Laporan ini menguraikan hasil konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi di Indonesia tentang layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi. Konsultasi menunjukkan bahwa masyarakat miskin menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses layanan dasar dan seringkali tidak puas dengan mutu layanannya. Laporan ini berisi rekomendasi untuk melibatkan suara masyarakat
1. Public Disclosure Authorized
38639
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Suara Masyarakat Miskin:
Mengefektifkan Pelayanan Bagi
Public Disclosure Authorized
Masyarakat Miskin di Indonesia
Nilanjana Mukherjee INDOPOV
2. THE WORLD BANK OFFICE JAKARTA
Jakarta Stock Exchange Building Tower II/12th Fl.
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (6221) 5299-3000
Fax: (6221) 5299-3111
Website: www.worldbank.or.id
THE WORLD BANK
1818 H Street N.W.
Washington, D.C. 20433, U.S.A.
Tel: (202) 458-1876
Fax: (202) 522-1557/1560
Email: feedback@worldbank.org
Website: www.worldbank.org
Printed in 2006.
This paper has not undergone the review accorded to official World Bank publications. The findings, interpretations,
and conclusions expressed herein are those of the author(s) and do not necessarily reflect the views of the
International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank and its affiliated organizations, or those of
the Executive Directors of The World Bank or the governments they represent.
The World Bank does not guarantee the accuracy of the data included in this work. The boundaries, colors,
denominations, and other information shown on any map in this work do not imply any judgement on the part of
The World Bank concerning the legal status of any territory or the endorsement or acceptance of such boundaries.
3. Suara Masyarakat Miskin
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat
Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi
Nilanjana Mukherjee
Bank Dunia | The World Bank
East Asia and Pacific Region
4. Ucapan Terimakasih
Suara Masyarakat Miskin berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Nyoman Oka dan Ratna Indrawati
Josodipoero, Ketua Tim; Wiji J. Santoso, Idul Fitriatun, Ketut Suarken, Nur Khamid (Tim Jawa Timur); Purnama Sidi,
Laksmini Sita, Herry Septiadi, Ririn Fajri (Tim Jawa Barat); Titik Soeprijati, Irwan, Mochamad Rifai, Ariatim (Tim Nusa
Tenggara Barat); Husnuzzoni, Khusairi, Nazmi Rakhman, Indraningsih (Tim Kalimantan Selatan).
Penelitian lapangan dan analisis yang didukung oleh Indonesia Poverty Analysis Program (INDOPOV), sebuah
program kemitraan Bank Dunia Indonesia yang dipimpin Jehan Arulpragasan. Studi Kualitatif ini ditujukan untuk
melengkapi analisis kuantitatif “Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia”.
Penelitian ini banyak menerima manfaat dari berbagai usulan, diskusi dan kritik dari anggota INDOPOV, terutama
Menno Pradhan, Vincente Paqueo, Peter Heywood, dan Ellen Tan. Suzanne Charles dan Ellen Tan memberikan
dukungan yang sangat berharga berupa penyuntingan naskah. Claudia Surjadjaya menyediakan perangkat
penilaian layanan kesehatan serta memberikan pengarahan kepada para peneliti. Konsultasi dengan masyarakat
miskin dilakukan oleh peneliti berasal dari berbagai LSM dan lembaga pendidikan di Indonesia.
Terimakasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada masyarakat miskin — perempuan dan laki-laki — yang
berada di Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Mereka telah bersedia membagi penilaian, pengalaman,
pandangan serta pengetahuan mereka untuk memberikan citra dan suara kemanusiaan pada penelitian ini. Besar
harapan mereka agar suaranya bisa didengar oleh para pembuat kebijakan.
Penulis sangat berterima kasih atas dukungan manajemen dari program Air dan Sanitasi Bank Dunia (WSP), yang
memungkinkan penulis melakukan penelitian ini. Khususnya, ucapan terima kasih kepada Richard Pollard, ketua tim
regional untuk WSP - Asia Timur dan Pasifik, dan Ede Jorge Ijjasz-vasquez, manajer program global.
Penulis bertangung jawab sepenuhnya terhadap ini laporan penelitian ini.
5. Daftar Isi
UCAPAN TERIMA KASIH iv
DAFTAR ISI v
Suara Masyarakat Miskin
DAFTAR KOTAK, GAMBAR, TABEL vi
DAFTAR ISTILAH viii
RINGKASAN EKSEKUTIF x
1. KARAKTERISTIK KEMISKINAN DAN INSTITUSI LOKAL DI LOKASI PENELITIAN 1
1.1 Lokasi, Sampel, Alat Penelitian 1
1.2 Metodologi: Pengenalan dan Keterlibatan Penduduk Miskin 2
1.3 Profil Kesejahteraan dan Kemiskinan Setempat 3
2. LAYANAN PENDIDIKAN YANG DIMANFAATKAN OLEH PENDUDUK MISKIN 5
2.1. Sekolah-Sekolah Dasar: Tidak Sepenuhnya Gratis – Meskipun Ada Bantuan Pemerintah 5
2.2. Layanan Pendidikan Sekolah Menengah 8
2.3. Mutu Layanan – Pandangan Pengelola 9
2.4. Hasil Pengamatan dan Kesimpulan 11
3. LAYANAN KESEHATAN: PRA-PERSALINAN, PERSALINAN, DAN LAYANAN KESEHATAN ANAK 16
3.1. Layanan Pra-Persalinan: Pilihan Berbeda Untuk Lokasi Geografis Yang Berbeda 16
3.2. Layanan Bantuan Persalinan: Dukun Beranak Tetap Pilihan Utama 18
3.3. Layanan Kesehatan bagi Bayi di Bawah Usia Lima Tahun (Balita): Layanan Umum Lebih Disukai 19
3.4. Mutu Layanan Kesehatan bagi MAsyarakat miskin 21
3.5. Pengamatan Independen dan Kesimpulan 25
4. LAYANAN AIR “BERSIH” UNTUK PENDUDUK MISKIN 28
4.1. Penduduk miskin Kekurangan Akses Penuh untuk Mendapatkan Air Minum 28
4.2. Penggunaan Air dan Bahaya Kesehatan 30
4.3. Warga Paling Miskin Membayar Harga Air Paling Tinggi 31
4.4. Hasil Pengamatan: Layanan Air “Bersih” 33
4.5. Mutu Layanan : Pandangan Masyarakat Miskin 34
5. FASILITAS SANITASI YANG DIMANFAATKAN OLEH PENDUDUK MISKIN 36
5.1. Hasil Pengamatan: Layanan Sanitasi 37
5.2. Mutu Layanan: Beberapa Pandangan 39
6. PENDUDUK MISKIN TIDAK MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI PEMAKAI JASA– NAMUN MEREKA MENGINGINKANNYA 40
6.1. Kurangnya Informasi- “Kami Tidak Tahu” 41
6.2. “Siapa Yang Akan Mendengar Kami?” 43
6.3. Perlakuan Buruk oleh Penyedia dan Petugas terhadap Masyarakat miskin 44
6.4. Tidak Ada Suara Penduduk miskin dalam Keputusan Masyarakat dan Penyediaan Layanan Publik 45
6.5. Masalah dalam Proses Partisipasi – “Kami Adalah Anak Tiri” 45
7. REKOMENDASI UNTUK KEBIJAKAN DAN STRATEGI 47
7.1. Untuk Layanan Dasar Secara Umum 47
7.2. Untuk Layanan Kesehatan 49
7.3. Untuk Layanan Pendidikan 49
7.4. Untuk Layanan Air Bersih dan Sanitasi 51
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
v
6. Daftar Kotak
Kotak 1: Tidak Ada Penjelasan tentang Biaya-biaya 7
Kotak 2: Menikah pada usia 13 tahun, melahirkan di usia 14 tahun – satu-satunya pilihan setelah tamat 9
Suara Masyarakat Miskin
sekolah dasar
Kotak 3: Tidak ada air bersih dama dengan tidak ada guru sekolah dan petugas kesehatan 11
Kotak 4: 92 Terdaftar tapi hanya 29 yang hadir 12
Kotak 5: Tanda-tanda bahaya kehamilan yang tidak dikenali 19
Kotak 6: Persalinan prematur berulang-ualng, tidak ada pemeriksaan pra-persalinan 25
Kotak 7: Tidak lagi kesurupan 26
Kotak 8: Empat hari terlambat 27
Kotak 9: Bagaimana bisa menyusui anak bila air susu ibu tidak keluar? 28
Kotak 10: Bayi meninggal karena diare di kota besar, dekat pelayanan kesehatan 28
Kotak 11: Penduduk miskin membayar 30 kali lebih besar daripada tarif PDAM untuk air – tapi tidak menyadarinya 30
Kotak 12: Terjebak monopoli layanan air 34
Kotak 13: “Mereka tidak memberikan pilihan kepada kami” 41
Kotak 14: “Karena saya miskin, dengan demikian saya juga bodoh” 44
Kotak 15: Pengguna kartu sehat membutuhkan kesabaran dan pengendalian diri 45
Daftar Gambar
Gambar 1: Proporsi suara bagi pilihan penyedia layanan pendidikan dasar 7
Gambar 2: Proporsi suara bagi pilihan penyedia layanan pra-persalinan 17
Gambar 3: Proporsi suara bagi pilihan layanan air yang digunakan 29
Gambar 4: Proporsi suara bagi pilihan fasilitas sanitasi yang digunakan 36
Daftar Tabel
Tabel 1. Lokasi penelitian 1
Tabel 2. Hasil pengamatan sekolah lanjutan di lokasi yang berbeda 14
Tabel 3. Biaya layanan air bersih dan air bersih yang digunakan oleh masyarakat miskin di delapan lokasi 32
penelitian
Daftar Tabel Lampiran
Tabel 2.1. Paminggir – Komunitas Pedesaan, Terpencil, yang Hidup dari Hasil Hutan, di Kalimantan 5
Selatan
Tabel 2.2. Bajo Pulau – Komunitas Nelayan Laut di Nusa Tenggara Barat (NTB) 6
Tabel 2.3. Alas Kokon – Komunitas Pedesaan Petani Ladang di Madura Jawa Timur 6
Tabel 2.4. Kertajaya – Komunitas Pedesaan Petani Sawah di Jawa Barat 7
Tabel 2.5. Antasari – Kelurahan Urban di Kalimantan Selatan 8
Tabel 2.6. Jatibaru – Kelurahan Miskin di Pinggiran Kota Bima, Nusa Tenggara Barat 9
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
vi
7. Tabel 2.7 Simokerto – Pemukiman Pemulung dan Warga Berpenghasilan rendah di Surabaya, Jawa 10
Timur
Tabel 2.8. Soklat – Kelurahan Miskin di Subang, Jawa Barat 11
Tabel 3.1 Pilihan dan Biaya Layanan Pendidikan Dasar, yang di Laporkan oleh Masyarakat Miskin di 8 12
Suara Masyarakat Miskin
Lokasi Penelitian
Tabel 3.2. Biaya Pendidikan Sekolah Lanjutan, yang di Laporkan oleh Masyarakat Miskin di 8 Lokasi 15
Penelitian
Tabel 3.3. Pilihan dan Biaya Pasca Persalinan yang di gunakan oleh Masyarakat Miskin di 8 Lokasi 19
Penelitian
Tabel 3.4. Biaya Layanan Persalinan yang digunakan oleh Masyarakat Miskin di 8 Lokasi Penelitian 22
Tabel 3.5. Biaya Satu Kali Layanan Kuratif Yang Harus Dibayar Oleh Masyarakat Miskin Untuk Perawatan 26
Balita-nya.
