Sosiologi
Pengetahuan) Sejak jihad dieksternalisasikan Nabi Muhammad dan kaumnya empat belas abad
silam, sejak itu jihad menjadi isu dan amalan penting yang bertahan hingga kini. Sejak itu pula
jihad menjadi fenomena sosial yang menyejarah sekaligus fenomenal. Jihad tak hanya menjadi
realitas bagi kaum muslimin, tetapi juga umat yang lain.5 Jihad telah menjadi makanan sehari-
hari umat Islam. Sehingga umat Islam di luar Arab tak perlu lagi menerjemahkan jihad dalam
11. bahasa ibunya. Kata jihad sudah mendarah daging sebagaimana kata islam itu sendiri. Karena itu
fenomena jihad selalu tergambar nyata. Bahkan umat Islam menyimpan pengalaman tentang
jihad sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka. Mengikuti konstruksi sosial Berger,
realitas sosial jihad menjadi teperlihara dengan ter‟bahasa‟kannya dalam Alquran, hadits, buku-
buku/manuskrip ulama yang terpelihara hingga kini. Agama (Islam) berhasil melegitimasikan
jihad, terlebih dengan menjadikan agama sebagai ideologi negara. Alhasil, bersatunya dua
kekuatan besar (agama dan negara) selama berabad-abad (selama imperium Islam) menjadikan
jihad sebagai realitas sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan.
Sosialisasi jihad terus berlangsung seiring sosialisasi Islam. Jihad terus diinternalisasi oleh
individu muslim, sehingga menjadi realitas subyektif. Realitas subyektif itu terus
dieksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena jihad memiliki makna yang luas,
sehingga dapat dieksternalisasikan dalam setiap detik dan ruang kehidupan kaum muslim. Jihad
mengisi keseharian rakyat Palestina yang mengangkat senjata melawan Israel, menjadi titik tolak
muslimin Irak mengusir Amerika dan sekutunya, menjadi jalan muslimin Amerika menyebarkan
Islam rahmatan lil-’alamiin. Jihad juga menjadi ruh dakwah mubaligh-mubaligh
Muhammadiyah dan kyai-kyai NU, perjuangan politik kader-kader PKS, dan perjuangan
mengakkan syariat Islam bagi para mujahid-mujahid MMI. Jihad adalah sahabat umat Islam saat
menunaikan sholat, puasa, dan haji, saat bekerja menghidupi keluarga, saat membantu
mengentaskan rakyat miskin, dan saat mengkhidmatkan dirinya dalam ibadah, dimana pun dan
kapan pun. Tak pelak, jihad memiliki kenyataan obyektif yang tak bisa dinihilkan. Namun di sisi
lain, jihad adalah kenyataan subyektif –yang relatif, plural, dan dinamis. Jihad qital bisa menjadi
nyata bagi sebagian orang, tapi bisa tidak menjadi ‟nyata‟ bagi sebagian yang lain. Jihad
memiliki keragaman makna (subyektif), tiap individu memiliki penafsiran sendiri-sendiri, dan
penafsiran (makna subyektif) itu terus berproses –dan memungkinkan untuk berubah. Daftar
Pustaka Buku Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro:
Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik,
Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan
Cendekia, 2002. Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988. Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas
Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. ____________, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas
Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. Campbell, Tom,
Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Eriyanto,
Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003. Goodman, Douglas J. dan
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004 Hardiman, Fransisco
Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas,
Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif:
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya,
2003. Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, 1985 Soeprapto,
H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Averroes
Press dan Pustaka Pelajar, 2002 Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik
Terhadap Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 1995. Skripsi
Novri Susan, Konflik dalam Perspektif sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama Masyarakat
Ambon Maluku sebagai Konstruksi Sosial, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003. Jurnal, Majalah, dll Jurnal Gerbang,
12. No.14, Vol.V. Februari-April 2003, Menafsirkan Hermeneutika, Ahmad Zainul Hamdi
(Redaktur Pelaksana). Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar
Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993). Happy Susanto, Menggagas
“Sosiologi Profetik”, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003, International Institute of
Islamic Thought Indonesia.
PoMakalah Tugas Sosiology by Khaerul Mulsim
Definisi Operasional
Di dalam makalah ini ada beberapa terminologi yang perlu dibuatkan definisi operasionalnya,
dengan maksud agar tidak terjadi perbedaan persepsi di dalam memahami isi makalah ini.
Definisi operasional dimaksud adalah:
1. Perubahan Sosial
Adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap
dan pola-pola perilakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
1. Erosi
Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan erosi adalah proses terkikisnya nilai-nilai yang hidup
dan berkembang di dalam sebuah komunitas masyarakat akibat adanya pengaruh faktor-faktor
eksternal.
1. Nilai-nilai kearifan lokal
Nilai-nilai kearifan lokal adalah segala bentuk adat kebiasaan, perilaku, petuah dan kaida-kaidah
atau norma yang berlaku ditengah-tengah sebuah komunitas masyarakat, yang telah tumbuh
dalam periode waktu tertentu, berkembang dan menjadi milik khas komunitas masyarakat
setempat.
1. Desa
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa
mengadakan pemerintahan sendiri. Bisa juga diartikan bahwa desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung dibawah camat
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
1. Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan merupakan komunitas masyarakat yang bertempat tinggal dan berinteraksi
diantara sesamanya di dalam satu atau beberapa di desa dalam satu wilayah kecamatan. Dari
13. aspek pemerintahan, masyarakat pedesaan adalah komunitas masyarakat yang tinggal pada
wilayah-wilayah yang bersatus desa. Secara umum, masyarakat pedesaan umumnya bermukim
di wilayah-wilayah yang relatif berada “jauh” dari pusat pemerintahan kabupaten/kota.
1. Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat adalah bagian dari wilayah kesatuan Negara Republik
Indonesia, Berdiri: 14 Agustus 1958, Dasar Pendirian : UU No 4 Tahun 1958, Ibu Kota: Mataram,
Luas Wilayah : Kurang lebih 20.153,15 km2, Posisi/Letak Geografis : 8 derajad – 9 derajat LS dan
115 derajat – 119 derajat BT. Terdiri atas 2 pulau besar: Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok,
dengan jumlah kabupaten/kota saat ini : 9 Kabupaten / kota.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kajian mengenai masyarakat pedesaan merupakan hal yang menarik banyak pihak, khususnya
para sosiolog. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karena begitu spesifiknya situasi sosial dan
budaya, adat istiadat maupun norma-norma serta nilai-nilai yang dimiliki oleh mereka, yang
membuatnya berbeda dengan masyarakat di perkotaan. Sementara disatu sisi, masyarakat
perkotaan merupakan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat pedesaan atau
berasal dari orang-orang berasal dari desa/pedesaan.
