Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya branding baik secara internal maupun eksternal bagi pemerintah kota Tangerang. Secara internal, perlu ada upaya lebih untuk melibatkan seluruh warga termasuk yang berasal dari luar kota. Sementara secara eksternal, perlu digali potensi khusus kota Tangerang yang dapat dijadikan identitas untuk menarik minat wisatawan dan investor. Langkah awal yang penting adalah melakukan studi mend
Podjok Anti Korupsi - Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT)
Konten Penting
1. Jakarta-Bagian humas atau PR harus menjadi yang terdepan bagi sebuah perusahaan. Tugas dan tanggung
jawabnya sangat berat ketika menyampaikan informasi aktivitas perusahaan yang memang harus diketahui
publik terutama para pemangku kepentingan. Komunikasi atau informasi harus obyektif, apa adanya dan harus
jujur.
Chairman/pendiri dan pemilik CT Corporation (CT Corp), Chairul Tanjung, menegaskan hal itu dalam acara
bedah buku “Chairul Tanjung si Anak Singkong” yang diselenggarakan oleh Perhumas, Jumat (14/9) sore di
Djajusman Auditorium & Performance Hal, Sudirman Park Campus, Jakarta Pusat. Hadir antara lain, penyusun
buku Tjahja Gunawan Diredja, Ketua Umum BPP Perhumas Prita Kemal Gani, Wakil Ketua BPP Perhumas
Agung Laksamana dan Troy Pantow, mantan Ketua Umum BPP Perhumas Muslim Basya, sejumlah senior dan
pengurus BPP Perhumas lainnya, sejumlah undangan dan mahasiswa/i LSPR.
“Sebagai pemilik perusahaan, saya berharap agar Humas saya itu dapat menjadi orang terdepan menyampaikan
informasi yang boleh atau diketahui publik terkait seluruh aktivitas perusahaan. Tetapi tentu tidak semua aktivitas
perusahaan perlu diketahui publik. Atau mungkin perlu diketahui oleh publik, tetapi belum saatnya,” tukas Chairul
yang juga Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
Chairul yang akbrab disapa CT itu mengingatkan, dalam menyampaikan informasi, perhatikan konten. Konten
harus disampaikan pada momentum tepat. “Content is so, so, very important. Sebuah konten yang bagus
disampaikan pada momen yang tidak tepat, maka menjadi tidak bagus. Menurut saya yang paling penting adalah
dia (praktisi PR) harus tahu persis, konten apa dari perusahaan dan media apa yang harus dipakai untuk
disampaikan.”
Konten itu menurut CT harus mempunyai value. “Dalam melakukan branding company atau branding apa pun,
ya harus ada value-nya, harus ada makna, tujuannya jelas, isinya harus benar-benar ada. Kalau tidak ada isinya,
dipaksa untuk branding, ya akibatnya cost malah menjadi tinggi dan hasilnya menjadi persoalan.”
Kemudian CT memberi contoh ketika membangun Trans Hotel, di Bandung. CT mende-clare hotelnya itu
sebagai hotel bintang 6 pertama di Indonesia, namun tidak ada promosi atau pemberitaan media massa
sebagaimana kelaziman. Yang dilakukan justru quality of the conduct. Dibenahi semuanya terlebih dahulu
hingga tiba momentum yang paling tepat untuk promosi.
Konten yang baik, lanjut CT, memudahkan praktisi PR untuk mengemas pencitraan. Antara konten
dan cover(image/citra) harus sebanding. Sangat berbahaya jika praktisi PR membuat pencitraan yang serba baik
namun ternyata isi (kontennya) buruk. Pemilik Trans TV, Trans 7, Detik, Bank Mega dan Carefour itu
menegaskan, “Orang PR jangan berbohong kepada publik. Kalau melihat ada konten yang tidak baik, lalu
memaksakan diri untuk membuatcover yang baik, itu berbahaya. Sebaiknya lakukan introspeksi ke dalam.
Internalnya diperbaiki dulu. Kalau sudah bagus baru disampaikan kepada publik.”
