Laporan ini membahas upaya peningkatan pelayanan publik bagi masyarakat miskin di Indonesia dengan tiga poin utama. Pertama, laporan ini menganalisis tantangan yang dihadapi dalam penyediaan layanan akibat desentralisasi dan demokratisasi. Kedua, laporan ini memberikan rekomendasi untuk meningkatkan akuntabilitas dan peran pengguna layanan. Ketiga, laporan ini menyarankan penguatan koordinasi antar instansi pemerintah dan strategi operasional gun
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Membuat Pelayanan Bermanfaat bagi Masyarakat Miskin di Indonesia
1.
2. KANTOR PERWAKILAN BANK DUNIA JAKARTA
Gedung Bursa Efek Jakarta, Menara II/Lantai 12
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (6221) 5299-3000
Fax: (6221) 5299-3111
Website: www.worldbank.or.id
THE WORLD BANK
1818 H Street N.W.
Washington, D.C. 20433, U.S.A.
Tel: (202) 458-1876
Fax: (202) 522-1557/1560
Email: feedback@worldbank.org
Website: www.worldbank.org
Edisi 2006.
Laporan ini merupakan produk staf Bank Dunia. Analisa, interpretasi dan kesimpulan yang terdapat didalamnya tidak
mewakili Dewan Direksi Bank Dunia maupun pemerintahan yang mereka wakili.
Bank Dunia tidak menjamin akurasi data di dalam laporan ini. Batas-batas, warna, denominasi dan informasi lainnya yang
tercantum pada peta yang ada di dalam laporan ini tidak mengimplikasaikan pandangan Bank Dunia akan status hukum
suatu wilayah ataupun persetujuan akan batas-batas tersebut.
3. Membuat Pelayanan Bermanfaat bagi Masyarakat
Miskin di Indonesia
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
Bank Dunia | The World Bank
East Asia and Pacific Region
4. Ucapan Terima Kasih
Laporan ini disiapkan oleh sebuah tim yang terdiri dari Menno Pradhan, Vic Paqueo, Elizabeth King, (Ketua Tim
Pokja), Deon P. Filmer, Scott E. Guggenheim dan Anne-Lise Klausen. Tim ini hendak menyampaikan adanya
dukungan yang begitu besar yang diberikan oleh tim dari INDOPOV yang dipimpin oleh Jehan Arulpragasam.
Sementara itu biayanya disediakan oleh pemerintah Jepang dan Inggris. Laporan ini dibuat berdasarkan
hasil konferensi “Making Services Work for the Poor,” yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan April 2005.
Konferensi ini disponsori secara bersama-sama oleh Menkokesra dan Bank Dunia (Kathy Macpherson).
Laporan ini juga disusun berdasarkan makalah yang khusus ditulis untuk keperluan penyusunan laporan
ini. Pertama, di bawah supervisi dari Stefan Nachuk, ada delapan dokumen mengenai berbagai inovasi lokal
tentang penyediaan layanan publik. Kedua, di bawah supervisi Nilanjana Mukherjee, dilakukan penelitian
mengenai “Suara Masyarakat Miskin” dalam penyediaan layanan publik. Terima kasih juga atas komentar
yang diberikan oleh peninjau, Christopher Pycroft (DFID), Ariel Fiszbein, dan Lant Pritchett (catatan konsep),
demikian juga masukan yang disampaikan oleh rekan-rekan dari Bank Dunia.
5. Prakata dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia
Assalamualaikum Wr. Wb.
Masyarakat miskin di Indonesia tidak menerima layanan publik yang mereka butuhkan. Seringkali layanan bagi
mereka tidak tersedia, di luar jangkauan mereka atau mutunya sangat rendah. Upaya untuk memastikan tersedianya
tenaga terampil di puskesmas atau memastikan petani menerima informasi yang tepat dari petugas penyuluhan
pertanian, masalah yang harus dihadapi masyarakat miskin seringkali sangat mirip. Oleh karena itu, laporan ini
berfokus pada isu-isu antar sektor yang dapat menghambat kemajuan upaya memberikan layanan bagi masyarakat
miskin.
Catatan Indonesia tentang hal ini memang masih mengecewakan. Selama beberapa dekade yang telah lewat, akses
terhadap layanan dasar mengalami kemajuan pesat, demikian juga dengan indikator pembangunan kemanusiaan.
Namun tantangan yang dihadapi sekarang telah bergeser yaitu upaya untuk meningkatkan mutu layanan yang
telah ada, dan menjangkau mereka yang tidak mampu menggapai akses yang telah semakin meningkat tersebut.
Tantangan ini harus dihadapi oleh Indonesia yang semakin demokratis, yang sudah menerapkan desentralisasi.
Kami berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat dan daerah, dan bagi masyarakat luas
yang terlibat dalam penyediaan layanan tersebut di atas. Terdapat banyak contoh inovasi praktis dalam penyediaan
layanan yang berasal dari Indonesia yang diuraikan dalam laporan ini, dan banyak dari contoh tersebut bisa dengan
segera diterapkan oleh para praktisi untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Masalah yang lebih besar lagi adalah
bagaimana menerjemahkan pengalaman lokal tersebut ke dalam kebijakan sektoral dan ke dalam program, untuk
memperoleh peningkatan yang berkelanjutan dalam penyediaan layanan publik bagi masyarakat. Rekomendasi
dalam laporan ini dapat memberikan rujukan yang bermanfaat dalam rangka menangani masalah-masalah di atas.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Aburizal Bakrie
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
v
6. Prakata dari Bank Dunia
Ketika seorang anak yang sedang sakit dari keluarga miskin berobat kepuskesmas, di sana harus ada petugas
kesehatan profesional yang akan menangani anak itu. Ketika seorang ibu hamil yang masih muda berkunjung ke
klinik yang dikelola pemerintah untuk meminta nasihat tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan
ibu, maka ibu hamil tersebut harus ditangani oleh bidan yang terampil dan terlatih. Semua anak yang berumur
di bawah 15 tahun harus bersekolah dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran ilmu matematika dan ilmu
pengetahuan dasar yang memadai. Desa juga harus memiliki sistem penyediaan dan penyaluran air bersih yang
berfungsi dengan baik.
Pemerintah di seluruh dunia berjuang dengan keras untuk memberikan jaminan bahwa layanan dasar semacam
ini dapat diberikan dan diterima oleh seluruh warga negara. Hal ini tidak bukan hanya merupakan pengalokasian
anggaran yang lebih besar semata. Seluruh sumber daya untuk publik harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk
menjamin bahwa sumber-sumber itu dapat diwujudkan menjadi pemberian layanan publik yang lebih baik.
Indonesia tidak terkecuali dalam hal ini. Negeri ini memang telah mencapai kemajuan pesat dalam peningkatan
layanan publik selama beberapa dekade terakhir. Akan tetapi, masih ada begitu banyak bukti bahwa tidak semua
warga dapat memperoleh layanan yang mereka butuhkan. Pelaksanaan sistem desentralisasi dan demokratisasi
telah berdampak sangat besar terhadap pengelolaan layanan publik saat ini. Lima tahun setelah pelaksanaan kedua
hal ini, laporan ini disusun dengan mendokumentasikan sekaligus mengusulkan strategi untuk mempertahankan
peningkatan layanan publik dalam lingkungan yang baru.
Rekomendasi pertama dalam laporan ini adalah mendorong penggunaan perjanjian layanan, dan sejalan dengan
perjalanan waktu, meningkatkan kewenangan penyedia layanan terhadap berbagai aspek operasional pemberian
layanan. Dengan skenario seperti ini, satu perjanjian layanan antara pemerintah daerah dan penyedia layanan harus
mencantumkan dan menegaskan layanan apa yang harus diberikan oleh penyedia dan sumber daya apa yang
mereka miliki untuk memberikan layanan tersebut. Perjanjian itu harus juga menentukan standar bagi pengguna
layanan agar mereka dapat memantau layanan yang diberikan dan mengambil tindakan yang diperlukan jika
standar layanan yang diberikan itu mengalami penurunan.
Rekomendasi kedua adalah memberikan ruang yang lebih besar bagi pengguna layanan dan masyarakat untuk
menyuarakan bagaimana layanan itu diberikan. Masyarakat ternyata mampu bertindak lebih efisien terutama dalam
membangun dan memelihara infrastruktur daerah. Mereka juga mampu mengambil peran yang lebih besar untuk
menjamin bahwa masyarakat miskin dapat memperoleh akses yang lebih baik terhadap layanan dasar. Rekomendasi
yang ketiga adalah memperbaiki arsitektur desentralisasi. Upaya untuk meningkatkan pemberian layanan publik
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan pusat. Kedua pemerintah ini mengeluarkan
anggaran cukup besar untuk meningkatkan layanan publik, dan hal ini perlu dikoordinasikan untuk menjamin
bahwa layanan itu berdampak sesuai dengan yang diharapkan. Saya sangat berharap bahwa laporan ini dapat
vi
7. menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang bekerja untuk meningkatkan layanan publik di Indonesia.
Atas nama Bank Dunia, saya ucapkan selamat kepada para penulis dan seluruh mitra pemerintah atas kerja sama
produksi yang sangat baik sehingga laporan yang sangat penting ini bisa selesai tepat pada waktunya. Kami
juga berharap bahwa laporan ini dapat menggugah dan mendorong diskusi yang gencar dan terus-menerus
dengan pihak pemerintah dan masyarakat sipil.