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1) istilah desa dapat diartikan ke dalam tiga istilah
yaitu desa, dusun, dan desi yang semuanya berasal dari suku kata swa desi. Istilah ini sama
maknanya dengan negara, negeri, nagari yang berasal dari kata nagaram. Istilah ini berasal dari
kata sanskrit yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran.
Indonesia yang saat ini terdiri atas 33 provinsi, diantaranya Nusa Tenggara Barat, sangat kaya
akan keragaman masyarakat pedesaannya. Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia
sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30
kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya
Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas
6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau.
Kenyataan ini mengakibatkan tidak mudah untuk membuat generalisasi terhadap terjadinya
perubahan sosial serta erosi nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Sebagai jalan keluarnya, maka
identifikasi terjadinya perubahan dimaksud harus dilakukan secara parsial berdasarkan wilayah
dan atau berdasarkan kesamaan ciri dari masyarakat pedesaan.
Terkait dengan adanya perubahan sosial dan terjadinya erosi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
desa/pedesaan, hal ini harus dilihat sebagai sebuah kejadian yang alamiah. Masyarakat sebagai
kumpulan manusia tidak pernah tidak berubah, sebagai bukti bahwa masyarakat itu dinamis.
Perubahan sosial maupun berbagai perubahan lainnya, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor-faktor menjadi penyebab terjadinya perubahan dimaksud, antara lain: perkembangan yang
pesat dari teknologi komunikasi dan informasi, perubahan kemampuan ekonomi, majunya
14. kualitas pendidikan, semakin baiknya sistem dan alat transportasi, serta semakin intensnya
masyarakat pedesaan berinteraksi dengan pihak lain diluar komunitas mereka sendiri.
Kesemua faktor yang diuraikan tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun bersinergi
satu sama lain, mengakibatkan proses perubahan sosial maupun erosi nilai-nilai kearifan lokal
terjadi secara perlahan maupun secara cepat.
Persoalan yang menjadi pertanyaan bersama adalah: (1) Apa saja macam proses perubahan sosial
dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi?; (2) Indikator apakah yang digunakan untuk
mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal
dimaksud?; (3) Seberapa cepatkah proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal itu
terjadi?;(4) Faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi
nilai-nilai kearifan pada masyarakat pedesaan?;
__________________
1
Soetardjo Kartoadikoesoemo. Dalam Potensi Pembangunan Desa, Buku Sekolah Elektronik
Online
Untuk menjawab ke empat macam pertanyaan tersebut, tentu tidak mudah. Diperlukan
serangkaian penelitian yang mendalam dengan metode yang tepat dan sistematis, serta dilakukan
oleh peneliti yang tepat.
Oleh sebab itu, maka penyusunan makalah ini merupakan langkah awal yang bersifat sederhana
untuk membahas proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang diduga sudah,
sedang dan akan terjadi pada masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Barat, serta menghasilkan
kesimpulan awal atas dugaan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan
lokal pada masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Barat
2. Manfaat dan Tujuan
a. Makalah ini disusun dengan harapan dipereoleh manfaat:
a.1. Mahasiswa fakultas hukum Unram reguler sore peserta mata kuliah sosiologi terlatih
mencara bahan rujukan dan bacaan yang terkait dengan tugas yang diberikan, dari berbagai
sumber dengan berbagai cara.
a.2. Melatih mahasiswa fakultas hukum Unram reguler sore agar mampu menyusun tulisan
sesuai dengan standar penulisan ilmiah.
b. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk:
b.1. Memenuhi tugas dan tanggungjawab yang diberikan oleh dosen pengasuh mata kuliah
Sosiologi.
15. b.2. Mengolah informasi dari berbagai sumber bacaan untuk membahas dan menyimpulkan
masalah yang diangkat sesuai dengan topik yang diberikan serta judul yang ditetapkan.
b.2. Memenuhi persyaratan menyelesaikan mata kuliah sosiologi.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Perubahan Sosial
Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan
hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang
perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan
menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek
kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan,
bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.
1) Peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat produksi, dan transportasi. Sebagai contoh, pada zaman nenek moyang kita
memasak makanan dengan cara membakarnya, sekarang di zaman modern memasak makanan
menggunakan alat modern seperti oven atau membeli makanan yang diawetkan.
2) Mata pencaharian dan sistem ekonomi meliputi pertanian, peternakan, dan sistem produksi.
Sebagai contoh, kaum laki-laki bekerja dengan cara berburu atau pekerjaan lainnya, sedangkan
kaum perempuan tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Sekarang kaum
perempuan dapat juga bekerja dan mata pencaharian untuk kaum laki-laki tidak hanya berburu
saja, tetapi sudah beragam jenisnya.
3) Sistem kemasyarakatan mencakup sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum,
dan sistem perkawinan. Sebagai contohnya, pada masa kehidupan belum begitu kompleks orang-
orang yang ada ikatan darah atau keluarga selalu hidup bersama dalam satu rumah. Saat ini
ikatan masyarakat tidak hanya berdasarkan hubungan kekerabatan, tetapi juga karena profesi,
dan hobi yang sama seperti ikatan motor gede (MOGE), orari (radio amatir).
4) Bahasa dahulu disampaikan secara lisan. Sekarang bahasa dapat disampaikan melalui
beragam media, seperti tulisan, sandi, dan sebagainya.
5) Kesenian mencakup seni rupa, seni suara, dan seni tari. Sebagai contoh, orang Jawa
menganggap bahwa sebuah rumah yang indah jika bernuansa gelap, sekarang masyarakat Jawa
banyak menyukai rumah yang bernuansa terang ataupun pastel.
