Dokumen tersebut membahas sistem pengelolaan sampah mandiri yang dilakukan di Kampung Sukunan. Sistem ini melibatkan pemisahan sampah di rumah tangga berdasarkan jenisnya, pengumpulan sampah tersebut, penjualannya kepada pengepul sampah, serta pemanfaatan hasil penjualan untuk biaya operasional dan dana desa."
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
PENGELOLAAN SAMPAH SECARA MANDIRI
1. PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA
SECARA MANDIRI DAN PRODUKTIF
BERBASIS MASYARAKAT
KAMPUNG SUKUNAN, BANYURADEN, GAMPING,
SLEMAN, D.I.YOGYAKARTA
iswanto
Paguyuban Sukunan Bersemi
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekes Yogyakarta
Monash University Australia
2006
1
2. PENDAHULUAN
Sistem pengelolaan sampah swakelola di Sukunan dilatarbelakangi oleh
permasalahan sampah yang dialami oleh masyarakat khususnya kaum petani. Sukunan
berpenduduk sekitar 800 jiwa dengan 250 Kepala Keluarga (KK) yang menempati areal
kampung seluas 42 Ha dan terbagi menjadi 5 Rukun Tetangga (RT). Sebagian besar
KK-nya berpendidikan dan berpendapatan menengah ke bawah yang bekerja sebagai
buruh tani, tani, buruh bangunan, pedagang, usaha kecil rumahan (tempe, tahu, sujen,
emping mlinjo). Hanya sebagian kecil yang menjadi karyawan swasta, PNS dan TNI .
Pada tahun 2000, beberapa petani mulai mengeluh dengan semakin banyaknya
sampah plastik, kaca dan kaleng yang masuk ke lahan persawahan mereka. Secara nyata
sampah-sampah tersebut mengganggu dan merugikan petani. Tanaman padipun menjadi
rusak karena sampah. Plastik yang terbenam ke tanah menghalangi perakaran padi,
sehingga kesuburan dan hasil panen juga menurun. Pecahan kaca dan beling sering
mengakibatkan cidera/luka bagi petani saat mengerjakan sawahnya. Selain itu, petani
harus mengeluarkan waktu dan tenaga ekstra untuk membersihkan sampah dari
sawahnya. Petani yang selalu nrimo dan penuh kesederhanaan menjadi korban dari
orang yang membuang sampah sembarangan.
Seiring dengan perkembangan kota, Sukunan yang termasuk kampung di wilayah
perbatasan kota juga mengalami perubahan. Semakin bertambahnya penduduk dan
masuknya pendatang ke kampung Sukunan, semakin banyak pula rumah yang
dibangun. Akibatnya perumahan penduduk semakin padat dan pekarangan menjadi
sempit bahkan ada yang tidak memiliki halaman rumah lagi. Sampah yang dihasilkan
juga semakin banyak, sementara lahan yang biasanya dapat dipakai untuk membuang
sampah (pekarangan) tidak ada lagi. Mereka bingung harus menempatkan sampahnya
dimana. Mungkin kebingungan itu tidak akan terjadi apabila di Sukunan sudah ada
pelayanan sampah dari Pemerintah (Dinas Kebersihan) maupun swasta (penggerobak).
Tidak dapat dielakkan lagi, akhirnya masyarakat membuang sampahnya pada lahan-
lahan kosong milik orang lain atau di tepi jalan, bahkan juga di saluran irigasi dan
sungai. Sampah nampak berserakan dan mengganggu kenyamanan dimana-mana.
2
3. Kebiasaan membakar sampah secara bebas memang sudah membudaya di
masyarakat termasuk di Sukunan. Mereka belum menyadari bahwa jenis sampah saat ini
berbeda dengan sampah jaman dulu. Jenis-jenis sampah saat ini cenderung didominasi
oleh sampah sintetis kimia seperti plastik, karet, styrofoam, logam, kaca dan
sebagainya. Apabila sampah-sampah tersebut dibakar maka akan mengeluarkan gas-gas
beracun yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang menghirupnya dan
memperburuk kualitas lingkungan udara. Misalnya hasil pembakaran sampah plastik
menghasilkan gas dioxin yang mempunyai daya racun 350 kali dibandingkan asap
rokok. Dioxin termasuk super racun dan bersifat karsinogenik bila masuk kedalam
jaringan tubuh manusia terutama saraf dan paru-paru, sehingga dapat mengganggu
sistem saraf dan pernafasan termasuk penyebab kanker. Pembakaran styrofoam akan
menghasilkan CFC yang dapat merusak lapisan ozon dan berbahaya bagi manusia.