Andrew Steer
Country Director Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
vii
8. Daftar isi
Daftar isi
Ucapan Terima Kasih II
Prakata dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia v
Prakata dari Bank Dunia vi
Ringkasan Eksekutif x
Bab 1. Tantangan dalam Penyediaan Layanan: Isu-isu Turunan Kedua dan Inefisiensi yang terjadi 19
sehubungan dengan pemberlakuan Desentralisasi
Bab 2. Pemberian Layanan dalam Era Demokratisasi dan Desentralisasi 33
Bab 3. Penguatan Akuntabilitas dan Struktur Insentif 39
Bab 4. Penguatan Peran Pengguna Layanan 59
Bab 5. Mengefektifkan Hubungan Antar Instansi Pemerintah Untuk Penyedia Layanan Publik 73
Bab 6. Menuju Strategi Operasional Untuk Peningkatan Layanan Publik 85
Epilog 97
Daftar Pustaka 98
Daftar table
Tabel 1. Reformasi yang didorong oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan di Sumatera Barat xvii
Tabel 2. Persentase (%) ketidakhadiran guru dan petugas kesehatan di sejumlah negara (2003) 27
Tabel 3. Manfaat ekonomi pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat. 62
Tabel 4. Saran-saran tentang alokasi fungsional untuk penyediaan layanan masyarakat 76
Tabel 5. Saran tindakan kebijakan untuk mengefektifkan layanan publik di Indonesia 92
Daftar diagram
Diagram 1. Rute menuju akuntabilitas dalam penyediaan layanan di Indonesia xiii
Diagram 2. Indonesia telah melaksanakan peningkatan keluaran secara dramatis selama lima dekade 21
terakhir
Diagram 3. Perluasan akses telah membuat belanja publik menjadi lebih berpihak pada masyarakat 23
miskin
Diagram 4. Beberapa indikator penting yang mengalami peningkatan setelah pemberlakuan 24
desentralisasi
Diagram 5. Penurunan tingkat gizi buruk (kurangnya berat badan) dapat dihentikan pada periode pasca 24
desentralisasi
Diagram 6. Sumber-sumber pendanaan untuk sektor pendidikan dan kesehatan telah ditingkatkan sejak 25
pemberlakuan desentralisasi
Diagram 7. Angka Partisipasi Sekolah di antara siswa Indonesia yang berumur 15 tahun masih rendah, 28
bahkan masih rendah pada siswa-siswa yang tergolong mampu.
Diagram 8 Pengetahuan petugas kesehatan tentang standar layanan publik masih rendah 29
Diagram 9 Penurunan vaksinasi DPT 29
Diagram 10 Kesenjangan dalam hal keluaran dan layanan publik masih tinggi 30
viii
9. Diagram 11 Alur Pendanaan dari Pemerintah Pusat kepada sekolah 45
Diagram 12. Penggunaan layanan yang diberikan oleh sektor swasta, berdasarkan kuintil pendapatan 50
Diagram 13. Kerangka kerja untuk melakukan penilaian dan mengurangi risiko ketika melakukan kontrak 53
dengan penyedia layanan sektor swasta
Daftar kotak
Kotak 1. Perjanjian Layanan: Target Kontrak Berbasis Kinerja xv
Kotak 2. Skema pengelolaan berbasis manajemen di Burkina Faso 43
Kotak 3 Bagaimana insentif dapat mengubah perilaku penyedia layanan yang berada pada garis depan? 47
Kotak 4. Penyediaan layanan kesehatan pokok melalui LSM 52
Kotak 5 Kontrak dengan sektor swasta untuk menyediakan air bersih di Jakarta 54
Kotak 6 Perampingan pemerintah di Kabupaten Jembrana 58
Kotak 7. Upaya membuat (block grant) berhasil bagi masyarakat miskin di kota Blitar 63
Kotak 8. Mengurangi tindak korupsi dalam program berbasis masyarakat dengan melakukan publikasi 65
hasil audit
Kotak 9. Melemahnya posisi pengguna layanan akibat pembagian kupon melalui penyedia layanan 70
Kotak 10 Merugikan masyarakat miskin dengan mengeluarkan mandat agar penyedia layanan mengenakan 71
tarif lebih murah dari yang semestinya
Kotak 11. Fungsi yang tidak jelas dan tumpang tindih merusak penyediaan layanan di seluruh sektor 75
Box 12. Terlalu banyak birokrat, terlalu sedikit tenaga profesional 81
Box 13. Desentralisasi pendidikan tidak berjalan efektif 82
Kotak 14. Peningkatan transparansi anggaran di Kota Bandung 84
Kotak 15. Tiga kisah tentang inisiatif reformasi 89
Kotak 16. Memperkenalkan Standar Kualitas Kesehatan 90
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
ix
10. Ringkasan Eksekutif
Tentang laporan ini
Bagaimana sistem persekolah di Indonesia mampu menyediakan pendidikan yang bermutu tinggi? Bagaimana klinik
akan berfungsi lebih baik dalam memberikan tanggapan mereka terhadap kebutuhan pasien? Bagaimana layanan
penyuluhan di tingkat lokal mampu memenuhi permintaan petani secara lebih baik? Bagaimana pihak penyedia
jasa mampu memenuhi kebutuhan masyarakat miskin secara lebih baik dalam iklim Indonesia yang menganut
sistem desentralisasi?
Laporan ini berusaha untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan di atas. Dikatakan bahwa penyebab rendahnya
mutu penyediaan layanan adalah hal yang sama di setiap layanan, dan oleh karena itu ada beberapa unsur yang
serupa terhadap solusi masalah tersebut dalam rangka meningkatkan layanan kepada publik. Laporan ini berfokus
pada isu-isu lintas sektoral, dengan rujukan yang semata-mata berasal dari Indonesia. Berita baiknya adalah bahwa
ada begitui banyak contoh inovasi dalam pemberian layanan yang menunjukkan hasil yang baik pula. Tantangan
kita adalah bagaimana kita bisa belajar dari keberhasilan tersebut, dan bagaimana meningkatkan praktik-ptaktik
yang sudah baik itu. Hal ini juga dibahas di dalam laporan ini.
Berita Baik dan Berita Buruk
Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan Indonesia dalam pemberian layanan publik dan pembangunan
kemanusiaan telah menunjukkan hasil yang mengagumkan. Pada 1960 tingkat kematian balita adalah lebih
dari 200 untuk setiap 1.000 orang—lebih dari dua kali lipat tingkat angka yang dicapai oleh Filipina dan Thailand.
Pada 2005 angka ini turun menjadi di bawah 50 untuk per 1.000 balita, yang menunjukkan salah satu angka
penurunan tertinggi di kawasan ini. Seorang anak yang lahir pada 1940 hanya memiliki sekitar 60 persen kesempatan
untuk bersekolah, 40 persen kesempatan untuk menamatkan pendidikan dasar, dan 15 persen kesempatan untuk
menamatkan pendikan sekolah menengah pertama mereka. Sebaliknya, lebih dari 90 persen anak-anak yang lahir
pada 1980 berhasil menamatkan pendidikas sekolah dasar dan hampir sebanyak 60 persen mampu menyelesaikan
pendikan sekolah menengah pertama mereka.
Ada persepsi luas yang berkembahg bahwa pemberian layanana publik telah mengalami kemundursan
sejak Indonesia menerapkan sistem desentralisasi pada 2001. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
realita ini hanya merupakan perkiraan belaka. Ketakutan bahwa layanan publik akan runtuh dan hancur setelah
pelaksanaan sistem desentralisasi ternyata tidak terbukti. Malah sebaliknya, bukti-bukti menunjukkan bahwa sejak
pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, beberapa aspek pemberian layanana publik dan hasil pembangunan
kemanusiaan telah mengalami peningkatan. Persentase anak-anak yang meninggal sebelum genap berumur
satu tahun telah mengalami penurunan antara 1997 dan 2003. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, sektor
publik meningkatkan kapasitas mereka dalam bidang pendidikan dasar, menengah pertama dan atas. Peningkatan
juga terjadi pada pemakaian layanan kesehatan rawat jalan bagi para pasien. Berbagai studi tentang persepsi klien
juga menunjukkan tingkat kepuasan secara keseluruhan sehubungan dengan pemberian layanan publik sejak
x
11. pelaksanaan sistem desentralisasi. Akan tetapi, semua keberhasilan ini tidak berarti bahwa pelaksanaan sistem
desentralisasi berpengaruh positif terhadap hasil pemberian layanan. Walaupun anggaran pemerintah telah
mengalami peningkatan, sejumlah indikator sosial tampaknya berjalan lambat—dan bahkan terjadi hal sebaliknya
sejak pelaksanaan sistem desentralisasi ini. Kasus gizi buruk terus mengalami penurunan sebelum tahun 2000 tetapi
kemudian sangat parah karena penurunan kinerja program vaksinasi lanjutan.
Kini, Indonesia menghadapi isu generasi kedua: pengeluaran publik yang tidak efisiensi, mutu layanan
yang rendah, dan kesenjangan yang masih terjadi antara akses dan hasil. Semua masalah ini berkaitan dengan
model yang berlaku dulu ytang bersifat top-down (dari atas ke bawah). Keterbukaan yang semakin besar dan
demokrasi telah menyebabkan semua masalah ini semakin jelas. Produktivitas guru yang sangat rendah dapat dilihat
dari tingkat absensi yang tinggi (19 persen) dan kekurangan guru di daerah-daerah terpencil sementara jumlah
guru begitu banyak. Indonesia merupakan salah satu negara dengan rasio murid/guru yang paling rendah di dunia,
apalagi jika dibandingkan dengan negara kaya seperti Amerika Serikat. Pada saat yang sama, data yang diperoleh
dari Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) atau Kecenderungan dalam Bidang Studi Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan: sementara 66 persen
soswa kelas delapan di Malaysia mampu menunjukkan tingkat “intermediate (menengah)” atau lebih tinggi dalam
skala internasional untuk kemampuan matematikan, hanya 24 persen siswa Indonesia mampu mencapai tingkat
tersebut. Kinerja yang tidak efisien dan mutu yang rendah juga tampak pada sektopr kesehatan. Empat puluh
persen tenaga kerja kesehatan mangkir dari dari post jaga pada suatu hari. Mutu layanan yang diberikan oleh baik
penyedia layanan kesehatan dari sektor publik maupun sektor swasta masih rendah. Sekitar setengah dari tenaga
kesehatan tidak mengetahui prosedur klinik yang benar, dan kurang dari sepertiga mampu menguasai prosedur
pemberian layanan berdasarkan paraktik terbaik dalam menangani masalah-masalah kesehatan, seperti malaria dan
tuberculosis (TBC).
