1. lhamdulillah. Dengan memuja dan
memuji-Nya, dengan segenap kekuatan
pikir, imajinasi dan kesehatan lahirAbathin yang telah dikucurkan-Nya, akhirnya
majalah sastra GERBANG berhasil
diterbitkan untuk pertama kalinya.
Usaha pembuatan dan penerbitan majalah
ini dilakukan secara berdarah-darah. Tapi,
demi membuat wadah dan ruang tegur
sapa kreativitas seluruh anak bangsa di
Indonesia, khususnya di kawasan
Kalimantan (Timur) bagian utara, Gerbang
dihadirkan.
Terbitnya majalah ini disemangati oleh
imajinasi dan mimpi. Bahwa kita
membutuhkan wadah pemersatu,
setidaknya dalam level imajinasi. Media ini
diharapkan menjadi ruang bersama bagi
bertemunya beragam gagasan dari
berbagai latar belakang etnis, bahasa,
agama, bahkan aspek lain. Tentunya dalam
konteks sastra. Majalah ini juga hadir oleh
sebab kekuatan mimpi. Segenap tim
pengelola menyadari pentingnya media
sebagai kekuatan mengubah sejarah, bukan
mengikutinya.
Terakhir, inilah ruang bersama, tempat kita
menyemai bibit ide-ide luar biasa, yang
mengubah hal-hal biasa menjadi luar biasa.
Selamat berkreativitas dan berkarya. Tabik.
Salam.
Sapa Redaksi
sapa redaksi
Edisi01/tahun I/2012 1
2. Konsultan Sastra
Korrie Layun Rampan
Suminto A. Sayuti
Jhoni Ariadinata
PemimpinUmum
MuhammadThobroni
PimpinanRedaksi
SyamsulBachri
PemimpinPerusahaan
MuhammadAzni
Anggota
Theodorus,Alvian
SekretarisRedaksi
YeyenPurwiyanti
Dewan Redaksi
Erna Wahyuni, S.S.,M.A (Redaktur Ahli)
Dwi Cahyono Aji, M.A.
Iva Ani Wijiati, S.Pd
Siti Sulistyani Pamuji, S.Pd
Siti Fatonah, S.Pd
Rita Kumalasari, S.Pd.
Anggota Redaksi
Try Rubianto
Tunggal Hardianto
Jenny Eka Maryanty
Novitasari
SUSUNAN PENGELOLA
Redaksi
Alamat : Jurusan Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia dan
daerah, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas
Borneo Tarakan, Jalan Amal Lama
No 1 Kota Tarakan;
Website :
http://majalahgerbang.blogspot.c
om ;
Twiter: @majalahgerbang ;
E-mail/Facebook:
Gerbangmajalah@yahoo.co.id ;
Contact Person Redaksi :
082152930851 (Yeyen
Purwiyanti)
Hotline Iklan : 085247848611
(Muhammad Azni)
Redaksi menerima kiriman tulisan dalam bentuk cerpen, puisi, esai sastra, resensi
(buku sastra, film, drama, dan sebagainya), serta photo dan kartun. Tulisan, photo
dan kartun yang dimuat akan diberikan tanda bukti majalah terbit dan kenang-
kenangan.
Model Sampul :
Yuni Astuti
Mahasiswa Pendidikan Sastra,
Bahasa dan Daerah Fakultas
Keguruan dan Pendidikan
UniversitasBorneoTarakan.
Dokumen Pribadi
MAJALAH SASTRA GERBANG
Diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan
Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Borneo Tarakan
Gerbang2 Sastra Menyatukan Bangsa
3. Edisi01/tahun I/2012 3
Daftar Isi
SAPA REDAKSI
REDAKSI
DAFTAR ISI
CERPEN UTAMA
CERPEN 2
GELAP
Korrie Layun Rampan
MY IDOL ARROGANT
Novitasari
Guru Ule
Syamsul Bahri
CERPEN 1
ESAI
PUISI-PUISI
CERITA ANAK
ULASAN
Menanti Tumbuhnya Kantong
Sastra di Kaltim
Sunaryo Broto
Puisi-puisi Amien
Wangsitalaja:
Mendirikan Malam 1
Mendirikan Malam 2
The Spirit of Mecca
Pengantin (1)
Puisi-puisi Heri Sucipto (Den
Cipto):
Pesona Ruhui Rahayu
Tepian oh Tepian
Kapal Kayu
Puisi Eka Haditia:
Untuk Anak-anakku
Puisi Asri Rubianto:
HITAM_PUTIH
Puisi Ariani:
Pangeran Hatiku
Puisi Rusli Badi:
Kehidupan Anak Jalanan
Puisi Yusriadi Hasan Basri:
Dipasung Sunyi
Puisi Yeyen Purwiyanti:
Cucuran Keringat
Hasna dan Bebek Kecil
Seksualitas dalam Lelaki dari
Selatan
GERBANG
1
2
3
4
12
18
22
28
29
30
31
31
31
32
32
34
36
4. Cerpen Utama
Tak ada yang menduga bahwa
situasi dapat berganti dengan cepat dan
bersuasana aneh. Bunga-bunga kertas
yang bergantungan dan bunga-bunga
hidup yang menghiasi ruangan tampak
jadi layu seketika, seperti diserang
wabah api yang menghanguskan segala
benda. Keserasian yang selama berhari-
hari mengorak di seluruh rumah, dalam
ruangan, dan kamar-kamar—bahkan
sehingga ke sumur, beranda dan
halaman rumah—tiba-tiba menjadi
ngelangut dalam warna yang bermuram
durja. Kemuraman itu serasa meniti
semua hati dan memukul perasaan. Pada
orang tua Erna pukulan itu terasa
demikian keras!
“Pelajaran paling pahit yang
kita alami,” suara ayah Erna. “Ibu terlalu
menuruti kemauan sendiri. Akhirnya kita
juga yang memetik hasilnya. Rasa malu
dan….”
“Bapak jangan menyalahkan
Ibu. Mengapa Bapak tidak mampu
mencegah anak itu lari? Bapak memang
tak bertanggung jawab!”
“Tanggung jawab? Ibu yang
harus bertanggung jawab. Karena Ibu
yang memaksa kehendak sendiri. Sudah
kukatakan, jangan memaksa kehendak
sendiri seperti mengukur baju orang di
badan kita. Nah, Ibu sendiri yang merasa
akibatnya.”
“Bapak juga menerima akibatnya.
Karena Bapak tidak bijaksana!”
“Tidak bijaksana? 'Kan sudah kubilang,
kita rundingkan dengan Erna. Kalau
memang ia menolak Suparno, ya, kita
jangan memaksa. Bukankah yang
menjalani hidup berumah tangga itu
Erna sendiri?”
“Tapi ia perlu diatur, agar ia
mendapatkan kebahagiaan. Tidak
menjadi gembel!”
“Diatur? Kayak kita ini hidup di zaman
Siti Nurbaya saja. Orang yang kreatif
uasana yang begitu meriah dan penuh
tawa itu tiba-tiba berubah menjadi
Skeadaan yang menggelisahkan. Suara-
suara lembut yang penuh bunga kesenangan
tiba-tiba berubah dalam nada-nada keras
dan penuh ancaman. Di antaranya adalah
suara tangis yang mula-mula lirih, tiba-tiba
ada yang melengking dan membentuk
semacam paduan suara yang menggemakan
rasa duka.
GELAPKorrie Layun Rampan
Gerbang4 Sastra Menyatukan Bangsa
5. tidak akan suka diatur dengan cara
begitu. Ibu sudah cukup mengatur
makan-minumnya semenjak bayi, tapi
setelah ia dewasa, ia berhak
menentukan masa depannya sendiri.”
“Bapa memang begitu. Sekarang pun
membela anak yang mencorengkan
arang di kening. Lalu maumu
bagaimana?”
“Semuanya sudah terlanjur begini. Taka
ada cara kita untuk mengubah keadaan,
selain dari hanya mengikuti arus.
Kenyataan pahit macam apa pun kita
harus terima. Yang pertama kita harus
minta maaf kepada keluarga calon suami
Erna, juga kepada Suparno sendiri. Kita
juga harus minta maaf kepada seluruh
undangan. Langkah selanjutnya akan kita
atur kemudian.”
“Tapi Erna sendiri bagaimana? Di mana
ia sekarang? Dan Suparno? Adakah dia
mampu memaafkan Erna, memaafkan
kita?”
“'Kan ini semuanya Ibu yang mengatur.
Mengapa Ibu jadi merasa khawatir?”
“Aku merasa sangat malu!”
“Karena itu Ibu aturlah dengan cara
terbaik agar beban malu itu dapat
tertutupi.”
“Aku justru mengkhawatirkan Erna.”
“Dia sudah dewasa.”
“Tapi Erna satu-satunya anak kita. Aku
sudah memberikan yang terbaik untuk
dia. Aneh rasanya, air susu yang
kuberikan justru dibalas dengan air
tuba.”
“Air tuba?”
“Apalagi kalau bukan air tuba? Yang
baik dibalas yang jahat. Yang kuberikan
menjanjikan kenyamanan dan
kebahagiaan hidup, justru dibalas
dengan kesusahan dan dukacita.”
“Itulah salahnya Ibu memandang.
Segala yang baik dan segala yang
berkenan di hati Ibu, Ibu berikan dan
suapi pada Erna. Semasa ia kanak-kanak
ia dapat menerima perlakuan seperti itu,
tapi setelah ia dewasa, setelah ia
sarjana. Ia punya arah tuju. Ia punya
keinginan dan kemauaan yang harus ia
laksanakan sendiri. Yang baik menurut
Ibu, mungkin yang terburuk bagi dia.
Kalau ia merasa tidak mungkin mencintai
Suparno karena ia mencintai Rinto?”
“Anak berandal tengik itu? Apa yang
akan diberikannya kepada Erna?
Mampukah ia membahagiakan Erna?”
“Mereka punya jalan sendiri-sendiri.
Menurut kaca mata Ibu, Rinto buruk.
Anak berandal. Anak nakal. Tapi dia juga
sarjana. Dia bisa menalar sendiri . Dia
mampu mendukung kehidupan
keluarganya. Mungkin saja mereka akan
berbahagia, walaupun mereka sekarang
tak punya apa-apa.”
“Suparno telah mempunyai apa yang
mungkin membuat Erna berbahagia.
Anehnya Bapak selalu membela Erna
dan Rinto,”
“Aku membela yang baik. Sikap otoriter
yang telah Ibu pegang selama ini justru
membuat semuanya berantakan.
Bukankah itu berarti Ibu telah gagal?”
“Aku tak pernah gagal. Aku yakin aku
bisa mengendalikan Erna. Yang
kuinginkan adalah sikap Bapak sebagai
kepala keluarga. Bagaimana cara terbaik
yang harus kita lakukan agar kita bisa
terlepas dari lingkaran rasa malu yang
mencoreng wajah kita. Bagaimana kita
membasuh….”
Ayah Erna tak memjawab. Tiba-tiba ia
merasa disergap rasa welas pada istrinya
yang bersikap otoriter. Ia juga merasa
kerinduan yang begitu datang tiba-tiba
pada Erna. Anak satu-satunya, putri lagi.
Selama ini ia lupa melihat Erna. Ia lupa
kalau putri tunggalnya itu telah dewasa.
Telah lulus sarjana. Telah mampu
menentukan jalan sendiri. Ia merasa
anaknya masih bayi. Masih kanak-kanak
yang ceria, ayu dan kemayu. Kanak-
Cerpen Utama
Edisi01/tahun I/2012 5
6. kanak yang penuh tawa dan canda, yang
banyak merebut perhatiannya semasa
Erna masih kecil dan manja. Tetapi
serentak kegiatan bisnisnya meningkat
dan Erna meningkat remaja, sampai lulus
perguruan tinggi, waktu untuk putri
tunggalnya itu makin sedikit. Semuanya
ia serahkan kepada istrinya. Dan sang
istrilah yang mengatur semuanya,
sampai-sampai pada perkawinan. Dan
kini ia dihadapi oleh kenyataan yang
lebih pahit dari empedu. Ternyata di hari
pernikahan itu, Erna minggat. Entah ke
mana ia pergi, hanya besar dugaannya
Erna minggat bersama pacarnya, Rinto,
pemuda yang tak disukai istrinya.
Beberapa kali ia dapat berbincang-
bincang dengan Rinto, dan ia merasa
menyukai pemuda itu. Sikap Rinto yang
terbuka, tutur katanya yang sopan,
pikirannya yang maju, dan
kecerdasannya yang membuat ia meraih
gelar sarjana, walaupun keadaan
ekonomi keluarganya terbilang sangat
mundur. Ia sendiri tidak memilih siapa
yang akan menjadi pendamping
anaknya, yang ia kehendaki adalah
kebahagiaan sang anak. Masih teringat
akan percakapannya yang terakhir
dengan Rinto.