Kepraktisan merupakan salah satu alasan mengapa orang memilih barang-barang
sekali pakai. Mereka enggan menggunakan dan memanfaatkannya kembali walaupun
sebenarnya masih bisa dipakai berulang-ulang. Orang cenderung tidak mau repot–repot
untuk merawatnya. Kebiasaan tersebut sudah mulai menggejala di masyarakat. Selain
pemborosan, tentunya kegemaran itu berdampak pada pembengkakan produksi sampah.
Pemahaman masyarakat terhadap konsep 3R, yaitu reuse (memakai kembali
barang bekas yang masih bisa dipakai), reduce (berusaha mengurangi sampah) dan
recycle (mendaur ulang sampah agar dapat dimanfaatkan) juga masih rendah.
Akibatnya produksi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat semakin melimpah dan
menumpuk di mana-mana. TPA-TPA liar bermunculan dan menjamur dimana-mana.
Masyarakat umumnya menganggap bahwa semua sampah itu tidak ada gunanya,
kotor dan menjijikkan sehingga harus dibuang atau dilenyapkan dari pandangan mata.
Apapun caranya yang penting sampah tidak terlihat lagi. Banyak orang kemudian
membuang sampah di tempat yang jauh dari tempat tinggal/permukiman,
menghanyutkan di sungai, mengubur/menyembunyikan didalam tanah atau bahkan
membakarnya. Setiap menghasilkan sampah, orang ingin cepat-cepat membuang atau
melenyapkan. Bahkan penanganan sampah yang dilakukan Pemerintah secara umum
masih berorientasi konsumtif dan masih sebatas memindahkan sampah ke tempat lain
(TPA). Padahal keberadaan sampah di TPA lebih sering menimbulkan masalah bagi
masyarakat sekitarnya dan mencemari lingkungan (air, tanah dan udara).
3
4. Sampai sekarang, sepertinya Pemerintah juga belum berdaya mengendalikan
Perusahaan agar menggunakan bungkus/kemasan yang dapat didaur ulang (ramah
lingkungan). Hal ini dibuktikan dengan masih dibebaskannya Perusahaan memakai
bungkus/pengemas yang belum dapat didaur ulang. Misalnya menggunakan bungkus
plastik bergambar (full color) baik yang berlapis aluminium foil. Pengemas tersebut
sering dijumpai untuk bungkus makanan-minuman seperti kopi, susu, mie, snack, dan
bungkus aneka detergen. Styrofoam yang biasa sebagai pengemas makanan dan
pelindung barang elektronik juga belum didaur ulang. Keadaan semakin mencemaskan
ketika melihat fenomena di masyarakat yang menganggap seolah-olah kotak makanan
dari bahan styrofoam lebih modern dan lebih prestisius dibandingkan dengan kotak
makanan yang terbuat dari kertas (kardus) atau anyaman bambu (besek).
Seharusnya Pemerintah mulai mengatur perusahaan agar menggunakan bahan
pengemas yang dapat didaur ulang di Indonesia. Bagaimanapun, secara tidak langsung
perusahaan ikut andil dalam menghasilkan sampah. Sudah seharusnya perusahaan juga
diberi tanggung jawab terhadap pengelolaan bekas pengemas yang digunakannya.
Idealnya setiap ada jenis sampah tertentu harus diimbangi dengan perusahaan
yang dapat mendaur ulang jenis sampah tertentu itu. Misalnya Perusahaan A
menggunakan pengemas jenis plastik berlapis aluminium foil, maka harus ada
Perusahaan B yang dapat mendaur ulang bahan tersebut. Sehingga pengemas jenis
plastik aluminium foil yang telah dipakai (sampah) dapat didaur ulang kembali menjadi
pengemas baru atau barang lain oleh Perusahaan B. Apabila tidak tersedia dan tidak
terkendali, maka dapat dipastikan bekas pengemas itu akan betul-betul menjadi sampah
yang melimpah dimana-mana bahkan menumpuk di TPA, karena tidak ada orang yang
mau memungutnya. TPA akan semakin cepat penuh atau pendek umurnya. Betapa sulit
dan mahalnya mencari TPA baru, karena masyarakat cenderung menolak kehadiran
TPA di wilayahnya. Kalau tidak dicarikan solusi yang tepat tentunya kita tinggal
menunggu bom waktu meledaknya sampah di Indonesia.