6) Sistem pengetahuan berkaitan dengan teknologi. Dahulu kala sistem pengetahuan hanya
berpedoman pada alam atau peristiwa alam. Sekarang ini sistem pengetahuan terus berkembang
seiring berkembangnya teknologi.
7) Religi atau sistem kepercayaan dahulu kala berwujud sistem keyakinan dan gagasan
tentang dewa, roh halus, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala kegiatan manusia dikaitkan
16. dengan kepercayaan berdasarkan getaran jiwa. Namun, sekarang aktivitas manusia banyak yang
dikaitkan dengan akal dan logika.
Perubahan di berbagai bidang sering disebut sebagai perubahan sosial dan perubahan budaya
karena proses berlangsungnya dapat terjadi secara bersamaan. Meskipun demikian perubahan
sosial dan budaya sebenarnya terdapat perbedaan. Ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial
dapat diartikan sebagai sebuah transformasi budaya dan institusi sosial yang merupakan hasil
dari proses yang berlangsung terus-menerus dan memberikan kesan positif atau negatif.
Perubahan sosial juga diartikan sebagai perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku manusia
dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lain.
Ada banyak pendapat tentang definisi perubahan sosial yang disampaikan oleh beberapa
sosiolog.
2. Definisi Perubahan Sosial dan Budaya
Berikut ini beberapa ilmuwan yang mengungkapkan tentang definisi dan batasan perubahan
sosial.
No Tokoh Pendapat Tentang Perubahan Sosial
Suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik
karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan
1 Gillin dan Gillin
komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya
penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat
Modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan
2 Samuel Koenig
manusia, yang terjadi karena sebab intern atau ekstern
Segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di
dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya,
3 Selo Soemardjan
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
Perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan
4 Max Iver
terhadap keseimbangan hubungan sosial
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
5 Kingsley Davis
masyarakat
Perubahan struktur sosial dalam organisasi sosial sehingga
6 Bruce J. Cohen syarat dalam perubahan itu adalah sistem sosial, perubahan
hidup dalam nilai sosial dan budaya masyarakat
17. 7 Roucek dan Warren Perubahan dalam proses sosial atau dalam struktur masyarakat
Lalu apakah perubahan sosial budaya? Berikut ini ada beberapa pengertian dari perubahan sosial
budaya.
1. Max Weber berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam
masyarakat sebagai akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur (dalam buku Sociological
Writings).
2. W. Kornblum berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya
masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu lama (dalam buku Sociology in Changing
World).
3. Karakteristik Perubahan Sosial dan Budaya
Dengan memahami definisi perubahan sosial dan budaya di atas, maka suatu perubahan
dikatakan sebagai perubahan sosial budaya apabila memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Tidak ada masyarakat yang perkembangannya berhenti karena setiap masyarakat
mengalami perubahan secara cepat ataupun lambat.
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan akan diikuti perubahan pada
lembaga sosial yang ada.
3. Perubahan yang berlangsung cepat biasanya akan mengakibatkan kekacauan sementara
karena orang akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
4. Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau spiritual saja karena keduanya
saling berkaitan.
4. Sebab-Sebab Perubahan Sosial Budaya
Sebuah perubahan bisa terjadi karena sebab dari dalam (intern) atau sebab dari luar (ekstern).
Dalam sebuah masyarakat, perubahan sosial dan budaya bisa terjadi karena sebab dari
masyarakat sendiri atau yang berasal dari luar masyarakat.
1) Sebab Intern
Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain:
a. Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk. Pertambahan
penduduk akan menyebabkan perubahan pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang semula
terpusat pada lingkungan kerabat akan berubah atau terpancar karena faktor pekerjaan.
Berkurangnya penduduk juga akan menyebabkan perubahan sosial budaya. Contoh perubahan
penduduk adalah program transmigrasi dan urbanisasi.
18. b. Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang
bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk
penemuan lama (invention).
c. Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi sehingga mampu menyulut terjadinya perubahan-
perubahan besar. Misalnya, Revolusi Rusia (Oktober 1917) yang mampu menggulingkan
pemerintahan kekaisaran dan mengubahnya menjadi sistem diktator proletariat yang dilandaskan
pada doktrin Marxis. Revolusi tersebut menyebabkan perubahan yang mendasar, baik dari
tatanan negara hingga tatanan dalam keluarga.
2). Sebab Ekstern
Merupakan sebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara lain:
1. Adanya pengaruh bencana alam.
Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah
kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka
harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini
kemungkinan besar juga dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.
1. Adanya peperangan.
Peristiwa peperangan, baik perang saudara maupun perang antar negara dapat menyebabkan
perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan
kebudayaannya kepada pihak yang kalah.
1. Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu
kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh
suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan
mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang
lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur
kebudayaan baru tersebut.
5. Bentuk Perubahan Sosial Budaya
Perubahan adalah sebuah kondisi yang berbeda dari sebelumnya. Perubahan itu bisa berupa
kemajuan maupun kemunduran. Bila dilihat dari sisi maju dan mundurnya, maka bentuk
perubahan sosial dapat dibedakan menjadi 2 yakni:
1). Perubahan sebagai suatu kemajuan (progress)
19. Perubahan sebagai suatu kemajuan merupakan perubahan yang memberi dan membawa
kemajuan pada masyarakat. Hal ini tentu sangat diharapkan karena kemajuan itu bisa
memberikan keuntungan dan berbagai kemudahan pada manusia. Perubahan kondisi masyarakat
tradisional, dengan kehidupan teknologi yang masih sederhana, menjadi masyarakat maju
dengan berbagai kemajuan teknologi yang memberikan berbagai kemudahan merupakan sebuah
perkembangan dan pembangunan yang membawa kemajuan. Jadi, pembangunan dalam
masyarakat merupakan bentuk perubahan ke arah kemajuan (progress).
Perubahan dalam arti progress misalnya listrik masuk desa, penemuan alat-alat transportasi, dan
penemuan alat-alat komunikasi. Masuknya jaringan listrik membuat kebutuhan manusia akan
penerangan terpenuhi; penggunaan alat-alat elektronik meringankan pekerjaan dan memudahkan
manusia memperoleh hiburan dan informasi; penemuan alat-alat transportasi memudahkan dan
mempercepat mobilitas manusia proses pengangkutan; dan penemuan alat-alat komunikasi
modern seperti telepon dan internet, memperlancar komunikasi jarak jauh.