Sangat cerah masa depan PR di Indonesia menurut CT. Optimisme itu didasarkan pada pertumbuhan dan
perkembangan bangsa negara Indonesia yang semakin tahun semakin baik, terutama aspek perekonomian.
Karena itu pula perusahaan-perusahaan semakin membutuhkan PR. CT menempatkan bidang PR di berbagai
perusahaannya sebagai bidang yang strategis.
Kesuksesan sebuah perusahaan, demikian CT, tergantung pula pada insan PR. “Orang PR harus bekerja keras
dan harus kreatif,” pesan CT menutup acara bedah buku yang dipandu oleh pengurus BPP Perhumas, Febriati
Nadira.***(Bos)
Sumber: PRWorld
http://www.theprworld.com/profile/people/327-chairul-tanjung-content-is-very-important
Branding Kota Tangerang
BY AMALIA E. MAULANA ON APRIL 9, 2011 IN BLOG WITH COMMENTS OFF
2. Wawancara Amalia E. Maulana oleh Majalah
MIX, April 2011
Pertanyaan: Menurut penilaian Anda, bagaimana upaya branding yang dilakukan pemerintah Kota
Tangerang? Apakah upaya itu sudah cukup? Jika masih belum, ke depan apa lagi yang harus dilakukan
pemerintah kota Tangerang?
Jawaban:
Dalam branding ada dua pekerjaan penting: pekerjaan branding internal dan branding eksternal. Ini juga
berlaku pada proses branding kota pemerintahan. Branding kota Tangerang sampai hari ini menurut
pengamatan saya masih lebih dititikberatkan pada branding internal. Walaupun belum sempurna, tetapi
proses branding internal ini tampak dan mengalir.
Branding yang bersifat eksternal yang kurang mendapat perhatian. Apa makna kota Tangerang? Kalau
makna Bogor mungkin jelas kota hujan dan kota wisata kebun raya dan jalan menuju Puncak. Kota
Tangerang? Bagi yang tinggal di luar Jabodetabek mungkin bahkan ‘have no idea’ seperti apa tepatnya
gambaran kota Tangerang tersebut.
Bagi penduduk Jakarta dan sekitarnya, walaupun mungkin sudah lebih dirapihkan oleh pemerintahnya,
tetapi kesan Tangerang masih tetap ‘ruwet, macet, gersang’ dan perumahan serta industri campur aduk,
tidak secara rapi terpisahkan – yang jelas bukan kota impian.
Internal Branding
Dari data penduduk, dijelaskan bahwa 60% dari penduduk Tangerang adalah kaum komuter, dimana
mereka bekerja di Jakarta, menghabiskan uangnya di Jakarta, dan Tangerang hanya dijadikan tempat
‘numpang tidur dan istirahat’ saja.
Komunitas komuter ini bahkan belum secara sadar tinggal di Tangerang, kecuali sedang memperpanjang
KTP dan SIM, selebihnya selalu meng-klaim tinggal di Jakarta (bukan di pinggir Jakarta lagi, tetapi di
luar Jakarta).
Fenomena ini agak berbeda dengan warga Depok yang sudah secara spontan menyebutkan Depok sebagai
tempat tinggalnya. Para Depokeese ini mempunyai sense of belonging yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Tangerangers.
Ada banyak alasan mengapa penduduk Tangerang komuter belum merasa punya alamat di Tangerang.
Salah satunya saja, adalah penduduk yang mobile ini yang belum masuk radar pemkot Tangerang. Dari
beberapa kali pilkada, masih banyak yang merasa tidak dihubungi dan tidak jelas suaranya dikemanakan.
Berita Pilkada ada di pohon-pohon di setiap ujung jalan, tetapi penduduk ‘komuter’ ini masih terasa asing
di daerahnya sendiri. Tidak dihitung, tidak dilibatkan.
3. Jika dalam media massa sering diulas pemberitaan tentang betapa dekatnya hubungan antara pemkot
dengan warganya dari banyaknya acara interaksi yang digalang dan digelar, mungkin yang dimaksud disini
adalah warga tetap, warga yang 40% jumlahnya, tidak mewakili keseluruhan komunitas Tangerang.