Melihat berbagai persoalan tersebut di atas, menggugah semangat dan
mendorong warga Sukunan untuk mencari cara yang tepat dalam mengelola sampah.
Pengelolaan sampah dapat dinilai tepat apabila: 1) dapat dilakukan oleh masyarakat
sendiri (mandiri), 2) dapat memberikan keuntungan nyata bagi masyarakat (produktif),
4
5. 3) dapat menyelesaikan semua sampah (komprehensif), dan 4) tidak mencemari
lingkungan (ramah lingkungan).
Dalam rangka mencari penyelesaian masalah sampah secara tepat, maka tahun
2002 mulai dilakukan percobaan-percobaan pembuatan kompos secara sederhana pada
tingkat rumah tangga guna mengatasi sampah organik. Akhirnya dapat ditemukan
model pembuatan kompos dengan memakai gentong tanah. Ternyata kompos yang
dihasilkan lebih baik daripada memakai drum besi atau ember plastik.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa gentong dengan volume ± 100 liter dapat
menampung sampah organik yang dihasilkan dari keluarga dengan anggota 4 orang
selama 3 bulan. Sementara proses pengomposan secara alami berlangsung antara 2 – 3
bulan. Dengan demikian untuk menyelesaikan sampah organik pada setiap rumah
tangga diperlukan 2 buah gentong, yang masing-masing dapat menampung sampah
selama 2 – 3 bulan, dan dipakai secara bergantian.
Setelah menyelesaikan masalah sampah organik alami, pada tahun 2003
kegiatan dilanjutkan untuk mencari cara menyelesaikan masalah sampah lainnya
(organik sintetis dan anorganik). Studi lapangan ke beberapa tempat/pihak dilakukan,
antara lain ke Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) Kwarasan, Tambakboyo
dan Alun-alun Utara, ke TPA Piyungan, wawancara dengan pemulung dan beberapa
pengepul (lapak) sampah.
Dari kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa ternyata hampir semua sampah
dapat dimanfaatkan atau bernilai ekonomis setelah dilakukan pemilahan (dapat dijual).
Berarti seandainya sampah dipilahkan sejak dari rumah tangga (penghasil sampah),
maka yang dihasilkan bukan lagi berupa sampah lagi, tetapi berupa barang-barang yang
bernilai ekonomi. Apabila sampah-sampah yang dihasilkan dari setiap rumah tangga
tersebut kemudian dikumpulkan dan dijual, maka uang hasil penjualan sampah itu dapat
digunakan untuk membayar pengangkut/pengumpul sampah (biaya operasional),
bahkan kalau masih sisa dapat menambah kas kampung.
5
6. SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH MANDIRI
DI KAMPUNG SUKUNAN
Landasan berfikir dalam penyusunan sistem pengelolaan sampah ala Sukunan adalah
sebagai berikut :
1. Setelah dipisah-pisahkan sesuai jenisnya, ternyata hampir semua sampah (kertas,
logam, kaca, plastik) dapat dijual secara langsung (bernilai ekonomi).
2. Dalam pengelolaan sampah diperlukan biaya operasional untuk pengangkutan-
pengumpulan, penyortiran dan pengepakan terhadap jenis sampah khusus anorganik.
3. Untuk menekan biaya operasional pengangkutan dan penyortiran maka pemisahan
sampah harus dilakukan pada sumbernya (rumah tangga).
4. Karena sifat sampah organik yang mudah busuk, maka harus diatasi dan diproses
sampai menjadi kompos pada masing-masing rumah tangga.
5. Biaya operasional pengelolaan sampah dapat terpenuhi dari hasil penjualan sampah
dan produk-produk daur ulang sampah.
6. Dengan modal memisah-misahkan sampah sesuai jenisnya, masyarakat tidak perlu
membayar sampah.
7. Laba penjualan sampah setelah dikurangi biaya operasional dapat dimasukkan
kedalam kas kampung untuk dana pengembangan dan pembangunan.