2). Perubahan sebagai suatu kemunduran (regress)
Tidak semua perubahan yang tujuannya ke arah kemajuan selalu berjalan sesuai rencana.
Terkadang dampak negatif yang tidak direncanakan pun muncul dan bisa menimbulkan masalah
baru. Jika perubahan itu ternyata tidak menguntungkan bagi masyarakat, maka perubahan itu
dianggap sebagai sebuah kemunduran. Misalnya, penggunaan HP sebagai alat komunikasi. HP
telah memberikan kemudahan dalam komunikasi manusia, karena meskipun dalam jarak jauh
pun masih bisa komunikasi langsung dengan telepon atau SMS. Disatu sisi HP telah
mempermudah dan mempersingkat jarak, tetapi disisi lain telah mengurangi komunikasi fisik
dan sosialisasi secara langsung. Sehingga teknologi telah menimbulkan dampak berkurangnya
kontak langsung dan sosialisasi antar manusia atai individu.
Jika dilihat dari segi cepat atau lambatnya perubahan, maka perubahan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
(1). Evolusi dan Revolusi (perubahan lambat dan perubahan cepat)
Evolusi adalah perubahan secara lambat yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur
masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena
masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah
menjadi kompleks.
Revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh
munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit
dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi
memerlukan persyaratan tertentu, antara lain:
a. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
20. b. Adanya pemimpin/kelompok yang mampu memimpin masyarakat tersebut.
c. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi.
d. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat.
e. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas
masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan
revolusi. Contoh perubahan secara revolusi adalah peristiwa reformasi (runtuhnya rezim
Soeharto), peristiwa Tsunami di Aceh, semburan lumpur Lapindo (Sidoarjo).
(2). Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak
membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan
kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian.
Perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa
pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah
dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.
(3). Perubahan yang Direncanakan dan Tidak Direncanakan
Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah
diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan
perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh
perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan
pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde
Reformasi.
Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang
terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-
akibat sosial yang tidak diharapkan. Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak
direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan
Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial budaya
Terjadinya sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan tersebut
diharapkan dan direncanakan. Terdapat faktor yang mendorong sehingga mendukung perubahan,
tetapi juga ada faktor penghambat sehingga perubahan tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
v Faktor pendorong perubahan
21. Faktor pendorong merupakan alasan yang mendukung terjadinya perubahan. Menurut Soerjono
Soekanto ada sembilan faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, yaitu:
1) Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain.
Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu
menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya
asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu
akan memperkaya kebudayaan yang ada.
2) Sistem pendidikan formal yang maju.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah
masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional,
dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan
masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak.
3) Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju.
Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang
berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri.
4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat
merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya. Untuk itu, toleransi dapat diberikan
agar semakin tercipta hal-hal baru yang kreatif.
5) Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.
Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau
horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi
mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka
kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
6) Penduduk yang heterogen.
Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah
terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian
merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai
keselarasan sosial.
7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu
Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi
berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya.
22. 8) Orientasi ke masa depan
Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesusikan dengan
perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu
berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.
9) Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup.
Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak
terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Usaha-usaha ini merupakan faktor
terjadinya perubahan.
v Faktor penghambat perubahan
Banyak faktor yang menghambat sebuah proses perubahan. Menurut Soerjono Soekanto, ada
delapan buah faktor yang menghalangi terjadinya perubahan sosial, yaitu:
1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
3. Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif.
4. Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested interest).
5. Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan menimbulkan perubahan
pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat.
7. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
8. Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah.
C. PERMASALAHAN
Sesuai dengan judul “ Perubahan Sosial dan Erosi Nilai-nilai Kearifan Lokal pada Masyarakat
Pedesaan di NTB” , permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas adalah:
(1) Apa saja macam proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi?;
(2) Indikator apakah yang digunakan untuk mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan
sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal dimaksud?;
(3) Seberapa cepatkah proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal itu terjadi?;
23. (4) Faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-
nilai kearifan pada masyarakat pedesaan?;
D. PEMBAHASAN
1. Macam proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi.
Untuk memilah macam-macam proses perubahan sosial yang terjadi termasuk terjadinya erosi
nilai-nilai kearifan lokal, bisa dilakukan berdasarkan pendekatan atau sudut pandang yang
digunakan ooleh setiap orang khususnya para ahli sosiologi.
Dalam makalah ini, pengkategorian jenis perubahan yang terjadi, dilakukan berdasarkan
perspektif umum pandangan masyarakat yang melihat dan merasakan adanya perubahan
tersebut. Oleh sebab itu, maka ada lima macam proses perubahan yang dianggap sedang terjadi:
a. Prose perubahan Pola Makan dan Berpakai
b. Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal
c. Proses Perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi
d. Proses Perubahan Pola Berfikir, Pendidikan dan Wawasan
e. Proses Perubahan Pola Penokohan Seseorang
Prose perubahan Pola Makan dan Berpakaian
Terjadinya proses perubahan pola makan dan berpakaian pada masyarakat pedesaan, bisa
diketahui dengan membandingkan penampilan masyarakat poedesaan pada lima atau sepuluh
tahun yang lalu, dengan penampilan berpakaian masa kini. mSatu contoh sederhana, jika dulu
menggunakan celana jeans, masih merupakan hal aneh. Tetapi saat ini bercelana jeans,
merupakan bagian dari cara berpakaian masyarakat di pedesaan. Contohlainya lagi, kalau dulu
masyarakat pedesaan tidak begitu perdui bahkan tidak mengenal salon kecantikan, saat
sekaranmg sudah menjadi bagian dari pola berpakaian mereka.
Dalam hal pola makan, masyarakat pedesan mengalami perubahan juga. Makanan-makanan
cepat saji yang dulu tidak pernah ada di dalam pikirannya, kini bahkan menjadi bagian bagian
yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal
Rumah tinggal masyarakat di pedesaan mengalami perubahan cukup signifikan dalam hal model
atau ukuran. Saat ini bukan hal yang aneh, jika rumah-rumah masyarakat dipedesaan sudah jauh
berbeda dengan apa yang terlihat pada kurun waktu sepuluh tahun yang lalu.