“Jadi setelah lulus sarjana, Rinto akan
mengabdi di desa?” ia bertanya karena
Rinto mengatakan ia akan bertugas di
pedalaman.
“Rencanan Rinto memang demikian,
Oom. Tapi tak tahu bagaimana
resliasasinya. Rinto ingin membuka
sekolah di pedalaman. Mungkin di
pedalama Irian atau pedalaman
Kalimantan.”
“Baik sekali,” ia memuji. “Sekolah apa,
misalnya?”
“Sekolah pertanian. Yaitu pertanian
yang cocok dengan kondisi tanah
setempat. Rinto pikir, sering kali
penerapan pertanian di beberapa
kawasan Tanah Air kita salah, terutama
pada bentuk pengelolaan tanah.”
“Mungkin ada benarnya,” ia tiba-tiba
seperti setuju.
“Maaf, Pak. Bukan hanya mungkin
Bapak,” Rinto meyakinkan. “Tanah muda
seperti di Irian dan Kalimantan tidak
akan cocok digarap seperti kita
menggarap tanah di Jawa.. Apalagi di
Kalimatan dan Irian sedikit gunung api,
sehingga kondisi tanahnya jadi lain,
termasuk kesuburan. Pori-pori tanah
yang besar dan lebar. Itu sebabnya sulit
dibuat pengairan di dataran yang agak
tinggi di Irian dan Kalimatan. Kecuali di
dataran rendahnya. Tapi dataran rendah
di dua pulau itu selalu berada di
sepanjang sungai. Sedangkan sungai-
sungai itu selalu banjir di sepanjang
tahun.”
“Lalu cara mengatasinya?”
“Sawah hanya bisa dibuka di bagian
lembah yang tidak dilewati sungai besar.
Atau dibuka tanah di daerah pasang
surut. Bisa juga dibuat sawah di bagian
penghuluan sungai, yaitu di bagian-
bagian udik sekali, di kawasan tanah
yang agak datar dengan tetap
menetapkan kawasan konservasi.
Sedangkan tanah-tanah dataran tinggi
sangat baik dijadikan areal perkebunan.
Kebun vanili, kebun cokelat, kebun buah-
buahan, kebun cengkeh, kalapa sawit,
dan sebagainya. Kalau tanah yang luas
itu dapat dibuka, kita tidak akan
tergantung pada minyak saja, Bapak.”
“Kamu betul, Rinto,” ia merasa hatinya
bersorak.
“Tapi itu baru hanya cita-cita saya,
Bapak. Kenyataannya masih jauh ke
depan. Hanya Rinto merasa yakin
terhadap semua apa yang baik. Seperti
telah terbayang hamparan kebun dengan
daun yang menghijau. Seperti terbayang
sawah yang terhampar luas di kawasan
lembah dalam. Berhektar-hektar padi
Cerpen Utama
Gerbang6 Sastra Menyatukan Bangsa
7. menguning, berkilometer kebun buah
dan pohon berharga yang menghasilkan
devisa. Itu semua menuntut cinta akan
kerja, Bapak,” Rinto menatap ayah Erna.
“Ya, ya, memang benar.”
Bayang-bayang Rinto tiba-tiba
menyeruak dalam bayangan Suparno.
Sulit bagi ayah Erna untuk
membayangkan Suparno. Apakah
melihat dari kepribadiannya atau melihat
kekayaannya. Kalau menilik kecerdasan
dan kepribadian Suparno, anak muda itu
jauh di bawah Rinto. Akan tetapi kalau
ukurannya pada harta kekayaannya, ia
adalah pemuda yang pantas
diperhitungankan. Namun harta itu pun
perlu dipertanyakan, apakah hasil
tetesan keringatnya sendiri atau
limpahan dari orang tuanya Karena
memang orang tua Suparno tergolong
orang yang sangat berada. Tampaknya
ibu Erna lebih terpikat oleh harta benda
ketimbang kemampuan membentuk
masa depan yang hanya terbayang
dalam rancangan. Rinto memang baru
merancang, belum menjalaninya, karena
kesempatan tampaknya baru akan
datang setelah ia lulus sebagai sarjana.
Masih dalam senggukannya ibu Erna
merasakan bahwa dirinya menjadi ibu
yang malang. Anak yang dikasihi dan
dipelihara dengan segala daya dan
kekuatan tiba-tiba terbang bagai burung
yang baru lepas dari angkar emas. Terasa
Erna begitu tega meninggalkan rencana
yang telah dibuat, tanpa memberi
penolakan secara keras. Walaupun
memang saat lamaran itu disampaikan,
ia pernah berbicara dengan Erna. Gadis
itu memang menunjukkan sikap yang
menolak, walaupun tidak dengan nada
berontak yang tajam. Itu yang membuat
ibu Erna merasa yakin bahwa Erna
menerima Suparno.
“Erna telah memilih Rinto, Ibu. Karena
itu rasanya tak mungkin Erna menerima
Suparno.”
“Kau rasa tak mungkin, itu berarti
mungkin Erna. Masa Depanmu akan
lebih terjamin jika engkau bersama
Suparno, Nak. Ibu merasa plong jika
melepaskanmu bersama Suparno.”
“Plong pada Ibu, tapi tidak pada Erna,
Bu.”
“Bersama Rinto hidupmu akan menjadi
musibah, Erna. Suparno telah memiliki
apa-apa yang engkau butuhkan.
Sedangkan Rinto? Apa yang Erna
harapkan dari hanya gelar sarjana?”
“Cinta dan kerja keras, Bu.”
“Cinta? Jika Erna memahami arti hidup
yang sesungguhnya, Erna akan
memahami makna cinta. Kalau misalnya
kau sedang kelaparan, apakah mungkin
engkau makan cinta? Dan kerja keras?
Kau boleh berleha-leha dengan Suparno.
Tanpa kerja keras, Erna sudah
makmur….”
“Tapi Erna ingin bekerja keras,
menciptakan masa depan sendiri, Bu.
Jika Erna hanya menerima hasil keringat
orang lain, itu rasanya tidak nikmat.
Terasa sangat tidak berharga. Dan untuk
mencapai itu Erna bertekad
melakukannya bersama Rinto.”
“Aneh, Erna. Ada pemuda yang
mencintai engkau dan bersedia
membahagiakan engkau, tetapi kau tidak
Cerpen Utama
Edisi01/tahun I/2012 7
8. menerimanya. Sesungguhnya, kalau
engkau belajar mencintai Suparno,
engkau akan dapat memetik hasilnya.
Bahwa hidupmu akan terjamin. Kau akan
berbahagia.”
“Apakah bahagia itu terletak pada
banyaknya harta benda?”
“Kalau kau tak berharta dan menjadi
kere, adakah bahagia itu akan
menjenguk hidupmu? Erna terlalu muda
untuk dapat memikirkan masalah hidup
yang ruwet. Oleh karena itu, dengan
menerima cinta Suparno, Erna akan
dibimbing untuk mereguk bahagia yang
segera tiba.”
“Itu kalau Erna Ibu. Tetapi Erna
sendiri?”
“Erna 'kan belum menjalaninya.”
“Menjalani pernikahan? Perkawinan,
begitu? Amit-amit!”
“Apa lagi? Jika Erna sudah
menjalaninya, Erna akan dapat belajar
bagaimana yang disebut hidup berumah
tangga itu. Bahwa cinta saja tidak cukup.
Ia harus dilengkapi dengan uang, harta
benda, rumah, kendaraan, saling
memahami, dan turunan. Erna akan
merasakan bahwa cinta hanya elemen
kecil dari sebuah bangunan
perkawinan.”
“Maksud Ibu sangat baik, dan Erna
sangat berterima kasih. Tapi Erna tidak
mampu menjadikan diri Erna adalah Ibu.
Oleh karena itu, sebaiknya Ibu
menyampaikan baik-baik pada Mas
Suparno bahwa Erna belum mampu
berumah tangga, dan sebaiknya ia
menyampaikan lamaran kepada gadis
lain. Bukan Erna….”
“Tapi Ibu sudah menerimanya. Lalu Ibu
harus berbuat apa. Ibu akan bertindak
bagaimana?”
“Ibu menerima lamaran Mas
Suparno?”
“Karena Ibu yakin Erna akan
menerimanya.”
Ibu Erna kembali terguguk karena
senggukan tangis yang menyendat. Tak
pernah ia merasa kehilangan yang begitu
besar seperti kehilangan anak satu-
satunya ini. Ada rasa sesal yang demikian
mendera saat ia mengenang kembali
suka dan deritanya melahirkan dan
membesarkan Erna. Dari bayi merah
hingga menjadi gadis yang cantik jelita.
Ia merasa dirinya menitis ke dalam tubuh
dan jiwa Erna, tetapi mengapa tiba-tiba
titisan darah itu menyeleweng dari
kehendaknya? Apakah ia telah keliru dan
gagal sebagai ibu?
Ayah dan Ibu Erna sama-sama panik.
Keluarga yang ikut serta dalam pesta
itu pun merasa serba salah. Wajah
mereka serasa dibakar dengan api,
serasa disulut dengan aliran listrik yang
bervoltage ribuan watt. Semua mereka
yang sedang mengharapkan sukacita
yang besar dalam pesta yang sangat
mewah, tetapi justru berbuahkan ratap
dan tangisan yang mengiris hati. Terik
yang memancar dari langit serasa
menggayut mendung setinggi gunung.
Udara yang segar terasa begitu sumpek
dan berbau busuk. Semuanya terasa
buruk dan muram yang menyembul
dalam warna-warna hitam kelam.
Walapun sudah seminggu Erna
menghilang, tetapi warna muram masih
saja menggayut di dalam rumah
keluarganya. Sedangkan saat itu Erna
sudah berada di atas kapal motor wisata
di Danau Toba. Bersama Rinto, suaminya,
mereka berdua sedang mengakhiri
kunjungan ke danau itu, dan selanjutnya
akan memasuki dunia cita-cita di
pedalaman.
Pada saat hari pernikahan Erna, ia
dapat meloloskan diri dan kemudian
bersama Rinto berangkat ke Jakarta.
Rinto sendiri merasa terpukul karena
lamarannya yang telah ditolak secara
mentah-mentah oleh Ibu Erna. Oleh
Cerpen Utama
Gerbang8 Sastra Menyatukan Bangsa
9. bantuan kawan-kawan Rinto di Jakarta,
akhirnya mereka berdua dapat
dinikahkan di depan penghulu.
Selanjutnya mereka berdua
menghilangkan jejak ke Danau Toba.
Udara sangat cerah. Mereka berdua
pergi menyewa speedboat dan kemudian
mengarungi danau. Indahnya alam
danau itu seperti menyerahkan
keindahan dunia untuk direguk sampai
ke dasar. Di dalam perjalanan itu mereka
berdua terus merancangkan ide
kehidupan masa depan. Apa yang harus
dilakukan di pedalaman nanti. Dan di
saat itu pula di rumah Erna terjadi
perdebatan yang mendekati
pertengkaran karena kepergian Erna.
Keluarga pihak ayah dan keluarga pihak
ibu Erna saling menyalahkan, sehingga
terjadi perdebatan keluarga. Dan di saat
itu pula di atas speedboat itu terdengar
suara Rinto.
“Kita memang telah menyakitkan
keluarga, tapi tidak ada jalan lain. Ibumu
menolak aku, sedangkan Erna sendiri
menolak Suparno. Dan di atas semuanya
itu kita tak mampu hidup sendiri-sendiri,
karena kita memang ditakdirkan untuk
bersatu.”
“Memang demikian, Mas Rinto. Akibat
dari pelarian kita memang besar. Tapi
akan lebih besar akibatnya jika Erna
harus menikah dengan lelaki yang tak
Erna cintai. Mas Rinto akan menderita,
dan Erna akan menderita lebih
berlipat ganda.”
“Aku pikir di suatu ketika mereka
akan memaafkan kita. Mereka aka
memahami bahwa cinta dapat
membuat orang menjadi nekat.
Bahwa kita tidak main-main.”
“Memang tampaknya mereka
menganggap kita hanya main-main
karena kita dianggap sebagai
kanak-kanak tanggung yang tak
mampu berpikir sendiri. Sementara
kenyataannya kita telah lewat dua satu,
dan kita telah sama-sama sarjana.”
“Bukan soal sarjananya. Soalnya kita
telah dibebaskan dari pengampuan, dan
kita telah mampu menentukan jalan
hidup sendiri. Yang menanggung dan
menerima susah senang hidup kita
adalah kita berdua, 'kan?”
“Memang kita, Mas Rinto.”
“Karena itu maka rencana kita untuk
membuka kawasan pedalaman itu harus
secara cepat direalisasikan. Kita satukan
tabungan kita berdua, kita beli alat-alat
pertanian yang sederhana, dan kita
mulai bersama-sama dengan penduduk
yang sudah ada.”
“Ya, kita mulai setelah kita berada di
sana….”
“Kita mulai dari yang sedikit.”
“Untuk mencapai yang banyak.”
“Tapi anak kita tak usah banyak.”