Isu-isu generasi kedua harus diatasi dalam lingkungan kebijakan Indonesia yang baru. Sejak krisis ekonomi
1998, pembangunan yang berbasis pendekatan kebijakan pusat telah diganti dengan satu pendekatan yang
bercirikan demokratisasi dan desentralisasi. Pergeseran pendekatan ini telah membuat masalah yang berkaitan
dengan pembangunan kemanusiaan dan pemberian layanan semakin jelas di mata masyarakat yang semakin
tidak toleran dan bersuara lebih vokal terhadap tindak korupsi, penyelewengan sumber-sumber daya publik, mutu
layanan yang buruk, dan kesenjangan. Saat ini para pemimpin negara ini menghadapi tekanan yang berhubungan
dengan pemilu (pemulihan umum) langsung. Jika disinyalir ada penyelewengan maka pemilu ulang dipastikan akan
dilakukan, seperti yang dialami di 38 dari 103 pemerintah kabupaten selama pemilu ulang tahun 2005 (NDI,2006).
Didorong oleh semangat demokrasi dan desentralisasi, rakyat Indonesia sangat bersemangat untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Mereka menuntut agar pemerintah dan penyedia layanan
lebih bertanggung jawab, tetapi upaya untuk upaya menuntut akuntabilitas semacam itu tidak mudah. Misalnya,
pada 2004 akibat desakan rakyat, sebanyak 55 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera
Selatan dituntut dengan tuduhan korupsi sebesar $690.000 yang berasal dana publik. Akan tetapi, walaupun
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xi
12. mereka terbukti bersalah, ternyata upaya untuk memperoleh keadilan terbukti masih sulit (lihat Bab 2). Lingkungan
yang baru ini merupakan peluang emas bagi peningkatan pemberian layanan publik melalui partisipasi rakyat yang
lebih baik dan tuntutan akuntabilitas yang lebih baik atas kinerja pemerintah.
Kesimpangsiuran mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah di tingkat yang berbeda telah
menimbulkan kinerja yang sangat tidak efisien. Berbagai sumber daya langsung di bawah pengelolaan
Ringkasan Eksekutif
pemerintah kabupaten/kota—dan dari mereka lalu diteruskan kepada petugas atau penyedia layanan di garis
depan—dan kondisi ini masih beragam dan bersifat fragmental sehingga hampir tidak mungkin bagi rakyat pengguna
layanan tersebut untuk mengetahui seberapa besar dana yang seharusnya mereka terima dan apakah dana yang
dianggarkan sudah dicairkan atau belum. Misalnya, rata-rata setiap klinik kesehatan yang dimiliki pemerintah memiliki
8 sumber pendapatan tunai dan 34 anggaran operasional, banyak dari anggaran ini disediakan oleh pemerintah
pusat atau pemerintah daerah (World Bank 2005b). Masalah ini semakin memburuk akibat ketidaksiapan dan
lemahnya kapasitas aparat pemerintah dengan wewenang baru ini untuk melaksanakan tanggung jawab mereka
secara efisien. Tumpang tindih tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah telah mengakibatkan birokrasi
yang semakin panjang dan personalia yang semakin banyak pada jajaran layanan masyarakat dengan jumlah staf
yang semakin mubazir. Keadaan ini telah menciptakan peluang baru untuk melakukan tindak korupsi, kebocoran
anggaran, dan risiko bahwa desentralisasi dapat diartikan sebagai upaya peningkatan budaya layanan publik yang
akan menguntungkan staf tanpa memperhatikan pemberian layanan yang bermutu bagi masyarakat.
Kebijakan dan opsi-opsi strategis
Tanpa memandang tingkat keefektifannya, sentralisasi kebijakan dan kontrol di masa lalu tidak lagi cocok karena
pendekatan secara menyeluruh atas kepemerintahan dan pemberian layanan yang kini berlaku di Indonesia.
Kembali pada pendekatan masa lalu itu pada saat ini merupakan hal yang tidak realistik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan adaptasi terhadap paradigma dengan realitas saat ini. Agar tetap konsisten dengan
lingkungan kebijakan yang baru, paradigma yang baru itu harus benar-benar selektif dalam menentukan program
peningkatan pelayanan yang didorong oleh pusat. Akan tetapi, hal itu harus tetap mempertahankan faktor-faktor
kunci yang berkaitan dengan strategi lama yang masih sesuai dengan keadaan masa kini. Faktor pendorong itu
meliputi laju pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada penduduk miskin; alokasi pembiayaan sektor publik untuk
layanan dasar; dan pemberian kewenangan kepada pembiayaan oleh sektor swasta atas penyediaan layanan yang
lain.
Laporan ini berfokus apda gagasan-gagasan yang dapat dilaksanakan, menggunakan kerangka kerja akuntabilitas
yang disampaikan Laporan Pembangunan oleh Bank Dunia (World Development Report) tahun 2004 agar gagasan
tersebut dikelola dengan strategi yang sesuai dan koheren. Kerangka kerja ini (World Bank 2003b) yang berlaku bagi
Indonesia tampak pada diagram berikut. Hubungan akuntabilitas dalam pemberian layanan ada di antara empat
kelompok actor: Klien, penyedia layanan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Klien bisa berupa pasien
dalam sebuah klinik atau siswa sekolah, memiliki hubungan dengan penyedia layanan seperti guru, dokter, atau
perusahaan air minum. Bagi penyedia layanan yang berasal dari sektor swasta, klien menuntut penyedia layanan
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xii
13. agar mereka mempertahankan akuntabilitas menggunakan uang yang dibayarkan untuk memperoleh layanan
tersebut— klien hanya membayar layanan yang memuaskan atau mereka akan menggunakan jasa pihak lain.
Untuk layanan publik, sering tidak ada akuntabilitas langsung antara penyedia layanan dengan klien. Ada “jalur
akuntabilitas yang panjang”—bagaimana klien sebagai warga negara bisa mempengaruhi pembuat kebijakan
dalam pemerintah dan bagaimana pembuat kebijakan mempengaruhi penyedia layanan. Ada dua “jalur panjang” di
Indonesia karena pemerintah daerah dan pusat memiliki hubungan langsung dengan penyedia layanan. Dengan
Ringkasan Eksekutif
demikian segitiga akuntabilitas menunjukkan dua hubungan yang setara antara pemerintah dan penyedia layanan.
Pesan utama dalam laporan ini adalah bahwa akuntabilitas memang perlu dan bahwa pemberian insentif yang
benar merupakan kunci bagi peningkatan layanan publik yang berkesinambungan.
Diagram 1. Rute menuju akuntabilitas dalam penyediaan layanan di Indonesia
Pembuat kebijakan nasional
Pembuat
kebijakan
daerah
Penyediaan layanan
Klien dan masyarakat
umum/pribadi
Source: World Bank (2003a).
Studi ini berfokus pada langkah-langkah yang harus diambil secepatnya dan pada saat yang sama juga
mengenali kebutuhan Indonesia untuk menghadapi isu-isu struktur desentralisasi dan reformasi layanan
sipil yang lebih besar. Laporan ini adalah tertang aspek-aspek tertentu dari isu-isu tersebut yang secara langsung
sesuai dengan pilihan yang usulkan untuk memperbaiki pemberian layanan. Analisa yang lebih mendalam dan luas
dari isu-isu ini perlu delakukan secara terpisah.
Rekomendasi utama dari laporan ini adalah:
• Tingkatkan penggunaan perjanjian layanan, yang menyatakan secara tegas apa yang harus diberikan oleh
penyedia layanan dan apa yang diberikan pemerintah atas penyediaan layanan tersebut.
• Kuatkan peran klien dalam pemberian layanan dengan:
• Menggunakan masukan mereka dalam melakukan penyesuaian dan pemantauan perjanjian
pemberian layanan.
• Membuat agar masyarakat bertanggung jawab terhadap beberapa komponen pemberian layanan.
• Memberikan bantuan keuangan kepada masyarakat miskin agar mereka bisa memperoleh layanan
dasar yang tidak bisa mereka peroleh tanpa bantuan tersebut.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xiii
14. • Desak agar pemerintah bekerja lebih efektif dengan menjelaskan pemerintah tingkat mana yang
bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tertentu dalam pemberian layanan, serta mengelola penentuan
staf dan anggaran dengan cermat.
• Pastikan bahwa upaya peningkatan pemberian layanan disebarkan ke seluruh negeri.