Proses perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi
24. Pola interaksi, komunikasi dan tarnsportasi yang terjadi di kalangan masyarakat pedesaat, sudah
sangat jauh berbeda dengan yang terjadi dalam lima tahun sebelumnya. Kemajuan di bidang
peralatan komunikasi,media komunikasi dan sistem transportasi, mengakibatkan masyarakat
pedesaan saat ini sangat berubah. Informasi yang dulu sangat lambat di akses, sekarang dalam
hitungan detik bisa diterima, salah satunya karena adanya handphone dan televisi.
Perubahan Pola Berfikir dan Pendidikan dan Wawasan
Masyarakat kita di pedesaan bukan lagi masyarakat yang dianggap lugu, sederhana dan polos
sebagaimana beberapa tahun silam. Pemahaman mereka terhadap berbagai aspek sosial, politik
dan lain-lain, telah mengalami kemajuan. Ini adalah bentuk nyata terjadinya perubahan pola
berfikir mereka yang diakibatkan secara langsung atau tidak langsung oleh perubahan semangat
dan keinginan untuk bersekeloh lebih tinggi. Akibatnya maka wawasanmereka juga semakin
baik.
Perubahan Pola Penokohan Seseorang
Dalam konteks ini, penokohan seseorang tidak lagi terjadf sebagaimana lazimnya masa lalu.
Penokohan masa lalu terjadi dalam waktu yang cukup lama disertai teruji tidaknya seseorang
sebagai seorang tokoh yang patut di ikuti dan didengar pendapatnya.
Masa sekarang, penokohan seseorang terjadi secara instan, disebabkan oleh faktor ekonomi,
politik dan faktor-faktor lain seperti keberanian seseorang di dalam mengumpulkan dan
mengerahkan masa.
Hal ini bisa terjadi, karena dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya sampai ke generasi
sekarang, prilaku dan ketokohan seseorang yang dahulu terjadi secara alami, kini berubah secara
instan sebagaimana yang disebutkan diatas, akibat faktor-faktor instan pula.
2. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasikan terjadinya proses perubahan
sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal di NTB.
Sulit membuat indikator standar untuk menentukan terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-
nilai kearifan. Setiap ahli tentu memiliki alasan logis untuk membuat indikator terjadinya
perubahan tersebut. Tetapi meskipun sulit, bukan berarti tidak bisa. Oleh sebab itu, dalam
makalah ini, ada 2 macam indikator dimaksud yang di buat hanya berdasarkan pertimbangan
praktis, yakni:
1. Indikator Visual, yakni sebatas kemampuan panca indra manusia untuk melihat,
merasakan dan atau mendengar mengenai terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai kearifan
yang dimaksud.
2. Indikator Faktual, maksudnya alat ukur yang didasarkan pada kenyataan yang terjadi,
dengan membandingkan peristiwa masa kini dengan berbagai peristiwa masa sebelumnya.
25. Kedua indikator tersebut memang sangat subyektif, tetapi paling tidak dapat diuji secara
subyektif dan obyektif, yakni dengan melakukan telaah perbandingan terhadap berbagai
peristiwa yang terjadi saat ini dan saat sebelumnya.
Berdasarkan pada dua macam indikator tersebut, dapat disusun dan diolah tentang terjadinya
prose perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat pedesaan di NTB.
3. Mengukur kecepatan proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal yang
terjadi.
Kecepatan terjadinya proses perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal, sesungguhnya
tidak dapat dilakukan secara pasti dan valid. Yang bisa kita lakukan, hanya menyajikan fakta-
fakta tentang sebuah kejadian serta mengelompokkannya di dalam kurun waktu tertentu. mOleh
sebab itu, di dalam membuat penilaian terhadap kecepatan perubahan yang terjadi, bisa
dilakukan dengan membuat periodesasi waktu, kemudian berbagai kategori perilaku masyarakat
di masukkan dan klasifikasikan sesuai dengan waktu yang ada.
Sebagai contoh, bisa dibuat kurun waktu setiap lima tahun atau setiap sepuluh tahun, antara
1990-2000. Kemudian di dalam kurun waktu tersebut, dibuatkan deskripsi tentang pola makan
msyarakat pedesaan, dibandingkan dengan pola makan di dalam kurun waktu 2001-2010.
Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran bagaimana perubahan itu terjadi, apakah dalam
waktu lima tahun atau dalam waktu sepuluh tahun. Jika terjadinya cukup dalam lima tahun,
berarti cukup cepat. Atau terjadinya dalam sepuluh atau dua puluh tahun, berarti cukup lambat.
4. Faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi nilai-
nilai kearifan pada masyarakat pedesaan di NTB.
Menentukan faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya perubahan sosial dan erosi
nilai-nilai kearifan lokal termasuk pekerjaan tidak mudah. Diperlukan waktu yang cukup lama
untuk memastikan faktor tersebut.
Untuk menentukan faktor apa yang paling dominan, bisa dilakukan melalui pendekatan
sederhana secara empiris yang bisa diuji secara logika, bahwa informasi dan komunikasi
merupakan dua hal utama yang menyebabkan terbentuknya opini seseorang. Asumsi ini tentu
bisa diuji. Namun pada akhirnya ada kesimpulan yang sama, bahwa pengaruh cepatnya
perkembangan system dan peralatan informasi dan komunikasi telah mengakibatkan prilaku
orang berubah. Perubahan ini bisa ke arah positif atau sebaliknya ke arah negaif.
Secara umum, dari ke empat faktor yang diuraikan diatas, perubahan sosial dan erosi nillai-nilai
kearifan lokal masyarakat di Nusa Tenggara Barat, berbeda perwujudannya antara satu kultur
dengan kultur lainnya maupun antara satu wilayah dengan lainnya.
Sebagai pembanding, masyarakat pedesaan di P. Sumbawa yang terdiri atas etnis: Bima-Dompu
dan Sumbawa, berbeda pola perubahannya dibandingkan dengan kultur dan etnis Sasak di P.
Lombok.