Daftar Gambar Lampiran
Diagram 3.1. Persepsi mengenai Keuntungan dan Nilai yang ditawarkan Penyedia Layanan Pendidikan 13
Dasar
Diagram 3.2. Tingkat Kepuasan terhadap Penyedia Layanan Pendidikan Dasar 14
Diagram 3.3. Proporsi Pemilihan Penyedia Layanan Pendidikan Sekolah Lanjutan 16
Diagram 3.4. Persepsi mengenai Keuntungan dan Nilai yang ditawarkan Penyedia Layanan Pendidikan 17
Lanjutan
Diagram 3.5. Tingkat Kepuasan terhadap Penyedia Layanan Pendidikan Lanjutan 18
Diagram 3.6. Persepsi mengenai Keuntungan dan Nilai yang ditawarkan Penyedia Layanan Perawatan 20
Pasca Persalinan
Diagram 3.7. Proporsi Pemilihan Penyedia Layanan Persalinan 21
Diagram 3.8. Tingkat Kepuasan Terhadap Penyedia Layanan Persalinan 23
Diagram 3.9. Persepsi mengenai Keuntungan dan Nilai yang ditawarkan Penyedia Layanan Persalinan 24
Diagram 3.10. Proporsi Pemilihan Penyedia Layanan Perawatan Balita 25
Diagram 3.11. Proporsi Pemilihan Penyedia Layanan Perawatan Batita (0–2 tahun) 25
Diagram 3.12. Persepsi mengenai Keuntungan dan Nilai yang ditawarkan Penyedia Layanan Kuratif 27
untuk Batita (Usia 0-2 tahun)
Diagram 3.13. Tingkat Kepuasan untuk Pelayanan Kuratif bagi Batita 28
Diagram 3.14. Persepsi mengenai Keuntungan dan Nilai yang ditawarkan oleh Sarana Air Bersih yang 29
Digunakan
Diagram 3.15. Tingkat Kepuasan untuk Pilihan Sarana Air Bersih 30
Diagram 3.16. Persepsi mengenai Keuntungan dan Nilai yang ditawarkan oleh Fasilitas Sanitasi 31
Diagram 3.17. Tingkat Kepuasan untuk Fasilitas Sanitasi 32
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
vii
8. Daftar Istilah
ANC (Antenatal Care) Perawatan Pasca Melahirkan
Suara Masyarakat Miskin
Arisan Kelompok Dana Bergulir Informal
Bidan di Desa Bidan Terlatih yang ditempatkan di Desa
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BOS Biaya Operasional Sekolah
BPS Biro Pusat Statistik
Dukun Penyedia Layanan Persalinan Tradisional
Dusun Tingkat pemerintahan di bawah Desa
GDS (Governance and Desentralization Survey) Survai Mengenai Layanan Publik pasca
desentralisasi
IDT (Inpres Desa Tertinggal) Program Pemerintah Pusat untuk wilayah Desa yang termasuk
kategori tertinggal
Imunisasi TT Imunisasi Tetanus Toxoid
Kangkung Tumbuhan Rawa yang bisa diolah menjadi lauk
Kantor Kelurahan Kantor tempat Pejabat Kelurahan menjalankan fungsinya
Kapuk Buah pohon Kapuk yang biasa digunakan untuk mengisi kasur
Kartu Sehat Kartu jaminan kesehatan yang memungkinkan pemegangnya mendapat pelayanan
kesehatan secara cuma-cuma sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Kec./Kecamatan Tingkat pemerintahan yang berada dibawah Kabupaten/kota
Kelurahan Tingkat pemerintahan yang berada dibawah kecamatan yang tidak berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri (Setingkat dengan desa, namun khusus
untuk wilayah perkotaan)
Kantor Desa Kantor tempat pejabat Desa menyelenggarakan fungsinya
Kepala Desa Unsur pemerintahan yang mengepalai pemerintahan tingkat desa dan dipilih langsung
oleh warganya.
Kepala Dusun Orang yang dipilih oleh masyarakat suatu dusun untuk menjalankan fungsi sebagai
pemimpin wilayah dusun tersebut
Ketua RT Orang yang dipilih langsung oleh warga RT
Madrasah Sekolah yang sebagian besar mata pelajaran dan sistem pendidikannya berdasarkan
agama Islam
Madrasah Sekolah dasar agama Islam setingkat SD
Ibtidaiyah
Madrasah Sekolah menengah agama Islam setingkat SMP
Tsanawiyah
Mantri Petugas kesehatan yang bertugas di puskesmas
MOE Ministry of Education (Departemen Pendidikan Nasional)
NGO Non Government Organization (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
viii
9. PISK Penyedia Air Independen Skala Kecil
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
Pesantren Sekolah asrama agama Islam yang kurikulumnya lebih banyak mengenai agama
PKK Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
Suara Masyarakat Miskin
PLN Perusahaan Listrik Negara
Polindes Pondok Bersalin Desa
POSYANDU Pos Layanan Terpadu
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu Puskesmas pembantu
Raskin Beras Miskin
SANIMAS Sanitasi Berbasis Masyarakat; sebuah program sanitasi berbasis masyarakat untuk
masyarakat di daerah perkotaan
SD Sekolah Dasar
SDN Sekolah Dasar Negeri
SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SMP Sekolah Menengah Pertama
SSIP Small Scale Independent Water Provider (Penyedia Air Independen Skala Kecil)
TBA Traditional Birth Attendance (Dukun Beranak)
UKS Unit Kesehatan Sekolah
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
ix
10. Ringkasan Eksekutif
Pada Januari 2001 Indonesia mulai menerapkan desentralisasi pada sebagian besar layanan publik di tingkat
Suara Masyarakat Miskin
kabupaten. Sejak saat itu, titik pusat inovasi bergeser ke tingkat kabupaten, sehingga dengan demikian pemerintahan
daerah memiliki otonomi yang sangat kuat untuk melakukan perubahan (baik positif maupun negatif ). Di Negara
yang berpenduduk sekitar 2201 juta jiwa dan terdiri dari 4402 kabuten dan Kotamadya, pergeseran orientasi kebijakan
ini telah menciptakan potensi yang sangat besar bagi pendekatan inovatif lokal dalam menyediakan layanan sektor
publik.
Inisiatif mengefektifkan ( Layanan bagi Masyarakat miskin di Indonesia ) bertujuan untuk memberikan dukungan
analisis bagi pemerintah Indonesia agar bisa meningkatkan akses dan mutu layanan dasar bagi masyarakat miskin
dalam era desentralisasi. Sasarannya, selain untuk merangkum kondisi layanan mendasar bagi masyarakat miskin,
juga menentukan dan menganalisis faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap kondisi saat ini, dan selain itu
mengusulkan kerangka kerja analisis serta langkah-langkah praktis untuk meningkatkan layanan bagi masyarakat
miskin.3
Sampai sekarang, tidak satu pun literatur, yang tergolong cukup lengkap, tentang desentralisasi menyertakan
juga analisis tentang pandangan masyarakat miskin mengenai pemberian layanan publik; laporan ini berusaha
untuk mengisi kesenjangan tersebut. Di samping itu, laporan ini juga berusaha untuk memahami hambatan yang
dihadapi masyarakat miskin, serta memahami alasan yang mendasari pilihan yang diambil masyarakat miskin di
daerah pedesaan dan perkotaan tentang layanan kesehatan dasar, pendidikan, penyediaan air bersih, dan sanitasi
yang mereka butuhkan. Laporan ini juga memberikan rekomendasi tentang kebijakan untuk meningkatkan layanan
bagi masyarakat miskin berdasarkan analisis dan saran dari masyarakat miskin, dan penyedia layanan publik yang
mampu meningkatkan akuntabilitas serta penguatan hubungan antara pengguna layanan, penyedia layanan, dan
pembuat kebijakan.
Ada delapan layanan kunci yang menjadi fokus penelitian ini sbb: 4
• layanan pra persalinan
• bantuan persalinan
• layanan kuratif untuk bayi usia 0-2 bulan
• layanan kuratif bayi >2 bulan hingga 5 tahun
• pendidikan dasar
• peralihan menuju sekolah menengah
• layanan air bersih
• fasilitas sanitasi (pembuangan tinja)
1 Biro Pusat Statistik (BPS), “Proyeksi Penduduk Indonesia, 2000-2005”, 2005
2 Departemen Dalam Negeri
3 Untuk laporan secara lengkap, lihat situs Bank Dunia, www.worldbank.or.id
4 Untuk keperluan laporan ini, analisis telah digabungkan dengan layanan kuratif. Untuk hasil yang spesifik untuk Kelompok umur 0 - 2 bulan dan <2
bulan - 5 tahun, lihat Lampiran.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
x
11. Layanan ini merupakan unsur penting dalam upaya mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Tingginya
tingkat gizi buruk, tingginya angka kematian ibu dan bayi, dan rendahnya tingkat pendidikan secara langsung dapat
ditelusuri dari penyediaan dan pemberian layanan ini.
Suara Masyarakat Miskin
Sintesis yang memadukan persamaan dan perbedaan antara delapan lokasi penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat kepada lembaga donor dan pemerintah Indonesia serta pemerintah negara-negara lain yang berminat
mengadopsi gagasan-gagasan praktis untuk meningkatkan penyediaan layanan publik oleh pemerintah.
Peran aktif masyarakat miskin dalam penyediaan layanan rakyat masyarakat dengan memberikan tekanan pembuat
kebijakan dan penyedia layanan, berpotensi untuk meningkatkan mutu layanan yang akan mereka terima. Penelitian
ini berupaya menggali sejauh mana masyarakat miskin mampu dan mau melakukan hal tersebut dan mampukah
mereka melihat apakah peran serta yang mereka mainkan itu efektif atau tidak. Penelitian ini juga berusaha
mencermati bagaimana pandangan masyarakat miskin mampu menarik perhatian para pembuat kebijakan agar
mereka memperhatikan aspirasi masyarakat miskin, serta bagaimana pandangan dari mereka bisa membuat para
pembuat kebijakan mampu meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan untuk meningkatkan pelayanan terhadap
kelompok tersebut.
Tanggapan kebijakan di Indonesia terhadap minimnya layanan mendasar bagi masyarakat miskin atau terhadap
layanan yang mengecewakan, pada umumnya berupa penentuan jumlah pemberian subsidi untuk menyediakan
layanan publik, seperti program kartu sehat dan pemberian beasiswa. Kebijakan ini memberikan asumsi bahwa
sektor publik merupakan lembaga yang paling efisien yang mampu memberikan layanan kepada masyarakat miskin.
Asumsi lain adalah bahwa masyarakat miskin tidak memanfaatkan layanan tersebut karena harganya yang terlalu
mahal bagi mereka. Penelitian ini dirancang untuk meninjau kembali hipotesis yang telah mendorong lahirnya
berbagai kebijakan di Indonesia dan memberikan saran-saran untuk menghasilkan kebijakan alternatif yang secara
lebih langsung terkait dengan berbagai kendala yang dihadapi masyarakat miskin.
Temuan-temuan yang diuraikan berikut ini mencerminkan suara masyarakat miskin yang berasal dari delapan
kabupaten yang terpilih di Indonesia. Namun demikian, tidak berarti kalau suara mereka mewakili seluruh masyarakat
miskin di seluruh negeri ini.
Beberapa pesan penting yang muncul secara berulang-ulang selama proses Konsultasi dengan masyarakat miskin
1. Pandangan masyarakat miskin terhadap mutu layanan sering kali berbeda dengan pandangan para ahli :
• Masyarakat miskin menganggap mutu layanan dukun beranak lebih baik daripada yang diberikan oleh bidan
yang terlatih.
• Air sumur dianggap bersih, sementara air sungai kotor. Walaupun anggapan yang kedua memang benar
adanya, anggapan yang pertama bahwa air sumur bersih, juga tidak benar.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
XI
12. 2. Hambatan utama dalam meningkatkan jumlah kelahiran yang dibantu oleh bidan terlatih tampaknya lebih
disebabkan karena kurangnya permintaan (atas bidan terlatih) dan bukan karena kurangnya akses. Masyarakat
miskin tidak memerlukan layanan bidan terlatih karena ongkos membayar bidan lebih mahal sementara waktu
bidan melayani pasien lebih singkat daripada dukun beranak. Banyak pasien miskin tidak sepenuhnya menyadari
Suara Masyarakat Miskin
keuntungan lebih yang diperoleh dari bantuan persalinan profesional. Mereka yang sadar tidak yakin bahwa
keuntungan tambahan tersebut sepadan dengan biaya tambahan yang tinggi.
3. Program untuk masyarakat miskin, seperti kartu sehat, sangat dihargai, namun para peneliti menemukan bahwa;
informasi tentang hal itu (tentang kebijakan untuk masyarakat miskin) biasanya tidak tersedia. Seringkali petugas
layanan publik atau pejabat pemerintah, yang merupakan satu-satunya sumber informasi tentang layanan bagi
masyarakat miskin, gagal memberikan informasi lengkap kepada masyarakat miskin, dan kadang-kadang mereka
bahkan menyalahgunakan kekuasaan mereka, dan menghalangi akses layanan ini bagi masyarakat miskin.
4. Para elit masyarakat – para petugas atau pejabat pemerintah – jarang mendengarkan masyarakat miskin ketika
rakyat seperti ini menyampaikan kebutuhan, keprihatinan, dan pendapat mereka untuk meningkatkan layanan
bagi rakyat. Masyarakat miskin memandang diri mereka sebagai “anak tiri”; para elit menganggap masyarakat
miskin “bodoh” dan tidak mau berinteraksi serta memberikan informasi bagi mereka. Satu-satunya cara agar
masukan masyarakat miskin dapat dihargai adalah melalui mitra perantara pihak ketiga.
5. Biaya di luar SPP (Sumbangan Pembangunan Pendidikan) untuk sekolah dasar (seperti seragam, buku, dan
sebagainya) merupakan beban berat bagi masyarakat miskin. Kebijakan baru untuk menghapus SPP bagi
masyarakat miskin tidak menuntaskan masalah biaya di luar SPP yang masih sangat besar.
6. Adanya persepsi publik bahwa masyarakat miskin tidak akan mampu membayar sarana air bersih dan sanitasi
yang bermutu adalah tidak benar. Masyarakat miskin perkotaan membeli air dari penjual swasta dengan harga
15 sampai 30 kali tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Meskipun mampu membeli air dari PDAM dengan
tarif yang berlaku, masyarakat miskin tetap sulit mendapatkan sambungan karena mereka tidak memiliki hak sewa
atau hak milik yang jelas atas tanah yang mereka tinggali, masalah lainnya adalah tingginya biaya pemasangan
yang harus dibayar tunai. Ketika sebagian besar masyarakat miskin perkotaan mampu menanggung biaya
pembangunan WC umum yang murah, tetapi sekali lagi tidak adanya hak kepemilikan atau hak sewa lahan
pemukiman menjadi penghalang. Juga, kebanyakan dari mereka tidak menyadari adanya pilihan WC umum
berbiaya rendah, baik di pedesaan maupun perkotaan.
7. Di daerah kepulauan, masyarakat miskin sulit mendapatkan akses air bersih, sering kali karena sistem monopoli
yang dikuasai oleh penjual air. Hal ini juga terjadi di daerah perkotaan yang berpenduduk padat.
8. Ada perbedaan mutu yang besar antara penyedia layanan di perkotaan yang melayani daerah kumuh dan
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
XII
13. penyedia layanan di pedesaan yang melayani daerah miskin. Petugas di pedesaan memiliki mutu yang jauh
lebih buruk.
9. Khususnya di daerah pedesaan, banyak anak yang sudah terdaftar di sebuah sekolah tidak mengikuti pelajaran
Suara Masyarakat Miskin
mereka secara teratur. Guru-guru mereka sering mangkir. Walaupun jumlah anak yang terdaftar di sekolah cukup
tinggi, hal ini tidak mampu menarik mereka yang tidak masuk sekolah.
10. Ketidakhadiran guru di sekolah-sekolah serta tidak tersedianya petugas kesehatan di puskesmas pembantu
(pustu) di pedesaan seringkali berkaitan dengan kurangnya fasilitas infrastruktur dasar seperti sumber air dan
sanitasi di sekolah-sekolah dan pos-pos kesehatan. Para guru tidak bersedia bekerja dalam kondisi seperti itu
(walaupun mereka bersedia jika dibayar).
