Kumpulan puisi Variasi Parisj Van Java karya penyair Sony Farid Maulana mengandung kritik sosial yang dalam melalui pilihan kata yang halus. Puisi-puisinya menggambarkan perubahan nilai moral masyarakat Sunda akibat modernisasi serta kemerosotan harkat dan martabat wanita Sunda.
1. 1
KOTA KEMBANG DI MATA SONY FARID MAULANA;
KRITIK SOSIAL DALAM VARIASI PARISJ VAN JAVA
Oleh/by
Sunarti
SMA Negeri 8 Bandarlampung
Jalan Laks. Malahayati Nomor 10, Teluk Betung, Bandarlampung
Telepon: (0721)484453, Hp: 0816402760
Pos-el: sunarti_narti71@ymail.com
ABSTRACT
Collection of poems are the Variasi Parisj Van Java poems’ collection which are full of
social criticisms but because of the poet’s expertise to build the metaphor in the variation
of sentence by sentence, use of diction, the poems impressed by the simple and do not
make the reader become emotional. Whereas in fact the poems have too deep meaning
which are not as simple as the sentences in the poem. Because that, the writer wants to
reveal how deep is the social criticisms on Variasi Parisj Van Java poems’ collection.
Key words: city of flower, social criticisms and poems’ meaning.
ABSTRAK
Kumpulan puisi Variasi Parisj Van Java merupakan kumpulan puisi yang sarat akan kritik
sosial namun berkat kepiawaian penyairnya membangun metafora dalam variasi kalimat
demi kalimat, penggunaan diksi, puisi-puisi tersebut terkesan sederhana dan tidak
membuat pembaca emosi. Padahal sesungguhnya puisi tersebut memiliki makna yang
terlalu dalam yang tidak sesederhana kalimat dalan puisi tersebut. Karena itulah, penulis
ingin mengungkap seberapa dalam kritik sosial yang ada pada kumpulan puisi Variasi
Parisj Van Java.
Kata kunci: kota kembang, kritik sosial, dan makna puisi
2. 2
I. Pendahuluan
Variasi Parijs van Java merupakan kumpulan puisi karya penyair Sony Farid
Maulana, yang diterbitkan oleh PT Penerbit Kiblat pada tahun 2004 lalu. Kumpulan puisi
ini banyak dicari orang. Sajak-sajak cinta dalam kumpulan ini konon asyik dibaca. Variasi
Parijs van Java dijadikan bahan penulisan tesis "Perkembangan dan Pertumbuhan Puisi
Indonesia Modern di Jawa Barat" oleh peneliti sastra dari Australia, Ian Campbell.
Sony Farid Maulana lahir 19 Februari 1962, di Jawa Barat, dari pasangan Yuyu
Yuhana bin H. Sulaeman dan Teti Solihati binti Didi Sukardi. Pendidikan SD dan SMA
diselesaikan di kota kelahirannya. Tahun 1985, Sony menyelesaikan kuliah di Jurusan
Teater Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Kini lembaga pendidikan tersebut berubah
status jadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Sejumlah puisi yang ditulisnya sudah dibukukan dalam sejumlah antologi puisi
tunggal, antara lain dalam antologi puisi Variasi Parijs van Java (PT. Kiblat Buku Utama,
2004), Secangkir Teh (PT. Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana
(Ultimus, 2007), dan Opera Malam (PT. Kiblat Buku Utama, 2008), dan Pemetik Bintang
(PT Kiblat Buku Utama, 2008). Selain itu juga dimuat dalam antologi puisi bersama
seperti dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (PT Gramedia, 1987),
Winternachten ( Stichting de Winternachten, Den Haag, 1999), Angkatan 2000 (PT.
Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia
(Horison, 2002), Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan Living Together
(Kalam, 2005) dan sejumlah antologi puisi lainnya.
Sebagai penyair, Sony, berkali-kali diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
untuk membacakan sejumlah puisi yang ditulisnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta
antara lain dalam forum Puisi Indonesia 1987, dan Cakrawala Sastra Indonesia 2005.
3. 3
Pada tahun 1990 mengikuti South East Asian Writers Conference di Queezon City,
Filipina, bersama penyair Dorothea Rosa Herliany, cerpenis Arie Tamba, Laela S.
Chudori, dan novelis Mochtar Lubis. Sepulang dari Filipina, Sony melangsungkan
pernikahan dengan Heni Hendrayani pada 19 Februari 1990 di Ciamis, Jawa Barat. Pada
1999 mengikuti Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda, bermasa penyair
Rendra, Agus R. Sarjono, dan Nenden Lilis Aisyah. Pada 2002 mengikuti Festival Puisi
Internasional Indonesia di Bandung. Acara tersebut diselenggarakan oleh penyair Rendra,
dan pada 2005 mengikuti International Literary Biennale Living Together 2005 di
Bandung yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu, Jakarta.
Dua kumpulan puisi yang ditulisnya, Sehampar Kabut dan Angsana mendapat
Hadiah Sastra Lima Besar Khatulistiwa Literary Award yang digelar untuk periode 2005-
2006 dan 2006-2007. Sebelumnya sebuah puisi yang ditulisnya dalam bahasa Sunda, Sajak
Tina Sapatu Jeung Baju Sakola Barudak mendapat Hadiah Sastra LBSS (1999).
Sedangkan sebuah esai yang ditulisnya Taufiq Ismail Penyair Yang Peka Terhadap
Sejarah mendapat Anugerah Jurnalistik Zulharmans dari PWI Pusat, Jakarta (1999).
Selain menulis puisi dalam bahasa Indonesia, Sony menulis puisi dalam bahasa Sunda,
dipublikasikan di Tabloid Sunda Galura, Majalah Sunda Mangle, dan Cupu Manik.
Sejumlah puisi Sunda yang ditulisnya dibukukan dalam antologi puisi tunggal, Kalakay
Mega (Cetakan 3, 2007, CV Geger Sunten). Selain itu dimuat juga dalam antologi puisi
bersama, antara lain dalam antologi puisi Saratus Sajak Sunda (CV Geger Sunten 1992),
Sajak Sunda Indonesia Emas (CV. Geger Sunten, 1995) dan Antologi Puisi Sajak Sunda
(PT. Kiblat Buku Utama, 2007).
Dalam berkarya sastra, selain menulis puisi, Sony menulis pula esai, dan cerita
pendek. Esainya tentang puisi dibukukan dalam Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah,
4. 4
2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Jilid 1, PT. Grafindo, 2004, dan Jilid 2, 2007).
Sedangkan sejumlah cerita pendek yang ditulisnya antara lain dibukukan dalam Orang
Malam (Q-Press, 2005). Di samping itu, namanya oleh Ajip Rosidi dicatat dalam entri
Enslikopedi Budaya Sunda (PT. Pustaka Jaya, 2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (Kiblat
Buku Utama, 2002).
Sejak menulis puisi tahun 1976, banyak penyair yang dikagumi pada saat itu, antara
lain Rendra, Wing Karjo, Sapardi Djoko Damono, Gunawan Muhammad, dan lain-lain.
Menurut pengakuan, beliau sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang menggerakkan hati
sehingga mau menulis puisi. “Jika batin saya hamil oleh sebuah pengalaman, maka
pengalaman itu ada kalanya saya ekspresikan dalam bentuk puisi atau cerita pendek.
Yang jelas, dengan menulis puisi atau cerita pendek batin saya merasa dibebaskan dari
sebuah pengalaman yang entah apa namanya, yang melahirkan rasa bahagia di hati
saya” (Wawancara di sebuah kafe di Bandung Utara, 12 Juli 2007).
2. Kritik Sosial dalam Variasi Parisj Van Java
Menikmati sejumlah puisi yang terdapat dalam buku kumpulan puisi Variasi Parijs
Van Java adalah menikmati puncak, jurang, ngarai, bukit terjal, dan lembah cinta, yang
diekspresikan penyair Sony Farid Maulana dengan berbagai variasinya. Kalimat-kalimat
yang ditulisnya tampak sederhana, begitu pula dengan metafora yang dibangunnya.
Namun demikian, makna yang dikandungnya tidak sesederhana itu, sering kali
mengejutkan, dan bahkan menohok hati dan pikiran kita manakala maut membayang di
dalamnya.
5. 5
Kelihaian Sony dalam memilih diksi yang tepat untuk menggambarkan suatu keadaan
dalam sebuah puisi menjadi ciri khas tersendiri. Misalnya, dalam puisi “Mei 1998”. Puisi
tersebut menggambarkan keadaan yang terjadi pada satu kejadian tepatnya Mei 1998.
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei – 15
Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain.
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana
empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei
1998. Kerusuhan tersebut bukan lagi kerusuhan yang biasa namun banyak memakan
korban, bahkan orang-orang yang tidak bersalah dan kerusakan di mana-nama. Nampak
kekejaman yang dilakukan oleh manusia yang pada saat itu adalah mahasiswa.