26. Perbedaan ini disebabkan banyak hal, seperti kondisi alam serta keragaman akulturasi etnis yang
terjadi. Di P. Sumbawa, akulturasi etnis dan budaya, relatif tidak berlangsung secara cepat,
dibandingkan di Pulau Lombok, yang relatif lebih banyak etnis lainnya.
Meskipun demikian, secara umum, berdasarkan uraian adanya lima macam perubahan sosial
yang terjadi, dampaknya adalah terjadinya erosi nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat di
NTB, baik yang di P. Sumbawa maupun di P. Lombok. Adapun nilai-nilai kearifan lokal
tersebut, sudah tumbuh dan berkembang sejak lama, mengalami perubahan dan penyesuain, ada
yang tetap bertahan, adapula yang hilang.
Kalau dilakukan identifikasi, maka nilai-nilai kearifan lokal yang hidup ditengah-tengah
masyarakat di P. Sumbawa dan Pulau Lombok, dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Larangan eksplisit untuk menebang pohon yang tumbuh disekitar mata air. Dalam bahasa
eksplisit, para orang tua mengatakan.”Jangan memotong pohon di sekitar mata air. Nanti
penunggunya marah, kita bisa di ganggu” Padahal secara implisit, terkandung makna agar kita
harus menjadi kelestarian lingkungan.
2. Larangan eksplisit untuk jangan duduk di bantal. Konsekuensinya bisa bisulan. Makna
implisit di balik larangan ini, agar bantal sebagai tempat untuk kepala tidak cepat rusak, serta
gunakanlah sesuatu pada tempatnya.
3. Larangan eksplisit agar perempuan jangan telat bangun pagi atau jangan duduk di depan
pintu, bisa berakibat jodoh menjauh. Padahal pesan implisitnya agar para wanita jangan menjadi
malas dan membiasakan diri untuk bangun pagi.
4. Larangan eksplisit bagi anak-anak agar tidak mandi di sungai yang dalam, karena ada
penunggunya. Padahal makna implisitnya, agar anak-anak terhindar dari berbagai macam resiko
bahaya dan penyakit.
5. Larangan eksplisit agar anak-anak tidak bermain-main saat maghrib, karena bisa ditampar
oleh setan. Padahal makna implisitnya, agar anak-anak cepat beribadah (bagi yang islam agar
cepat sholat) dan tidak menimbulkan kebisingan saat maghrib.
6. Kebiasaan mendongeng kan anak-anak, yang secara langsung atau tidak langsung sebagai
media pendidikan mengajar prilaku dan sopan santun.
Masih banyak nilai-nilai kearifan lokal yang saat ini tidak lagi terdengar sebagai kebiasaan yang
dilakukan para orang tua. Hal ini tergantikan oleh berbagai hasil pekembangan teknologi
informasi, seperti televisi dan handphone.
Situasi ini tidak bisa terhindarkan, karena terjadi secara alamiah, sesuai perkembangan faktor-
faktor eksternal yang semakin tumbuh dan berkembang. Yang patut menjadi perhatian adalah,
bagaimana menerima kemajuan yang terjadi tanpa mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal yang
sesungguhnya sangat baik dan efektif mewarnai perilaku anak-anak dan generqasi muda.
27. E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pendahuluan, pustaka dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Perubahan sosial dan erosi nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat di Nusa Tenggara Barat,
sudah, sedang dan terus akan terjadi. Perubahan tersebut terbagi atas 5 macam:
(1). Prose perubahan Pola Makan dan Berpakai
(2). Proses perubahan Pola dan Model tempat tinggal
(3).Proses Perubahan Pola Berinteraksi, Berkomunikasi dan Transportasi
(4) Proses Perubahan Pola Berfikir, Pendidikan dan Wawasan
(5). Proses Perubahan Pola Penokohan Seseorang
1. Faktor yang paling dominan mempangaruhi terjadinya perubahan sosial dan kearifan nilai-nilai
lokal masyarakat pedesaan di Nusa Tengara Barat adalah dampak dari tumbuh dan
berkembangnya sistm dan alat komunikasi dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). (terj. Omi
Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage.
Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Maneke 1999. „Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia:
Mengubah Kendala Menjadi Aset‟, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1. hal. 3
Hallahan, Kirk (2003). Community as A Foundation for Public Relations Theory and Practices.
Boulder: Colorado State University
Hamengkubuwono X. 2001. „Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan
Persatuan Bangsa, Mungkinkah?‟ Makalah seminar Nasional. Surakarta: Univet.
Jayadinata, T Johara dan Pramandika, IGP (2006). Pembangunan Desa dalam Perencanaan.
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
28. Jefkins, frank (1987). Public Relation untuk Bisnis. Jakarta, Pustaka Binaman Presindo.
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es. Kingsley
Davis, Human.
Koentjaraningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, Jakarta.
Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart, Newyork 1937 pp 272.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.Society, cetakan ke-
13, The Macmillan.
Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia.
Surabaya: Unair Press.
Soekanto Soerjono,1987. Sosiologi Suatu Pengantar.Rajawali press: Jakarta
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama Yayasan
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,1964, halaman 486,497
Tampubolon, Daulat. 2000. „Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa‟. Jurnal MLI. hal.69.
Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung:
Alumni
Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya: Unair Press.
William F.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff: Sociology, edisi ke-4, A.Feffer and Simon
International University Edition, 1964. Bagian 7
Yanti, Yusrita. 1999. „Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur
Minangkabau‟. Jurnal MLI. hal. 93
rone
social,science and technology
29. info
komputer
sosiologi
Interaksionisme Simbolik
PERNIKAHAN Heny dan Syaiful nyaris gagal. Pemicunya sebetulnya sepele,
beberapa untai kalimat dalam telepon terakhir Heny sebelum hari
pernikahan. “Mas, keluargaku minta, besok saat resepsi di hotel, dari
keluarga Mas Saiful jangan membawa anak-anak,” itu yang disampaikan
Heny, pangkal suasana panas di keluarga Saiful. Lidah Saiful kelu, hatinya
kacau tak karauan, ketika berhadapan dengan sidang mendadak keluarga
besarnya, seusai menyampaikan pesan calon istrinya itu
“Kita memang dari keluarga miskin, tapi kita punya harga diri,” suara ayah
Saiful meninggi. “Calon mertuamu terlalu sombong, besok aku tak akan
datang!” tegas sang ayah. “Aku ikut ayahmu,” timpal Ibu Syaiful. Suasana
tambah hening, menegangkan. Semua pandangan mata tajam menyorot muka
Saiful yang tertunduk lesu.