Peningkatan penggunaan perjanjian layanan
Ringkasan Eksekutif
Perjanjian layanan merupakan alat bagi penyedia layanan dan dinas terkait dalam pemerintah agar
mereka semakin berorientasi kepada klien. Perjanjian layanan akan menyebabkan apa yang diberikan kepada
masyarakat oleh penyedia layanan menjadi transparan dan semua sumber daya yang tersedia yang mereka miliki
untuk melakukan tanggung jawab ini, yaitu dengan menjelaskan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawab
mereka. Misalnya, sekolah dapat memberikan kesepakatan mereka tentang jumlah jam mengajar yang akan mereka
berikan kepada para siswa, sementara pemerintah kabupaten/kota harus memiliki komitmen terhadap jumlah staf
dan anggaran sesuai dengan komitmen tersebut. Kotak 2 membahas Target Kontrak Berbasis Kinerja bagi Para
Bidan, yang juga menggunakan pendekatan perjanjian layanan. Perjanjian layanan perlu disertai dengan tindakan-
tindakan pelengkap untuk menjamin bahwa tindakan tersebut sudah memiliki dampak. Secara khusus, pengguna
layanan, masyarakat sipil, and governments harus memantau penyediaan layanan atas pekerjaan mereka agar selalu
sesuai dengan standar yang telah disepakati. Seiring dengan berjalannya waktu, penyedia layanan dapat memikul
tanggung jawab yang lebih besar dalam hal perencanaan operasional, jika hubungan antara akuntabilitas dengan
kapasitas sudah mengalami peningkatan. Misalnya, kita dapat membayangkan penentuan anggaran bagi sebuah
klinik untuk membeli obat-obatan di perusahaan farmasi setempat dibandingkan dengan penyediaan obat-obatan
berdasarkan sistem yang kini sedang dijalankan. Dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada penyedia
layanan melalui perjanjian layanan yang jelas serta pemantauan yang ketat atas hasilnya akan memungkinkan
penyedia layanan mampu memberikan layanan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan setempat dan mengambil
keputusan yang semakin dekat dengan pengguna layanan itu sendiri.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xiv
15. Kotak 1. Perjanjian Layanan: Target Kontrak Berbasis Kinerja
Pilot Project Kontrak Berbasis Kinerja Bertarget, pertama diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan, sebagai komponen kunci dari proyek
Keselamatan Ibu (Safe Motherhood Project), proyek ini dimaksudkan untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan Bidan di Desa (BDD)
dan mengurangi jumlah kematian Ibu dan Bayi (Menelaws, 2000). Perjanjian pelayanan untuk kontrak berbasis kinerja bertarget merupakan jenis
kontrak klasik antara “penyandang dana” dengan penyedia layanan swasta.
Bentuk lain dari perjanjian layanan adalah apa yang disebut “relational contract”, yang akan dibahas lebih lanjut di laporan utama. Persamaan
Ringkasan Eksekutif
yang bisa dilihat dari kedua bentuk kontrak ini adalah bahwa keduanya secara eksplisit mencantumkan komitmen kedua pihak tersebut dalam
hal apa saja yang harus mereka penuhi (keluaran dari penyedia layanan dan masukan dari penyandang dana), juga penilaian kinerja dan
peninjauan. Kedua jenis perjanjian ini meningkatkan transparansi mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk apa, sehingga keduanya bisa
bermanfaat untuk memperjelas peran dan tanggung jawab, juga meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan. Bentuk perjanjian seperti ini
terutama akan efektif ketika mereka dijalankan sebagai bagian dari agenda komprehensif untuk mereformasi aspek-aspek di bidang keuangan
negara dan sistem penyediaan layanan yang bertujuan untuk meningkatkan sektor kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik lainnya.
Skema kontrak berbasis kinerja bertarget merupakan salah satu contoh lokal yang baik untuk skema-skema berbasis kinerja dimana pelajaran
yang positif bisa diambil. Skema tersebut sudah uji coba dengan sukses, namun untuk mempertahankan dan meningkatkannya dibutuhkan
sosok pejuang yang berasal dari institusi pemerintahyang ada dinegara ini. Pada dasarnya, sistem kontrak berbasis kinerja bertarget adalah
perjanjian yang melibatkan tiga pihak: Pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Bidan, dan masyarakat penerima manfaat. Dinas kesehatan
Kabupaten setuju untuk (1) memberikan hak eksklusif bagi bidan untuk berpraktik sebagai bidan swasta untuk sejumlah layanan kesehatan dasar
tertentu di desa yang ditunjuk. (ii) memberikan kompensasi bagi BDD yang memiliki kontrak berbasis kinerja bertarget, honorarium bulanan untuk
tiap ”pelayanan umum“ yang mereka berikan, dan (iii) membayar BDD dengan ketentuan seperti yang telah disebutkan diatas, pembayaran untuk
layanan yang mereka berikan terutama untuk keluarga miskin, sesuai dengan variable pembayaran untuk layanan berdasarkan jumlah layanan
yang diberikan. Dinas kesehatan Kabupaten juga setuju untuk memberikan “modal awal” untuk memulai sebuah pos atau kantor pelayanan
bidan di desa.
Sebagai gantinya, bidan yang terikat perjanjian setuju untuk mengikuti standar professional yang diakui oleh Persatuan Bidan Indonesia, dan untuk
ditempatkan di desa yang ditunjuk, juga untuk di pantau dan di evaluasi dengan sesuai. BDD memberikan komitmen mereka untuk menyediakan
layanan-layanan yang sudah disetujui bagi masyarakat desa, termasuk pelayanan keselamatan ibu, perawatan pasca kelahiran dan perawatan
lanjutan bagi bayi perawatan bagi penderita diare dan pelayanan KB dan pelayanan umum lainnya seperti; penyuluhan kesehatan, pengawasan/
pelatihan dukun beranak, pengawasan program kesehatan sekolah. BDD diijinkan untuk menagih pembayaran untuk pelayanan yang mereka
berikan kepada pasien yang bukan berasal dari keluarga miskin.
Sedangkan masyarakat, bertugas untuk membantu promosi program dan jika diperlukan membantu mendirikan polindes (dalam waktu 24 bulan
setelah penandatanganan perjanjian) atau memperbaiki fasilitas kesehatan yang sudah ada (dalam waktu 12 bulan setelah penandatanganan
perjanjian). Untuk merangsang minat awal masyarakat terhadap pelayanan bidan, keluarga dengan penghasilan rendah di wilayah desa
yang sasaran akan mendapat buklet kupon untuk pelayanan tertentu yang diberikan BDD. Pendekatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan mereka untuk membayar layanan dan memberdayakan masyarakat dengan kemampuan untuk memilih penyedia layanan.
Dapatkan layanan yang lebih baik dari sektor swasta bagi masyarakat miskin. Sektor swasta telah memberikan
banyak layanan kepada masyarakat miskin, tetapi mutu layanan mereka itu sering masih rendah. Pemerintah di semua
tingkatan, terutama pemerintah daerah, perlu bekerja sama sebagai mitra lebih sering dengan penyedia layanan dari
sektor swasta dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat miskin. Pemerintah dapat meningkatkan akses
terhadap peluang mengikuti pelatihan bagi penyedia layanan dari sektor swasta yang memenuhi syarat dan pada
saat yang sama memberikan pendidikan dan memberitahu pemakai layanan tersebut untuk berani meminta layanan
yang bermutu dari penyedia layanan dari sektor swasta. Jika pendanaan dari anggaran publik memungkinkan,
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xv
16. penyedia layanan dari sektor swasta seharusnya berhak untuk mendapatkan subsidi, dan berdasarkan seleksi,
pemberian layanan dapat dikontrakkan secara penuh kepada penyedia layanan dari sektor swasta, terutama bagi
layanan dan masyarakat yang saat ini tidak dapat menerima layanan yang memadai dari sektor publik.
Kuatkan peran klien dalam pemberian layanan
Keterlibatan pemakai yang lebih besar dalam pemberian layanan merupakan hal yang sangat penting
Ringkasan Eksekutif
karena pemakailah yang akan memperoleh manfaat paling banyak dari peningkatan layanan dan oleh karena itu
mereka harus menjadi pihak yang paling peduli terhadap hal ini.
Dengan cara yang tepat serahkan tanggung jawab pemberian layanan sumber-sumber daya kepada
masyarakat atau bentuk kemitraan antara penyedia layanan dari sektor swasta dan masyarakat. Masyarakat
memiliki piranti yang lengkap untuk membangun dan memelihara infrastruktur desa. Infrastruktur desa yang
dibangun berdasarkan basis masyarakat dapat menghemat biaya sampai dengan 50 persen dibandingkan dengan
pembangunan prasarana yang dilakukan oleh kontraktor (Lihat Tabel 3). Secara bertahap dan terus-menerus
masyarakat dapat mengambil tanggung jawab untuk aspek-aspek lain dalam pemberian layanan. Misalnya,
masyarakat memiliki piranti yang lebih baik dari pada sekolah untuk memastikan anak-anak benar-benar bersekolah.
Hal yang dipelajari dari pengalaman lokal menunjukkan Perlunya keterkaitan antara kebutuhan tanggung jawab
masyarakat atas manfaat yang mereka peroleh, bekerja sama dengan lembaga lokal yang telah ada, melakukan
investasi dalam proses fasilitasi pengambilan keputusan yang transparan dan benar, penyaluran dana secara
langsung kepada rekening penerima layanan, serta melakukan pemantauan terhadap kinerja lembaga pemberi
layanan.
Libatkan masyarakat secara langsung dalam penyediaan layanan di garis depan. Pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan undang-undang yang memberikan pengakuan terhadap peran pemakai layanan dan mereka
dapat berperan dalam perencanaan dan pemantauan terhadap penyedia layanan. Saat ini, pemerintah di semua
tingkatan harus mampu mengembangkan berbagai strategi yang praktis – seperti bekerja dengan masyarakat untuk
memantau implementasi perjanjian layanan – untuk menerapkan undang-undang tersebut yang bertujuan untuk
meningkatkan keterlibatan kelompok pemakai dalam pengambilan keputusan dan pemantauan dalam pemberian
pelayanan kepada masyarakat.
Gunakan sistem kupon atau penyaluran dana tunai bersyarat untuk merangsang permintaan terhadap
layanan oleh masyarakat miskin. Kupon dan program penyaluran dana tunai bersyarat merupakan instrumen
yang sangat bagus dan cocok untuk menanggulangi isu-isu yang berkaitan dengan kesenjangan untuk memperoleh
akses terhadap layanan. Jika Indonesia memutuskan untuk mengadopsi program semacam ini, program tersebut
harus dirancang untuk dapat meningkatkan pilihan mereka, meningkatkan kekuatan klien, dan mempertimbangkan
hambatan yang berkaitan dengan penyediaan layanan pada bidang-bidang yang mengalami keterbalakangan
penyediaan layanan. Program tersebut telah berhasil diterapkan di berbagai negara, dan program tersebut
mampu menurunkan tingkat kemiskinan akibat rendahnya pendapatan dan meningkatkan hasil pembangunan
kemanusiaan.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xvi
17. Dorong agar pemerintah bekerja lebih efisien untuk meningkatkan pemberian layanan kepada masyarakat.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah snagatlah penting dalam rangka peningkatan akuntabilitas penyedia
layanan dan penguatan peran pemakai layanan tersebut. Pemerintah pusat dan daerah perlu meningkatkan
kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek dalam pemberian layanan. Misalnya,
saat ini tidak ada kejelasan mengenai pemerintah tingkat mana yang berwenang untuk membentuk, memberikan
Ringkasan Eksekutif
akreditasi atau menutup sebuah puskesmas. Begitu tugas fungsional ini ditentukan, proses penentuan anggaran,
pemantauan, dan sistem pelaporan perlu dipertegas dalam.
Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas kelembagaan mereka untuk mengimplementasikan ketentuan
ini secara lebih efektif. Mereka perlu melakukan penyesuaian kelembagaan dan penentuan staf sesuai dengan
fungsi yang ditugaskan kepada mereka setelah pelaksanaan sistem desentralisasi serta melakukan langkah-langkah
untuk meningkatkan kinerja. Banyak pemerintah telah dan sedang melakukan hal ini, seperti yang tampak pada
NEW (BARU) yang ditunjukkan oleh tiga pemerintah daerah di Kabupaten Sumatera Barat. Sering pula, terdapat
terlalu banyak birokrat, dan jumlah tenaga profesional yang terlalu sedikit pada kantor pemerintah daerah. Banyak
perubahan yang diperlukan saat ini tidak mungkin bisa dilaksanakan karena ketentuan peraturan kelembagaan dan
peraturan sipil yang diatur dari pusat yang dapat diatasi hanya dengan reformasi layanan sipil yang lebih besar.
Tabel 1. Reformasi yang didorong oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan di Sumatera Barat
Sumatera Kabupaten
Reformasi Kota Solok
Barat Solok
Kontrak kinerja pejabat eselon II √
Pembayaran insentif yang lebih adil √
Uji kelayakan bagi pejabat eselon II atau III-IV √ √ √
Ujian eksternal untuk kenaikan pangkat √
Reorganisasi berdasarkan PP No. 8 (Peraturan tentang √ √
Kelembagaan)
Pakta Integritas untuk melakukan transaksi dengan sektor publik √
dan swasta
Kliring rekening giro: transaksi keuangan yang dilakukan bank √
tanpa interferensi
Anggaran berbasis kinerja (Kep. Mendagri No. 29/2002) √ √ √
Perencanaan dan penentuan anggaran partisipatoris untuk √ √
penyediaan layanan masyarakat
Penguatan proses pengadaan (Kepres No. 80/2003) √ √ √
Pakta Integritas untuk proses pengadaan √ √
Sumber: (Bank Dunia 2005f )
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xvii
18. Projek percobaan, pelajaran, dan peningkatan keberhasilan
Indonesia perlu mengadopsi strategi untuk menangani proses perubahan yang sangat rumit. Kuncinya
adalah memmberikan ruang yang cukup bagi merebaknya berbagai inovasi dan menciptakan insentif bagi mereka
yang menunjukkan kinerja yang baik. Investasi untuk kegiatan pilot proyek harus selalu didorong. Proyek seperti
harus diberikan waktu yang cukup untuk dapat melihat hasilnya. Di samping itu, dampak dari proyek tersebut harus
Ringkasan Eksekutif
dievaluasi secara cermat. Ini merupakan pesan yang sangat penting karena banyak gagasan yang disampaikan di
dalam laporan ini perlu diuji untuk mengenai manfaat dan nilai sesungguhnya di lapangan. Tantangannya adalah
peningkatan terus-menerus terhadap proyek dan inovasi yang terbukti berhasil dengan baik, yang seringkali mati
pelan-pelan atau gagal ketika diterapkan dalam lingkup yang lebih besar.
Strategi manajemen perubahan yang efektif dapat didasarkan pada pedoman di bawah ini:
• Diversifikasi portfolio mengenai inisiatif reformasi dan keberhasilan.
• Berikan dana hibah untuk reformasi dan pilot proyek yang inovatif.
• Berikan insentif personal sesuai dengan tujuan kelembagaan.
• Lakukan analisis terhadap mereka yang menang dan mereka yang kalah, lalu berikan perlindungan sosial bagi
pihak yang kalah.
• Lakukan investasi untuk melakukan evaluasi terhadap dampak dan penyebarluasan ilmu pengetahuan.
• Libatkan masyarakat sipil, dan lakukan investasi untuk pembentukan koalisi yang berpihak pada masyarakat
miskin dan kepemilikan lokal.
Laporan ini memuat daftar tindakan kebijakan dan pilot proyek yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah pusat
dan daerah untuk meningkatkan pemberian layanan kepada masyarakat miskin. Daftar ini meliputi proposal nyata
yang mencerminkan pandangan stakeholder yang diungkapkan dalam konferensi yang dilakukan tahun lalu di
Jakarta dengan tajuk “Making Services Work for the Poor in Indonesia” serta analisis yang dituangkan dalam laporan
ini.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
xviii
19. Bab 1
Tantangan dalam Penyediaan Layanan: Isu-isu Turunan Kedua
dan Inefisiensi yang terjadi sehubungan dengan pemberlakuan
Desentralisasi
Bab ini berfokus pada tiga pertanyaan:
• Bagaimana keadaan pemberian layanan masyarakat di Indonesia?
• Bagaimana lingkungan pemberian layanan masyarakat mengalami perubahan beberapa
tahun belakangan ini?
• Tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi dalam pemberian layanan masyarakat?
20. Terdapat persepsi yang berkembang luas bahwa penyediaan layanan di Indonesia telah mengalami
kemunduran sejak Indonesia menerapkan desentralisasi tahun 2001. Data yang ada menunjukkan
bahwa realitas yang terjadinya sebenarnya lebih berupa perkiraan saja. Indonesia telah membuat
kemajuan luar biasa dalam hal penyediaan layanan publik, namun kemajuan itu kini melambat,
walaupun belanja publik sudah meningkat tajam. Demokratisasi dan desentralisasi telah menciptakan
lingkungan dimana khalayak publik menaruh harapan begitu tinggi terhadap para pemimpin, baik di
tingkat nasional maupun daerah. Pada saat yang sama muncul ketidakjelasan di dalam pemerintah
sendiri tentang siapa yang harus bertanggung jawab untuk bidang-bidang tertentu. Indonesia kini
sedang menghadapi sejumlah isu generasi kedua: bagaimana cara meningkatkan mutu layanan,
Bab 1
mengurangi kesenjangan, dan menangani isu korupsi dalam penggunaan berbagai sumber daya
publik. Kembali lagi ke masa lalu pada pendekatan dan kontrol sentralistik yang ketat bukan merupakan
opsi yang tepat. Kini diperlukan paradigma baru dalam penyediaan layanan publik.
Terdapat persepsi yang berkembang luas bahwa penyediaan layanan di Indonesia telah mengalami
kemunduran setelah Indonesia menerapkan desentralisasi tahun 2001. Surat kabar memberitakan
munculnya kasus penyakit polio, penyakit yang dianggap menjadi bagian dari masa lalu; berbagai kasus gizi buruk;
dan kesulitan keuangan yang dihadapi orang tua untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Para politisi yang
sedang menghadapi tantangan pelaksanaan mekanisme pemilihan umum secara langsung, kini semakin merasa
tertekan. Pengambilan kebijakan di tingkat pusat telah mengambil langkah besar, seperti realokasi subsidi bahan
bakar minyak pada penyediaan kebutuhan pokok, suatu upaya yang bertujuan untuk memberikan dispensasi bagi
masyarakat miskin agar mereka bebas dari biaya pendidikan dan kesehatan dasar.
Di tingkat kabupaten, desentralisasi telah menimbulkan berbagai pengalaman. Beberapa kabupaten
mengalami kasus korupsi dan pencurian, kabupaten lain masih mempertahankan (status quo) mereka, sementara
yang lain berani memperkenalkan berbagai inovasi dalam penyediaan layanan publik.
Lima tahun setelah pemberlakuan desentralisasi, laporan ini menguraikan apa yang telah terjadi dan
merekomendasikan sebuah jalan keluar. Data mengenai kondisi pasca-desentralisasi terhadap penyediaan
layanan dan pembangunan kemanusiaan kini tersedia dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan evaluasi apakah
perkiraan kemunduran itu memang benar-benar terjadi atau tidak. Pengalaman kabupaten yang begitu melimpah
merupakan pelajaran yang sangat berharga mengenai berbagai pilihan yang tersedia untuk meningkatkan layanan
publik dan bagaimana lingkungan kebijakan yang baru dapat berpengaruh terhadap peranti yang dimiliki pengambil
kebijakan saat ini. Laporan ini mengusulkan sebuah paradigma baru untuk meningkatkan penyediaan layanan yang
berdasarkan prinsip desentralisasi dan demokratisasi bagi rakyat Indonesia.
Kemajuan yang menakjubkan, tetapi baru-baru ini menurun
Indonesia telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Penurunan
angka kematian bayi dan peningkatan tertinggi untuk angka partisipasi sekolah telah berhasil dicapai dengan
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
20
21. gemilang sejak Indonesia merdeka. Pada tahun 1960 angka kematian balita mencapai lebih dari 200 per 1.000
orang — dua kali lebih besar dari angka kematian balita di Filipina atau Thailand. Pada 2005 angka tersebut turun
hingga kurang dari 50 per 1.000 orang, yang merupakan salah satu penurunan tertinggi yang terjadi di kawasan ini.
Seorang anak yang lahir pada tahun 1940 hanya memiliki sekitar 60% kesempatan untuk mengenyam pendidikan,
40% untuk menamatkan sekolah dasar, dan 15% untuk menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama.
Sebaliknya, lebih dari 90% anak-anak yang lahir sejak tahun 1980 berhasil menamatkan pendidikan sekolah dasar
mereka dan hampir 60% menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. (Diagram 2).