Pemkot Tangerang perlu untuk melakukan upaya dialog dengan pihak-pihak yang belum masuk radar
tersebut, bahkan karena mereka termasuk golongan pendidikan tinggi dan cukup mapan, keberadaan
mereka dalam satu wadah dengan pemkot Tangerang akan menjadi sumbangan pemikiran dan biaya yang
lumayan.
Involvement bukan hanya akan meningkatkan sense of belonging, tetapi juga sebagai proses ‘buy-in’
warga untuk penerapan strategi pembangunan kota yang sedang dikerjakan.
Pemahaman terhadap kebutuhan tiap segmen dari warganya perlu diketahui dan dipetakan, agar tidak
dilakukan strategi pembangunan generic yang menyamaratakan kebutuhan tiap warga. Jika dalam survey
dikatakan tingkat kepuasan warga Tangerang tinggi, saya ragu, pertanyaan saya, warga kelompok mana
yang diwakili?
Eksternal Branding
Dalam menjelaskan keunikan kota Tangerang, perlu digali secara lebih mendalam potensi apa pada kota
ini yang bisa diangkat dan dijadikan ‘hero’. Sebab, kota Tangerang sendiri terkenal ‘kering’ dari wisata
alam, tidak punya kultur budaya yang khas dan memukau, pokoknya jauh bila dibandingkan dengan kotakota lain yang lebih dulu bersinar di Indonesia seperti Yogyakarta, Denpasar, dan Manado.
Tentu saja ada hal-hal yang bisa dicreate, diciptakan oleh kota Tangerang, dengan tidak menutup
kemungkinan untuk dijadikan sebuah daya tarik tersendiri. Beberapa yang pernah dibahas di media adalah
pembuatan wisata alam buatan seperti danau, taman kota, taman impian dll.
Hal lain yang dibicarakan di media adalah kemungkinan untuk mengusung Tangerang sebagai kota pelajar.
Ini mungkin, asalkan dari segi penambahan universitas dan populasi pelajar saling mengikuti ‘promise’
atau janji tersebut.
Pertanyaan: Sebenarnya, apa kunci sukses sebuah pemerintah kota dalam melakukan branding kotanya?
Apa saja langkah yang harus mereka lakukan?
Jawaban:
Sebelum menciptakan ‘keunggulan’ kota, yang harus dilakukan oleh Pemkot adalah melakukan studi
ethnography terhadap internal dan eksternal kota Tangerang.
Internal: meliputi pihak-pihak internal yaitu pejabat dan staff pemkot, para warga yang terdiri dari
beberapa kelompok yang berbeda, dst. Dalam studi ini digali sampai sejauh mana mereka mempunyai
kedekatan dengan kota Tangerang dan apa yang dirasakan masih kurang dan perlu diperbaiki. Apakah
selama ini kegiatan yang dilakukan oleh Pemkot Tangerang sudah ‘sampai’ ke para warganya? Materi
marcom atau kegiatan apakah itu?
External: meliputi pihak lain di luar kota Tangerang tetapi yang berkepentingan. Misalnya industri yang
ada di kota Tangerang (Investor), pengelola universitas yang ada di Tangerang, juga prospek turism
penduduk di luar kota Tangerang baik di jabodetabek maupun di luar tersebut. Apakah arti kota
Tangerang untuk mereka, atau ingin dijadikan seperti apa Tangerang ini sehingga mereka bisa mempunyai
keterikatan yang khusus.
4. Setelah penelusuran internal dan external untuk memperoleh insights ini kemudian barulah dipikirkan
strategi marketing communicationnya. Di dalam pemikiran strategi marcom, juga dimasukkan pembahasan
tentang tagline yang harus diusung dan melalui kegiatan marcom apa saja bisa dicapai tujuan komunikasi
kota Tangerang.
http://amaliamaulana.com/blog/branding-kota-tangerang/#more-411