“Berapa?”
“Dua.”
“Dua? Lelaki dan perempuan?”
“Lelaki atau perempuan sama saja.
Asal sehat rohani dan jasmani. Erna dan
Mas Rinto sama saja. Kita sama-sama….”
“Mencitai?”
“Saling melengkapi.”
“Saling isi-mengisi.”
“Ya, isi-mengisi….”
Matahari sudah turun dalam
kecondongan hampir senja. Saat
speedboat itu memutar ke jalan pulang,
Cerpen Utama
Edisi01/tahun I/2012 9
10. udara yang cerah telah tampak
bermendung dalam gayutan yang
menyimpan hujan. Angin yang tadi
sangat santai tiba-tiba berubah menjadi
tiupan yang menggetarkan pepohonan
dan menimbulkan gelombang besar.
Tampaknya awan memang menyimpan
topan, dan angin akan membawa awan
berhujan ke atas danau. Sedangkan
tepian pelabuhan masih beberapa
kilometer lagi. Pengemudi speedboat
menjadi gugup saat gelombang seperti
bukit mendaki pada dinding cakrawala.
Hujan yang mengandung topan seperti
kecepatan kilat ikut pula membuat
suasan menjadi menakutkan. Butiran
hujan yang besar saat jatuh di atas diri
membuat rasa sakit seperti ditusuk
jutaan jarum suntik yang majal. Dan di
saat topan limbubu mengandung hujan
berguntur memusar di atas danau dan
mengolengkan speedboat, hati ketiga
penumpang kendaraan itu seperti disilet.
Jantung serasa putus dan hati seperti
menciut dalam nyali yang seperti luka
berdarah. Di bawah kelebatan hujan dan
kekelaman yang memusar, gelombang
yang ditimbulkan oleh limbubu
mengungkit speedboat seperti membalik
ikan teri dalam wajan penggorengan.
Dalam kejap yang singkat, speedboat itu
tak mampu dikendalikan dan tergulung
ombak yang menggunung.
Mesin speedboat mati dan kendaraan
itu karam. Rinto menyambar dua bilahan
papan dan menggaet istrinya, karena
motoris lupa membawa pelampung.
“Kita harus selamat,” ia berkata dengan
gugup karena ingat Erna tak bisa
berenang. “Ingat anak kita yang akan
lahir….”
“Anak dua?”
“Anak dua dan lahan pertanian kita di
pedalaman.”
“Kita hidup berbahagia di sana.”
“Ya, kita hidup berbahagia.”
“Mas cinta Erna?”
“Erna cinta Rinto?”
“Erna melahirkan dua anak.”
“Anak Erna dan Rinto….”
Angin deras dan hujan tak henti seperti
pancuran raksasa yang diguyur dari
langit. Dua hari kemudiannya suasana
menjadi gempar di rumah orang tua
Erna. Berita yang ditulis koran pagi
tentang kecelakaan pasangan pengantin
baru di danau itu membuat semuanya
serba hitam bagi ibu dan ayah Erna. Ibu
Erna tiba-tiba seperti pohon tua terkena
timpukan angin puyuh. Sesekali limbung
dan akhirnya roboh dalam pingsan.
Keluarga yang lain saling terisak,
beberapa di antara mereka ada yang
menangis keras-keras. Dalam kelamuran
mata karena air yang memancar, ayah
Erna masih sempat mengulang baca
berita yang ditulis koran itu. “Telah
ditemukan dua jasad pengantin baru
yang berwisata di Danau Toba. Dari KTP
diketahui nama mereka: Erna
Sukowiyono dan Rinto Harjanto.
Speedboat yang dipakai ditemukan di
tepi danau berikut jasad pengemudinya.
Saat berita ini diturunkan, keluarga
kedua korban baru dihubungi oleh
keamanan setempat….”
Ayah Erna merasa matanya makin
lamur. Pandangannya terasa sangat
gelap!
Samarinda, 21 Maret 2012
Cerpen Utama
Tentang Penulis :
Korrie Layun Rampan. Adalah
sastrawan senior. Telah malang
melintang di blantika sastra
Indonesia. Karya-karyanya tersebar
di Koran, majalah dan buku. Kini
menjadi penggerak sastra di wilayah
Kalimantan Timur.
Gerbang10 Sastra Menyatukan Bangsa
12. Sebulan yang lalu...
“Alan! Alan!” teriakku pada malam
itu.
Malam itu adalah kedatangan Alan
Chistian datang ke kotaku. Dan aku
ikut dalam robongan penggemar Alan
untuk menjemputnya di bandara.
Malam itu sangat terasa panas,
meskipun di bandara memiliki banyak
pendingin udara tetap saja udara di
dalam sana sangat panas karena
begitu banyak manusia terutama yang
menunggu kedatangan Alan.
Ketika Alan keluar bandara begitu
banyak para penggemar berusaha
mendekatinya. Aku tahu aku tidak
mungkin bisa mendekatinya meskipun
dalam jarak satu meter. Dan aku
mendapat ide untuk mengetahui
tempat dia akan beristirahat.
Aku adalah penggemar berat Alan
“Aku berjanji, ketika kau bangun aku
berjanji akan bersamamu. Selamanya”
suara seorang pria yang agak asing di
telingaku itu masih tergiang-ngiang di
kepalaku. Masih ingat aku setiap detail
kata yang keluar dari mulutnya.
Aku menatap wajah kedua orang
tuaku satu persatu dan itu bukan suara
dari mereka. Aku mencoba untuk
mencermati suara kakak perempuanku
dan itu juga bukan suaranya. Aku
sangat yakin kalau itu adalah suara
seorang pria bukan suara yang biasa
aku kenal dalam sehari – hari.
Ini hari ke tiga setelah aku bangun
dari keadaan komaku. Sebuah
kecelakaan yang membuatku seperti
orang mati, tertidur selama satu bulan.
Aku ingat sedikit demi sedikit detik-
detik kecelakaan itu dan aku berhasil
menyusun kembali serpihan-serpihan
ingatan yang sudah susah payah aku
susun itu
***
my idol arrogantNovitasari
Cerpen 1
Gerbang12 Sastra Menyatukan Bangsa
13. Chistian. Dia adalah pria yang sangat
tampan, pandai dan sangat ramah –
tamah. Sudah setahun ini aku terus
mengikuti perkembangan Alan dan ini
akhirnya, bisa melihat wajahnya secara
langsung apa lagi bisa memegang
wajahnya.
Dengan sepeda motor yang aku
kendarai sendiri menuju bandara, aku
juga mulai mengikuti mobil yang
membawa Alan dan ternyata bukan
hanya aku saja yang memiliki ide untuk
mencaritahu tempat peristirahatan Alan
tapi juga beberapa anak – anak remaja
mengikuti mobil Alan. Dan saat itu juga
kejadian naas itu terjadi...
Aku memacu kendaraanku dengan
kecepatan 70km/jam dan itu masih
belum bisa mengalahkan kecepatan
mobil yang membawa Alan itu. Aku
berusaha mendekati mobil itu tapi tidak
bisa. Akhirnya aku memberanikan diriku
untuk melebihi kecepatan kendaraanku
dari yang sebelumnya. Terfokus pada
mobil yang membawa Alan, aku bahkan
tidak menyadari kalau lampu lalu lintas
yang ada di depanku saat itu sudah
berubah menjadi merah dan yang
kuingat saat itu hanya lampu terang yang
sangat cepat menuju kearahku.
***
Aku melihat kesekelilingku, aku
melihat kedua orangtuaku hanya berdiri
di belakang orang-orang yang tak aku
kenal sambil terus mengarahkan
kameranya padaku, begitu juga dengan
kakak perempuanku – Raisa yang dari
tadi hanya tersenyum tipis padaku.
“Apa komentar anda nona Raika?”
seorang perempuan yang kira – kira
seumuran dengan Raisa mencoba
mengajakku bicara.
“A... Hmm...” hanya gumaman yang
keluar dari mulutku. Aku bingung harus
menjawab apa karena aku benar-benar
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Biarkan dia istirahat dulu.Wawancara
itu bisa kapan sajakan?” suara itu
terdengar kembali. Suara yang sama
dengan suara yang aku dengar waktu itu.
Aku berusaha memicingkan mata,
memfokuskankan pengelihatanku pada
pintu dan masuklah seorang pria dengan
stelan jas. Ia berjalan mendekatiku
perlahan tapi pasti dan aku bisa katakan
dengan penuh keyakinan kalau itu
adalah Alan Chistian.
Aku bahkan perlu memperhatikannya
dengan seksama agar aku tidak keliru
kalau itu benar-benar Alan Chistian. Ia
berbicara pada kru yang ada di kamar itu
lalu kru-kru itu pergi, mungkin karena
aku terlalu fokus padanya sehingga aku
tidak mendengar apa yang ia katakan.
Sadar-sadar tangannya sudah menjulur
padaku.
“Ayo kita pergi dari sini. Aku ingin
mengajakmu ke suatu tempat yang
indah” lalu ia tersenyum padaku.
Tanpa sadar aku meraih tangannya
dan ikut bersamanya. Ia membuka pintu
mobil lalu ia memasangkan sabuk
pengaman padaku. Masih belum ada
kata-kata yang keluar dari mulutku. Ia
memacu mobilnya pergi meninggalkan
rumah sakit. Sepanjang jalan ia hanya
diam begitu juga denganku dan
sampailah kami di sebuah danau. Lalu ia
turun dari mobil, aku hanya melihat ke
arahnya dan berinisiatif untuk turun
juga.
Aku berdiri di sebelahnya, melihatnya
dari samping ia kelihatan sangat tampan
bahkan lebih tampan daripada ketika aku
melihatnya di televisi. Lalu tiba-tiba ia
melihat ke arahku dan aku sangat kaget
dengannya.
“Jangan anggap semua ini sungguhan.
Cerpen 1
Edisi01/tahun I/2012 13
14. Ini hanya permainan untuk menaikkan
rating filmku. Ingat! Ini hanya
permainan. Jangan pernah kau
menganggap kalau aku
benaran suka
denganmu!” Alan tiba-
tiba membentakku.
Senyuman yang sedari
tadi terus menghiasi
wajahku langsung lenyap
begitu saja. Aku sangat
terkejut dengan sikapnya
yang sangat berbeda 180º
dari yang aku lihat di
televisi. Tanpa sadar yang
muncul dari wajahku
adalah wajah kekesalan.
“Kau dengar aku
tidak?” ia tersenyum “Aku
tahu kau adalah
penggemar beratku. Ketika pertama kali
kita ketemu langsung aku bisa membaca
wajahmu kalau kau suka denganku.
Iyakan?!” ia kembali tersenyum. “Tapi
jangan harap kalau aku akan jatuh cinta
dengan cewek biasa sepertimu.”
Seketika itu juga aku langsung
menamparnya. Enak saja ia berkata
seperti itu, kalau aku tahu dia
mempunyai sikap seperti itu lebih baik
aku tidak perlu mengidolakannya. Tanpa
mengatakan apapun aku pergi
meninggalkannya.
Ia memegangi pipi kanannya yang
memerah akibat tamparanku karena
kesal ia menarik tanganku dengan keras
lalu spontan aku injak kaki kirinya dan itu
cukup berhasil membuatnya melepaskan
genggamannya padaku. Lalu ia kembali
mengejarku dan langsung berusaha
menciumku tentu saja dengan susah
payah aku melawannya.
“Bukankah ini yang kau inginkan!
Dicium oleh idola terkenal sepertiku!”
Aku pun akhirnya menggigit bibirnya
sangking kesalnya. Aku benar-benar
tidak pernah bertemu
dengan orang sebrengsek
dia. Ia mengatasnamakan
seorang idola tapi sikapnya
ini tidak lebih dari seorang
maniak mesum.
Aku meninggalkannya,
di belakang aku
mendengarnya berteriak
kepadaku dan aku tetap
tidak menghiraukannya.
“Lihat saja nanti, aku
tidak akan pernah mau
menemuimu lagi. Jangan
harap seumur hidupmu
bisa bertemu denganku!!!”
itu kata terakhir yang aku
dengar darinya.
***
“Kapan aku bisa keluar dari rumah
sakit?” aku menanyakan hal itu berulang
kali kepada Raisa. Aku sudah merasa
sangat bosan dengan keadaan di rumah
sakit.
“Nanti” itu jawaban singkat dari
Raisan sambil terus membaca
majalahnya yang baru saja ia beli.
Aku menghela nafas “Apa kau tidak
bisa tidak usaha membaca majalah itu di
depanku?”
“Kenapa?”
“Kenapa? Tentu saja karena cover
depan majalahmu muka si brengsek itu!”
Ia melihat cover majalah itu dan wajah
Alan terpampang di halaman depan
majalah itu “Oh... bukannya kau sangat
suka padanya. Sekarang nikmati
keberuntunganmu saat ini.”
“Keberuntungan?! Ini bukan
keberuntungan tapi kesialan?!”
Cerpen 1
Gerbang14 Sastra Menyatukan Bangsa
15. “Memangnya kenapa kau? Baru di
bawa pergi satu kali saja sudah merasa
kalau Alan sudah jadi milikmu.” Ia masih
belum beranjak dari bacaannya.
“Itu karena? Karena? Arg! Lupakan
saja!”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan
begitu banyak wartawan masuk ke
dalam dan di depan wartawan-wartawan
itu ada si Brengsek Sialan itu – Alan.
Melihat hal itu Raisa langsung bangkit
dari tempat duduknya.
“Ini dia gadis yang beruntung yang
akan kencan denganku dalam sehari
penuh ini”
Aku hanya bisa ternganga kesal...
***
Alan berusaha menemukan sebuah
baju yang cocok denganku di sebuah
butik yang cukup terkenal di kotaku dan
aku hanya bisa diam menatapnya.
“Aku sudah menemukannya!” ia
tampak kegirangan. “Cobalah ini, pasti
akan sangat cantik ketika kau
memakainya.”
Aku berjalan perlahan menujunya dan
memegang baju ini lalu ia menarik
tanganku “Berusahalah untuk tersenyum
selama seharian penuh ini.” Berikut
dengan nada menjengkelkannya itu.
Aku meliriknya lalu pergi ke ruang
ganti sambil membawa baju itu. di dalam
ruang ganti aku hanya bisa mencibirnya.
Aku harus tenang, itu yang ada di dalam
pikiranku saat ini. Setelah selesai aku
memakai baju itu aku keluar. Aku sangat
terkejut karena baju itu sangat pas
denganku. Alan tahu memprediksikan
ukuran bajuku???
“Sangat cantik! Aku sangat suka” itu
yang keluar dari mulutnya bukan ejekan
atau hinaan yang keluar. Ia tersenyum
padaku dan seketika itu dalam hitungan
beberapa detik aku sempat terpesona
dengan senyumannya itu.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku
dan aku hadir ke dalam dunia nyata lagi.
Dia bukan seorang pangeran tapi di
seorang penjagal. Lalu kami pergi ke
danau tempat kami dulu berkelahi. Kami
berdua duduk di pinggir danau untuk
pengambilan gambar. Pura-pura ngobrol
dengan asyik saling mengakrabkan diri.
Aku dan Alan saling mengucapkan
terima kasih pada para kru. Setelah para
kru pergi tinggallah kami berdua.
“Bersabarlah sedikit, tinggal bagian
makan malam lagi setelah itu kita tidak
akan bertemu lagi” kali ini cara bicaranya
tidak begitu menjengkelkan seperti yang
kemarin-kemarin.
Ia melihat ke arahku dan aku
mengacuhkannya, aku hanya melihat ke
arah danau. Dan sepertinya ia menunggu
jawabanku karena tidak ada jawaban ia
pergi. Tidak jauh ia pergi tiba-tiba aku
ingin mengerjainya.
Cerpen 1
“Tolong!” aku menceburkan diriku
ke danau dan pura-pura tidak bisa
berenang.
Aku melihatnya hanya berdiam diri
di atas sekilas aku melihat wajah panik
darinya. Ia melihat kesekelilingnya
tidak ada orang dan akhirnya ia
menceburkan dirinya. Dan bukannya
datang menyelamatkanku ia malah
meminta tolong juga. Ternyata ia tidak
bisa berenang.
Secepat kilat aku berenang
mendekatinya, membawanya ke
pinggir danau. Ia pingsan, aku pun
mulai panik. Aku mendekatkan
telingaku ke hidungnya dan tidak
terdengar ada nafasnya. Aku melihat
kesekelilingku dan tetap tidak ada
orang. Akhirnya aku memberikan
Edisi01/tahun I/2012 15
16. nafas buatan untuknya, aku memang
tidak tahu caranya tapi tidak ada
salahnya mencoba.
Beberapa kali aku memberinya nafas
buatan akhirnya ia sadar. Ia terbatuk dan
sadar lalu tanpa sadar aku memeluknya
sambil menangis.
“Maafkan aku... maafkan aku...
maafkan aku” hanya itu yang bisa keluar
dari mulutku selain tangisan.
***
Alan lalu berdiri mendekatiku dan
menuju ke arah belakangaku lalu ia
memasangkan sebuah kalung yang
sangat indah. Setelah itu ia kembali ke
tempat duduknya sambil terus
menebarkan senyumannya padaku.
Saat pertama kali aku sampai di danau
itu, pinggiran danau itu sudah di sulap
oleh para kru menjadi sebuah tempat
yang sangat indah. Di pinggir danau
terdapat sebuah meja makan dan dua
buah kursi dengan beberapa hidangan
yang terlihat sederhana tapi sangat enak.
Aku ingat ketika baju indah ini sampai di
rumahku dan aku membaca surat yang
ada di dalamnya.
“Aku harap kau mau memakai baju ini.
Alan” itu isi suratnya. Tapi sepertinya
sangat berarti bagiku.
Aku mendekat, semakin dekat dengan
tempat duduk itu, lalu Alan datang tiba-
tiba di belakangaku dan
mempersilahkanku duduk. Ia tampak
kelihatan sangat tampan dengan setelan
jas yang ia gunakan.
Lalu ia berbisik padaku “Kau sangat
cantik malam ini.”
Tanpa sadar aku tersenyum. Alan yang
aku lihat malam itu adalah Alan yang
selalu aku impikan selama ini sangat
berbeda dengan Alan yang aku temui
beberapa hari lalu. Dan kami mulai
berbincang-bincang dengan santai
menikmati malam itu.
Sampai acara pengambilan gambar
untuk sebuah reality show itu selasai
kami masih nyaman dengan keadaan
saat itu. Semua kru sudah mulai bersiap-
siap untuk pulang.
“Boleh aku meminta satu hal
padamu?” tanya Alan padaku.
“Tentu saja. Apa?”
“Aku ingin kau selalu menyimpan
kalung itu selamanya.”
Aku tersenyum “Aku akan selalu
menyimpannya.”
Ia menatapku “Tapi aku ingin kau
bukan hanya menyimpan kalung itu di
dalam lemari atau laci di kamarmu tapi
yang aku inginkan adalah kau selalu
menyimpan kalung itu di dalam hatimu.”
Aku sedikit heran dengan perkataan
Alan “Tapi kalung tidak bisa di simpan di
ha-” kata-kata itu terhenti ketika Alan
langsung menciumku.
***
Cerpen 1
Tentang Penulis :
Novitasari. Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia
dan Daerah, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo
Tarakan. Sedang belajar keras
menulis karya-karya sastra, baik
puisi maupun prosa. Salah satu
naskah novelnya telah selesai
dikerjakan. Kini masih menunggu
proses diterbitkan. Selain kuliah, ia
bergabung menjadi redaktur
majalah sastra GERBANG dan
mengikuti berbagai lomba
penulisan sastra.
Gerbang16 Sastra Menyatukan Bangsa
18. Long Buang nama desa kecil yang
dibanggakan Guru Ule. Long Buang sangat
kaya isi alam. Di Long Buang apa saja bisa
dicari. Asalkan berbau alam. Berburu
hewan payau adalah hobi Guru Ule.
Bermodal senjata kaleber laras panjang
rakitan sendiri. Dia bisa membawa pulang
payauhasiltangkapan.Uleadalahlaki-laki
sabar. Tabah. Paling suka makan pucuk
singkong. Ditumbuk halus dengan alat
penumbuk. Mereka namakan alat
penumbukitulesung.
Lesung terbuat dari kayu ulin
berbentuk petak. Ditengahnya lubang
yang semakin dalam semakin kecil.
Mereka namakan makanan itu tung ubi
meca. Pucuk singkong ditumbuk halus
dan ditumis. Menghaluskannya dengan
penumbuk lesung. Itu makanan kesukaan
Ule. Dia sangat lahap jika makan dengan
lauk tung ubi meca. Ule ramah terhadap
orangsekitar.Jugaberbudipekertiluhur.
SD Tungun Paku nama sekolah Ule
mengajar. Saban pagi Ule mendidik anak-
anak kampong. Agar menjadi anak-anak
cerdas. Ule ingin menaikan derajat orang
kampong. Agar tidak buta huruf.
Setidaknya bisa membaca dan menulis.
Agar tidak mudah tertipu saat pergi ke
kota.
Long Buang melekat adat istiadat suku
dayak. Telinga berlubang besar
bergelantungan banyak besi bundar
sebagai anting. Tato ukiran dayak di
tangan dan kaki. Itu ciri khas orang tertua
sukudayak.
Ule mengajar penuh ikhlas. Sangat
bersemangat. Dia mengajarkan murid
mulai pelajaran hitung sampai bahasa
indonesia. Di kampung Ule sudah biasa
mengajar bahasa daerah (dayak)
bercampur Bahasa Indonesia . Murid-
muridnya tidak terlalu paham Bahasa
indonesia. Ule pelopor mendidik dan
Ule namanya.
Kerjanya jadi guru di
wilayah suku dayak
punan. Sebuah kampung
sangat jauh dari kota. Para
pakar menyebutnya
daerahpedalaman.
Guru UleSyamsul Bahri
Cerpen 2
Gerbang18 Sastra Menyatukan Bangsa
19. mengajarkan bahasa indonesia. Murid
Ule belum menggunakan seragam
sekolah. Sekolah mereka tidak dihiraukan
pemerintah.
Jarak membuat masalah. Dari Long
Buang butuh sehari perjalanan.
Mengunakan perahu kecil bermesinkan
ketinting 15 PK. Baru tembus ke kota. Air
sungai dangkal penuh bebatuan.
Membentuk giram kecil. Kampung Ule tak
dapat ditembus perahu besar. Airnya
dangkal.
Ule tak pernah mengeluh. Dia
bersemangat mengajar murid. Walau gaji
guru terbatas untuk hidup keluarga. Ule
mengharap kebijakan pemerintah
memperbaiki sekolah. Tempat mereka
mengajar sudah bocor. Rusak. Mereka
jugainginkenaikangajiguru.Khususnyadi
daerah pedalaman. Bukan Ule bila tidak
berjuang keras. Ule model orang pekerja
keras.
Setiap pulang sekolah, Ule mencari
ikan. Dengan jala buatan sendiri. Tak lupa
dia membawa dulang di punggung.
Persiapanmencariemas.LongBuangkaya
dengankekayaanalam.
Selain mencari emas, Ule juga petani
rajin. Saat menjala ikan dan mencari
emas, Ule tak lupa membawa istri dan
anak laki-lakinya. Mereka menggunakan
perahu kecil dan mesin ketinting.
Melawanarussangatderas.
Canda tawa selalu menghiasi keluarga
itu. Ule mengajarkan anaknya menjala.
Agar suatu saat anaknya bisa mencari ikan
dengan jala. Saat ikan mulai berkurang
dan emas mulai susah, musim bercocok
tanam tiba. Kampung Ule mempunyai
tradisi gotong royong dalam bercocok
tanam.
Caranya bergantian dari ladang ke
ladang lain. Masyarakat Long Buang
berjiwa sosial. Penuh semangat. Mau
bekerja keras. Saat musim bercocok
tanam semua warga kampung sibuk
dengan ladang masing-masing. Biasanya
sekolah diliburkan. Agar anak-anak
membantuorangtua.
Nugal bahasa keren mereka bercocok
tanam di pergunungan. Beras panenan
dinamakan beras gunung. Warga
kampung harus melakukan itu. Untuk
kebutuhan bertahan hidup. Bila panen
tiba, mereka menaruh hasil panen di
lumbung. Lumbung padi sengaja dibuat
untuk menampung padi panenan. Untuk
kebutuhansehari-hari.
Cerpen 2
Edisi01/tahun I/2012 19
20. Ule mulai membuat ribuan lubang di
tanah berbukit. Anak dan istri menabur
benih ke dalam lubang. Agar padi harum
dan enak. Alam membuat bibit subur.
Beda dengan menanam padi di sawah.
Mereka harus menyemai padi lebih dulu.
DikampungUlecukupmembersihkandan
membakar dedaunan dan pohon yang
sudah kering serta tumbang. Tempatnya
daerah perbukitan menjadi pupuk alam.
Ule dan istri sering menunggui benih padi
agartidakdimakanhewanliar.
Semakin lama padi itu sudah siap untuk
dipanen. Ule dan istri senang kerena
panennya memuaskan. Tak lupa Ule
bersedekah kepada orang yang tidak
mempunyai lading. Ule membagi hasil
panen dengan tulus ikhlas. Inilah cara
tuhan membagikan rezeki untuk
umatnya. Dari tangan Ule membagi rezeki
yangberlimpahdarituhan.
Usai bercocok tanam, Ule menjadi
guru. Ule mengajar anak anak seperti
biasa. Dengan semangat. Dengan canda
tawa. Anak-anak riang gembira. Itu
mewakili rasa haru beriak dalam jiwa ule.
Pulang mengajar, Ule bertemu teman
lama dari kota. Dia mengadakan
penelitian budaya suku dayak di Long
Buang. Teman ule bernama Ilham.
Sepontan Ule mengajak Ilham berbincang
masa sekolah dulu. Tentang kenakalan.
Sering bolos. Sering ngerjain guru. Semua
membuat Ule tertawa lepas. Seakan
bebanbertumpukhilang.
Ule mengajak ilham berbincang di
rumah. Sambil berjalan mereka bercerita.
Di rumah Ule, mereka duduk lesehan. Ule
berteriak,“uwe…ohwe…”
Itu panggilan Ule terhadap istri. Bahasa
dayakartinyaIbu.
Istrinya keluar. Katanya, “Inu iko
mengin-menginake?”
Adaapakamupangil-panggilsaya?
Ule menyahut, “Uyan sungai areng”.
Buatairminumduluuntuktamu.
Istrinya bergegas membuatkan kopi
khas dayak. Diolah sendiri menjadi bubuk
kopi yang dasyat enaknya. Beraroma jahe
segar.KopidisodorkankepadaIlham.
“Kopi apa ini kok terasa segar dan
wangi?”cetusilham.
“sedapsekalirasakopiini!”
“Tentusaja!”sahutulebangga.
“Kopi itu buatan istriku. Khas long
buang. Kau tahu, aku sekarang mengajar
SekolahDasardikampungini.”
“Oh begitu. Apa muridmu pintar-pintar
kayagurunya?”
“Muridku sangat cerdas dan kreatif yah
tidak kalah dengan anak-anak di kota sana
lah!”
Dan perbincangan itu terus melaju.
Seperti tak kenal waktu. Itulah kisah Ule,
guru dari Long Buang. Esok, bila kau
ketemu banyak orang, bilang: itulah Ule,
Si Guru dari pedalaman Long Buang.
Pejuang tangguh tak mengeluh. Bekerja
takkira-kira.Tanpaberharaptandajasa.
***
Tentang Penulis :
Syamsul Bahri. Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia
dan Daerah, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo
Tarakan. Sedang belajar keras
menulis karya-karya sastra, baik
puisi maupun prosa. Salah satu
naskah novelnya berjudul Romantic
Telepati telah selesai dikerjakan. Kini
masih menunggu proses diterbitkan.
Selain kuliah, ia bergabung menjadi
redaktur majalah sastra GERBANG
dan mengikuti berbagai lomba
penulisan sastra.
Cerpen 2
Gerbang20 Sastra Menyatukan Bangsa
22. Beberapa hari sebelumnya saya juga
mengikuti tulisan beliau di koran yang
sama tanggal 1 September 2007 berjudul
Mencari Akar Kebudayaan Kalimantan
dan di Tribun Kaltim pada waktu yang
sama berjudul Provinsi Borneo Raya. Hal
itu menunjukkan kepedulian beliau
terhadap kebudayaan Kalimantan,
termasuk juga sastranya.
Sekitar tahun 2003, Korrie juga
menulis tentang Peningkatan Kualitas
Penulisan Seni Sastra di Kaltim yang
dimuat Kaltim Post sebanyak tiga seri
dari tanggal 15 Juni 2003. Korrie
mengawali tulisan dengan Lintasan
Sejarah sastra di Kaltim dan mengatakan
bahwa peran media massa cukup besar.
Pada tulisan kedua, Korie menyebut
bahwa Sastra di Kaltim tidak
menampakkan pembaharuan dan pada
tulisan ketiga menyoroti bahwa
pemerintah daerah kurang menghargai
karya sastra.
Sebelum ini belum pernah saya jumpai
tulisan lengkap seperti dituliskan oleh
Korrie. Bahwa banyak nama-nama
sastrawan Kaltim yang disebutkan Korrie
tetapi sedikitpun saya tak mengenal
karyanya. Hanya sedikit saja yang dapat
saya jumpai tulisannya. Di antaranya
Djumrie Obeng (ada beberapa bukunya
yang beredar di toko buku), Mugni
Baharuddin (Pernah bertemu pada acara
Sastra Purnama di Bontang), Syafril Teha
Noer (karena menjadi wartawan di
enarik sekali artikel dari
sastrawan nasional asal Kaltim,MKorrie Layun Rampan di Kaltim Post, 5
September 2007 berjudul Segitiga
Sastra di Wilayah Borneo. Segitiga
sastra yang dimaksud adalah tumbuh
dan berkembangnya eksistensi sastra
di wilayah Borneo dan Kalimantan.
Istilah Borneo dalam kaca mata Korrie
meliputi Negara Brunei Darussalam,
Malaysia Timur (Labuan, Serawak dan
Sabah) dan wilayah Kalimantan
mencakup empat provinsi, termasuk
Kaltim (Kalimantan Timur).
Menanti Tumbuhnya
Kantong Sastra di Kaltim
Sunaryo Broto
Esai
Gerbang22 Sastra Menyatukan Bangsa
23. Kaltim Post), Tatang Dino Hero (karena
harian Suara Kaltim) dll. Selebihnya
sangat jarang saya jumpai tulisannya.
Semua terjadi mungkin karena
keterbatasan saya membaca beberapa
karya sastra di Kaltim dan juga intensitas
pergaulan dengan kalangan sastrawan
Kaltim.
Dari tulisan Korrie tersebut saya
menjadi tahu bahwa sudah lama sekali
kepedulian terhadap perkembangan
sastra di Borneo-Kalimantan
dihembuskan. Salah satunya dalam
Dialog Borneo-Kalimantan di Miri,
Serawak, 27-29 November 1987. Dialog
tersebut merupakan kegiatan
independent yang berada di bawah
payung Mastera (Majelis Sastra Asia
Tenggara). Ada hal yang
menggembirakan. Dalam Dialog Borneo-
Kalimantan IX, Agustus 2007 di Brunei
Darussalam pada Dialog Borneo-
Kalimantan X di Kaltim, tahun 2009 akan
diberikan Hadiah Sastra Sultan Hassanah
Bolkiah untuk para penulis sastra di
wilayah segitiga sastra.
Saya memang belum pernah bertemu
langsung dengan bapak Korrie yang
sekarang menjadi politikus tersebut. Tapi
jauh sebelumnya sewaktu masih kuliah
di Yogyakarta saya sudah mengenal
tulisannya. Dan belakangan setelah
bermukim di Bontang saya jadi tahu
ternyata beliau asli Kaltim. Hal ini
memberi harapan saya akan bisa
tumbuhnya kantong sastra di Kaltim.
Sebelumnya saya agak pesimis kalau hal
itu bisa tumbuh.
Karya Sastra di Kaltim
Untuk mendukung harapan Korrie
akan tumbuhnya karya sastra yang
berkualitas di Kalimantan -khususnya
Kaltim- perlu membuat iklim yang
kondusif untuk tumbuhnya sastra di
Kaltim.
Iklim yang kondusif itu apa?
Sebenarnya banyak hal tetapi yang
utama adalah dukungan apresiasi dan
publikasi. Apresiasi bisa melalui
kompetisi dan hadiah-hadiah atau
perhatian yang signifikan pada pelaku
sastra. Diadakan beberapa lomba atau
penerbitan untuk antologi sastra.
Penerbitan ditandai dengan penerbitan
buku atau adanya tempat atau kapling
lembaran sastra di koran setempat.
Sebuah kenyataan, sebatas publikasi
di media bahwa hampir tak ada karya
sastra di Kaltim. Media massa yang ada
–Kaltim Post, Tribun Kaltim, Swara
Kaltim, Balikpapan Post, Samarinda Post-
- belum memberikan ruangan khusus
untuk pemuatan karya sastra dari
penulis Kaltim. Kaltim Post belakangan
menyediakan sedikit ruangannya tetapi
nampaknya belum optimal. Tidak seperti
media massa nasional yang biasanya
mempunyai ruang khusus sastra dan
Esai
Edisi01/tahun I/2012 23
24. budaya pada hari Minggu dengan
redaktur budayanya yang mengulasnya.
Di Republika ada pemuatan cerpen, puisi
dan kritik sastra pada satu halaman
penuh. Di Kompas, ada rubrik Bentara
yang memuat karya sastra seperti essay,
puisi, cerpen dll. Di Media Indonesia,
Koran Tempo, Suara Karya, Suara
Pembaharuan, Jawa Pos begitu juga. Di
beberapa koran daerah seperti Suara
Merdeka dari Jawa Tengah, Bernas,
Kedaulatan Rakyat dari Jogjakarta,
Pikiran Rakyat dari Bandung juga
menyediakan halamannya untuk ruang
sastra. Di beberapa daerah lain saya kira
juga begitu.
Kenapa di Kaltim belum? Ada dua
kemungkinanya. Pertama, tak ada tulisan
berbau sastra yang masuk. Kedua,
redaktur tak ada yang concern pada
masalah sastra sehingga tak menyisakan
ruang. Bila kemungkinan pertama yang
ada, kita wajib prihatin terhadap
perkembangan sastra di Kaltim. Siapa
yang salah? Para calon sastrawan atau
media massa? Tak perlu diperdebatkan.
Yang utama adalah saling mendorong
untuk membuat iklim berkarya di Kaltim.
Senimannya harus mempunyai semangat
berkarya yang tinggi. Media massa
sebaiknya memberi ruang dengan
pemuatan karya sastra pada
halamannya. Lembaga atau institusi
harus menciptakan iklim bersastra di
Kaltim dengan berbagai lomba atau
memanfaatkan even-even tertentu
membuat iklim berkarya. Tanpa itu, akan
perlu waktu yang lebih lama untuk
menikmati sastra Kaltim yang bernas.
Nama Kaltim pun tak akan ada dan
mewarnai perkembangan sastra
nasional.
Bila media massa tak ada dukungan
biasanya dari institusi pendidikan.
Meskipun bukan sebuah kepastian,
tetapi pada beberapa daerah
perkembangan sastra biasanya seiring
dengan adanya institusi perguruan tinggi
yang ikut mendorong perkembangan
sastra.
Mungkin tidak secara langsung, tetapi
biasanya ada semacam apresiator dari
perguruan tinggi yang ada fakultas
sastranya. Di Jogja misalnya, ada Fakultas
Sastra UGM dan FKIP di Universitas
Negeri Jogjakarta. Dari situ
memungkinkan munculnya “provokator”
pembuat iklim bersastra. Di Jogja ada
nama-nama Umar Kayam (alm), Bakdi
Sumanto, Rahmat Djoko Pradopo, Faruk
HT, Iman Budi Santosa, Darmanto
Jatman (pindah ke Semarang), Rendra,
Putu Wijaya dll. Di Jakarta ada nama
Sapardi Djoko Damono.
Di beberapa kota yang disebutkan di
atas, rata-rata mempunyai perguruan
tinggi yang ada fakultas sastranya.
Sedang di Kaltim, dengan Universitas
Mulawarman-nya belum ada Fakultas
Sastra. Yang ada hanya Fakultas FKIP
jurusan Bahasa Indonesia yang sampai
sekarang belum terdengar gaung
sastranya.
Tetapi bila kemungkinan kedua yang
muncul, kita hanya bisa menghimbau
pada media massa untuk peduli pada
perkembangan sastra di Kaltim. Siapa
yang dapat mengapresiasikannya selain
para redaktur media. Siapa yang dapat
mempublikasikan karya-karya sastra
selain redaktur media?
Bisa saja media lain seperti
pementasan, lomba, penerbitan buku dll
tetapi yang paling jelas dan luas
dampaknya adalah pemuatan di media
Esai
Gerbang24 Sastra Menyatukan Bangsa
25. massa.
Penulis merasa mendapat ruang
geraknya dan pembaca lain dapat
mengapresiasikannya. Lebih baik lagi
kalau disertai ulasan seperti
pengantarnya Sutardji C Bachri di
Kompas atau HB Yasin di Majalah
Indonesia sewaktu awal-awal
mengapresiasi karya sastra. Bahkan saat
itu saya andaikan seperti tumbuhnya
kantong-kantong sastra di daerah
dengan dukungan koran daerah.
Seperti di Yogya yang sangat
monumental pada tahun 70-an dengan
adanya Persada Study Club di Harian
Pelopor dengan “Presiden Penyair
Malioboro” Umbu Landu Paranggi
sebagai pengasuhnya. Saat itu sangat
kondusif untuk iklim bersastra hingga
ada –apa yang disebut Emha Ainun
Nadjib- poros Malioboro-Gampingan-
Bulaksumur untuk mengatakan ada link
antara ketiga tempat tersebut dalam
iklim bersastra. Malioboro mewakili para
seniman jalanan, Gampingan mewakili
lokasi Sekolah Tinggi Seni dan
Bulaksumur mewakili UGM. Saat itu
keluar nama-nama anak muda yang
akhirnya menjadi wakil–wakil iklim
bersastra. Nama-nama seperti Emha
Ainun Nadjib, Darmanto Djatman, Ragil
Suwarno, Linus Suryadi (juga Ebiet G
Ade) menemukan popularitasnya juga
diawali dengan publikasi tulisannya di
media massa setempat.