Dari gambar-gambar berikut dapat dilihat betapa parahnya dampak kerusuhan pada
saat itu.
Namun, Sony pada puisi “Mei 1998” menggunakan diksi yang halus dan tidak
menunjukkan keberingasan yang dapat memancing emosi pembaca. Misal:
“kini tidak hanya peluh juga keluh
dibalut impian menakutkan yang datang
berulang, Disitu membayang pula tubuh gosong
yang hangus dibakar dalam sebuah kerusuhan
Mei lalu di Jakarta. Dan hujan pun amis darah
turun juga di situ.”
6. 6
Kutipan puisi di atas (Hujan Turun di Aceh) menceritakan tentang peristiwa
kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada tahun 1998. Pada bait di atas, Sony ingin
menceritakan suatu keadaan yang sebenarnya sangat mengerikan dan menyentuh perasaan
kita sebagai manusia. Namun, ungkapan yang dituangkan dengan
Kini tidak hanya peluh dan keluh/dibalut impian menakutkan yang
datang/berulang/di situ membayang pula tubuh gosong/yang hangus terbakar dalam
sebuah kerusuhan/ Mei lalu di Jakarta//
Meskipun demikian puisi tersebut tidak kehilangan makna dan pesan yang
disampaikan. Justru dengan pilihan diksi yang sederhana puisi tersebut terasa berbeda
dengan puisi-puisi lain yang juga menggambarkan kerusakan yang serupa.
Demikian juga dengan :
Dengan jimat yang kau pegang
Aku bisa kau ubah jadi apa saja
Sekehendak nafsu kau seperti mengubah
Pesawahan; jadi luas perumahan. Mengubah
............
Pada puisi di atas Sony menggunakan diksi “Jimat” yang melambangkan sesuatu
yang dianggap memiliki suatu kekuatan/magik, yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang
dimiliki oleh penguasa yang dapat mempengaruhi keadaan sosial masyarakat (baris kedua
dan seterusnya).
7. 7
Pembaca mungkin saja baru akan memahami makna puisi tersebut setelah membaca
habis bait terakhir. Pada bait terakhir, Sony menggunakan kata yang halus untuk
mengungkapkan bahwa adanya oknum penguasa yang memerintahkan untuk menembak
mati mahasiswa yang sedang berdemosntrasi. Hal ini terasa sangat menarik dan akan
memuaskan pembaca.
Tentunya puisi Mei 1998 mengandung nilai sosial yang dapat dimaknai, yaitu berupa
ketakutan dan keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh para penguasa.
Melalui kumpulan puisi Variasi Parijs Van Java juga, Sony mengungkapkan
kegundahan hati tentang perubahan sosial masyarakat Sunda. Sunda yang kental dengan
ajaran agama Islam digambarkan sebagai sosok kumuh. Nilai luhur tak lagi diamalkan.
Modernisme yang menerjang meluluhlantakkan peradaban agung yang dipelihara turun
temurun.
Budaya mabuk dan kehidupan malam mewarnai beberapa kalimat yang ditulis secara
lugas. Perhatikan kutipan, “mabuk lagi...ah, mabuk lagi”. Sony ingin menegaskan betapa
kerapnya hal itu dilakukan dengan 4 pengulangan kalimat yang sama.
Penyair memotret kondisi modernisasi besar-besaran tanpa perhitungan. Semua
diubah, semua diganti atas nama pembangunan. Pembangunan terjadi di mana-mana yang
mengatasnamakan kemakmuran rakyat. Di balik moderniasasi yang dilaksanakan ternyata
yang diraih bukannya kemakmuran, tetapi justru kemerosotan moral dan budi pekerti.
Kebobrokan moral terjadi di mana-mana. Hal ini disorot melalui bait-bait:
lebih keras dari arak; itulah kemiskinan.
bagai buntelan sampah busuk; bayi merah
dibuang orang ke sungai Cikapundung. Gema azan
magrib didengar tiang listrik dan batu-batu.
8. 8
Nada kekhawatiran tentang tokoh idola tak lupa disinggung Sony. Anak-anak Sunda
dikatakan sudah tak mengenal lagi dongeng rakyat Priangan untuk anak-anak. Generasi
kehilangan tokoh idola untuk dijadikan panutan. Perhatikan kutipan puisi berikut:
Masihkah Si Leungi jadi pengantar
tidur anak-anak? Kau bilang Doraemon
melahap kepala dan ekornya yang gurih,
sedang badannya disantap Superman,
Tom dan Jerry, dan Asterix dalam jamuan
hiburan anak-anak, lewat saluran televisi
kau dengar desah nafas Lutung Kasarung
Harkat dan martabat wanita juga digambarkan agak miring. Wanita Sunda yang dulu
begitu geulis, santun, cerdas dan mendapat tempat yang terhormat dalam Variasi Parijs
van Java digambarkan negatif.