11. Jika tidak terdapat sekolah menengah di desa, gadis-gadis di Madura menikah segera setelah lulus sekolah
dasar dan hamil. Apabila ada kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah menengah pertama, pernikahan dini
bisa dicegah. Ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk meningkatkan akses sekolah menengah bagi anak
perempuan untuk alasan-alasan yang lebih dari sekedar soal prestasi akademis.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
XIII
14. Suara Masyarakat Miskin
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
XIV
15. 1. Karakteristik Kemiskinan dan Lembaga Setempat di
Lokasi Penelitian
1.1. Lokasi, Sampel, Alat Penelitian
Suara Masyarakat Miskin
Delapan lokasi dipilih berdasarkan kriteria kemiskinan menurut BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional), tercantum di dalam Governance and Decentralization Survey (GDS) peta kemiskinan dan geografi/lokasi
Biro Pusat Statistik. Komunitas yang terpilih, baik di pedesaan maupun perkotaan, memiliki tingkat kemiskinan yang
tinggi (30 – 80 persen). Pemetaan sosial digunakan lebih lanjut pada setiap lokasi untuk identifikasi lingkungan
termiskin yang akan diwawancara. Separuh dari lokasi dipilih di Pulau Jawa, tempat tinggal masyarakat miskin
terbesar di negeri ini. Dua lokasi lainnya, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan diikutsertakan untuk mencerminkan
kondisi di luar Jawa. Hasil GDS tahun 2003 menunjukkan tingkat kepuasan tinggi terhadap layanan publik dan
persepsi masyarakat bahwa terjadi peningkatan mutu layanan publik pasca desentralisasi. Hasil kuantitatif GDS
tidak menjelaskan alasan di balik tingkat kepuasan yang tinggi tersebut, juga tidak menjelaskan apakah pandangan
masyarakat miskin berbeda dengan pandangan mereka yang tidak termasuk kategori miskin. Pandangan masyarakat
miskin yang terlibat dalam penelitian ini tidak sama dengan hasil yang dikeluarkan GDS, kemungkinan penelitian ini
memang mencerminkan pengalaman segmen yang termiskin.
Kriteria pemilihan lokasi di daerah pedesaan meliputi mata pencaharian utama (petani sawah di Jawa Barat, nelayan
kepulauan Nusa Tenggara Barat, penduduk dataran tinggi yang bergantung pada hasil hutan di Kalimantan Selatan,
dan rakyat petani lahan kering di Madura), lihat Tabel 1.
Tabel 1. Lokasi Penelitian
JAWA LUAR JAWA
Pedesaan Perkotaan Pedesaan Perkotaan
Mata pencaharian Rakyat daerah padat di Mata pencaharian Komunitas kota kecil
berdasarkan pertanian kota besar pertanian hutan dan
irigasi dataran tinggi
Desa Kertajaya, Kelurahan Simokerto, Desa Paminggir, Kelurahan Antasari,
Kabupaten Subang, Jawa Kecamatan Simokerto, Kecamatan Danau Kecamatan Amuntai
Barat Kabupaten Surabaya, Panggang, Kabupaten Tenggah, Kalimantan
Jawa Timur Hulu Sungai Utara, Selatan
Kalimantan Selatan
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
1
16. Mata pencaharian Masyarakat miskin Penduduk yang bekerja Rakyat kota kecil
pertanian lahan kering perkotaan sebagai nelayan di daerah
pantai
Suara Masyarakat Miskin
Desa Alaskokon, Kelurahan Soklat, Desa Bajopulau, Kelurahan Jatibaru,
Kecamatan Modung, Kecamatan/Kota Subang, Kabupaten Sabe, Nusa Kota Bima, Nusa Tenggara
Kabupaten Bangkalan, Jawa Barat Tenggara Barat Barat
Madura
Penelitian didasarkan pada kerangka analisis partisipatif, diskusi kelompok terfokus (focus group discussions atau
FGD) baik untuk laki-laki maupun perempuan. Diskusi ini juga disertai dengan wawancara mendalam dengan
individu terpilih untuk studi kasus, yang berjumlah sekitar 450 masyarakat miskin. Temuan ini juga mencantumkan
pandangan para dokter dari puskesmas di empat kecamatan, bidan di enam desa, dua petugas kesehatan, empat
dukun beranak, tujuh guru sekolah dasar, dan tiga guru sekolah menengah. Daftar mengenai mutu layanan meliputi
layanan yang diberikan di 16 kelas sekolah dasar, delapan kelas sekolah menengah, rumah empat dukun beranak
dan dua bidan di desa, enam puskesmas dan puskesmas pembantu di kecamatan. Pengamatan juga dilakukan
terhadap dua Penyedia Air Independen Skala Kecil (PISK) untuk fasilitas pengisian dan penyediaan, 16 fasilitas
sanitasi sekolah dan 23 fasilitas sanitasi rumah tangga. Seluruh tim bekerja di lapangan selama 42 hari antara bulan
Oktober dan November 2005.
1.2. Metodologi: Identifikasi dan Pelibatan Masyarakat Miskin
Dalam setiap musyawarah masyarakat miskin sangat mudah terabaikan. Mereka yang berada pada tangga sosial
terendah, jarang menghadiri pertemuan warga: mereka tidak bisa menyisihkan waktu kerja mereka dan sering tidak
diundang dalam acara tersebut. Pengalaman masa lalu membuat masyarakat miskin sulit untuk percaya pada pihak
luar. Mereka dapat berbicara dengan leluasa tentang pengalaman mereka — pengalaman yang sering kali sangat
berbeda dengan versi yang sudah “dipermak” dan dikumandangkan para pemimpin. Para peneliti dilengkapi dengan
perangkat analisis partisipatif dan penelitian kualitatif (digambarkan pada Lampiran 1, hal. 1-4) yang dirancang untuk
mengatasi hambatan komunikasi seperti yang digambarkan di atas dan mengumpulkan pandangan, penilaian, dan
pengalaman masyarakat miskin.
Empat tim peneliti yang masing-masing terdiri dari empat orang, melakukan penelitian selama empat hingga lima
hari di tiap komunitas. Setiap tim terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat
atau kelompok akademis, setiap tim melakukan pembahasan dengan kelompok laki-laki dan perempuan. Mereka
menjelaskan tujuan penelitian, pertama kepada para pemimpin formal dan kemudian kepada masyarakat miskin.
Minat warga di setiap lokasi sangat tinggi. Sebelumnya tidak pernah ada yang menanyakan kepada masyarakat
miskin tentang pendapat mereka mengenai layanan publik. Pada awalnya mereka heran, tapi kemudian lebih
ekspresif dalam memberikan penilaian dan penjelasan. Ketika penelitian berkembang, perangkat analisis visual
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
2
17. menarik perhatian peserta dan jumlah kehadiran mereka meningkat. Tidak ada insentif yang ditawarkan kepada
peserta dan juga tidak ada yang membutuhkan. Pembahasan grup mirip kegiatan sosial biasa yang menyenangkan
dan berlangsung hingga larut malam.
Suara Masyarakat Miskin
1.3. Profil Kesejahteraan dan Kemiskinan Setempat
Untuk informasi rinci tentang lokasi dan kemiskinan, lihat Lampiran 2, hal. 5-11. Yang menarik untuk dicatat adalah
perbedaan antara derajat kemiskinan yang dibuat penduduk setempat lokal dengan standar resmi.
PAMINGGIR: Paminggir, sebuah desa terpencil yang terdiri dari 333 rumah tangga di Kecamatan Danau Panggang,
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, diklasifikasikan sebagai “desa tertinggal” oleh program pemerintah
Inpres Desa Tertinggal. Setengah dari jumlah rumah tangga tersebut tergolong miskin, menurut standar lokal. Tingkat
kesejahteraan diukur atas dasar kepemilikan, seperti kapal, peralatan menangkap ikan, kolam ikan, dan jumlah
kerbau. Sebaliknya, masyarakat miskin didefinisikan berdasarkan apa yang mereka tidak miliki. Desa ini hanya bisa
dicapai dengan kapal selama dua hingga enam jam dari ibukota kabupaten. Masyarakat sangat bergantung pada
sungai baik untuk mata pencaharian – menangkap ikan – maupun sebagai transportasi. Kondisi tanah berawa, tidak
cocok untuk pertanian. Curah hujan tinggi dan sering dilanda banjir. Penduduk di desa ini memiliki: satu sekolah
dasar negeri, satu sekolah menengah, dan satu puskesmas pembantu yang buka dua atau tiga hari dalam seminggu.
Bidan di desa terdekat berjarak enam kilometer, puskesmas terdekat 14 kilometer dan sulit dijangkau. Desa ini tidak
memiliki sumber air bersih dan fasilitas sanitasi. Paminggir baru menerima sambungan listrik PLN pada tahun 1999.
BAJO PULAU: Bajo Pulau merupakan sebuah desa kecil dengan 380 rumah tangga di sebuah pulau seluas
91 hektar, jauh dari tepi pantai Sumbawa, Kecamatan Sape, Nusa Tenggara Barat. Kebanyakan rumah tangga
bergantung pada mata pencaharian menangkap ikan. Pada dua dekade lalu, mereka menggunakan bahan peledak
dan potasium sianida untuk menangkap ikan. Sejak tahun 1987, mereka fokus pada budidaya lobster dan mutiara,
yang memberikan penghasilan lebih baik. Di sini hanya ada sedikit infrastruktur; tidak ada puskesmas atau praktik
dokter swasta di pulau ini. Air bersih harus dibawa dari pulau lain. Ada tiga sekolah dasar yang terlantar, yang hanya
berfungsi dua sampai tiga jam sehari. Guru-guru sekolah dan bidan di desa tidak tinggal di pulau ini sehingga
mereka jarang ada ketika diperlukan.
ALAS KOKON: Desa ini terdiri dari 508 rumah tangga di Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Modung, di Pulau
Madura. Desa ini memiliki tingkat kemiskinan 46% menurut peta kemiskinan BPS, dan 80% menurut kriteria BKKBN.