Pada tahun 1990-an ada kantong-
kantong sastra di daerah yang biasanya
nge-link dengan peran koran daerah. Di
Yogya, Bandung, Tegal, Tangerang. Ada
yang cukup fenomenal seperti KSI
(Komunitas Sastra Indonesia) yang
dimotori Wowok Hesti Prabowo yang
rajin mengadakan forum apresiasi sastra.
Adakah hal itu terasa di Kaltim?
Sepengetahuan saya setelah bermukim
di Bontang, Kaltim sejak tahun 1992,
geliat bersastra belum nampak. Yang
saya rasakan -sekedar memantau dari
media massa- sangat jarang ada karya
sastra muncul di koran daerah. Juga
Esai
Edisi01/tahun I/2012 25
26. rubrik semacam agenda budaya. Kedua
koran harian besar di Kaltim juga belum
secara khusus menyediakan
lembarannya untuk karya-karya sastra
Kaltim. Satu-dua muncul tetapi masih
belum terasa gregetnya. Ada beberapa
nama tetapi seperti Shantined
(Balikpapan) malah muncul di koran
nasional.
Sekedar informasi, sekitar tahun 1993,
menyambut kedatangan Emha Ainun
Nadjib ke Bontang, saya bersama teman-
teman menerbitkan Antologi Puisi
Bontang yang berisi beberapa puisi karya
sendiri secara terbatas. Puisi-puisi
tersebut dibaca oleh penyairnya sendiri
mengiringi Emha Baca Puisi. Puisi-puisi
tersebut lalu saya kirim ke Harian
Republika dan dimuat pada rubrik Oase
dan diberi judul oleh redakturnya, Puisi
dari Kalimantan. Dan puisi saya dimuat
pada tulisan Puisi dari Kaltim bersama
dengan puisi lain dari provinsi lain
Kalimantan. Tak ada yang lain.
Hal ini menunjukkan betapa minimnya
sastra Kaltim berpartisipasi pada Harian
Nasional. Setelah itu beberapa kali baik
puisi atau artikel sastra saya dimuat
Suara Kaltim atau Kaltim Post tetapi
tetap tak ada kelanjutan atau sambutan
tulisan dari penulis lain. Tulisan langsung
hilang tak berbekas. Tak ada sedikitpun
gemanya.
Sewaktu Rendra ke Bontang, Kaltim
dalam pentas drama mini kata
Rambateraterata sekitar tahun 2001,
saya menulis di Kaltim Post yang
berjudul Rendra dan Perkembangan
Sastra Kaltim. Pementasan Rendra
tersebut atas inisiatif wartawan Kaltim
Post Safriel Teha Noer dengan partisipasi
Pupuk Kaltim. Saya sendiri –saat itu-
sebagai karyawan Pupuk Kaltim yang
berkontribusi terhadap dukungan Pupuk
Kaltim akan pentasnya Rendra.
Tulisan saya tak beda jauh dengan
keprihatinan Korrie tentang kondisi
sastra di Kaltim. Saat itu saya menulis
bahwa kedatangan Rendra di Kaltim yang
mendapat publisitas hebat di Kaltim Post
sebisa mungkin harus dimanfaatkan
untuk mendongkrak kondisi sastra
(berkesenian?) di Kaltim.
Saat itu saya juga menyoroti peran
media massa yang tak memberikan
ruang pada perkembangan sastra Kaltim,
bahkan saya menyontohkan kondisi Jogja
sebagai salah satu kantong sastra daerah
bisa berkembang sangat baik berkat
dukungan sekian media massanya.
Setelah tulisan saya dimuat, saya
mendapat undangan dari Dewan
Kesenian Kaltim melalui ketuanya A
Rizani Asnawi untuk menghadiri diskusi
sastra di Samarinda. Tetapi karena
waktunya belum tepat saya tidak bisa
menghadiri undangan tersebut. Saya
berharap ada dokumentasi hasil diskusi
yang dimuat di harian Kaltim, tetapi
ternyata setelah saya cari tak ada
liputannya.
Memang saya pernah terlibat sedikit
dengan nuansa bersastra di Kaltim,
sewaktu sekitar Juli 1994 dalam tajuk
Sastra Purnama. Saat itu bertemu
dengan Hamdani (wartawan Suara
Kaltim), Mugeni Baharuddin (PNS dan
penyair), Rendy (Pernah jadi kontributor
Tempo) dll dan kami berdiskusi sambil
baca puisi di Bontang. Setelah itu belum
terdengar gemanya. Satu dua penerbitan
antologi puisi terdengar tetapi
publikasinya kecil dan distribusinya
belum merata ke daerah lain.
Mungkin ada kantong sastra yang
Esai
Gerbang26 Sastra Menyatukan Bangsa
27. tumbuh di daerah di Kaltim tetapi
gemanya belum seperti tumbuhnya
kantong sastra di Jawa.
Ada beberapa catatan yang terjadi di
Bontang. Beberapa penerbitan buku
yang dimotori oleh Muthi Masfuah dari
Lingkar Pena Kaltim juga perlu dicatat.
Bidang yang dekat dengan sastra juga
telah tumbuh dengan adanya Teater
Timur dan Teater Kronis. Satu dua
penulis juga lahir tetapi belum menjadi
seperti kantong karya. Ada nama Maya
Wulan (Bontang) yang sudah
menerbitkan beberapa novel juga layak
dicatat meskipun kiprah dia juga tidak
melalui Kaltim tetapi lewat Yogya karena
dia kuliah di sana. Sebagai pribadi-
pribadi mungkin puisi itu sudah tertulis
tetapi sebagai penerbitan belum
menemukan apresiasinya. Sekedar
berusaha –untuk menyebut salah satu
contoh-, penulis dengan beberapa
teman dalam waktu dekat juga akan
menerbitkan buku Antologi Puisi di
Bontang.
Kantong Sastra Kaltim, Mungkinkah?
Pertanyaan selanjutnya adalah
terbentuknya kantong sastra Kaltim,
mungkinkah? Sangat mungkin. Bibit
penyair saya rasa dimana pun berada
pasti ada. Hanya berbeda skalanya.
Dengan penduduk sekitar 2,5 jutaan dan
ada komunitas perguruan tinggi rasanya
akan lahir beberapa penulis. Juga
kehadiran beberapa industri yang
menyertakan karyawannya sebagai salah
seorang pecinta sastra
Hal yang sangat penting adalah
tempat publikasi. Dua koran besar dan
banyak terbitan daerah dapat
mendukung adanya iklim bersastra
dengan memuat karya-karya mereka.
Yang lebih penting lagi adalah semacam
pembimbing untuk membuat iklim
berkarya. Bapak Korrie Layun Rampan
yang reputasi dan karyanya telah dikenal
luas dapat berperan sebagai
pembimbing. Mungkin dapat seperti
Umbu di Yogya atau Ahmadun Yosi
Herfanda di Republika atau Sutardji
Colsum Bachri or Radhar Panca Dahana
di Kompas.
Ada harapan lain, dibuka Penerbitan
bersama berupa media massa sejenis
Horison dari Mastera dan penerbitan
buku-buku sastra yang dikelola para
sastrawan di dalam wilayah “segitiga
sastra”. Hadiah Sultan Brunei Hasanah
Bolkiah juga bisa sebagai pemicu. Yang
lebih penting adalah dukungan koran
daerah sehingga jejak sastra sebagai
sebuah karya dapat diapresiasi. Dengan
adanya karya sastra –terlebih dengan
setting daerah- maka daerah tersebut
akan bisa dikenang oleh kalayak
pembaca.
Kapan harus dimulai? Apa menunggu
karya-karya hanya tersimpan di lipatan-
lipatan buku atau tak ada geliat karya
sastra dan yang ada hanya tumbuhnya
industri yang menggantikan hutan-hutan
yang dulu lebat. Rasanya hidup perlu
keseimbangan.
TentangPenulis
Sunaryo Broto. Karyawan Pupuk
Kaltim dan penikmat sastra. Aktif di
komunitas Club Buku CB33 dan
Studio Kata, Bontang. Alamat
rumah Jl. Aster No14 PC VI Komplek
Pupuk Kaltim, Bontang. Email:
sbroto@pupukkaltim.com, HP
0 8 1 1 5 5 1 4 5 1 , s i t u s :
sbroto.multiply.com
Esai
Edisi01/tahun I/2012 27
28. Puisi-puisi Amien Wangsitalaja:
Puisi - Puisi
Mendirikan Malam 1
aku
yang pertama mendengar dendang
dinda
pada malam
yang kita ingat ia pernah dibagi tiga
ini mungkin pada sepertiga yang kedua
saat jam beranjak dari angka kosongnya
aku mengaduk tasawuf akhlaq
di dalam tiris nafasmu
yang membasahi ceruk rindu
kemarilah kubisiki, sayang
ada hasrat berundan-undan
semizan syariat seribu bulan
ini mungkin pada sepertiga yang terakhir
kuseduh dzikir kuramu syi'ir
di palung mahabbahmu
di palung mahabbahmu
laut asin mengingatkanku pada khidzir
aku berjanji
aku tidak akan banyak bertanya padamu
senyampang malam
saat kita sepakat melubangi sampan
kemarilah sayang, kubisiki
Mendirikan Malam 2
The Spirit of Mecca
aku
meminangmu untuk menjadi 'aisyah
sehabis khadijah
o sayangku, yang kemerah-merahan
tertunduk diam
kita menghitung detak jam
derit daun pintu
dan desah yang disapukan
kita merundingkan bilangan raka'at
di sepertiga terakhir
malam
dan dengan manja
engkau menawar bilangan dzurriyyat
melebihi 'aisyah melebihi khadijah
sepadan angan
o kurasa
aku ingin memukulmu bertubi-tubi
menggemaskan
--kutandai, inilah ranah sufi
di kota tempat kita menangkar
asmara
aku berhasil
mengukur kerudungmu yang lebar
mengukur rahasia
aku melamunkan kiswah
dan hitam hajar
Gerbang28 Sastra Menyatukan Bangsa
29. aku melamunkan hatimu
yang sejak dari ruknul yamani
sudah kuincar
inilah
ranah sufi
bisikku pada gamismu yang besar
saat hujan membuat sadar
ada syahdu datang berdenyar
(saat itu
aku teringat pada sejarah
di kota haram
gerimis pun jarang tumpah)
ssst, ini rahasia
”aku menemukan marwah”
”aku menemukan mar-ah”
lihatlah
kepalaku
tersungkur
di jabal nur
di jabal rahmah
dan di ghari hira
inilah
Pesona Ruhui Rahayu
Hentak gantar menyebar senyum manis
persada negeri Odah Etam
Ayunan kusak menyapa lembut
teriakan angkuh modernisasi zaman
Nafas sahaja cermin kearifan
adat tua Mahakam
Bilah mandau
siratkan benteng kokoh peradaban
Riwat elegi
di Lamin dan Upacara Belian
Damai raga dalam cinta abadi, selalu
Gemulai pesut melukis elok
riam-riam hulu pedalaman
Orang utan membelai manja
di sela rimbun keperkasaan ulin dan
rotan
Kicauan enggang mencumbu mesra
semesta jamrud kathulistiwa
Diri perut bumi Ruhui Rahayu
masih suci perawan
Senandung panorama eksotis
Harmoni dalam jejak kebesaran nadi
anak-anak Dayak
Semoga lestari sampai akhir fana nanti,
Amin
Bukan nostalgia emas dan dongeng cucu
kesayangan
Kutelusuri
Kerajaan Bukit Pinang menjijikkan
Singgasana kumuh dinasti sampah
Merdeka dengan kasta buangan
Bergulat waktu
Bercengkrama bau
Terasing
Penuh ketimpangan
Tepian oh Tepian
Pengantin (1)
aku gemas pada hud hud
yang gemetar mengabarkan pesonamu
aku gemas pada pemilik ilmu
yang berhasil menyatakan
singgasana kecantikanmu
lebih cepat dari kedip bola mataku
dan
aku lebih gemas padamu
kerana engkau 'lah sudi mengunjungi
relung istanaku
maka
kutawarkan lantai hati
yang sejernih kolam
sehingga betis asmaramu
tersingkap
Puisi-puisi Heri Sucipto (Den Cipto):
Puisi - Puisi
Edisi01/tahun I/2012 29
30. Jauh dari mapan
Dari Bukit Palaran
Tampak jejak Mahakam penuh histori
Jalan tambal sulam
Laksana rombeng pasar malam
Sarat lalu lalang
Tunggangan kuda besi
Apatis tanpa etika sapa
Gorong-gorong penuh dosa nista
Peradaban kaum hedonis
Dari Bukit Berambai
Terperanga
Belantara hijau nan perawan
Kini hanya fatamorgana
Dirampas kehormatannya
Jadi rimbun hutan-hutan beton
Ulah kongkalikong cukong ompong
Anak-anak benanga murka
Tanpa permisi
Mengembara liar ke pusat kota
Dari Bukit Selili
Hatiku miris dan ironis
Berjuta keringat
Kolong Karang Mumus
Dininabobokan janji surga penguasa
Senyiur, Borneo dan Victoria
Ramayana, Lembuswana serta Plasa
Mulia
Cermin pasungan sadis
Glamoritas budak metropolis
Serba praktis dan matrealistis
Kemegahan Bandara Samarinda Baru
dan Universitas Mulawarman
Islamic Center serta Stadion Utama
Palaran
Ikon etalase keangkuhan benua etam
Romansa indah antara Samarinda dan
Sendawar
Ditemani sorak sorai gulita angin malam
Disambut nyanyian gemericik air nan
merdu
Alunan mesin kapal yang selaras nan
syahdu
Kemeriahan koloni pesut
Yang ikut bergoyang mesra
Di kedalam arus belantara Ruhui Rahayu
Panggung dunia bahari
Liak-liuk Sang Kapal Primadona
Bintang semalam hulu Mahakam
Lekuk lekak menyayat ombak
Gemulai membelah arus sungai
Pesona gemerlap lampu angkasa
Yang bertaburan membahana
Di jagad langit raya
Dalam pentas harmoni semesta
Kapal Kayu
Untuk Anak-anakku
Tak ada yang dapatku berikan
kepadamu, anak-anakku
Selain hanya nasehat demi kemajuanmu
Tak ada yang dapatku wariskan
kepadamu
Wahai putra-putri bangsaku
Selain hanya ilmu pengetahuan yang ku
miliki
Tak banyak yang ku minta darimu,
permata bangsaku
Selain hanya keteguhan jiwamu
meneruskan perjuanganku
Tekadmu, semangatmu
Doa dan harapanku
Teruskan anak-anakku
Menjadi putra-putri bangsa yang sejati
Putra-putri yang dapat membangun
negeri
Majulah generasi bangsaku
Negeri ini menanti senyum pertiwi
Puisi Eka Haditia:
Puisi - Puisi
Gerbang30 Sastra Menyatukan Bangsa
31. Puisi Asri Rubianto:
Puisi Ariani:
HITAM_PUTIH
Biar hati yang bicara
Dengar suara itu dan ikuti
Biar hati yang membawa
Pasti kau kan damai
Hati itu hitam dan putih
Bahagia kau menghapus hitamnya
Merugilah kau tak membersihkannya
Peka kan hatimu
melihat sekitarmu
mendengar disamping
merasakan disekeliling
Jika kau mampu itu
Maka ikutilah dia
Penuntun hidupmu
Suara hati
Pangeran Hatiku
Hanya dirimu yang aku sayang
hanya dirimu yang aku cinta
dan… hanya dirimu didalam hatiku..