Bila gelap malam tiba, alun-alun Bandung
disungkup gelak-tawa orang-orang
yang nawar ngamar. Pendopo seakan kusam,
seakan sunyi pekuburan. Tak ada denting kecapi
Sony memotret kehidupan masyarakat Bandung dengan sisi kultur sosial modern,
yang semula Bandung merupakan Priangan si Jelita (pandangan Ramadhan KH), juga
sebagian besar mata dunia menyebutnya sebagai kota kembang. Namun di mata Sony,
ketika tahun 1996, kota kembang yang jelita itu kini menjelma menjadi kota kembang
9. 9
yang layu. Hal ini dibuktikan dalam sajaknya Ujung Sebuah Mimpi (dalam VPVJ
halaman 11).
Dalam sajak Ujung Sebuah Mimpi, Sony mendobrak ketidakpuasan hukum di
Indonesia yang dituangkan dalam bait berikut: kepastian hukum di negeri ini/ ditentukan
oleh penguasa/ jadi apa maksudmu dengan keadilan
Selain bait tersebut, ketidakpuasan Sony terhadap ketidakadilan dituangkannya pada
bait ketiga sebagai berikut: sepasang payudara/ yang tumbuh di dadanya: berkilat/
disepuh cahaya matahari negeri tropika/ pengacara sang jagoan/ dalam film yang
kutonton/sambil makan butiran kacang/ tampak tegang/ membela kliennya yang didakwa/
bikin onar dan makar/ dalam sebuah kerusuhan/ menggerakkan ribuan buruh pabrik turun
ke jalan/ menuntut kenaikan upah/ jaminan keselamatan kerja/ juga kesejahteraan di hari
tua//
Dalam puisi tersebut, tergambar juga saat Sony menumpahkan kemarahannya
terhadap ketidakadilan di negeri ini, yang dituangkan melalui larik-larik puisi berikut.
Sesekali diselingi sekilas informasi/ ada pasar terbakar, bangunan runtuh/ diseruduk
bulldozer asap hitam/ bergulung dan bergulung di situ/ dari kedalaman jiwa orang
terusir// adegan bersambung adegan/ serupa tetesan darah di ujung pecahan kaca/ sang
pengacara juga kliennya/ tak berkutik menangkis vonis sang hakim/ yang menyeruak
bagai sebutir peluru/ menerjang seekor merpati tanpa ampun//
Melalui sajaknya itu pula, Sony berharap mimpi-mimpinya tentang sebuah keadilan
akan mendapat sambutan dari orang pengambil kebijakan di negeri ini, setelah membaca
larik berikut sebagai penutup puisinya. detik bersambung detik/ sel penjara dibuka/ terasa
pengap dan lembab di dada/ seakan memutus nafas kesadaran/ seakan malam samodera
10. 10
kegelapan/ tanpa dasar// di situ ribuan kapal cahaya/ lenyap, digulung kabut/ dan kabut
semata//.
Dari larik-larik puisi Sony tersebut, penulis mengintepretasikan bahwa sesungguhnya
Sony ingin mengembalikan Sang Priangan Jelita itu menjadi kembang yang tak akan
pernah layu. Itulah Ujung Sebuah Mimpi Sony.
3. Penutup
Mencermati puisi-puisi Sony membuat batin kaya akan makna kehidupan. Sisi gelap
kota Bandung yang diteropong dalam sajak-sajaknya adalah sebuah realitas. Gemerlap dan
kemilau Bandung tetap jadi buah bibir yang akan dikenang sepanjang zaman. Sebagai
pribumi, Sony memandang kota kelahirannya yang tercemar noktah; kecil, hitam, dan akan
menggurita jika manusia tak lagi peduli. Hal tersebut merupakan pendeskripsian mental
dan emosionalnya sebagai penyair sejati.
DAFTAR PUSTAKA
Maulana, Sony Farid. 2004. Variasi Parisj Van Java. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Pradopo, Rahmad Djoko. 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis
Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Wahyuningtyas, Sri dan Wijaya Heru Santoso. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi.
Surakarta: Yuma Presindo.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.