Berdasarkan standar lokal, mereka merasa berada pada tingkat kemiskinan 67%. Rumah tangga bergantung pada
pertanian musiman lahan kering (jagung, kacang kedelai, cabai, kacang polong, dan tanaman musiman seperti
mangga, pisang dan kapuk). Alas Kokon memiliki satu sekolah dasar negeri dan satu sekolah dasar swasta. Ada
sebuah puskesmas pembantu dan polindes yang berjarak tujuh kilometer. Air bersih yang tersedia di dalam sumur
terbatas secara kuantitas dan sanitasi rendah.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
3
18. KERTAJAYA: Para petani menanam padi lima ton perhektar di lahan subur Jawa Barat desa Kertajaya, Kabupaten
Subang, Kecamatan Binong. Dari 1.159 rumah tangga, hanya 197 rumah tangga yang memiliki tanah; tidak satu
pun masyarakat miskin (63 persen dari populasi) yang memiliki tanah. Desa ini memiliki akses yang bagus terhadap
pasar. Mereka dapat dengan mudah pergi ke Subang, kota kabupaten, dengan bus atau ojek. Rumah orang kaya
Suara Masyarakat Miskin
di jalan utama memiliki sambungan air PDAM, sisanya termasuk masyarakat miskin menggunakan sumur galian.
Puskesmas berjarak lima kilometer; dan terdapat seorang bidan di desa. Kertajaya memiliki dua sekolah dasar negeri
dan satu sekolah dasar swasta.
ANTASARI: Kelurahan di perkotaan di Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, memiliki tingkat
kemiskinan lebih dari 30 persen (BKKBN). Penduduknya merupakan campuran dari berbagai suku dari Kalimantan dan
Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Kelurahan ini memiliki 1.243 rumah tangga yang terlibat dalam berbagai perdagangan
dan bidang jasa. Masyarakat miskin di Antasari kebanyakan bekerja sebagai buruh upahan di pasar, bidang konstruksi,
dan nelayan musiman di sungai. Desa ini memiliki dua sekolah dasar negeri, satu sekolah menengah negeri, dan satu
puskesmas. Walaupun PDAM menyediakan saluran pipa air ke rumah warga yang tergolong mampu, masyarakat
yang miskin tidak mendapatkan sambungan.
JATIBARU: Kelurahan ini terletak di kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang sering mengalami banjir. Mata
pencaharian penduduk yang berjumlah 1.886 rumah tangga perkotaan/pedesaan beragam. Pada musim tanam,
masyarakat miskin menjadi buruh tani di sawah di sekitar kota Bima. Pada musim lainnya mereka mengumpulkan
dan menjual kayu bakar atau bekerja sebagai penjual atau buruh harian di tempat pembakaran batu bata dan pabrik.
Jatibaru memiliki lima sekolah dasar negeri, dua sekolah menengah negeri, dan satu Puskesmas Pembantu dengan
tiga orang petugas kesehatan; sebuah Puskesmas dan sebuah rumah sakit umum yang berjarak dua kilometer.
Masyarakat miskin memperoleh air dari sumur galian tanpa penutup dan sumur galian dangkal. Ada sistem pipa
air yang dibangun oleh CARE perlu diperbaiki: “Penduduk tidak punya dana untuk memperbaikinya” adalah alasan
yang dilaporkan.
SIMOKERTO: Simokerto, sebuah kelurahan di Kecamatan Simokerto, Kabupaten Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Kelurahan ini, 10 kilometer dari Surabaya, terletak di tengah daerah komersial dan industrial, memiliki tingkat
kemiskinan 90% (BKKBN). Ada sedikit kesamaan sosial dari penduduknya yang berjumlah sekitar 3.500 rumah tangga.
Beberapa tinggal sebagai penghuni liar di tanah samping rel kereta api. Masyarakat miskin berjuang untuk bertahan
hidup dengan melakukan berbagai pekerjaan. Tidak ada layanan kesehatan di Simokerto, tetapi di wilayah ini ada
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Simokerto memiliki delapan sekolah dasar negeri, dua sekolah dasar swasta
dan sebuah sekolah menengah atas swasta. Sekolah menengah pertama terdekat berjarak tiga kilometer. Tidak
banyak penduduk mampu yang memiliki sambungan PDAM. Sisanya membeli air bersih dari penjual. Masyarakat
miskin kebanyakan menggunakan air sumur galian. Beberapa rumah memiliki fasilitas sanitasi yang tidak baik yang
pembuangannya langsung ke selokan dengan air mengalir hitam. Masyarakat miskin yang menjadi penghuni liar
tidak memiliki akses sanitasi selain satu WC umum.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
4
19. SOKLAT: Soklat adalah sebuah kelurahan yang terdiri dari 2.881 rumah tangga, 54 persen dari rumah tangga
tersebut miskin (kriteria lokal) di Kecamatan dan Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, tiga kilometer dari ibu kota
kecamatan. Walaupun diklasifikasikan sebagai perkotaan, daerah ini memiliki sawah irigasi dan sekitar 40 persen dari
pendapatan rumah tangga miskin diperoleh dari upah buruh tani. Yang lainnya bekerja di bidang pembangunan
Suara Masyarakat Miskin
(konstruksi), toko atau penjual dengan gerobak. Banyak rumah tangga miskin yang mengirim tenaga kerja ke luar
negeri. Agen-agen secara teratur mengunjungi desa ini untuk merekrut orang dan memberikan pinjaman untuk
biaya perjalanan, dengan demikian mengikat mereka pada perjanjian yang eksploitatif.
2. Layanan Pendidikan yang Diperuntukkan bagi
Masyarakat Miskin
2.1. Sekolah Dasar: Tidak Sepenuhnya Gratis – Walaupun Ada Bantuan
Pemerintah
Kurangnya pendidikan merupakan fakta adanya masyarakat miskin di Indonesia. Enam dari delapan lokasi,
masyarakat miskin mempunyai karakteristik kemiskinan sebagai: “Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sering
tidak terdaftar di sekolah dasar/tidak menyelesaikan sekolah dasar/hanya berhasil menyelesaikan sekolah dasar.”
Di bulan Juli 2005, pemerintah Indonesia berjanji untuk menyediakan pendidikan dasar sembilan tahun untuk
semua anak-anak usia sekolah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Meskipun demikian, masyarakat miskin
tetap harus membayar uang pangkal sekolah yang besar (kadang disebut sebagai biaya gedung), terutama di Jawa
(lihat Lampiran 3, Tabel 3.1).
Walaupun murid-murid dilaporkan tidak lagi membayar uang sekolah bulanan (yang berkisar antara Rp.2.000 dan
Rp.17.000 sebulan), biaya untuk pembelian uang buku, seragam, pelajaran komputer, ujian, dan ijazah bisa mencapai
Rp.100.000 – Rp.150.000 per anak per tahun. Biaya tambahan yang “terselubung” meliputi sepatu (diharuskan oleh
beberapa sekolah), tas sekolah, makanan ringan, dan sebagainya (lihat Lampiran 3, Tabel 3.1).
Pilihan Utama: SDN
Masyarakat miskin lebih menyukai sekolah negeri. Sebagian besar lokasi, ada beberapa pilihan antara sekolah dasar
yang dikelola pemerintah (Sekolah Dasar Negeri atau SDN), dan ada juga sekolah Islam yang dikelola penduduk
(Madrasah Ibtidaiyah). Di tujuh lokasi, sekolah dasar yang dipilih oleh kebanyakan masyarakat miskin adalah SDN.
Alasan yang diberikan oleh masyarakat miskin dalam membuat pilihan ini adalah:
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
5
20. • SDN berada dekat rumah; tidak ada biaya transportasi; anak-anak bisa pergi sendiri; tidak perlu menyeberang
jalan utama.
• SDN gratis bagi masyarakat miskin.
• Guru-gurunya bagus; anak-anak bisa belajar banyak hal di SDN. Di Madrasah mereka hanya mendapat pelajaran
Suara Masyarakat Miskin
agama.
• Anak-anak yang menyelesaikan SDN menerima ijazah.
Penduduk Alas Kokon di Madura lebih menyukai Madrasah daripada SD Negeri. Alasan orang tua untuk pilihan ini adalah:
• Madrasah tidak mengharuskan seragam yang mahal.
• Guru-guru lebih disiplin dan menetap di Madrasah. Guru SDN sering kali absen/tidak disiplin.
• SDN hanya mengajarkan anak-anak untuk membaca, menulis dan berhitung. Di Madrasah mereka juga belajar
agama dan membaca Al Qur’an.
Laki-laki dan perempuan masyarakat miskin umumnya menganggap bahwa manfaat pendidikan dasar di sekolah
umum melebihi biaya yang harus dikeluarkan (lihat Gambar 1 dan Lampiran 3, Gambar 3.1 dan 3.2). Selanjutnya,
biaya pendidikan itu merupakan hambatan besar terutama jika memiliki beberapa anak.
Tingkat kepuasan bergantung pada mutu guru dan derajat keterbukaan masalah keuangan antara sekolah dengan
orang tua (lihat Kotak 1).