Cinta ku yang dulu hilang
kini telah kembali lagi
tuhan mengirimkan ku
seorang pria yang menjadi
penjaga hatiku…
Terima kasih tuhan
engkau telah mengirimkan
dia didalam hidup ku
semoga hari-hari ku
penuh dengan cinta
cinta yang membahagiakan
diriku dan dirimu…
Kehidupan Anak Jalanan
Bersanding pelangi ku berdiri
Menatap harapan nan tiada pasti
Setiap kata hanya air mata
Menghapus luka diantara derita
Ku terbuang
Ku tersingkir
Sebagian makna dari gelandangan
Bukan itu yang aku inginkan
Ku hanya sebagai alas an
Beribu penjelasan keadilan dan
perikemanusiaan
Terbingkai kesewenangan
Ku ingin kepeduluan
Tak hanya harapan dalam khayalan
Terbuai mimpi
Kokoh berdiri dalam negeri ini
Ironis yang pasti
Berjuta aku… calon pemimpin negeri
Puisi Rusli Badi:
Puisi - Puisi
Edisi01/tahun I/2012 31
32. Dipasung Sunyi
Malam ini duku
Rembulan mengasingkan diri dari
ratapan malam
Kecewa,
Cahaya yang kala itu purnama
Dibalas dengan lolongan serigala
Jadi tak perlu kau bawa tangismu
Yang air matanya dusta
Aku bukan pangeranmu…!
Singkirkan ratapan
Yang isinya kebohongan itu
Jauh dari telingaku
Aku muak…
Aku benci ini…!
Wajahmu yang rupawan
Menjadikanmu elok dan menawan
Tapi aku terlanjur luka, bidadari !
Sejak itu
Kubiarkan hati dipasung sunyi
Puisi Yusriadi Hasan Basri:
“CUCURAN KERINGAT”
Tertutup dan mungkin tiada yang tahu
Runtuh dan berguguran kian tak tampak
Terlihat terbit,
Juga terbenam,
Entah esok
Entah senja…..
Rindu… seakan ingin ada di antara
dua bahu !!!
Ingin rasanya ada yang memangku
dan memikul
Beberapa butir mulai bercucuran
Tak terhitung …
Juga tak dapat dihitung…
Puisi Yeyen Purwiyanti:
Pernah membacakan puisi di Sandakan, Sabah, Malaysia
dalam rangkaian acara pertemuan sastrawan antarnegara
“Dialog Borneo-Kalimantan VIII” (2005). Menghadiri dan
menjadi pembentang kertas kerja dalam pertemuan
sasterawan antarnegara “Dialog Borneo-Kalimantan VIII”
pada Juli 2005 di Sandakan, Sabah, Malaysia. Menjadi
pemakalah dalam “Seminar Kritik Sastra” Pusat Bahasa
Depdiknas pada September 2005 di Jakarta. Blog:
www.amienwangsitalaja.blogspot.com. Alamat e-mail:
wangsitalaja@yahoo.com. HP: +628164282866 atau
+6285348859414.
HERI SUCIPTO, S.Pd. Lebih dikenal dengan panggilan den
cipto. Bekerja sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMK
Negeri 11 Samarinda. Untuk komunikasi bisa berhubungan
dengan HP.
081346536100, email: den_cipto@yahoo.com, akun
facebook: Heri Sucipto. Alamat rumah: Jalan Banggeris
nomor 17 RT. 3 Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai
Kunjang, Samarinda, Kalimantan Timur, kode pos 75127.
EKA HADITIA. Ia merupakan Guru SMPN 4 Tarakan. Di sela
kesibukan mengajar, ia rajin menulis, khususnya menulis
karya-karya sastra.
ASRY RUBIANTO. Adalah mahasiswa Universitas Borneo
Tarakan. Sedang berusaha keras menyelesaikan kuliahnya.
ARIANI adalah Siswi SMA Muhammadiyah Tarakan.
RUSLI BADI adalah Siswa SMPN 4 Tarakan.
YUSRIADI HASAN BASRI adalah Siswa SMPN 4 Tarakan
YEYEN PURWIYANTI adalah …………..
Puisi - Puisi
Tentang Penyair
AMIEN WANGSITALAJA. Buku kumpulan puisi tunggalnya
adalah Seperti Bidadari Aku Meminangmu Buyung (1995),
Kitab Rajam (Indonesiatera, Magelang, 2001), dan
Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004).
Sementara itu, puisi-puisinya juga tersebar dalam
beberapa antologi bersama, di antaranya Serayu (CV Harta
Prima, Purwokerto: 1995), Oase (Titian Ilahy Press,
Yogyakarta: 1996), Fasisme (Kalam Elkama, Yogyakarta:
1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta:
1996), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa, Bandung: 1997),
Tamansari (DKY, Yogyakarta: 1998), Embun Tajalli (DKY,
Yogyakarta: 2000), Malam Bulan (MSJ, Jakarta: 2002),
Bentara: Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, Jakarta: 2003),
Mahaduka Aceh (PDS H.B. Jassin, Jakarta: 2005), Ziarah
Ombak (Lapena, Aceh, 2005), Perkawinan Batu (DKJ,
Jakarta, 2005), Yogya 5,9 Skala Richter (Bentang Pustaka,
Yogyakarta, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok
Studi Sastra Banjarbaru, Kalimatan Selatan, 2006), Kenduri
Puisi (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2008), Tanah Pilih
(Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jambi, Jambi,
2008), Antologia de Poeticas Kumpulan Puisi Indonesia,
Portugal, Malaysia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2008), Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa
Padang (eSastera Enterprise, Kuala Lumpur, Malaysia,
2009), Percakapan Lingua Franca (Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Tanjungpinang, Kepri, 2010), Akulah Musi
(Dewan Kesenian Sumatera Selatan, 2011), dan
Kalimantan dalam Puisi Indonesia (Pustaka Spirit,
Samarinda, 2011).
Tiga kali diundang membaca puisi di Taman Ismail Marzuki
(TIM) Jakarta oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yaitu
pada acara “Mimbar Penyair Abad 21” (1996), “Baca Puisi
Tiga Kota” bersama alm. Hamid Jabbar dan Iverdixon
Tinungki (2003), dan “Cakrawala Sastra Indonesia” (2005).
Gerbang32 Sastra Menyatukan Bangsa
34. apak bekerja sebagai guru. Ibu
bekerja di kantor pemerintah.
BKeduanya berangkat pagi. Lalu
pulang sore hari. Hasna sering merasa
sedih. Ia jarang dapat bermain bersama
bapak dan ibu. Saat sore, bapak dan ibu
terlalu capek. Sehingga tidak sempat
diajak bermain. Begitu pun saat hari
Sabtu dan Minggu.
Bapak memiliki banyak acara di hari
libur. Kerja bakti membersihkan
kampung, membangun masjid, rapat RT,
ronda, mencuci baju, membersihkan
rumah, dan sebagainya. Begitu pun
dengan ibu. Harus berbagi pekerjaan
dengan bapak. Ibu harus memasak, atau
menyetrika baju. Semua selalu sibuk.
Dan Hasna sering merasa sendirian.
Hasna sering iri dengan Alang. Bapak
Alang seorang pengarang. Jadi sering
tinggal di rumah. Alang sering dapat
bermain dengan bapaknya. Ibu Alang
juga di rumah. Ibu Alang berjualan kue.
Jadi mereka bekerja di rumah sendiri.
Hasna menjadi sedih bila melihat
keluarga Alang. Hasna mengeluh bapak
dan ibu sering tidak di rumah.
”Huh, betapa enaknya jadi Alang!
Setiap hari bersama bapak dan ibu. Bisa
bermain petak umpet, main kuda-
kudaan, juga menggambar. Sedangkan
aku? Aku selalu sendiri. Apa enaknya?
Nonton televisi, tidur, makan. Selalu
seperti ini. Apa asyiknya?” keluh Hasna.
Hasna ingin pergi bermain ke luar
rumah. Tapi, bapak dan ibu berpesan
untuk istirahat sepulang sekolah. Sore
hari adalah waktu mengerjakan PR.
Malam hari belajar pelajaran esok hari.
Begitu terus-menerus. Hasna pun
menjadi sedih. Di sekolah ia juga
murung. Ia menjadi sulit bermain
bersama. Ia lebih suka menyendiri.
Di rumah, Hasna sering merenung.
Hasna tidak ingin menyalahkan bapak
dan ibu. Mereka bekerja mencari uang.
Juga mengabdi pada masyarakat. Hasna
sering berpikir, apa yang bisa
dilakukannya seorang diri? Suatu hari, ia
melongok jendela rumah. Di luar tidak
ada orang. Semua penghuni perumahan
bekerja. Yang tersisa adalah para
pembantu rumah tangga. Para
pembantu sibuk dengan pekerjaan
Hasna dan Bebek KecilM. Thobroni
Cerita Anak
Gerbang34 Sastra Menyatukan Bangsa
35. masing-masing. Bapak dan ibu tidak
memiliki pembantu. Karena itu Hasna
tetap sendirian.
Hasna termangu di dekat jendela. Ia
sedikit terhibur dengan warna-warni
bunga. Kupu-kupu hinggap untuk
menyerap madu. Capung berkejaran
tiada henti. Lalu kupu dan cabung
terbang jauh. Hasna kembali sedih.
Hasna mencari-cari mainan di
keranjang mainan. Dibongkarnya seluruh
mainan. Ia mengeluh lagi. Tidak ada
satupun mainan yang menarik hati.
Semua mainan sudah pernah digunakan.
Bosan.
”Kwek-kwek-kwek.”
Hasna terkejut. Mengapa ada suara
bebek di dalam rumah? Apakah bapak
dan ibu hendak beternak bebek? Tetapi,
dimana hendak beternak? Rumah ini
begitu sempit. Halaman rumah juga
tidak luas. Dimanakah bebek hendak
diternakkan? Juga, dimana mereka
hendak mencari makan. Perumahan ini
jauh dari sungai. Juga tidak terdapat
sawah. Mengapa ada bebek di dalam
rumah? Hasna memandang kesana-
kemari. Ia coba mencari sumber suara
bebek. Beberapa lama ia mencari. Tetap
tidak ditemukannya bebek.
