Dokumen tersebut membahas tentang penggunaan event budaya sebagai alat city branding untuk memperkuat identitas suatu kota. Secara khusus, dokumen tersebut membandingkan penyelenggaraan Festival Kesenian Yogyakarta dengan event-event serupa di kota lain, dan menyimpulkan bahwa pengelolaan Festival Kesenian Yogyakarta belakangan dinilai kurang maksimal dalam mempromosikan Yogyakarta sebagai Kota Budaya.
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Otonomi daerah
1. Dewasa ini, sebuah kota dapat diibaratkan sebagai sebuah brand.
Sebagai brand, sebuah kota harus bersifat fungsional. Itu artinya, sebuah kota
harus berfungsi sebagai tujuan untuk pencari kerja, industri, tempat tinggal,
transportasi umum dan atraksi serta rekreasi (Winfield, 2005:20). Hal ini pada
akhirnya mendorong setiap kota berkompetisi satu sama lain untuk
mendapatkan perhatian consumer dunia: turis, calon investor, para pelajar,
pengusaha, berbagai liputan media massa, atau pemerintah kota lainnya.
Adanya persaingan ini membuat berbagai kota mulai tertarik
menerapkan city branding sebagai upaya membentuk atau memperkuat
identitas dan image kota sehingga sebuah kota memiliki keunikan yang
membedakan dengan kota lainnya. City branding adalah upaya
mempromosikan image kota yang khas melalui bentuk fisik kota, kebijakan
pemerintah kota, promosi periklanan, dan tingkah laku penduduk sehingga
suatu kota dapat dikenal dengan identitas unik yang hanya dimiliki olehnya di
dunia (Kavaratzis, 2009:28).
Salah satu keunikan identitas yang bisa “dijual” adalah budaya. Kapital
budaya merupakan sebuah keunggulan bersaing yang dimiliki oleh kota yang
sulit ditiru. Sekarang ini banyak daerah yang mengemas seni budaya sebagai
“nilai jual” dalam bentuk penyelenggaran event. Penyelenggaraan event atau
festival merupakan salah satu aspek dimensi city branding dalam rangka
mempromosikan kota (Ooi, 2009:7). Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh Kavaratzis (2009:30) bahwa perhelatan akbar melalui berbagai event baik
2. dalam skala lokal, regional, nasional dan internasional merupakan salah satu
bentuk “primary communication” dalam kegiatan city branding.
Beberapa daerah yang mengemas event budaya sebagai alat city
branding adalah Jember (Jember Fashion Carnival), Surakarta (Solo Batik
Carnival) dan Jakarta (Jakarta International Performing Art). Jember Fashion
Carnival (JFC) diselenggararakan rutin setiap tahun di Jember sejak tahun
2003 merupakan proyek identitas yang berupaya mengkonstruksi identitas
Jember sebagai “Jember Kota Karnaval Fashion Dunia” (Raudlatul Jannah,
Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 17, No. 2, Juli 2012:135-148). Kemudian,
penyelenggaraan Solo Batik Carnival (SBC) merupakan upaya penguatan
identitas kultural Surakarta sebagai Kota Batik1. Sedangkan Jakarta
International Performing Art (JAKIPA) yang baru diselenggarakan pada tahun
2013 lalu merupakan upaya city branding Jakarta sebagai kota budaya2.
Lantas bagaimana dengan Yogyakarta yang dikenal oleh masyarakat
luas sebagai Kota Seni dan Budaya? Bila dibandingkan dengan ketiga daerah
di atas yang baru mengemas event budaya pada periode tahun 2000-an,
Yogyakarta telah mengemas event budaya lebih awal yakni sejak tahun 1988.
Itu artinya pada tahun 2013 lalu, Yogyakarta telah menyelenggarakan event
budaya tersebut secara rutin selama seperempat abad. Event budaya yang rutin
1 Bandung Mawardi, “SBC sebagai Penguatan Identitas Kultural”, Suara Merdeka, 30 Juni,
2009.
2 “Jakarta Gencarkan Branding Kota Budaya”, http://antaranews.com/berita/397322 (akses pada
20 November 2013)
3. digelar setiap tahun selama seperempat abad tersebut adalah Festival Kesenian
Yogyakarta (FKY).
Penyelenggaraan FKY secara rutin setiap tahun memiliki arti penting
dalam pengukuhan identitas Yogyakarta sebagai Kota Seni Budaya. Hal
tersebut disampaikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan
Hamengku Buwono X dalam pidato pembukaan FKY ke-24 tahun 2012 lalu.
Beliau menyatakan bahwa event FKY telah menjadi identitas yang tidak
terpisahkan dari Yogyakarta.3 Pernyataan senada juga disampaikan oleh Gusti
Yuda, Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta saat
pembukaan FKY ke-25 bahwa adanya FKY guna mengukuhkan Yogyakarta
sebagai kota budaya dan kota peradaban4.
Apa yang disampaikan oleh Gubernur dan Kepala Dinas Kebudayaan
Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut sejalan dengan tujuan penyelenggaraan
event dalam konteks city branding. Penyelenggaraan event atau festival yang
sukses dan populer dapat berkontribusi dalam memperkuat brand image suatu
tempat atau kota. Penyelenggaraan event memiliki arti penting guna
membangun image tentang suatu tempat atau wilayah melalui pembentukan
opini para stakeholder. Sebagai contoh bisa kita lihat pada keberhasilan
penyelenggaraan Jember Fashion Carnival (JFC) yang mampu mengangkat
3 “FKY hanya Pesta Seremonial”, http://www.solopos.com/2012/06/22/tajuk-fky-hanya-pesta-seremonial195694
(akses pada 20 November 2013)
4 “FKY Bukan Hanya Tontonan namun Mendekatkan Kesenian kepada Raky at”,
http://www.harianjogja.com/baca/2013/06/26/fky-bukan-hanya-tontonan-namun-mendekatkan-kesenian-
kepada-rakyat-420199 (akses pada 20 November 2013)
4. image Jember dari “Jember Kota Tembakau; Jember Kota Santri” menjadi
“Jember Kota Fashion Carnival Dunia” sekelas dengan Festival Bunga
Pasadena (Amerika Serikat) dan Festival Rio De Janeiro (Brasil).
Keberhasilan JFC dikarenakan pihak penyelenggara secara serius
melakukan persiapan pengelolaan event. Persiapan karnaval dilakukan selama
satu tahun penuh sebelum event diselenggarakan.5 Penyelenggara melakukan
riset mengenai tema apa yang akan menjadi tren, bentuk karnaval bagaimana
yang ideal, hingga bagaimana menjaring sebanyak mungkin media untuk
datang meliput. Tercatat ada sekitar 300 media massa baik lokal, nasional dan
internasional yang meliput setiap penyelenggaraan JFC. Penyelenggara juga
memanfaatkan teknologi informasi untuk keperluan promo serta publikasi
tentang JFC. Penyelenggara secara aktif menjalin jaringan dengan pihak luar.
Hal ini dapat dilihat dari seringnya JFC tampil dalam banyak kesempatan baik
indoor maupun outdoor di berbagai kota, bahkan, mereka diminta untuk
menjadi konsultan di berbagai tempat yang ingin menghasilkan karya sejenis
(Raudlatul Jannah, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 17, No. 2, Juli 2012:135-
148).
Bila penyelenggaraan JFC dapat dikatakan mampu menciptakan image
positif bagi kota Jember, bagaimanakah dengan penyelenggara FKY? Meski
penyelenggaraan FKY memiliki visi sebagai upaya penguatan identitas
5 http://www.jemberfashioncarnaval.com/main.php?com=persiapan
5. Yogyakarta namun penyelenggaraan FKY pada dasawarsa terakhir dinilai
kurang begitu populer. Peneliti melandaskan argumen pada hasil jajak
pendapat yang dilakukan oleh Amiluhur, Dosen Atmajaya Yogyakarta
berkaitan dengan penyelenggaraan FKY. Dalam jajak pendapat tersebut, ia
menyimpulkan bahwa pelaksanaan FKY dianggap semakin redup pamornya.
FKY juga dianggap kurang memiliki visi dan misi yang jelas, sehingga dinilai
telah dan kehilangan ruh daya tarik terhadap kepuasan konsumen.6
Pandangan negatif tentang penyelenggaraan FKY juga datang dari
Toto Sugiharto7 dan Eko Nuryono8. Mereka menilai penyelenggaraan FKY
dari tahun ke tahun menimbulkan kesan monoton, stagnan, kurang greget dan
cenderung copy-paste. Hal senada juga disampaikan oleh Garin Nugroho, ia
menyatakan bahwa penyelenggaraan FKY belum menunjukkan representasi
Yogyakarta, bahkan, ia menilai kota besar lain seperti Solo justru lebih baik
dalam menampilkan festival seni budaya yang sama9. Sedangkan pengamat
FKY, Suwarno Wisetrotomo menilai sejak tahun 2000-an pelaksanaan FKY
6 Amiluhur, “Mau Dibawa Ke Mana FKY di Masa Mendatang?” (disampaikan dalam acara
seminar yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) D.I. Yogyakarta,
Yogyakarta, 18 November, 2008)
7 Toto Sugiharto, “Transisi Perubahan Kelola FKY”, Minggu Pagi, 22 Juni, 2012, hal.7.
8 Eko Nuryono, “Jangan Salahkan Panitia FKY”, