Perjanjian bagi hasil peternakan sapi di Kelompok Ternak "Andhini Rahayu" menggunakan tiga pola, yaitu bagi hasil 50%-50%, gaduh sapi milik pemerintah, dan kebijakan Kepala Desa 40%-60%. Warga menerapkan perjanjian ini berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan, bukan UU Peternakan yang memiliki ketentuan berbeda.
7. A. Tipe Penelitian
1. Penelitian Yudiris Normatif
2. Penelitian Yuridis Empiris
B. Sumber Data
1. Data Sekunder
2. Data Primer
a.
b.
c.
C. Teknik Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif,
yaitu mengambil data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti sehingga dapat diuraikan secara deskriptif, kualitatif, dan
komprehensif, yaitu menggambarkan kenyataan yang berlaku dan masih
ada kaitannya dengan aspek-aspek hukum yang berlaku..
Responden
Lokasi
Teknik Pengambilan Data
METODE PENELITIAN
NEXT
8. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelompok Ternak Sapi “Andhini
Rahayu” Pedukuhan Betakan Desa Sumberrahayu
Kecamatan Moyudan Kabuptaen Sleman.
Pedukuhan Betakan merupakan dusun yang berbatasan
dengan persawahan di sebelah timur dan utara; di sebelah
barat berbatasan dengan sungai, dan selatan berbatasan dgn
dusun tetangga. Mayoritas di sekitar lokasi adalah berupa
persawahan.
back
10. Teknik Pengambilan Data
Dalam penelitian ini, pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan studi
kepustakaan.
Wawancara
di Kandang sapi Kelompok Ternak “Andhini Rahayu” di Pedukuhan Betakan Desa
Sumberrahayu Kecamatan Moyudan pada hari Sabtu, 10 Desember 2011
di Rumah narasumber:
# narasumber 1 : Kamis, 8/12/2011 dan Sabtu, 10/12/2011
# narasumber 2 : Rabu, 7/12/2011
# narasumber 3 : Ahad, 11/12/2011
Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari literatur-literatur dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
back
14. Perjanjian Bagi Hasil Peternakan menurut
Hukum Perjanjian Adat
Sistem bagi hasil yang umum diterapkan selama ini adalah 50%
untuk penyedia bibit ternak dan 50% untuk pemelihara. Karena itu,
di kalangan masyarakat pedesaan dikenal istilah paroan/gadhuh,
yaitu penyedia bibit ternak dan pemelihara masing-masing
mendapatkan bagian separuh dari anak yang nanti dihasilkan.
Karena sistem bagi hasil ini sudah sangat umum berlaku dan sudah
sejak lama diterapkan dalam setiap usaha bagi hasil peternakan
sapi, masyarakat beranggapan bahwa setiap usaha bagi hasil
peternakan sapi harus menggunakan pola 50%-50%.
15. Peternakan atas dasar bagi-hasil ialah
penyerahan ternak sebagai amanat, yang
dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang
lain, untuk dipelihara baik-baik, diternakkan,
dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu
titipan tersebut dibayar kembali berupa ternak
keturunannya atau dalam bentuk lain yang
disetujui oleh kedua pihak. (Hilman Hadikusuma, 2001:155)
Lanjutan…
16. Di beberapa daerah, seperti Nusa Tenggara dan
Madura serta sebagian kecil kawasan pedesaan di Jawa
kepemilikan jumlah sapi menentukan status sosial yang
bersangkutan mengingat harga sapi yang relatif tinggi.
Selain itu, setiap daerah memiliki budaya ternak sendiri.
Misalnya budaya Timor Tengah Selatan dalam hal
pemeliharaan ternak, umumnya penduduk masih
memiliki kecendrungan untuk melepas saja hewan-
hewan ternak peliharaan mereka di padang rumput pada
siang hari. Begitu pula di Maluku, bidang peternakan
belum menjadi sebuah bidang yang ditekuni oleh
masyarakat. Yang ada hanya peternakan-peternakan
biasa tanpa adanya suatu sistem tertentu. Pada umumnya
jenis-jenis hewan ternak yang dipelihara, diantaranya
adalah kambing, ayam dan itik. Hewan-hewan ini
dibiarkan bebas berkeliaran tanpa kandang.
Lanjutan…
17. Di Lampung, pemeliharaan dengan sistem “kerbau
lepas” (Lampung: kibau padangan), di mana kerbau-kerbau
itu tidak digembala tetapi dilepas bebas di padang ilalang
rawa-rawa terbuka dengan sistem “kandang tahunan”. Pada
waktu pengandangan tahunan itu pemilik kerbau bersama
pembantu-pembantunya melakukan pemberian “tanda milik”
terhadap anak-anak kerbau yang sudah besar dengan “cap
besi” yang dipanaskan pada badan-badan kerbau itu, dan atau
melakukan “ngejarung”, yaitu menusuk lubang hidung
kerbau dan dan diberi tali. Hubungan kerja antara pemilik
kerbau dan pemelihara (penggembala) berlaku atas dasar
bagi hasil, atau bagi anak, atau bagi laba dari hasil penjualan
ternak itu. Untuk pekerjaan mengawasi, menggiring ke
kandang dan memberi tanda milik tersebut, para pemilik
kerbau member balas jasa kepada para pembantunya dengan
sejumlah uang sebagai tanda terima kasih atau dengan sistem
bagi hasil (bagi ternak) bagi para tenaga pembantu yang
tetap. Begitu pula apabila ada kerbau yang disembelih untuk
dijual dagingnya diadakan pembagian labanya.
Lanjutan…
21. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan,
peternakan atas dasar bagi-hasil ialah penyerahan
ternak sebagai amanat, yang dititipkan oleh pemilik
ternak kepada orang lain, untuk dipelihara baik-baik,
diternakkan, dengan perjanjian bahwa dalam waktu
tertentu titipan tersebut dibayar kembali berupa
ternak keturunannya atau dalam bentuk lain yang
disetujui oleh kedua pihak.
Selanjutnya disebutkan bahwa ternak sebagai
titipan itu tidak boleh kurang dari lima tahun untuk
ternak besar, bagi ternak kecil jangka waktunya
dapat diperpendek. Jika ternak titipan dengan bagi
hasil tersebut dikembalikan, maka yang harus
diberikan adalah jumlah pokok semula ditambah
sepertiga dari keturunan ternak semula.
22. Perjanjian bagi hasil peternakan di lokasi penelitian telah dilakukan
warga sejak lama.
Ada 3 pola yang diterapkan dalam sistem pembagian hasil di peternakan
ini, yaitu :
1. Gadhuh dengan pembagian hasil 50 % - 50%.
2. Gadhuh sapi milik pemerintah.
3. Gadhuh dengan kebijakan Kepala Pedukuhan.
23. 1.Gadhuhdenganpembagianhasil50%-50%darihasil
keuntungan.
Pola ini dilakukan antara pemilik modal yang merupakan warga
biasa/umum pemilik sapi dengan warga lain yang akan memelihara
sapinya.Yakni, pemelihara memelihara sapi milik pemilik.
Kewajiban Pemelihara:
Pemelihara menanggung seluruh pakan (Hijauan Makan Ternak dan
konsentrat), pengobatan, dan kandang. Pemelihara merawat sapi.
Kalau untuk penggemukan, digunakan sapi jantan. Lama waktunya 4
bulan. Setelah 4 bulan, sapi itu dijual. Untung dari hasil penjualan dibagi
dua sama banyak. Misal: sapi awal harganya Rp5.000.000,00 kemudian
dipelihara oleh penggadhuh selama 4 bulan. Setelah 4 bulan, sapi itu dijual
dan laku seharga Rp8.000.000,00. Maka pemelihara harus
mengembalikan modal awal, yakni harga sapi Rp5.000.000,00, sedangkan
untungnya yakni Rp3.000.000,00 dibagi dua sama banyak, yaitu masing-
masing mendapat Rp1.500.000,00. Sedangkan untuk sapi betina, anak
yang dihasilkan dijual. Anak sapi dijual kalu sudah berumur 4 s/d 5 bulan.
Hasil penjualan anak itu dibagi dua sama banyak untuk masing-masing
pemelihara dan pemilik sapi. Tidak ada batas waktu untuk bagi hasil sapi
betina. Lama waktu diserahkan sesuka pemelihara.
26. Lanjutan…
Perputaran uang bagi anggota kelompok terjadi ketika
menjelang Hari Raya Qurban. Pada bulan-bulan biasa tidak
terlalu banyak transaksi jual beli sapi.
Jenis sapi yang dibudidayakan di peternakan sapi
“Andhini Rahayu” ada empat jenis, yaitu sapi PO
(Peranakan Ongole), Lemosin, Simetal, dan jenis Brahman.
Saat penelitian dilakukan, mayoritas anggota kelompok
ternak memelihara sapi betina sebab diutamakan untuk
memperbanyak jumlah (perkembangbiakan) sapi. Barulah
ketika 4 bulan menjelang Quran, didatangkan sapi-sapi
jantan untuk digemukkan.
Jumlah sapi ketika sebelum Hari Raya Idhul Adha
kemarin ada 129 ekor. Pada saat penelitian jumlahnya ada
90-an ekor sapi. Masa birahi sapi selama 20 hari. Selisih
birahi setelah melahirkan biasanya 4 bulan. Jadi, sapi
umumnya dapat bunting dua kali dalam 3 tahun. Itu berarti
pembagian hasil dapat dilakukan 2 kali dalam 3 tahun.
27. Lanjutan…
Di Pedukuhan Betakan, karakteristik hukum adat masih ada
dalam usaha peternakan sapi, yakni :
-karakteristik religio-magis dengan selalu mengadakan brokohan
untuk anak sapi yang telah lahir;
-transaksi jual-beli sapi dilakukan secara contant (tunai), ada
uang ada barang, sebab untuk menghindari terulangnya tindak
penipuan yang pernah terjadi sehingga merugikan pemilik sapi.
Karakteristik konkret (visual) dengan menggunakan panjer
sudah jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, maksud panjer
tersebut bukan merupakan uang atau barang di luar harga, akan
tetapi diambilkan dari harga sapi. Dalam jual beli sapi tidak
diperlukan saksi. Sebab semuanya dilakukan atas dasar rasa
saling percaya. Ketika pemelihara (penggadhuh sapi) akan
menjual anak sapi hasil gadhuhannya, biasanya si pemilik modal
(pemilik sapi) juga ada di tempat bersama penjual (penggadhuh)
dan pembeli (bakul). Meskipun yang saling tawar-menawar
hanya penggadhuh dan bakul, akan tetapi mereka sama-sama
tahu.
28. PelaksanaanUUNomor6Tahun1967tentangKetentuan-
ketentuanPokokPeternakandanKesehatanHewandilokasi
penelitian
Warga pemelihara sapi di lokasi penelitian
tidak mengetahui adanya UU tersebut. Dalam
melaksanakan perjanjian bagi hasil warga tidak
berpedoman kepada UU tersebut, tetapi
melaksanaakan sesuai kebiasaan masyarakat.
Selain itu, pembagian hasilnya bukan
sejumlah harga pokok ditambah sepertiga (Pasal 17
ayat (2) UU 6/1967). Dan tidak ada batas waktu
pemeliharaan oleh penggadhuh sapi (yang ada
hanya untuk sapi pemerintah). Penggadhuh boleh
memelihara sampai kapanpun ia mau. Semua
didasari rasa saling percaya dan sifat kebersamaan
antar warga dalam bagi hasil sapi.
30. Jadi, perjanjian bagi hasil peternakan ialah kesepakatan antara
pemilik modal (pemilik sapi) dengan pengelola (pemelihara) untuk
merawat sapi dan membagi besar keuntungan dari penjualan sapi
sesuai kesepakatan bersama.
Ada 3 (tiga) pola yang diterapkan dalam sistem pembagian hasil
di peternakan “Andhini Rahayu” Pedukuhan Betakan, yaitu:
1. Gadhuh dengan pembagian hasil 50 % : 50% dari hasil keuntungan.
2. Gadhuh sapi milik pemerintah, yaitu pemerintah melalui
programnya memberikan bantuan sapi yang sudah bunting kepada
para pengusul pemelihara untuk dirawat secara bergiliran. Anak
yang dihasilkan menjadi milik pemelihara.
3. Gadhuh dengan kebijakan Kepala Pedukuhan, yakni 40% (utk Pak
Dukuh) dan 60% untuk pemelihara.
UU No 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak semuanya dilaksanakan
warga Kelompok Ternak Sapi “Andhini Rahayu” karena pembagian
hasilnya bukan sejumlah harga pokok ditambah sepertiga. Selain itu,
tidak ada batas waktu pe,meliharaan oleh penggadhuh sapi. Semua
didasari rasa saling percaya dan sifat kebersamaan antar warga
dalam penggadhuhan sapi.
31. 1.Sebaiknya pemerintah terus memberikan
bimbingan dan segala bantuan agar
masyarakat desa lebih maju.
2.Seharusnya aparat pemerintahan tidak
bermain politik dalam urusan
kesejahteraan masyarakat.
3.Rakyat kecil harus dibantu untuk
diringankan beban hidupnya, bukan
untuk diperas dengan pembayaran bagi
hasil yang tidak rasional sebab ada
ketidakseimbangan beban yang
ditanggung.
32. Hadikusuma, Hilman. 1982. Hukum Perjanjian Adat. Bandung: Penerbit
Alumni.
Hadikusuma, Hilman. 2001. Hukum Perekonomian Adat Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
http://ebudikurniawan.blogspot.com/2010/11/nilai-ekonomis-budidaya-
sapi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Peternakan diunduh Ahad, 11 Desember 2011
jam 15:37 WIB
Sudiyat, Iman. 2010. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta.
UU RI Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
DAFTAR PUSTAKA
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39. ..Nyuwun pangapunten menawi wonten
keladuking atur lan wonten ingkang dereng
leres..
Matur nuwun….!
“Negara yang kaya dengan ternak tidak akan pemah
miskin, dan negara yang miskin dengan ternak tidak
akan pernah kaya “
(Campbell dan Lasley, 1985)