Beban Biaya Tambahan
Masyarakat miskin merasa dibebani oleh biaya sekolah, (“Mengapa buku harus diganti setiap semester?”), (“Mengapa
tidak menggunakan buku yang bisa dipakai sepanjang tahun?”), (“Mengapa buku sekolah harganya mahal?”), (“Mengapa
kami dikenakan biaya untuk ijazah?”) adalah pertanyaan yang terus-menerus ditanyakan. Biaya masuk dan ijazah
yang belum dibayar menumpuk. Ijazah yang ditahan oleh sekolah menjadi beban tambahan bagi mereka yang
tidak mampu memenuhi kewajiban. Hal ini lalu menimbulkan kekecewaan dan pertentangan di antara para orang
tua dan pengelola sekolah. Bahkan, kepala dusun di Simokerto juga memiliki kesulitan membayar uang pendaftaran
(biasanya para kepala dusun lebih mampu secara finansial dibanding anggota masyarakat lainnya). Hanya satu dari
tiga anaknya yang telah menerima ijazah sekolah setelah melunasi pembayaran biaya sebesar Rp.750.000, yang kira-
kira setara dengan penghasilan keluarga miskin di sana selama tiga setengah bulan.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
6
21. Gambar 1. Proporsi pilihan pada layanan pendidikan dasar
Pandangan Perempuan Pandangan Laki-laki
Suara Masyarakat Miskin
14%
22%
78%
86%
SD Negeri Madrasah Ibtidaiyah
Biaya pendidikan di SDN sangat beragam pada lokasi penelitian (lihat Lampiran 3, Tabel 3.1). Di Paminggir (Kalimantan
Selatan), sekolah hampir gratis kecuali untuk biaya pendaftaran dan ijazah lulus sekolah; di perkampungan kumuh
Surabaya, biaya pendaftaran dan buku mencapai Rp.830.000.5 Di lokasi di Jawa Barat, para orang tua membayar 10
- 15 kali lebih besar daripada di tempat lain untuk mendapatkan ijazah lulus sekolah dasar. Di Soklat, responden
laki-laki mengeluhkan bahwa walaupun telah membayar Rp.68.000, mereka tetap tidak menerima ijazah. (Sebagai
perbandingan, Madrasah Ibtidaiyah yang dikelola swasta mengenakan biaya hanya Rp.5.000 – Rp.10.000 per
bulan).
Kotak 1. Biaya-biaya Tanpa Penjelasan
Kami dengar di SD Cibarola, ketika akan membagikan Ijazah, semua orang tua diundang ke sekolah dan diinformasikan bahwa biaya untuk
menebus ijazah adalah Rp. 60.000 para orang tua itu juga mendapat rincian untuk apa saja uang sebesar Rp. 60.000 itu. Namun, di SDN Desa
Samsi kami, orang tua murid, tidak pernah mendapat informasi ataupun diundang ke pertemuan apapun, Saya sudah menyumbang beber-
apa kali, dan jumlahnya sekitar Rp. 68.000. Ketika saya bertanya kepada kepala sekolah “kenapa jumlahnya lebih besar dari SD Cibarola?” saya
diabaikan. Kemudian, hingga saat in ijazah anak saya juga masih ditahan. Setiap kali saya tanya, beliau selalu menjawab “nanti, nanti….”
Ayah seorang anak yang hanya menyelesaikan sekolah dasar, Soklat, Jawa Barat
5 Biaya pendaftaran dan biaya gedung berkisar dari Rp.50.000 – Rp.100.000 per anak di lokasi perkotaan NTB dan pedesaan Jawa Barat. Biaya-biaya
ini, yang dapat dibayar dengan cicilan, dilaporkan menyebabkan banyak murid yang keluar. Sebagai tambahan, pengulangan biaya-biaya selain
uang sekolah (buku-buku, uang komputer, seragam, tas dan sepatu, dan sebagainya) berkisar Rp.100.000 – 150.000 per tahun.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
7
22. 2.2. Layanan Pendidikan Sekolah Menengah
“Gratis? Apanya yang gratis? Memang kami tidak perlu membayar iuran bulanan sekarang, namun kami harus
mengeluarkan uang untuk membeli buku dan seragam, dan membayar uang gedung. Sebelumnya kami hanya
Suara Masyarakat Miskin
membayar Rp.10.000 – Rp.20.000 setiap bulan. Sekarang kami harus membayar Rp.200.000 pada awal tahun.”
Penjual sayuran, ibu dari dua anak sekolah di Jakarta,
The Jakarta Post, 17 Juli 2005
Sekali Lagi, Biaya Tambahan Menjadi Masalah
Sekolah Menengah Pertama Negeri merupakan beban utama secara finansial bagi keluarga miskin. Rumah tangga
miskin berusaha untuk mengirim setidaknya satu anak ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Sekolah
Menengah Pertama (SMP) — namun jarang bisa menanggung biaya untuk menyekolahkan semua anak.
Hanya tiga anak dari desa Kertajaya yang melanjutkan pendidikan hingga ke sekolah menengah – dan itu adalah
sekolah pesantren di luar desa. Bajo Pulau tidak memiliki sekolah menengah dan tidak ada anak yang dikirim untuk
bersekolah di luar desa.
Di daerah perkotaan Jatibaru, Simokerto dan Soklat, para responden mendaftarkan paling tidak satu anak di SMP
atau Madrasah – mana saja yang ada dan tidak terlalu jauh dari rumah. Mereka lebih menyukai Madrasah karena
tidak ada uang pangkal atau biaya gedung. Biaya masuk, pendaftaran, dan gedung tidak tetap, berkisar antara
Rp.200.000 – Rp.600.000 (lihat Lampiran 3, Tabel 2). Sekolah mengenakan biaya sesukanya, tergantung pada reputasi
dan popularitas mereka — dengan alasan, biaya tersebut digunakan untuk pelajaran tambahan atau fasilitas yang
ditawarkan. Dilaporkan, pengenaan biaya tersebut tidak memiliki dasar hukum.6 Ada pernyataan warga Kertajaya
yang membuat putus asa orang tua murid: “Untuk masuk SMP Negeri memerlukan setidaknya Rp.1,5 juta. Selain itu,
masih ada biaya transportasi, makan, dan sebagainya. Siapa yang sanggup?”
Sekolah Umum Paling Populer, tetapi Sekolah Islam juga Penting
Pesantren atau sekolah Islam lainnya (Madrasah Tsanawiyah) lebih banyak dipilih dibanding SMP, oleh 37 persen
laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini, dan merupakan pilihan populer di dua lokasi, Alas Kokon dan Antasari
(lihat Lampiran 3, Gambar 3.3). Kertajaya dan Bajo Pulau tidak memiliki sekolah menengah pertama dan sisanya,
empat lokasi memilih SMP yang ada di daerah tersebut.
Di Alas Kokon dan Antasari, para orang tua yang menyekolahkan anak mereka di Madrasah Tsanawiyah (sekolah-
sekolah agama yang dikelola Departemen Agama) tampaknya cukup puas. Di Alas Kokon, sekolah mengenakan
biaya Rp.1.500 perbulan; di Antasari, biaya tahunan Rp.100.000, tetapi tahun ini semua anak menerima bantuan
6 Menurut Direktur Pusat Reformasi Pendidikan Universitas Paramadina, Hutomo Danangjaya, sekolah-sekolah negeri tidak memerlukan dana tam-
bahan untuk pemeliharaan gedung karena mereka sudah memiliki gedung yang terawat baik. Jakarta Post, 17 Juli 2005.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
8
23. finansial. Ini adalah sebuah “sekolah” percontohan. Sekolah tersebut menawarkan fasilitas yang lengkap sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan.
SMP di Paminggir (Kalimantan Selatan) gratis, namun mutu fasilitas dan pendidikan sekolah rendah. Biaya SMP di
Suara Masyarakat Miskin
Jawa dan NTB jauh lebih tinggi (Rp.400.000 – 600.000) (lihat Lampiran 3, Tabel 3.2).
Jika harus membayar uang sekolah, masyarakat miskin menganggap bahwa SMP Negeri tidak menawarkan
layanan yang sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan, tidak seperti Madrasah Tsanawiyah. Warga perempuan
khususnya, merasa tidak puas karena (lihat Lampiran 3, Gambar 3.4 dan 3.5):
• SMP berada jauh dari rumah – biaya transport tinggi/tidak berada di jalur kendaraan umum.
• SMP biayanya mahal. Selain itu, selain itu juga dikenakan biaya lain sebesar Rp.450.000 untuk mendapatkan
ijazah lulus (Simokerto).
• Ruang kelas dibagi dengan sekolah dasar (Jatibaru).
Kurangnya Sekolah Menengah Berarti Anak-anak Perempuan Harus Menikah
Kehidupan anak perempuan berubah drastis jika sekolah menengah tidak dapat dijangkau, baik karena jarak yang
jauh maupun karena biaya. Dalam keadaan demikian, anak perempuan akan segera menikah setelah lulus sekolah
dasar dan hamil pada saat mereka baru saja memasuki masa puber (lihat Kotak 2). Kematian ibu dan bayi, serta bayi
lahir cacat, biasa terjadi pada kehamilan seperti itu.
Kotak 2. Menikah pada usia 13 tahun, melahirkan di usia 14 tahun — satu-satunya pilihan setelah sekolah dasar
Pada 15 September 2005, di desa Alas Kokon di Madura, para peneliti bertemu dengan Nurhayati yang berusia 14 tahun. Dia baru saja mela-
hirkan anak pertamanya, setelah tiga hari tiga malam mengalami kesulitan persalinan. Awalnya dia dibantu oleh dukun beranak setempat,
namun kemudian bidan di desa harus dipanggil untuk menolong. Untung kali ini nyawanya tertolong. Karena tidak ada sekolah menengah
di desa ini, setiap anak perempuan langsung menikah setelah lulus sekolah dasar. Kehamilan di usia muda tidak dapat dihindari, ini berarti
kemungkinan angka kematian akan semakin tinggi. Bagaimana Nurhayati dan anak-anak perempuan muda lainnya bisa diberdayakan untuk
mendapatkan kontrol atas badan dan hidup mereka?
Laporan Lokasi, Alas Kokon, Madura
2.3. Mutu Layanan – Pandangan Pelaksana Layananan
Pandangan Guru Sekolah Dasar
Di tujuh lokasi, para peneliti menemui dan mewawancarai guru di sekolah dasar negeri. Di Paminggir, penjaga
malam menggantikan posisi guru yang sering absen.