Diagram 2 Indonesia telah melaksanakan peningkatan keluaran secara dramatis selama lima dekade terakhir
Bab 1
Angka kematian balita, 1960–2000 Perolehan tingkat pendidikan berdasarkan tahun
kelahiran, 1940–90
250 100
Ever attended
school
200 80
Deaths per 1,000 births
Indonesia Completed
60
150
Percent
Malaysia primary
school
Philippines
Thailand 40
100 Completed
Viet Nam lower
secondary
20
school
50
Completed
0 upper
secondary
0 1940 1950 1960 1970 1980 1990 school
1960 1970 1980 1990 2000 Year of birth
Sumber: Tingkat mortalitas balita dari data UNICEF (www.childinfo.org); tingkat perolehan pendidikan berdasarkan analisis data Susenas 2003.
Kemajuan yang luar biasa ini terjadi akibat pertumbuhan ekonomi yang mantap. Sebagian besar dari
kemajuan yang diperoleh semata-mata berkaitan dengan peningkatan pendapatan: pendapatan per kapita
berlipat ganda antara tahun 1970 sampai dengan 1980 dan berlipat ganda lagi pada akhir tahun 1990-an (sebelum
terjadi krisis ekonomi tahun 1997). Salah satu analisis tentang program keluarga berencana Indonesia yang sangat
luas menunjukkan bahwa sebagian besar pengurangan fertilitas berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang
pesat dan peningkatan jenjang pendidikan. Namun, analisis tersebut juga menunjukkan bahwa penurunan angka
fertilitas hanya dimungkinkan karena adanya pasokan alat-alat kontrasepsi yang sangat gencar saat itu (Gertler dan
Molyneaux, 1994).
Selama kurun waktu tersebut, kebijakan pemerintah masih berfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok
dan peningkatan akses terhadap layanan dasar. Pada pertengahan tahun 1970-an, misalnya, pemerintah
menggunakan pendapatan dari sektor minyak untuk mendanai pembangunan sekolah serta untuk mengangkat
dan menggaji guru. Inisiatif ini menyebabkan peningkatan jumlah anak yang bisa masuk ke sekolah dasar. Jumlah
siswa sekolah dasar saat itu meningkat dari 13 juta tahun 1973 menjadi lebih dari 26 juta pada tahun 1986, dan lebih
dari 90% anak usia sekolah berhasil mengenyam pendidikan sekolah dasar (Filmer, Lieberman, dan Ariasingam
2002).
Fokus pada bidang kesehatan dasar mendorong peningkatan cakupan layanan. Misalnya, pada tahun 1989
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
21
22. pemerintah Indonesian mengangkat bidan kemudian perawat dan menempatkan mereka di daerah pedesaan,
sebuah inisiatif yang resmi diberi nama program Bidan di Desa (BDD). Menjelang akhir tahun 1994, lebih dari
50.000 perawat-bidan yang berhasil ditempatkan (Parker dan Roestam, 2002). Dari komunitas yang diteliti secara
berulang-ulang Survei Kehidupan keluarga Indonesia (Indonesian Family Life Survey), kontribusi masyarakat terhadap
penempatan bidan-perawat desa meningkat, yang tadinya kurang dari 10% pada tahun 1993 menjadi hampir 46%
pada tahun 1997 (Frankenberg. dkk. 2004). Pada tahun 2002 hampir setengah dari seluruh jumlah kelahiran di desa
dibantu oleh bidan desa-perawat (Biro Pusat Statistik dan ORC Macro, 2003). Fokus terhadap layanan kesehatan
dasar juga mencerminkan peningkatan dengan tingkat cakupan program imunisasi. Sementara pada tahun 1980
kurang dari 20% bayi berumur 12 – 23 bulan menerima vaksin DPT pertama mereka, maka hampir 90% dapat
Bab 1
dijangkau pada tahun 2004 (UNICEF 2005).
Semua peningkatan dalam cakupan ini didorong oleh perluasan layanan publik yang dikendalikan pusat
dalam penyediaan layanan publik yang meliputi pembangunan gedung sekolah dan fasilitas pokok
kesehatan serta pengangkatan pegawai negeri yang ditugaskan untuk itu. Dengan kombinasi perluasan
pembangunan ekonomi, pendekatan tersebut memang berhasil dalam mencapai sebagian besar tujuan yang
telah ditentukan. Program pembangunan gedung sekolah besar-besaran secara langsung berkontribusi terhadap
peningkatan jumlah anak yang diterima di sekolah—dan analisisnya menunjukkan bahwa pendidikan semacam
itu juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja (Duflo 2001). Analisis program bidan-perawat di desa
berpengaruh pada peningkatan secara signifikan terhadap kesehatan ibu, anak, dan gizi balita (Frankenburg and
others 2004).
Seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan belanja publik ini telah memberikan banyak manfaat
kepada masyarakat miskin, tetapi program itu masih belum memihak masyarakat miskin. Dengan
pengecualian pengeluaran untuk pendidikan tinggi, pengeluaran pemerintah baik untuk program pendidikan
maupun kesehatan antara tahun 1989-1998, sudah semakin berpihak pada masyarakat miskin. Namun, manfaat
adanya belanja publik semacam itu dalam bidang pendidikan, dan kesehatan menjadi tidak berpihak pada
masyarakat miskin antara tahun 1998 dan 2003. Dengan menggabungkan data tentang penggunaan layanan publik
untuk setiap unit pembiayaan publik, menunjukkan bahwa sementara belanja untuk menyediakan layanan pokok
seperti fasilitas kesehatan dasar atau pendidikan dasar masih sedikit berpihak pada masyarakat miskin, belanja untuk
fasilitas rumah sakit dan sekolah menengah atas sangat berpihak pada masyarakat mampu (Diagram 1.2). Walaupun
terjadi peningkatan keluaran dan peningkatan penggunaan layanan di kalangan masyarakat miskin, manfaat secara
keseluruhan atas belanja untuk sektor kesehatan masih sangat berpihak pada masyarakat mampu. Belanja untuk
pendidikan sekolah dasar dan menengah pertama berpihak pada masyarakat miskin. Data yang masih statis itu
tidak mampu memberikan gambaran mengenai seluruh kisah yang ada di baliknya: bukti menunjukkan bahwa
pembiayaan yang baru di masa yang lalu pada dasarnya lebih berpihak pada masyarakat miskin daripada belanja
publik yang ada sekarang. Anggaran belanja publik yang baru, terutama jika ditargetkan dengan benar, dapat
memberikan manfaat secara proporsional kepada masyarakat miskin (Lanjouw dkk. 2001).
Diagram 3 Perluasan akses telah membuat belanja publik menjadi lebih berpihak pada masyarakat miskin
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
22
23. 45 60
40
35 50
30
Percent
40
Percent
25
20 30
15
10 20
5
10
0
Public Hospitals All Primary Hospitals All Primary Hospitals All
health Health Health
0
Primary Junior Senior All Primary Junior Senior All Primary Junior Senior All
centers Care Care Sec. Sec. levels Sec. Sec. levels Sec. Sec. levels
1987 1998 2003 1989 1998 2003
Poorest quintile Quintile 2 Quintile 3 Quintile 4 Richest quintile Poorest quintile Quintile 2 Quintile 3 Quintile 4 Richest quintile
Bab 1
Sumber: Data kesehatan tahun 1987 berasal dari Van de Walle (1994), data tentang pendidikan untuk tahun 1989 berasal dari sumber-sumber Bank
Dunia (http://devdata.worldbank.org/edstats/); data tentang kesehatan dan pendidikan untuk tahun 1998 berasal dari Lanjouw dkk. (2001), tentang
kesehatan dan pendidikan untuk tahun 2003 didasarkan pada perhitungan yang dilakukan oleh staff Bank Dunia.
Catatan: Kategori “All/Semua” hanya meliputi pengeluaran yang dapat dialokasikan untuk perawatan kesehatan dasar di rumah sakit atau untuk
pendidikan sekolah menengah pertama.
Pemberlakuan desentralisasi secara besar-besaran atas penyediaan layanan di Indonesia sejak tahun
2000 telah menimbulkan kekhawatiran yang tidak terbukti. Undang-Undang (UU) No. 22 dan 25 Tahun 1999,
merupakan batu landasan hukum bagi pelaksanaan desentralisasi. Di dalam kedua UU tersebut dijelaskan tentang
konsep desentralisasi atas penyediaan layanan pokok di berbagai sektor, terutama di bidang kesehatan, pendidikan,
dan infrastruktur (untuk tinjauan yang lebih komprehensif tentang desentralisasi, lihat [Bank Dunia 2003]. Di bawah
UU tentang desentralisasi ini, kementerian pusat menyerahkan pelaksanaan tanggung jawab serta pejabat mereka
di bawah pemerintahan kabupaten, hampir untuk seluruh sektor. Pembiayaan untuk seluruh tanggung jawab dan
pelaksanaan fungsi di atas harus dilaksanakan berdasarkan (block grant) kepada pemerintah kabupaten. Transisi
ini melibatkan pengalihan pegawai negeri pusat yang jumlahnya sangat banyak demikian juga dengan aset-aset
negara dengan nilai yang sangat tinggi kepada pemerintah daerah.
Bukti-bukti yang ada sejauh ini menunjukkan bahwa sejak pemberlakuan desentralisasi atas sejumlah aspek
layanan terus mengalami peningkatan. Sebelum desentralisasi penggunaan layanan kesehatan rawat jalan
dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas mengalami penurunan.