Secara garis besar sistem pengelolaan sampah swakelola ala Sukunan meliputi
kegiatan sebagai berikut :
1. Setiap rumah tangga memisah-misahkan sampah sesuai jenisnya yaitu plastik,
kertas, kaca-logam dan organik. Sampah plastik, kertas, kaca-logam dimasukkan
kedalam kantong sendiri-sendiri, sedangkan sampah organik dimasukkan ke
gentong kompos.
2. Setelah kantong yang digunakan untuk menampung sampah plastik, kertas,logam-
kaca penuh, kemudian masing-masing rumah tangga membawa dan memasukkan
sampah tersebut kedalam tong-tong/drum sampah terdekat sesuai jenisnya pula.
3. Setelah tong sampah penuh akan diambil dan diangkut ke Tempat Penampungan
Sampah (TPS) kampung oleh Petugas.
4. Setelah masuk di TPS, dilakukan penyortiran lebih khusus lagi dan dilanjutkan
dengan pengepakan kemudian dijual ke Pengepul Sampah/Lapak (rekanan).
6
7. 5. Hasil penjualan sampah untuk biaya operasional (petugas/swasta) dan sisanya
masuk kas kampung.
6. Khusus untuk sampah organik, setelah menghasilkan kompos di rumah masing-
masing sebagian dikemas lalu dijual dan sebagian lagi dipakai sendiri untuk
penghijauan lingkungan rumah dan kampung.
7. Sedangkan sampah bungkus makanan, minuman dan deterjen (jenis sampah plastik
tebal baik yang berlapis aluminium foil maupun tidak berlapis) didaur ulang
menjadi kerajinan tangan seperti tas dan dompet. Selanjutnya hasil kerajinan tangan
tersebut dapat dipakai sendiri atau dijual.
BAGAN PENGELOLAAN SAMPAH ala SUKUNAN
RUMAH TANGGA
ORGANIK ORGANIK PLASTIK KERTAS LOGAM
BUNGKUS
I II KACA
KEMASAN
PLASTIK LOGAM
KERTAS
KACA KERAJINAN
TPS
KOMPOS KAMPUNG
PENGHIJAUAN
PENDAPATAN WARGA DIJUAL KAS KAMPUNG
LINGKUNGAN BERSIH, SEHAT & INDAH
7
8. Sementara untuk jenis sampah organik alami diproses secara sederhana menjadi
kompos dengan memakai 2 gentong kompos yang dipakai secara bergantian.
Diusahakan gentong yang dipakai dapat menampung sampah rumah tangga lebih dari 2
bulan. Mula-mula yang dipakai gentong I, setelah gentong I penuh (3 bulan) kemudian
beralih menggunakan gentong II. Sampah yang ada di gentong I dibiarkan terus dan
diperiksa setiap minggu sekali. Jika terlalu kering, disirami air. Akan lebih baik jika
dilakukan pengadukan setiap bulan sekali.
Ketika gentong II penuh, maka proses dekomposisi di gentong I sudah
berlangsung selama 3 bulan. Waktu 3 bulan tersebut, biasanya sampah organik sudah
menjadi kompos secara alami tanpa penambahan bahan inokulan. Selanjutnya kompos
yang sudah jadi dikeluarkan, sehingga gentong I dapat digunakan kembali untuk
menampung sampah organik berikutnya.
Kompos yang dihasilkan dari gentong rumah tangga dapat dipakai sendiri untuk
pupuk tanaman atau dikemas kemudian dijual. Hasil penjualan kompos sebagian untuk
penghasil kompos, untuk tenaga pemasar dan sebagian masuk ke kas kampung.
Jenis sampah dari bungkus minuman seperti coffee capucino, coffee milk,
marimas, kopi kapal api, pop ice, milo, energen, ginseng coffee, susu bendera dan
bungkus deterjen, pewangi pakaian dll, merupakan jenis sampah yang tidak diminati
oleh pemulung dan pengepul (tidak laku dijual). Oleh kaum Ibu-ibu dan Pemudi
Sukunan, bungkus-bungkus tersebut didaur ulang menjadi barang kerajinan tangan
seperti tas, dompet, hiasan dinding dan lain-lain yang dapat dipakai sendiri atau dijual.
Dengan demikian semua sampah akan menjadi laku dan secara tidak langsung akan
mengurangi sampah.