”Kwek-kwek-kwek.”
Hasna tergagap. Suara bebek berada
persis di belakangnya. Ia berbalik. Ia
memandang cermat. Bebek itu tetap
tidak ditemukan. Tetapi, ada sebuah
boneka kecil. Boneka bebek. Hasna
terkesiap. Bebek itu tersenyum manis.
Hasna ikut tersenyum. Rupanya ”bebek”
itulah yang bersuara. Hasna mendekati
”bebek” itu.
”Apakah kamu yang bersuara tadi?”
”Ya, kamu tidak perlu takut.”
Hasna tersenyum. Ia tidak takut.
Justeru senang ada yang mengajaknya
berbicara.
”Maukah kamu menjadi temanku?”
tanya Hasna.
”Bebek” kecil itu mengangguk-angguk.
Lucu sekali. Hasna girang bukan main.
Kini saatnya ia bermain dengan riang.
Menghilangkan kesedihan.
Siang itu, mereka bermain tebak-
tebakan. Bernyanyi bersama. Menari
bersama. Hingga Hasna terlihat lelah.
Hasna meminta istirahat dulu.
”Sudahlah. Hari ini kita cukupkan
bermain.”
”Baik. Tapi sediakah engkau
merahasiakan ini semua?” pinta
”bebek”.
Hasna menyanggupi
permintaan itu. ”Bebek” pun
segera ”tertidur”. Seperti
semula. Ia tak lagi bergerak. Juga
tidak bersuara. Hasna pun
menyusul. Ia berbaring di
ranjang. Lalu tertidur. Hasna
tidur dengan tersenyum manis.
Mulai saat itu, Hasna tidak sedih
lagi. Ia tidak sendirian lagi. Ia
sudah punya teman bermain.
Cerita Anak
Edisi01/tahun I/2012 35
36. ada mulanya adalah larangan.
Agama dan etika datang mengiring
Phidup manusia. Agama dan etika
pula yang mula-mula mengenalkan
larangan pada manusia. Adam dan Hawa
adalah sosok awal yang merasakan,
betapa buah larangan kelak akan
mengirim mereka ke dunia. Setelah
surga, dunia adalah jalan lain Adam dan
Hawa dalam menyusuri anugerah hidup
dari Tuhan mereka. Adam dan Hawa,
juga anak cucunya, harus menentukan:
Apakah dunia akan menjadi surga atau
neraka bagi mereka?
Rustam memang bukan Adam dan
Hawa, tapi ia adalah buah dari
kenekadan Adam dan Hawa sekian abad
silam. Tanpa keberanian Adam dan Hawa
menciptakan takdir kehidupan mereka,
Rustam dan juga kita, entah akan hidup
di mana. Rustam, dengan demikian,
seperti mengenalkan kembali bagaimana
kita musti memandang dan menghayati
hidup ini. Meski Rustam hidup dalam
dunia imajinasi; Lakon yang bergerak
menyusuri cerita dalam novel Lelaki dari
Selatan karya Tan Tjin Siong.
Sebuah novel –seperti halnya puisi,
drama, atau cerpen- terlahir dan tercipta
tidak dari ruang yang vakum. Ia
berkomunikasi, bertegursapa, dan
dibidani oleh denyut nadi kehidupan.
Gerak laju kehidupan, seperti kita tahu,
tak lepas dari jalin-kelindan keberadaan
Tuhan, alam dan manusia. Sastra,
demikian sabda Abrams, dapat
mencerminkan apa yang patut dipotret
dari lingkungan di mana (sastra) kelak
dilahirciptakan.
Sastra pula yang bertanggungjawab
untuk mengantar manusia –sebagai
pembacanya- untuk menyusuri lorong-
lorong sunyi; Dimana ruang-ruang itu
Seksualitas
dalam
Lelaki
dari Selatan
Judul : Lelaki dari Selatan
Pengarang : Tan Tjin Siong
Penerbit : Grasindo, Jakarta
Cetakan I : 2004
Tebal : 149 halaman
Ulasan
Gerbang36 Sastra Menyatukan Bangsa
37. boleh jadi dianggap keramat atau angker.
Tarikh telah menorehkan segala
peristiwa dalam lembar-lembar mushaf
sejarah hidup manusia, berapa banyak
korban jatuh karena keberanian
melawan tirani. Darah dan air mata
tumpah-ruah, membanjiri bumi di mana
manusia melakoni kehidupannya. Dan,
sastra akan mengajarkan, bagaimana
manusia dapat arif dan bijaksana
menempuh itu semua.
Tak terhitung lagi, sastra membongkar
tabu, tirani, dan angkara murka.
Bungkus-bungkus apapun, kelak akan
gagal membendung kewiraan sastra.
“Bila politik bengkok, puisi akan
meluruskannya!” ujar John F Kennedy,
dari negeri luar sana. Para sastrawan
dalam negeri meneguhkan ujaran itu,
kata mereka: “Bila politik bengkok,
sastra akan meluruskannya!”
Demikianlah. Novel Lelaki dari Selatan
ini adalah cerita tentang petualangan.
Sastra menyebutnya dengan ziarah
kehidupan. Dominasi seksualitas, baik
dalam dialog maupun peran, yang
gencar dimunculkan di dalamnya,
tidaklah kemudian mampu menutup
begitu saja, betapa novel ini bercerita
tentang banyak hal: Anak yang bengal,
kesabaran orang tua, kedermawanan,
persahabatan, iri-dengki, hingga santet.
Pembaca tak saja harus menggeleng-
gelengkan kepala gara-gara disuguhi
aneka problema masyarakat, tapi juga
harus menghela napas karena memasuki
gaya hidup sebuah suku.
Daerah Tapal Kuda, di mana cerita ini
dibuatkan setting-nya, sebagian besar
penghuninya termasuk dari suku
tersebut. Suku Osing, demikian para
pakar menyebutnya, terbiasa
menyelesaikan masalah dengan banyak
cara. Syukur-syukur bila sebuah masalah
terselesaikan lewat jalan kasat mata,
alias lahiriah. Namun, bila kurang
berhasil apalagi gagal, tidak ada cara
yang lebih afdhol selain menggunakan
'dunia lain'. Novel ini mengajarkan kita
untuk lebih peka melihat segalanya,
bahwa tidak semua yang di dunia ini
tertangkap indera. Ada wilayah-wilayah
tertentu di mana manusia harus belajar
untuk mengenal, mengakrabi, dan
bersikap lebih takdzim kepadanya. Itulah
'dunia lain'. (halaman 110-116)
Membaca novel ini seperti mengenal
dan mengakrabi model konseling
keluarga. Kita secara terpaksa, disuguhi
berbagai persoalan keluarga, mulai dari
masalah hutang hingga persoalan
ranjang. Novel ini seakan mencibir
fenomena masyarakat modern dari dua
sisi sekaligus. Di satu sisi, novel ini
seperti memandang sinis perilaku
keluarga-keluarga kelas menengah yang
gagap dalam memandang seksualitas,
sehingga seksualitas menjadi masalah
serius dalam hidup mereka.
Adalah rahasia umum, bila saat ini
orang telah sangat gila kerja, sehingga
tak jarang mengabaikan pasangannya.
Lalu, kita mengenal apa yang disebut
sebagai PIL atau Pria Idaman Lain, dan
WIL alias Wanita Idaman Lain. Itu pula
yang meneguhkan tesis hingga kini,
bahwa banyak tante girang, tidur siang
bareng, wanita simpanan, dan
sebagainya. Selebihnya, penuh-sesaknya
kompleks lokalisasi dan kamar hotel
dengan eksekutif muda, dan lelaki
separuh baya.
Namun di sisi lain, novel ini juga ingin
mengingatkan, bahwa seksualitas dalam
sebuah keluarga bukanlah segalanya.
Keluarga membutuhkan banyak hal:
perhatian, kasih sayang, kepekaan,
kerjasama, komunikasi, dan tentu saja
generasi penerus di masa mendatang.
Hubungan seks dan keharmonisan jelas
Ulasan
Edisi01/tahun I/2012 37
38. penting untuk membangun keluarga
bahagia, namun ketiadaan anak juga
diperlukan. Lagi-lagi, novel ini ingin
berbisik pada kita: Bersabarlah meniti
bahtera keluarga!
Buku ini cocok dibaca siapa saja,
kecuali anak-anak TK atau SD yang masih
memerlukan pendampingan orang tua.
Para remaja perlu membaca novel ini,
sebagai alternatif dan jalan lain
mengasah hati dan emosi mereka. Sastra
akan membiasakan remaja untuk
melembutkan hati, dan meningkatkan
ketajaman otak kiri. Kekuatan otak kanan
yang menghasilkan pemikiran
cemerlang, harus diimbangi dengan otak
kiri yang mumpuni sehingga daya
estetisnya tajam. Wawasan yang
berbasis intelektual, harus diiringi akal
budi, dan pekerti. Sastra, adalah jalan
lain untuk mengasah akal budi dan
pekerti.
Bagi remaja, membaca novel ini
sungguh penting. Dengan mengenal
jalan hidup Rustam, respon bapak, ibu,
istri, dan kakak, begitu penting bagi
remaja untuk menyiapkan segalanya di
masa mendatang. Novel ini menyediakan
gambaran alternatif bagi remaja,
bagaimana sesungguhnya dunia yang
dihadapinya, kini dan mendatang.
Orang tua, guru, konselor, psikolog,
seksolog, atau siapapun yang mengaku
dewasa, harus merasa perlu membaca
novel ini sebagai referensi penting:
Bahan kajian, referensi persoalan,
pembanding hidup, dan melayani orang-
orang di sekitarnya.
Inilah jalan lain Lelaki dari Selatan. Ia
bukan fiksi klangenan, yang lahir dari
sekadar angan-angan. Lelaki dari Selatan
adalah jalan lain kita untuk menikmati
dan menghayati kehidupan. “Engkau
harus menemukan kelelakianmu!” pesan
Pak Misto pada Rustam, dalam novel ini.
Pesan itu seperti tidak saja tertuju pada
Rustam, tapi juga beribu-ribu dan
berjuta-juta anak muda yang harus
membacanya.
Barangkali, dominasi seksualitas yang
ditampilkan hampil vulgar, sekaligus yang
menjadi kelemahan novel ini. Orang
akan membanding-bandingkan novel ini
dengan novel-novel populer yang
digemari para remaja, atau cerpen-
cerpen romantis di majalah remaja. Tapi,
inilah pilihan. Seperti halnya Fredy S,
Mira W, Nasjah Djamin, dan Motinggo
Busye pernah melakukannya.
Dan Tan Tjin Song, harus diacungi
jempol! Keberaniannya memilih novel
ber-style macam Lelaki dari Selatan ini,
akan menunjukkan pada semua, bahwa
sastra adalah ruang tanpa batas.
Sekaligus mengajarkan, bahwa hidup
haruslah saling menghormati dan
menghargai, bukan saling menihilkan
dan mematikan. (urotul aliyah)
Ulasan
Gerbang38 Sastra Menyatukan Bangsa
39. Mengapa Anda Harus Pasang Iklan di Sini?
Karena Majalah Sastra Gerbang adalah pintu masuk …..
üMajalah ini dibaca dosen dan mahasiswa Universitas Borneo Tarakan, khususnya
di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
üMajalah ini dibaca guru dan siswa SMP/MTs, SMA/SMK/MA di Tarakan,
Bulungan, Nunukan (Nunukan, Sebatik, Sembakung, Krayan, Sebuku, Lumbis),
Malinau, Kabupaten Tana Tidung, Berau, dan Kabupaten/kota di Kalimantan
Timur.
üMajalah ini dibaca pegawai pemerintah daerah, anggota DPRD, Lembaga
Swadaya Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Sosial Keagamaan,
Perusahaan Swasta dan Masyarakat luas di Kota Tarkan dan sekitarnya.
üMajalah ini dibaca mahasiswa dan dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Perguruan Tinggi di Indonesia.
üMajalah ini dibaca para penulis dan sastrawan Indonesia.
üMajalah ini dibaca para pengusaha, karyawan, dan pemilik perusahaan di
Indonesia.
COVER BELAKANG (FULL COLOUR)
a. 1 HALAMAN 10.000.000
b. 1/2 HALAMAN 6.000.000
c. ¼ HALAMAN 4.000.000
d. 1/8 HALAMAN 2.500.00
Halaman Cover Dalam (depan dan belakang, hitam putih)
a. 1 halaman 7.000.000
b. ½ halaman 4.000.000
c. ¼ halaman 2.500.000
d. 1/8 halaman 1.500.000
Halaman Isi (hitam putih)
a. 1 halaman 5.000.000
b. ½ halaman 3.000.000
c. ¼ halaman 2.000.000
Pemasangan Logo Perusahaan di Cover depan
a. 1/8 halaman 7.500.000
TARIF IKLAN
Hubungi: 085247848611 (Muhammad Azni)
Siapa Pembaca Majalah Ini?
Edisi01/tahun I/2012 39