Guru di sekolah dasar di daerah pedesaan menyatakan bahwa mereka tidak bisa memberikan pendidikan yang
bermutu. Sekolah hanya memiliki dua atau tiga ruang kelas untuk dipakai oleh enam kelas. Gedung sekolah dalam
kondisi buruk, namun laporan ke Departemen Pendidikan tidak membawa hasil apapun. Sekolah pedesaan di
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
9
24. daerah terpencil, seperti Paminggir dan Bajo Pulau, sulit mempertahankan guru karena kurangnya layanan yang
mendasar seperti air bersih dan sanitasi.
Para guru mengatakan bahwa anak-anak cenderung putus sekolah dan bekerja, begitu mereka mendapat
Suara Masyarakat Miskin
keterampilan dasar baca tulis dan berhitung. Orang tua tidak melihat keuntungan dari pendidikan lebih lanjut bagi
anak-anak mereka. Kadang sekolah menyediakan insentif, seperti biaya untuk transportasi atau seragam bekas untuk
mendorong anak-anak dari keluarga miskin agar tetap datang ke sekolah.
Pandangan guru sekolah dasar di perkotaan jauh lebih baik. Mereka percaya bisa memberikan layanan yang baik
untuk murid dari keluarga miskin, sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Mereka menceritakan bahwa banyak
murid miskin di sekolah mereka, dan sekolah memberikan beasiswa serta menggalang dana untuk membayar
seragam, alat tulis, dan kegiatan ekstra kurikuler untuk murid miskin. Di Antasari dan Jatibaru, mereka mengatakan
bahwa para orang tua mengetahui mutu sekolah dan upayanya mendukung masyarakat miskin. Guru di dua sekolah
dasar di perkotaan mengatakan untuk murid miskin yang tidak memiliki buku pelajaran, menyarankan sekolah agar
meminjamkan buku kepada murid miskin.
Penilaian para pendidik dan orang tua kadang jauh berbeda. Kepala sekolah dasar di Soklat memuji mutu pendidikan
di sekolahnya “200 persen.” Dia menjelaskan bahwa pengelola sekolah sering berinteraksi dengan para orang tua,
menjaga transparansi dana, dan mengijinkan orang tua miskin membayar uang sekolah dengan mencicil. Orang
tua murid yang miskin tidak setuju, dan mengeluh bahwa ijazah lulus sekolah ditahan serta informasi tentang
pencabutan uang sekolah tidak pernah dipublikasikan.
Pandangan Guru Sekolah Menengah
Peneliti mewawancarai guru-guru sekolah menengah negeri di Soklat, Jawa Barat dan Antasari Kalimantan Selatan.
Di Paminggir, kepala desa menjadi guru sukarela, menggantikan guru pegawai negeri yang absen.
Guru di Soklat berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat sepenuhnya gratis. Sekolahpun menyadari kemampuan
ekonomi orang tua murid, untuk itu sekolah mengijinkan mereka membayar uang pendaftaran/biaya gedung
dengan cara mencicil. Menurutnya, masalah biaya pendidikan terlalu dibesarkan: “Jika saja mereka mengurangi satu
batang rokok sehari, kemungkinan dapat menyimpan uang untuk membayar biaya pendidikan sebesar Rp.15.000
perbulan.”
Kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah, sekolah percontohan di Antasari, mengatakan dana pemerintah cukup
untuk menutup semua biaya keperluan sekolah termasuk materi pelajaran lain dan ekstrakurikuler bagi murid yang
dikategorikan miskin. Orang tua miskin memberi nilai tinggi untuk mutu sekolah yang besar ini, yang memiliki tujuh
dari delapan kelas untuk setiap jenjang kelas, dengan total 23 ruang kelas. Sekolah ini dibiayai oleh Departemen
Agama.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
10
25. 2.4. Hasil Pengamatan dan Kesimpulan
Sekolah Dasar – Kualitas Pelayanan
Suara Masyarakat Miskin
Hanya sekolah dasar negeri yang diamati
Sekolah di pedesaan dinilai dalam kondisi buruk, sehingga mutu layanan secara signifikan lebih rendah daripada
sekolah di perkotaan.
Walaupun semua sekolah dasar dirancang untuk Kelas 1 sampai dengan 6, sekolah di pedesaan hanya memiliki
dua atau tiga ruang kelas, sehingga beberapa kelas harus dikelompokkan bersama. Tidak satupun sekolah dasar
pedesaan yang memiliki air bersih. Separuh sekolah tidak memiliki fasilitas sanitasi. Fasilitas sanitasi di sekolah lain
tidak dapat digunakan. Tidak satu sekolahpun memiliki sambungan listrik atau perpustakaan. Tiga sekolah memiliki
atap yang rusak.
Tingkat kehadiran dalam satu hari pengamatan di empat sekolah pedesaan berkisar antara 28 hingga 92 persen.
Ruang kelas berdebu dan kotor, dengan lantai rusak, namun ada cukup banyak kursi, ventilasi, dan cahaya matahari.
Papan tulis merupakan satu-satunya perangkat mengajar di ruang kelas. Tidak ada hasil karya murid yang dipajang
di dinding. Sering kali, murid ditinggalkan sendirian di ruang kelas tanpa guru. Tingkat disiplin rendah.
Guru tidak tinggal di desa melainkan datang dan pergi dari daerah perkotaan, dan sering terlambat atau tidak hadir.
Alasan mereka: kurangnya air bersih dan layanan sanitasi (Bajo Pulau, Paminggir, Alas Kokon), lihat juga Kotak 3.
Pada murid di kelas yang diamati hanya kurang dari seperempat yang memiliki buku pelajaran dan alat tulis;
pengajar menunjukkan kemampuan mengajukan pertanyaan yang terbatas dan tidak melakukan interaksi dengan
murid-murid, selain itu, tidak ada murid yang bertanya di kelas manapun. Para guru menunjukkan tidak ada bias
jender dalam menghadapi murid-murid, dan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah.
Kotak 3: Tidak ada air bersih sama dengan tidak ada guru sekolah dan petugas kesehatan
Pak Sahrul, penjaga sekolah/guru pengganti sekolah dasar negeri di Paminggir mengatakan guru negeri sering kali absen.
Lihat hasil wawancara
“Saya masuk kelas dan mengajar apa saja yang saya bisa ketika guru yang resmi tidak hadir,” tukasnya. “ Ini lebih baik daripada membiarkan
murid-murid membuang waktu mereka.”
Sahrul mengatakan guru tinggal di kota, jauh dari desa, walaupun mereka ada penginapan gratis. Paminggir tidak memiliki persediaan air
bersih dan setiap orang harus menggunakan air sungai untuk segala keperluan – masak, minum, cuci, mandi, demikian juga buang air besar.
Guru PNS dari kota tidak terbiasa dengan hal tersebut. Mereka kembali ke kota untuk mencuci dan sering terlambat memberitahukan kapan
bekerja kembali.
Laporan lokasi, Paminggir, Kalimantan Selatan
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
11
26. Kotak 4, menggambarkan mengapa murid dan orang tua tidak menghargai pendidikan sekolah dasar yang
disediakan di pedesaan di NTB.
Kotak 4: 92 Terdaftar tapi hanya 29 yang hadir
Tison berhenti dari sekolah dasar saat kelas lima untuk membantu keluarganya dengan bekerja sebagai operator kapal feri. Sekarang dia men-
Suara Masyarakat Miskin
dapat sekitar Rp.100.000 sebulan, dan memberikan sebagian besar pendapatannya kepada ayahnya.
Saat ditanya mengapa dia lebih menyukai bekerja daripada tetap berada di sekolah, Tison mengatakan, dia sudah belajar membaca, menulis
dan berhitung dan tidak mempelajari banyak hal lainnya. Guru datang dari daratan, tiba terlambat pada pukul 9 dan menyuruh anak-anak
pulang pada pukul 11. Sekolah bubar pada pukul 11. Kelas 2, 3, 4 dan 5, 6 digabung menjadi satu. Akibatnya, mereka susah diatur dan terlalu
banyak jumlahnya untuk dikendalikan. Sekeliling sekolah tampak suram: tidak ada fasilitas air atau sanitasi, tidak cukup kursi, dan atap bocor.
Bukan itu saja, Tison bosan.
Di pulau ini, anak lelaki umumnya berhenti sekolah antara kelas tiga dan lima, selebihnya anak perempuan yang terdaftar di sekolah. Pada hari
para peneliti mengunjungi sekolah, hanya 29 dari 92 anak yang hadir.
Laporan Lokasi, Bajo Pulau, NTB
Sekolah Dasar Perkotaan: Sebaliknya, sekolah di perkotaan secara signifikan lebih baik daripada rekan mereka di
pedesaan dalam hal fasilitas, dan proses mengajar.
Ilustrasi 1 : Perbedaan Perkotaan/Pedesaan: Keadaannyai baik di sekolah dasar negeri perkotaan, seperti yang di-
tunjukkan oleh kelas di Soklat, Jawa Barat (kiri) dan di Simokerto, Jawa Timur (kanan), sekolah ini memiliki perpus-
takaan.
Empat sekolah dasar perkotaan (SDN) semuanya memiliki air bersih yang dapat diandalkan. Fasilitas sanitasi, meskipun
ada dan berfungsi, sangatlah minim, dengan hanya satu atau dua WC untuk digunakan hingga 200 anak. Seluruh
sekolah memiliki sambungan listrik dan ruang kelas yang cukup, namun hanya dua yang memiliki perpustakaan dan
lapangan olah raga. Dua sekolah memberikan kelas komputer. Ruangan kelas yang diamati dalam keadaan bersih,
memiliki ventilasi yang bagus, dan dalam kondisi yang baik. Terdapat pelbagai perangkat ruang kelas seperti papan
tulis dan peta dinding, dan perangkat ini digunakan, kursi dan meja tersedia cukup untuk murid dan guru.