8
9. PROSES SOSIALISASI DAN IMPLEMENTASI
SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH MANDIRI
DI KAMPUNG SUKUNAN
Kegiatan sosialisasi dan implementasi sistem pengelolaan sampah swakelola di
Kampung Sukunan dimulai pada bulan Januari 2004. Proses sosialisasi dan
implementasi sistem melalui langkah-langkah sebagai berikut :
Langkah Pertama
Menyampaikan gagasan sistem pengelolaan sampah secara mandiri dan
produktif kepada tokoh masyarakat Sukunan, antara lain Kepala Dusun, Wakil Badan
Perwakilan Desa (BPD), Ketua RW, Ketua-ketua RT, Dasa Wisma, Takmir Masjid,
Pengurus Pengajian dan Pemuda. Momentum ini sangat diperlukan guna mengetahui
tanggapan awal tokoh masyarakat untuk menerima atau menolak terhadap sistem
pengelolaan sampah yang ditawarkan.
Langkah Kedua
Pembentukan Tim Pengelola Sampah Kampung. Tim ini sangat penting
peranannya dalam mengawal keberlangsungan sistem pengelolaan sampah yang akan
dijalankan oleh masyarakat. Mereka yang duduk dalam tim sebaiknya dipilih mereka
yang mempunyai sikap peduli terhadap lingkungan, berdedikasi tinggi, bertanggung
jawab dan mampu bekerjasama dengan masyarakat. Bersama tokoh-tokoh masyarakat
yang ada, tim ini bertugas melakukan sosialisasi, edukasi, evaluasi dan motivasi secara
terus menerus kepada masyarakat agar mau dan mampu melaksanakan pengelolaan
sampah swakelola. Tim Pengelola Sampah menjadi bagian dari struktur organisasi
kampung.
Langkah Ketiga
Menyusun visi, misi dan slogan kampung untuk menyamakan persepsi dan
meningkatkan motivasi masyarakat. Dalam membuat slogan, masyarakat ikut
dilibatkan. Slogan kampung Sukunan dibuat bersama-sama Pemuda yaitu SUKUNAN
BERSEMI yang merupakan singkatan dari BERSIH, SEHAT, MURNI dan INDAH.
Langkah Keempat
Sosialisasi, edukasi dan motivasi ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat
(anak-anak hingga orang tua) dengan metode demonstrasi, tanya jawab, permainan,
membuat mural dan perlombaan-perlombaan. Lomba-lomba yang diadakan meliputi
lomba memisahkan sampah antar anak, lomba kebersihan lingkungan antar kelompok
dasawisma, lomba membuat mural, lomba membuat kompos dan lomba kreasi daur
ulang. Pemuda diberi peran besar dalam sosialisasi ini antara lain menjadi organizer
sosialisasi kepada pemuda/i dan anak-anak. Selain itu sosialisasi dilakukan juga melalui
dapat melalui media lain seperti membuat mural pendidikan pada tembok pagar
penduduk oleh Pemuda dan juga melalui lagu yang berisi ajakan kepada masyarakat
9
10. untuk melakukan pengelolaan sampah secara benar. Lagu-lagu, puisi dan kreasi seni
lain dapat digunakan dalam sosisalisi.
Lagu “SUKUNAN BERSEMI”
(oleh Iswanto)
MARILAH MARI WAHAI WARGA SUKUNAN
KITA JAGA KEBERSIHAN LINGKUNGAN
JANGAN LUPA KITA HARUS MEMISAHKAN
SAMPAH PLASTIK, KERTAS, KACA DAN LOGAM
KITA HARUS JAGA KESEHATAN
BUANG SAMPAH JANGAN SEMBARANGAN
BAKAR PLASTIK JANGAN DILAKUKAN
SAMPAH-SAMPAH YOK KITA KUMPULKAN
KAMPUNG SUKUNAN BERSIH DAN NYAMAN
Puisi “BALADA SEONGGOK SAMPAH”
(oleh Iswanto & Ronadeva)
Aku lahir karena kamu
Aku ada juga karena kamu
Setiap hari engkau hasilkan aku
Setiap hari pula engkau campakkan aku
Betapa malang nasibku jadi seonggok sampah
Selalu dijauhi, dihina dan disia-siakan
Betapa sedih ditakdirkan jadi setumpuk sampah
Dianggap jadi penyebab bencana dan musibah
Salah sendiri engkau buang aku ke kali
Hingga aku kirimkan banjir bertubi-tubi
Salah sendiri engkau bakar aku sembarangan
Hingga aku sebarkan racun pencemaran
Salah sendiri engkau buang aku di tepi jalan,
Hingga aku munculkan kekumuhan,
Salah sendiri engkau buang aku di sembarang tempat,
Hingga aku sebarkan lalat dan bau menyengat
Tidak mampukah wahai engkau manusia
Mengelola aku dengan sebaik-baiknya
Tidak sadarkah wahai engkau manusia
Ada mutiara dalam seonggok sampah.