Sejak pemberlakuan desentralisasi layanan-layanan ini mulai mengalami peningkatan. Persentase anak-anak yang
memperoleh prestasi terendah dalam bidang tren dalam Bidang Studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(MIPA) masih tetap sama antara tahun 1999 dan 2003, dan tingkat kematian anak pada tahun pertama menurun
antara tahun 1997 dan 2002/2003 (Diagram 1.3). Selanjutnya, penelitian tentang persepsi pengguna layanan
menunjukkan kepuasan secara umum atas layanan yang diberikan sejak penerapan desentralisasi. Pada tahun
2003 kebanyakan responden berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Indonesia mengatakan bahwa kemudahan anak-
anak untuk mendaftar di setiap sekolah sama dengan apa yang terjadi tahun 2000. Sebagian besar responden
menyampaikan bahwa ketersediaan obat-obatan, mutu layanan perawatan, dan derajat kesehatan anggota keluarga
sama dengan keadaan pada kurun waktu tiga tahun sebelumnya.
Diagram 4 Beberapa indikator penting yang mengalami peningkatan setelah pemberlakuan desentralisasi
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
23
24. Persentase prestasi siswa-siswa Kelas 8 Jumlah kematian sebelum genap satu tahun untuk
dalam bidang tes MIPA, 1999 dan 2003 per 1.000 kelahiran dalam kurun waktu 13–24 bulan
sebelum Survei Sosial Ekonomi Indonesia
60
80
50 70
60
40
Deaths per 1,000 births
50
Percent
30
40
20 30
20
10
Bab 1
10
0
Below low Low Intermediate High Advanced 0
1991 1994 1997 2002/3
1999 2003
Sumber: Data untuk nilai tes berasal dari Mullis dkk. (2004). Data mengenai tingkat mortalitas berasal dari.(Biro Pusat Statistik dan ORC Macro 2003).
Catatan: Kelahiran selama kurun waktu 13–24 bulan sebelum pelaksanaan survei ditelaah untuk menghindari penghitungan bayi sebelum pelaksanaan
desentralisasi.
Tetapi ada juga kecenderungan yang mengkhawatirkan muncul. Kasus gizi buruk, yang jumlahnya terus
mengalami penurunan sebelum tahun 2000, kembali mengalami peningkatan setelah tahun itu (Diagram 1.4).
Program vaksinasi, yang sangat bermanfaat bagi peningkatan derajat kesehatan publik telah mengalami penurunan
drastis. Selanjutnya, akibat adanya keragaman kondisi di seluruh Indonesia dan keterbatasan cakupan untuk
menggunakan aliran dana yang sama untuk setiap kabupaten, timbul kekhawatiran bahwa desentralisasi itu akan
mengakibatkan kesenjangan yang semakin besar antara kabupaten satu dengan yang lain.
Diagram 5 Penurunan tingkat gizi buruk (kurangnya berat badan) dapat dihentikan pada periode pasca
desentralisasi
Persentase balita yang mengalami gizi buruk
50
40
Susenas nasional
30 Susenas urban
Susenas rural
20 Hellen Keller urban
Hellen Keller rural
10
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003
Sumber: Analisis data Susenas (berbagai tahun); Pee dkk. (2003).
Catatan: Akibat perubahan kode, tingkat kasus gizi buruk tahun 2000 dan 2001 dalam data Susenas tidak bisa dibandingkan.
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
24
25. Berbagai kecenderungan pasca pemberlakuan desentralisasi selama kurun waktu tertentu yang
menunjukkan peningkatan anggaran belanja di bidang kesehatan dan pendidikan yang sangat tajam.
Antara tahun 2001 dan 2003, baik konsolidasi pendidikan publik maupun belanja untuk kesehatan publik telah
meningkat sangat tajam (Diagram 1.5). Anggaran belanja untuk sektor pendidikan meningkat sebanyak 40%, di mana
60% adalah peningkatan pendanaan dari pemerintah pusat. Sebagian besar dari peningkatan ini—59%—adalah
pembiayaan pembangunan. Di bidang kesehatan, belanja publik meningkat sebanyak 47%, di mana pemerintah
pusat dan daerah memiliki tanggung jawab yang sama. Sebagian besar dari peningkatan ini (85%) adalah dalam
bentuk peningkatan belanja pembangunan.
Bab 1
Diagram 6 Sumber-sumber pendanaan untuk sektor pendidikan dan kesehatan telah ditingkatkan sejak
pemberlakuan desentralisasi
Milyar Rupiah harga 2003 Milyar Rupiah harga 2003
70000 18000
16000
60000 Pendidikan Kesehatan
14000
50000 12000
40000 10000
8000
30000
6000
20000 4000
10000 2000
0 0
7
8
99 9
)
01
02
03
0
19 7
19 8
99 9
)
01
02
03
20 000
2m
/9
/9
/9
00
2m
/9
/9
/9
20
20
20
20
20
20
96
97
98
/2
96
97
98
(1
/2
(1
19
19
19
00
19
00
19
20
19
Anggaran Rutin Pusat
Anggaran Rutin Pusat Pembangunan Pusat
Pembangunan Pusat TOTAL
Sumber: Aran dan Mochtar 2006a, 2006b
Lingkungan kebijakan yang baru dan menjadi prioritas
Desentralisasi telah mengakibatkan munculnya paradigma yang sama sekali baru dalam penyediaan
layanan publik. Enam tahun setelah diundangkan, masih terjadi kebingungan antara peran dan tanggung jawab
pemerintah di berbagai tingkatan. Desentralisasi telah menyebabkan (gegar) yang luar biasa pada seluruh sistem
di Indonesia, di mana pendanaan bergerak langsung dalam bentuk (block grant) anggaran ke tingkat pemerintah
kabupaten. Akan tetapi, berbagai aliran dana yang mengalir langsung ke kabupaten, dan akhirnya kepada petugas
dan pejabat di garis depan. Tersebut masih bersifat fragmental dan berubah-ubah, yang tidak memungkinkan bagi
pengguna layanan untuk mengetahui seberapa besar pendanaan yang semestinya mereka terima dan apakah
pendanaan tersebut sudah dicairkan atau belum. Keadaan ini telah menimbulkan peluang bagi tindak korupsi
dan kebocoran anggaran, dan ini telah membuat penyediaan layanan menjadi tidak efisien. Sistem pelaporan
melalui jalur kementerian telah terputus karena sejak pemberlakuan desentralisasi kementerian tidak lagi memiliki
wewenang di tingkat kabupaten.
Terdapat perbedaan kapasitas untuk menyediakan layanan di setiap kabupaten. Argumen yang biasa
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
25
26. digunakan jika kementrian ingin berperan di daerah adalah bahwa pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya
manusia yang cukup handal dalam bidang perencanaan dan manajemen. Pemerintah pusat telah mengeluarkan
peraturan bahwa pemerintah daerah harus melakukan penggabungan dan perampingan kelembagaan mereka.
Namun, peraturan ini dikeluarkan secara kaku, dari atas ke bawah, tidak fleksibel, yang akhirnya menyebabkan
ketidakpuasan ditingkat pemerintah daerah. Kelemahan utama dari peraturan tersebut adalah tidak adanya
ketentuan yang mengizinkan pemerintah daerah untuk merumahkan pegawai jika jumlahnya berlebihan (misalnya,
melalui skema pensiun dini). Tidak adanya ketentuan mengenai penentuan kelembagaan semacam ini menyebabkan
pemerintah daerah harus menggaji pegawai yang tidak tepat untuk tugas yang tidak sesuai—terjadinya kelebihan
pegawai pada sejumlah fungsi atau kekurangan pegawai pada fungsi yang lain—dan tidak terdapat banyak
Bab 1
kemungkinan untuk memperbaiki kondisi ini.
UU tentang desentralisasi mengatur sektor, dan bukan fungsi, tertentu yang harus dialihkan ke pemerintah
daerah. Hasilnya, timbul kebingungan terutama dalam hal tanggung jawab dan akuntabilitas. Masih
terjadi tumpang tindih fungsi yang cukup banyak, sementara kementerian tetap memainkan peran mereka
dalam implementasi program, bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten. Sistem ini sangat
membingungkan, kurangnya koordinasi, dan saling tidak percaya di antara tiga tingkatan pemerintah. Pejabat senior
di pemerintahan kabupaten sering kali tidak mampu memahami, apalagi melakukan pemantauan atas apa yang
sedang terjadi pada sektor mereka, siapa yang ditugaskan dan apa tugas mereka, dan kapan tindakan harus diambil.
Tanggung jawab pemerintah provinsi hanyalah untuk melakukan koordinasi, evaluasi, akreditasi, dan standarisasi,
tetap pemerintah provinsi terus menyiapkan dan melakukan implementasi program. Akibatnya, pemerintah pusat
dan kabupaten melihat pejabat pemerintah provinsi sebagai kompetitor dan bukan sebagai mitra yang akan diajak
bekerja sama.
Desentralisasi telah menimbulkan dinamika dan lingkungan yang heterogen. Sebelum pemberlakuan
desentralisasi, jumlah kabupaten dan kotamadya kurang dari 300; tetapi jumlah itu kini membengkak menjadi
sekitar 420. Situasi ini masih berkembang, dengan sejumlah pegawai baru menempati posisi pemerintahan yang
baru, sering tanpa memiliki pelatihan dan keterampilan yang memadai. Maka terjadilah inefisiensi, karena setiap
kabupaten memerlukan struktur pemerintahan mereka sendiri. Pada saat yang sama, perbedaan anggaran untuk
kabupaten semakin besar dan berkembang, karena pemerintah kabupaten menerima sumber daya yang lebih
besar akibat peningkatan harga bahan bakar minyak.
Demokratisasi, yang terjadi secara simultan dengan desentralisasi, juga menciptakan lingkungan baru pada
penyediaan layanan publik. Sistem sentralisasi penyediaan layanan yang diterapkan Indonesia antara akhir tahun
1970-an sampai akhir tahun 1990-an sesuai dengan struktur politik saat itu, yang sangat sentralistik dan otorioter.