Tingkat kehadiran murid pada hari pengamatan tinggi, 87-100 persen di dua lokasi, secara signifikan anak perempuan
lebih sedikit daripada anak laki-laki.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
12
27. Kurang dari seperempat murid pada kelas-kelas yang diamati memiliki buku pelajaran, buku catatan dan bahan
pelajaran tertulis. Satu pengecualian untuk SDN Murungsari 2 di Antasari, Kalimantan Selatan, yang lebih dari tiga
perempat muridnya memiliki dan menggunakan alat-alat belajar.
Suara Masyarakat Miskin
Guru hadir di setiap kelas, mereka memiliki persiapan yang baik dan terampil dalam menyampaikan pelajaran dan
menarik perhatian murid. Akan tetapi, murid yang berani bertanya hanya terdapat di dua sekolah. Bahasa pengantar
adalah bahasa daerah dikombinasikan dengan Bahasa Indonesia. Mereka juga melakukan langkah-langkah untuk
memastikan pemahaman murid, tidak menunjukkan adanya bias jender. Di samping itu, guru mampu mengelola
kelas dengan baik.
Sekolah Menengah: Pengamatan
Secara umum, fasilitas yang tersedia dan proses pendidikan sekolah-sekolah menengah negeri mutunya jauh lebih
baik daripada di sekolah dasar negeri.
Pilihan sekolah menengah tersedia dan diamati di seluruh empat lokasi perkotaan, namun hanya satu terdapat di
lokasi pedesaan (SMP Negeri di Soklat, Simokerto, Jatibaru, Paminggir, dan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model di
Antasari).
Gedung sekolah merupakan bangunan permanen; ruang kelas
berada dalam keadaan bagus, sirkulasi udara baik, dan cukup
terang dengan sinar matahari. Seluruh sekolah di perkotaan
memiliki sambungan listrik dan persediaan air bersih. Sekolah di
pedesaan terpencil Paminggir memiliki air sungai yang dipompa
ke sekolah dan listrik yang diperoleh dengan menggunakan
generator. Dua dari lima sekolah terlihat memiliki perpustakaan.
Ilustrasi 2 : Ruang kelas di sekolah dasar negeri di pede- Di tiga sekolah, dua WC digunakan untuk 200-300 anak sehingga
saan Bajo Pulau yang hancur karena badai dan banjir keduanya cepat rusak. Di dua sekolah lainnya, enam sampai
delapan WC terpelihara dengan baik. WC murid terpisah dengan
WC guru bagi guru-guru.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
13
28. Sekolah menengah memiliki 6-23 ruang kelas di lokasi yang
berbeda. Kecuali di Jatibaru (Bima), mereka memiliki kelas yang
bersih dan dalam keadaan baik. Pada hari pengamatan, kelas
memiliki tingkat kehadiran di atas 92% di seluruh sekolah.
Suara Masyarakat Miskin
Kehadiran anak perempuan secara signifikan lebih banyak hadir
daripada anak laki-laki (lihat Tabel 2, di bawah). Alasannya tidak
jelas dan perlu pengamatan lebih jauh dari pihak yang
Ilustrasi 3 : Keadaan kelas di pedesaan yang tidak kondusif
berwenang.
untuk belajar. Pada sekolah dasar negeri di Alas Kokon,
kelas 2, 3, dan 4 digabung dalam satu ruang. Anak-anak
menghibur diri mereka sendiri – kadang-kadang mereka
bertengkar – karena tidak ada guru.
Ilustrasi 4 : Sekolah menengah negeri di perkotaan, Subang, Jawa Barat
Tabel 2. Pengamatan sekolah menengah di lokasi berbeda
Tingkat kehadiran di kelas yang diamati
Perempuan Laki-laki
Paminggir (Kalimantan Selatan) 23 15
Antasari (Kalimantan Selatan) 29 11
Jatibaru (NTB) 21 16
Simokerto (Jawa Timur) 35 8
Soklat (Jawa Barat) 21 23
Lebih dari tiga perempat murid memiliki buku catatan, pena atau pensil, kurang dari seperempat yang memiliki buku
paket. Guru kelas memiliki persiapan mengajar yang baik. Di dua lokasi, guru mengajar hanya dalam Bahasa Indonesia.
Di lokasi lain mengajar hanya dalam Bahasa Indonesia dan bahasa daerah
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
14
29. Kesimpulan
1. Mutu layanan pendidikan dasar di daerah pedesaan yang diamati sangat buruk. Kondisi infrastruktur sekolah
tidak menunjang kegiatan untuk belajar.
Suara Masyarakat Miskin
2. Menyediakan insentif untuk rumah tangga miskin agar melanjutkan pendidikan anak perempuan mereka ke
tingkat sekolah menengah, atau memudahkan anak perempuan melanjutkan ke sekolah menengah, merupakan
investasi penting untuk menunda kehamilan dini dan memberi mereka kesempatan yang lebih baik untuk
menentukan kehidupan mereka, serta meningkatkan pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
3. Ketidakhadiran guru merupakan masalah utama di daerah pedesaan yang kekurangan air bersih dan sanitasi.
Ini merupakan salah satu sebab guru dari daerah perkotaan tidak bersedia tinggal di desa. Bila mereka tidak
hadir, anak-anak dibiarkan keluar sekolah, tinggal di dalam kelas tanpa guru, atau diajar oleh guru pengganti
yang tidak terlatih dengan metode mengajar yang sangat buruk, dan tingkat pengetahuan yang tidak lebih dari
lulusan sekolah menengah.
4. Kurangnya sarana air bersih dan fasilitas sanitasi di sekolah dasar di pedesaan juga menyebabkan upaya
mengajarkan kebersihan di tingkat dasar menjadi sesuatu tidak mungkin. Anak-anak yang diamati memiliki
kebersihan yang rendah.
5. Sekolah dasar negeri di perkotaan lebih baik daripada sekolah dasar di pedesaan dalam hal infrastruktur,
kecuali untuk sanitasi. Sekolah dasar di perkotaan memiliki guru dengan keterampilan mengajar yang cukup
memuaskan. Kebanyakan murid kekurangan buku pelajaran.
6. Mutu infrastruktur dan pendidikan, sebagaimana mutu pengajaran pada sekolah menengah, jauh lebih baik
dibandingkan pada sekolah dasar. Namun hal ini memberi sedikit perbedaan bagi masyarakat miskin, karena
menurut penelitian, anak dari keluarga miskin jarang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari
sekolah dasar.
7. Dari seluruh sekolah yang diamati, SDN Murung Sari 2 dan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Sungai Malang,
keduanya di Antasari, tampaknya lebih menonjol dibanding sekolah lain, diikuti oleh SMP di Paminggir. Yang
menarik adalah sekolah tersebut ternyata memungut biaya paling rendah dan memberikan kesempatan
beasiswa kepada murid dari keluarga miskin. Ketiga sekolah ini berada di Kalimantan Selatan. Orang tua sangat
puas dengan sekolah tersebut, kemungkinan karena pemerintah setempat memiliki dedikasi yang lebih besar
dalam mendanai pendidikan bermutu bagi masyarakat miskin dibanding pemerintah dari daerah lainnya.
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
15
30. 3. Layanan Kesehatan: Pra-persalinan, Persalinan, dan
Layanan untuk Bayi
Suara Masyarakat Miskin
Tersedianya berbagai jenis layanan publik serta persepsi tentang nilai dan mutu layanan tersebut merupakan faktor
penentu apakah rakyat akan memilih terhadap kesehatan atau tidak. Biasanya, perempuan memilih berdasarkan
penyedia layanan tersebut, sementara pilihan laki-laki menentukan pilihan bereka berdasarkan besarnya-kecilnya
biaya (rata-rata Rp.10.000,-). Setiap pilihan sangat rasional, berdasarkan pertimbangan keuntungan dan biaya
sejauh dijangkau oleh masyarakat miskin. Kebijakan untuk meningkatkan layanan kesehatan kepada rakyat hanya
dapat efektif jika pembuat kebijakan semacam itu mampu memahami cara berpikir dan hal-hal yang melandasi
pengambilan keputusan mereka.
Selama tahun 1990-an, bidan di desa yang sudah terlatih diperkenalkan di seluruh Indonesia sebagai upaya untuk
menurunkan tingkat kematian ibu yang tinggi. Satu dekade kemudian, bidan di desa tampaknya tidak mengubah
kecenderungan masyarakat miskin untuk memilih menggunakan jasa dukun beranak yang juga memberikan
layanan pra-persalinan dan persalinan.
3.1. Layanan Pra-persalinan: Pilihan berbeda untuk lokasi geografis yang
berbeda
Sekitar 65 persen dari seluruh masyarakat miskin yang diteliti menggunakan penyedia layanan kesehatan rakyat
seperti bidan di desa, Puskesmas atau Puskesmas pembantu (Pustu), sementara 35 persen sisanya menggunakan
dukun beranak tradisional yang dikenal dengan pelbagai macam sebutan seperti dukun bayi, dukun beranak, sando,
paraji, bidan kampung (lihat gambar 2).
Dukun beranak merupakan pilihan paling populer di seluruh lokasi di luar Jawa. Di Jawa, baik pedesaan maupun
perkotaan, bidan desa atau Puskesmas/Pustu merupakan pilihan yang lebih disukai, kecuali di desa Alas Kokon di
Madura.
Pada umumnya, perempuan hamil atau anggota keluarga perempuan yang lebih tua memilih penyedia layanan
kesehatan pra-persalinan. Jumlah biaya yang dikeluarkan dan perbandingan biaya kedua layanan ini dapat dilihat
pada diagram di bawah ini (lihat Lampiran 3, Tabel 3.3).
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
16