10
11. Langkah Kelima
Untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat dalam pengelolaan sampah
dilakukan beberapa latihan, misalnya latihan memisahkan sampah sesuai jenisnya,
latihan membuat kompos, latihan membuat kerajinan daur ulang dari sampah dll.
Langkah Keenam
Menyiapkan sarana pendukung pengelolaan sampah. Sarana pendukung yang
diperlukan dalam pengelolaan sampah misalnya gantungan sampah, tong/drum sampah,
gentong kompos, gerobak sampah, bak kompos, alat daur ulang dan TPS kampung.
Pengadaan dan pengerjaan semua sarana sebaiknya dilakukan oleh masyarakat sendiri
secara gotong royong. Tujuannya agar masyarakat mempunyai rasa memiliki sarana
tersebut sehingga nantinya juga akan memeliharanya dan menggunakannya. Pemuda
dilibatkan dalam membuat drum sampah (mengelas, mengecat dan melukis), agar
mereka juga mempunyai rasa handarbani terhadap program. Masyarakat menjadi
subyek, bukan menjadi obyek.
Langkah Ketujuh
Menyiapkan petugas dan atau menjalin kerjasama dengan pihak lain yang mau
menjadi pengambil dan pembeli sampah. Sebelum ditawarkan ke pihak lain, sebaiknya
ditawarkan kepada masyarakat dalam kampung sendiri dulu misalnya pemuda atau
penduduk. Dalam tahap ini perlu disepakati mekanisme dan tanggung jawab antara
pihak kampung dengan pihak lain tersebut. Pengepul sampah (lapak) yang berada di
sekitar daerahnya dapat dijadikan sebagai pihak rekanan (swasta) yang menerima dan
membeli sampah-sampah yang telah dipisahkan oleh masyarakat.
Langkah Kedelapan
Masyarakat diminta untuk segera menerapkan sistim pengelolaan sampah
swakelola sesuai dengan mekanisme yang disepakati, dimulai dari kegiatan pemilahan
sampah sesuai jenisnya di rumah tangga masing-masing sampai memasukkan kedalam
tong sampah terdekat. Pengurus kampung dapat membuat surat himbauan kepada
warganya agar mengikuti program pengelolaan sampah mandiri dan produktif,
dilengkapi dengan leaflet dan gambar-gambar petunjuk atau prosedur yang harus
dilakukan oleh masyarakat. Surat himbauan dibuat secara resmi dan ditandatangani oleh
perangkat kampung/pemerintahan yang berkompeten.
Langkah Kesembilan
Kegiatan pengelolaan sampah perlu dipantau (monitoring) dan dievaluasi oleh
suatu tim pengelola sampah kampung secara terus menerus. Hasilnya dibahas dalam
rapat tim untuk menentukan upaya tindak lanjut dan menyusun strategi yang dapat
dilakukan.
Langkah Kesepuluh
Pelaporan hasil kegiatan pengelolaan sampah, termasuk hasil penjualan harus
dilaporkan secara tertulis kepada masyarakat melalui forum rapat-rapat pertemuan rutin
warga setiap bulan sekali.
11
12. HASIL PENERAPAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH
MANDIRI DI KAMPUNG SUKUNAN
Setelah melaksanakan sistem pengelolaan sampah swakelola sejak tahun 2004, dapat
diperoleh hasil dan prestasi kampung Sukunan sebagai berikut :
1. Tumbuh kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk mengelola sampah
secara benar sejak dini pada tingkat rumah tangga.
2. Kebersihan dan kesehatan lingkungan meningkat, sehingga berdampak pada
menurunnya angka penyakit berbasis lingkungan seperti demam berdarah dan diare.