Dengan gerakan reformasi pada akhir tahun 1990-an, proses politik juga mengalami transisi penting menuju sistem
demokrasi, baik di tingkat pusat, dengan sistem multipartai dan pemilihan presiden secara langsung, demikian juga
dengan pemilu daerah dan pilkada. Kekuatan ini memiliki dua dampak: pertama, sistem ini telah memungkinkan
daerah untuk menegaskan keinginan dan aspirasi mereka serta menentukan prioritas investasi publik. Kedua, sistem
ini telah menciptakan cara-cara baru untuk membuat pembuat kebijakan agar selalu akuntabel. Demokratisasi di
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
26
27. tingkat daerah juga menghasilkan peningkatan partisipasi rakyat di sejumlah aspek penyediaan layanan. Ini sangat
jelas pada sektor pendidikan, di mana peran serta orang tua dan masyarakat telah dilembagakan dalam Komite
Sekolah.
Efisiensi yang rendah untuk anggaran belanja publik, mutu layanan yang rendah, dan kesenjangan
perolehan akses untuk berbagai keluaran. Semua masalah ini berkaitan dengan sistem di masa lalu yang selalu
dari atas ke bawah. Keterbukaan dan demokrasi yang semakin luas telah membuat semua permasalahan masa
lalu semakin kentara Kembali ke pendekatan sentralistik masa lalu bukan merupakan opsi saat ini. Upaya untuk
menangani generasi kedua dari permasalahan ini dalam lingkungan yang lebih demokratis dan desentralistis telah
Bab 1
membuat Indonesia menjadi semakin perlu untuk berkompetisi secara ekonomi dengan kawasan Asia Timur dan
secara global.
Tingkat ketidakhadiran yang sangat tinggi menunjukkan bahwa sumber daya-sumber daya yang penting
dikeluarkan dengan timbal balik yang sangat kecil. Sebuah penelitian dilakukan baru-baru ini dengan
melakukan kunjungan mendadak kepada lebih dari 100 sekolah dasar dan puskesmas di Indonesia (Chaudhury
dkk. 2005). Penelitian ini menemukan tingkat absensi sekitar 19% di antara para guru dan 40% di antara petugas
kesehatan. Indonesia memiliki tingkat absensi tertinggi untuk petugas kesehatan dibandingkan dengan negara
lain di dunia (Tabel 1.1). Penelitian lain menunjukkan bahwa 20% siswa yang sudah terdaftar di sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama di wilayah pedesaan tidak hadir di kelas saat kunjungan tersebut (Bank Dunia, 2005b).
Tabel 2. Persentase (%) ketidakhadiran guru dan petugas kesehatan di sejumlah negara (2003)
Negara Guru Petugas Kesehatan
Indonesia 19 40
Banglades 16 35
Ekuador 14 ––
India 25 40
Peru 11 25
Uganda 27 37
umber: Chaudhury dkk. (2005).
Catatan: –– menunjukkan data tidak tersedia
Indonesia memiliki perbandingan siswa/guru yang paling rendah di dunia, bahkan masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan negara kaya seperti Amerika Serikat. Walaupun jumlah guru sangat banyak, ternyata daerah-
daerah terpencil masih kekurangan guru (Bank Dunia 2006).
Mutu fisik layanan untuk kebutuhan dasar seringkali sangat rendah. Sebagian besar infrastruktur untuk
menyediakan layanan kebutuhan pokok didirikan ketika terjadi (booming) minyak tahun 1970-an. Saat ini, kondisi
fisik dari sebagian besar infrastruktur tersebut sangat buruk. Dari sekolah dasar di pedesaan yang dikunjungi yang
merupakan bagian dari Goverment and Decentralization Survey (GOS), sekitar 40% dari sekolah tersebut atapnya
sudah bocor, tanpa fasilitas penerangan listrik. Hanya 30% puskesmas yang dikunjungi memiliki persediaan obat-
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
27
28. obatan secara lengkap, dan sekitar 25% kekurangan lebih dari tiga jenis obat-obatan (Bank Dunia 2005b).
Hasil pembelajaran di Indonesia masih sangat lemah, terutama yang berkaitan dengan kompetitor ekonomi.
Berdasarkan standar internasional, hasil pembelajaran masih rendah. Program Penilaian Siswa Internasional atau
Program for International Student Assessment (PISA) menemukan bahwa siswa Indonesia yang berumur 15 tahun
prestasinya sama dengan rata-rata siswa di Brazilia dan jauh di bawah prestasi siswa di Thailand atau Republik Korea
(Diagram 7). Selanjutnya, prestasi yang rendah tidak semata-mata disebabkan oleh faktor kemiskinan. Siswa yang
pada ekonomi terkaya memiliki prestasi lebih baik daripada siswa lain di Indonesia, namun nilai rata-rata mereka
masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan siswa dengan terkaya di Brazil—dan lebih buruk jika dibandingkan
Bab 1
dengan siswa dengan paling miskin di Thailand (Diagram 7). Sebuah studi kasus yang baru-baru ini dilaksanakan
mengenai pendidikan di Malang menjelaskan faktor-faktor sistemik yang berkontribusi terhadap mutu pendidikan
yang begitu rendah. Faktor-faktor itu muncul di seluruh sistem pendidikan, bahkan juga pada sekolah-sekolah swasta
yang sangat bergengsi sekalipun (Bjork 2005). Penelitian serupa juga menyimpulkan bahwa 66% dari siswa kelas 8
di Malaysia menunjukkan prestasi tingkat “menengah atau (intermediate)” atau di atas standar internasional untuk
kemampuan matematika, hanya 24% siswa Indonesia yang mampu mencapai tingkat tersebut pada kelas yang
sama (Martin dkk. 2004). Di Malaysia, 30% siswa yang berada pada kelas 8 mampu mencapai prestasi pada tingkat
“tinggi atau (high)” atau bahkan lebih tinggi, sedangkan hanya 6% dari siswa Indonesia yang mampu mencapai
tingkat tersebut.
Diagram 7. Angka Partisipasi Sekolah di antara siswa Indonesia yang berumur 15 tahun masih rendah, bahkan masih
rendah pada siswa-siswa yang tergolong mampu.
Math scores Problem solving scores
600 600
500 500
400 400
300 300
200 200
Thailand
Thailand
Indonesia
Indonesia
Brazil
Brazil
Korea
Korea
Poorest quintile of students
Richest quintile of students
Average score
Sumber: Analisis data Program Penilaian Siswa Internasional 2003
Indonesia telah mampu menurunkan angka kematian bayi, tetapi sejumlah indikator menunjukkan adanya
berbagai masalah pada mutu layanan publik. Jumlah dokter, perawat, dan bidan yang bertugas memberikan
layanan kesehatan baik yang berasal dari sektor publik maupun swasta tidak mampu menyebutkan prosedur yang
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
28
29. benar ketika menangani kasus hipotesis suatu penyakit (Diagram 1.7). Proporsi prosedur yang benar yang mereka
sampaikan masih berkisar antara 42–52% untuk penanganan kuratif orang dewasa, 41–44% untuk penanganan
prenatal, dan 55–62% untuk penanganan kuratif anak-anak (Gertler dkk. 2002). Observasi ini sesuai dengan temuan
dalam sebuah studi yang berjudul “(Pilot Project) Jaminan Mutu dari Proyek Kesehatan IV”. Observasi dasar mengenai
praktik yang dilakukan oleh petugas puskesmas yang dilakukan sebelum dilakukan intervensi berdasarkan (pilot
project) tersebut menunjukkan bahwa 20–30% memenuhi persyaratan sesuai pedoman klinis untuk menangani
beberapa masalah kesehatan tertentu (Panel kiri pada Diagram 8). Persentase anak-anak yang menerima imunisasi
DPT yang ketiga masih di bawah 80% dan bahkan kini sudah mulai mengalami penurunan (Panel kanan pada
Diagram 9).
Bab 1
Diagram 8 Pengetahuan petugas kesehatan tentang Diagram 9 Penurunan vaksinasi DPT
standar layanan publik masih rendah
Percentage of 12- to23-month-olds that receive
Knowledge of service standards in health their third DTP vaccination
100.0%
100
80.0%
60.0% 80
40.0%
Indonesia
60
20.0% Malaysia
Percent
Philippines
0.0% Thailand
40
Vietnam
Public health centers Private nurses and Private MDs and
midw ives clinics 20
Adult curative care Prenatal care Child curative care
0
1980 1985 1990 1995 2000 2005
Sumber: Panel kiri dari Barber, Gertler, dan Harimurti 2005 yang didasarkan pada Survei Kehidupan keluarga Indonesia 1997. Panel kanan dari (UNICEF,
2005).
Salah satu indikator yang menunjukkan rendahnya mutu layanan publik merupakan fakta yang diungkapkan
oleh banyak pasien yang tidak puas yang mengakibatkan mereka beralih ke sektor swasta—walaupun
pemerintah selalu menekankan pentingnya penyediaan layanan publik yang bermutu. Ini memang benar
terutama dalam bidang layanan kesehatan dan pendidikan non primer. Dari seluruh strata ekonomi, hampir 60%
kunjungan untuk mendapatkan layanan kesehatan pada tahun 2004 semuanya ditujukan ke fasilitas yang disediakan
oleh sektor swasta. Layanan yang diberikan oleh sektor swasta sering kali lebih baik daripada layanan yang diberikan
oleh sektor publik yang melayani masyarakat miskin (lihat Diagram 3.1). Studi yang bertajuk ”Suara Masyarakat Miskin”
yang dilakukan untuk menyiapkan laporan ini juga memberikan indikasi bahwa masyarakat miskin menggunakan
layanan yang disediakan oleh sektor swasta, bukan saja karena layanan mereka terkadang lebih murah tetapi juga
karena lebih baik (Mukherjee 2005). Pola semacam ini bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1993 tingkat
dan pola itu begitu mirip. Akan tetapi, sejak pelaksanaan desentralisasi, kunjungan ke sektor publik menunjukkan
peningkatan dari lapisan masyarakat dari berbagai lapisan ekonomi.
Kesenjangan untuk memperoleh akses dan kesenjangan keluaran masih tetap tinggi. Model layanan publik
Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia:
Titik Fokus untuk Mencapai Keberhasilan di Lapangan
29