Ancaman ayah Saiful bukan gertakan semata. Keluarga besar Heny mulai
gelisah. Pukul 09.30, hari ’H’ pernikahan, semua tamu telah berkumpul, tapi
Saiful dan keluarga besarnya belum juga kelihatan. Sesuai jadwal, semestinya
akad nikah dilangsungkan pukul 09.00. Tepat pukul 10.00, sebuah mobil
berhenti, Syaiful keluar dengan langkah gontai. Tak ada anggota keluarga
yang menyertainya. ”Maaf, bapak dan ibu gak bisa datang,” ungkap Syaiful
singkat. Raut malu dan sedih tak bisa ditutupinya.
Untunglah petugas KUA bertindak sigap. ”Pernikahannya bisa dimulai
sekarang?” tanya Pak Mashudi, memecah ketegangan. ”Silakan Pak,” itu saja
jawaban ayah Heny, lirih. Akad pun berjalan lancar, begitupula resepsi
pernikahan beberapa jam sesudahnya. Tetapi, setiap tamu yang hadir
menyimpan pertanyaan: kenapa tak seorang pun keluarga Syaiful kelihatan
dalam acara sepenting itu.
Kelaurga Heny dan Syaiful memang memilki latar belakang yang berbeda. Keluarga Heny adalah tipikal
keluarga kelas atas yang tinggal di perkotaan. Mereka terbiasa dengan hidup yang praktis, efisien, dan
mengagungkan gengsi. Mereka bukannya tak suka anak, tetapi mereka tak menginginkan kehadiran
30. anak-anak kampung, yang tak hanya akan membuat gaduh dan kotor tetapi juga berpotensi
menurunkan gengsi keluarga. Anak-anak ini memang representasi keluarga Syaiful, yang tinggal di
perkampungan. Ayah Syaiful adalah seorang petani, ibunya pedagang kelapa di pasar kampung. Mereka
memang hanya tamat SD, tetapi sangat mencintai pendidikan. Keempat anaknya disekolahkan hingga
bangku perguruan tinggi. Syaiful adalah anak ketiganya, lulusan Fakultas Teknik PTN terkemuka. Syaiful
kini bekerja sebagai konsultan arsitektur sebuah lembaga konsultan teknik dari Singapura. Sebagaimana
orang desa umunya, keluarga besar Syaiful terbiasa hidup secara komunal. Mereka orang yang sangat
mencintau keluarga dan persaudaraan. Mereka adalah prototipe penganut filosofi ’mangan ora mangan
kumpul’. Apapun kondisinya, bagi mereka, kebersamaan itu adalah segalanya.
Dua keluarga di atas memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap pesta pernikahan, karenanya mereka
berbeda sikap atas kehadiran anak-anak. Makna dan tindakan, inilah salah satu fokus teori
interaksionisme simbolik.
Latar Belakang Teori
Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada
abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat,
teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam
lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang
dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920).
Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber
cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa
tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu.
Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan
(Mulyana,2002).
Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran
diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi,
diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.
Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah Royce
mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan
secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan
melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga,
manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi
mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan
(actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia.
Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami
berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64).
31. Jika ilmuwan lain seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Chooley , John Dewey,
William I. Thomas dikenal sebagai perintis interaksionisme simbolik, maka G. H. Mead dikenal sebagai
ilmuwan yang paling populer sebagai peletak dasar teori interaksionisme simbolik ini.
Pada awalnya, Mead Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam
sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran
Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead,
kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah
terminologi yang ingin menggeambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and
humanizing activity that people can engage in—talking to each other.”
Asumsi Teori
Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (dalam West dan Turner, 2007: 96) mencatat tujuh asumsi yang
mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni: (1) Pentingnya
makna bagi perilaku manusia, (2) Pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) Hubungan antara individu
dan masyarakat.
Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa:
- Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain
pada mereka.
- Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia
- Makna dimodifikasi dalam proses interpretif.
Kisah keluarga Heny dan Syaiful di atas adalah contoh bagaimana pemaknaan yang berbeda akhirnya
melahirkan sikap yang berbeda pula. Interaksi sosial di antara keluarga ini memang berbeda, sehingga
berbeda pula dalam pemaknaan. Setting perdesaan yang komunal melahirkan pemaknaan bahwa
kebersamaan itu adalah segalanya. Sementara lingkungan perkotaan yang metropolis dan individualis
mendorong pemaknaan bahwa hidup harus efektif, praktis, dan bercitarasa.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning,
language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri
seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar.
1. Meaning (Makna): Konstruksi Realitas Sosial
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek
atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut.
1. Languange (Bahasa): The source of meaning
32. Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh
karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang
berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan
lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia memiliki kemampuan
untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah
sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik
adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui
sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme
simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
1. Thought (Pemikiran): Process of taking the role of the other
Premis ketiga Blumer adalah bahwa, “an individual’s interpretation of symbol is modified by his
or her own thought processes.” Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai
inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses
menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan
dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka
seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa
adalah software untuk bisa mengaktifkan mind.
Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang
menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain
(take the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain
peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering
menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk
menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu akan
bertindak.
Setelah dipahami bahwa meaning, language, dan thought memiliki keterkaitan yang sangat erat, maka
kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang
bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri
kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses taking the role
of the other —membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Para interaksionis menyebut
gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa
pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang
harus menjadi anggota komunitas. Merujuk pada pendapat Mead self (diri) adalah proses
33. mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian
dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-
glass dari reaksi orang lain.
Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus—
mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang
membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized
other, yaitu berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan
berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.
http://edsa.unsoed.net/?p=62
Popularity: 9% [?]
sting Daftar Alamat Universitas di Indonesia (part.3)
Posted on September 1, 2008. Filed under: Universitas |
Universitas Sahid
Jl. Prof. Dr. Supomo SH No. 84,Jakarta Selatan 12870,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 8354763
Telp.(021) 8291638, Telp.(021) 8312815, Telp.(021) 8312816
University
Universitas Satya Negara Indonesia (USNI)
Jl. Sutan Iskandar Muda No. 11, Kebayoran Lama,Jakarta Selatan 12240,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 7200352
Telp.(021) 7398393, Telp.(021) 7398394
University
Universitas Satyagama
Jl. Kamal Raya No. 2-A, Cengkareng,Jakarta Barat 11730,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 54391325
Telp.(021) 5452377, Telp.(021) 5452378, Telp.(021) 54391082
University
Universitas Semarang
Jl. Atmodirono No. 11,Semarang 50241 Jawa Tengah,Indonesia
Jawa Tengah
Fax.(024) 8446865
34. Telp.(024) 8411562, Telp.(024) 8441524, Telp.(024) 8414753
University
Universitas Surapati
Jl. Dewi Sartika No. 184-A, Cawang,Jakarta Timur 13630,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 8017111
Telp.(021) 8094403, Telp.(021) 9119397
University
Universitas Tarumanagara
Jl. Letjen. S. Parman No. 1, Slipi,Jakarta Barat 11440,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 5604478
Telp.(021) 5671747
University
Universitas Terbuka
Jl. Cabe Raya, Pondok Cabe – Ciputat,Tangerang 15418 Banten,Indonesia
Banten
Fax.(021) 7490147
Telp.(021) 7490941
University
UT
Universitas Trisakti
Kampus A & B Building,Jl. Kyai Tapa,Jakarta Barat 11440,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 5673001
Telp.(021) 5672731, Telp.(021) 5663232, Telp.(021) 5668639
University
Universitas Tunas Pembangunan Surakarta
Jl. Balekambang Lor No. 1,Solo 57139 Jawa Tengah,Indonesia
Jawa Tengah
Fax.(0271) 739048, Fax.(0271) 726278
Telp.(0271) 739048, Telp.(0271) 726278
University
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Jl. Sunter Permai Raya No. 1, Sunter Agung Podomoro,Jakarta Utara 14350,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 64717301
Telp.(021) 64715666, Telp.(021) 64717302
University
35. Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia
Universitas Indonesia C Building, 2nd Floor,Jl. Salemba Raya No. 4,Jakarta Pusat
10430,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 3145077
Telp.(021) 3145078, Telp.(021) 3908995, Telp.(021) 3907408
Psychology and clinic consultant
Magister Manajemen Universitas Tarumanagara
Jl. Letjen. S. Parman No. 1,Jakarta Barat 11440,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 5655808
Telp.(021) 5671747, Telp.(021) 5655807, Telp.(021) 5655809
Master education programme
Universitas Pendidikan Putra Indonesia
Jl. Muwardi No. 65,Cianjur 43215 Jawa Barat,Indonesia
Jawa Barat
Fax.(0263) 262604
Telp.(0263) 262604
School with diploma
Fakultas Teknologi Informasi Universitas Teknologi Yogyakarta(UTY)
Jl. Ring Road Utara Sendang Adi, Jombor,Sleman 55285 DI Yogyakarta,Indonesia
DI Yogyakarta
Fax.(0274) 623306
Telp.(0274) 623308, Telp.(0274) 623310, Telp.(0274) 623314
University
Universitas Al Azhar Indonesia
Kampus UAI, Masjid Agung Al Azhar Complex,Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru,Jakarta
Selatan 12110,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 7244767
Telp.(021) 72792753, Telp.(021) 7244456
University
Universitas Yarsi
Jl. Letjen. R. Suprapto, Cempaka Putih,Jakarta Pusat 10610,Indonesia
DKI Jakarta
Fax.(021) 4243171
Telp.(021) 4244574, Telp.(021) 4206674, Telp.(021) 4206675
University
36. 1. Pt Aemona Kartasoemantri
Kantor: Jl Bendi Raya Bl B-3 A/29 JAKARTA
2. Akademi Administrasi Keuangan Jakarta
Kantor: Jl Pahlawan Revolusi 12 JAKARTA
3. Akademi Akuntansi Bentara Indonesia
Kantor: Jl Pembangunan I 22 JAKARTA
4. Akademi Akuntansi Dan Perbankan
Kantor: Ged STIE Perbanas RT 014/07 JAKARTA
5. Akademi Akuntansi Dan Perbankan Perbanas
Kantor: Jl Genteng Hijau RT 014/07 JAKARTA
6. Akademi Akuntansi Jayabaya
Kantor: Jl Pulo Mas Slt Kav 23 JAKARTA
7. Akademi Akuntansi Yai
Kantor: Jl Biru Laut Tmr 1 Kompl Kelapa Gading Permai JAKARTA
8. Akademi Analisa Farmasi Dan Makanan Caraka Nusantara
Kantor: Jl Pulo Gebang Kompl Pulogebang Permai Bl H-4/10 JAKARTA
9. Akademi Bahasa Asing Kertanegara
Kantor: Jl Budi 21 JAKARTA
10. Akademi Bahasa Asing Nasional
Kantor: Jl Sawo Manila JAKARTA
11. Akademi Bahasa Asing Prawira Martha
Kantor: Jl Pemuda 72-73-GH JAKARTA
37. 12. Akademi Bahasa Asing Ypkk
Kantor: Kompl Bukit Cireundeu Bl C-6/7 JAKARTA
13. Akademi Farmasi Bhumi Husada
Kantor: Jl Sunan Giri 5-A Ged Prestasi RT 001/07 Lt 1 JAKARTA
14. Akademi Farmasi Hangtuah Jakarta
Kantor: Jl Farmasi 1 JAKARTA
15. Akademi Fisiotherapy
Kantor: Jl RS Fatmawati JAKARTA
16. Akademi Gizi
Kantor: Jl Hang Jebat III Kompl Dep Kes Bl F3 JAKARTA
17. Akademi Ilmu Teknologi Komputer
Kantor: Jl Ciasem 4 JAKARTA
18. Akademi Ilmu Pemasyarakatan
Kantor: Jl Gandul Cinere Raya JAKARTA
19. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kantor: Jl Jend Gatot Subroto 10 Ged PDII Lt 1 JAKARTA
20. Akademi Jakarta
Kantor: Jl Cikini Raya 73 JAKARTA
Daftar Universitas
Di Jakarta