3. Sebagian besar masyarakat Sukunan (±85%) telah melaksanakan sistem
pengelolaan sampah swakelola dengan cara memisahkan sampah sesuai jenisnya
sejak rumah tangga masing-masing.
4. Hasil penjualan sampah plastik, kertas, kaca dan logam berkisar antara
Rp. 150.000, - sampai Rp. 250.000,- per bulan, penjualan kompos sekitar
Rp. 300.000,- sampai Rp. 500.000,- per bulan dan penjualan kerajinan daur ulang
sekitar Rp. 500.000,- per bulan.
5. Hasil penjualan sampah beserta hasil daur ulang ternyata dapat menutup biaya
operasional pengelolaan sampah (pengangkutan, penyortiran dan pengepakan),
bahkan dapat menambah kas kampung sebesar Rp. 30.000 – 70.000 per bulan.
Uang kas tersebut digunakan untuk membeli perlengkapan kampung seperti kursi,
meja, sound system dan perkakas lainnya yang dapat dipakai oleh masyarakat.
6. Kegiatan pengelolaan sampah tersebut dapat menyerap tenaga kerja sekitar 35
orang, sebagai pengangkut, pengrajin tas daur ulang, pembuat kompos, jual beli
sampah dan pembuat fasilitas sampah.
7. Berhasil memberdayakan Ibu-ibu dan Pemudi Sukunan membuat usaha daur ulang
(tas dari sampah, kompos, pembuatan drum sampah, pot, jual beli sampah).
8. Paguyuban Sukunan Bersemi sering melakukan sosialisasi dan pelatihan ke
Kampung Lain, Perkantoran dan Perhotelan yang ingin mencontoh. Juga diundang
mengikuti workshop lingkungan dan memberi pembekalan pada mahasiswa asing.
9. Banyak orang yang datang untuk belajar pengelolaan sampah ala Sukunan, seperti
dari masyarakat kampung lain termasuk dari luar DIY (Banten, Jawa Barat, DKI
12
13. Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Palembang, Banjarmasin, dll), akademisi
(Poltekkes Yogyakarta, UGM, UNY, UMY), instansi Pemerintah (KPDL,
Kimpraswil, DKKP, Dinkes, Kecamatan), LSM, Pusat Studi, termasuk dari luar
negeri seperti Singapore, Australia, Jerman, UK, USA, Malaysia, Jepang, dll.
10. Sistem pengelolaan sampah swakelola Sukunan telah dipublikasikan oleh berbagai
surat kabar dan media elektronik lain seperti The Jakarta Post, Kedaulatan Rakyat,
Kompas, Bernas, Majalah GATRA, Majalah Sinus, News Letter PUDSEA, JOGJA
TV, Suara Pembaharuan, RRI, ABC Australia, SBS Australia, dll.
11. Sistem ini mulai dikembangkan ke kampung lain seperti Mulungan (Sleman),
Singosaren (Bantul), Cokrodiningratan, Ngampilan, Gedongkiwo (Kota
Yogyakarta), Pondok Pesantren Pandanaran Sleman, dll.
11. Mengantarkan Paguyubuan Sukunan Bersemi dengan sistem pengelolaan sampah
swakelolanya menjadi Juara I Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup RI Tahun 2004 dan berhak mengikuti acara
puncak di Istana Negara Jakarta pada Hari Ibu 2004 dan di Istana Cipanas pada
Hari Lingkungan Hidup 2005.
12. Mengantarkan Paguyubuan Sukunan Bersemi menjadi juara III kategori penyelamat
lingkungan tingkat Kabupaten Sleman 2005.
13
14. KEUNTUNGAN SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH MANDIRI
DI KAMPUNG SUKUNAN
Secara umum sistem pengelolaan sampah mandiri ala Sukunan ini memberikan
beberapa keuntungan, antara lain :
1. Terbentuk Kebiasaan Mengelola Sampah yang Benar Sejak Dini
Meskipun awalnya terasa sulit dan rumit, tetapi setelah dilakukan secara
terus menerus akhirnya akan terasa mudah dan bahkan dapat menjadi kebiasaan di
rumah tangga masing-masing. Secara tidak langsung juga mendidik anggota
keluarga termasuk anak-anak untuk melakukan pengelolaan sampah secara benar.
Apabila sejak usia dini telah ditanamkan kebiasaan baik, maka setelah dewasa
diharapkan akan melakukan pengelolaan sampah secara benar pula.
2. Masyarakat Tidak Perlu Membayar Sampah
Dengan melaksanakan sistem pengelolaan sampah ala Sukunan, masyarakat
tidak perlu membayar sampah. Setidak-tidaknya telah melakukan efisiensi biaya
pengeluaran keluarga. Andaikan setiap keluarga dipungut retribusi dan biaya
pengangkutan sampah antara Rp. 3.000,- sampai Rp. 10.000,- per bulan, maka
dengan melakukan pengelolaan sampah ala Sukunan dapat menghemat pengeluaran
sebesar Rp. 36.000 – Rp.120.000 per keluarga dalam satu tahun. Kalau dalam satu
kampung ada 200 keluarga maka dapat menghemat pengeluaran kampung sebesar
Rp. 7.200.000 – Rp. 24.000.000 per tahun. Sehingga dana tersebut dapat dialihkan
untuk pembangunan kampung termasuk upaya peningkatan kesehatan dan
pendidikan bagi masyarakat.
3. Masyarakat Tidak Bingung Lagi dengan Masalah Sampah
Meskipun tidak ada pelayanan sampah dari Pemerintah, masyarakat tidak
perlu bingung dalam membuang sampahnya, karena sudah tersedia sistem
pengelolaan sampah swakelola yang ada di Kampungnya.
4. Tercipta Lingkungan yang Sehat
Apabila setiap keluarga dan kampung melaksanakan pengelolaan sampah
swakelola ala Sukunan ini, maka akan meningkatkan kualitas lingkungan menjadi
lebih bersih, sehat, dan indah. Jumlah sampah perusak tanah, air dan tanaman
pertanian dapat dikurangi. Pencemaran udara karena pembakaran sampah yang
14
15. membabi buta juga dapat dikurangi. Sehingga diharapkan kesehatan masyarakat
yang optimal dapat tercapai.
5. Memperpanjang Usia Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Sistem pengelolaan sampah swakelola ala Sukunan dapat menurunkan
volume sampah yang masuk ke TPA. Karena hampir semua sampah dapat diatasi di
sumber penghasil sampah, sehingga tidak sampai diangkut ke TPA. Semua sampah
dapat selesai di tingkat kampung, sehingga umur TPA akan semakin panjang.
Sebagaimana diketahui bahwa TPA merupakan salah satu sumber pencemaran bagi
lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
6. Meringankan Beban Pemerintah dalam Pengelolaan Sampah
Karena sampah sudah dikelola dan diselesaikan sendiri oleh masyarakat,
maka beban Pemerintah untuk mengangkut sampah dari TPS ke TPA tidak
diperlukan lagi. Selain itu, keberadaan TPA tidak mutlak diperlukan, sehingga dapat
menurunkan beban Pemerintah dalam mencari dan menyewa TPA. Minimal dapat
menurunkan subsidi pemerintah untuk pengelolaan sampah, sehingga dapat
dialihkan untuk subsidi pendidikan dan kesehatan masyarakat.
15
16. PENUTUP
Berdasarkan kajian terhadap proses dan hasil sistem pengelolaan sampah mandiri yang
dirintis di Kampung Sukunan sejak tahun 2004, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Sistem pengelolaan sampah swakelola di Kampung Sukunan bersifat mandiri
artinya sampah dapat ditangani dan diselesaikan sendiri oleh masyarakat, sehingga
sampah dapat diatasi pada tingkat kampung dan tidak membebani Pemerintah.
2. Sistem pengelolaan sampah swakelola di Kampung Sukunan bersifat produktif
karena dapat menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dan kampung atau setidak-
tidaknya masyarakat/kampung tidak perlu mengeluarkan biaya sampah (efisiensi).
3. Sistem pengelolaan sampah swakelola di Kampung Sukunan bersifat ramah
lingkungan, karena dalam penanganannya menggunakan cara yang tidak
mengakibatkan terjadinya pencemaran bagi lingkungan.
4. Sistem pengelolaan sampah swakelola di Kampung Sukunan dapat menjadi salah
satu alternatif dalam mengatasi persoalan sampah rumah tangga di lingkungan
permukiman.
16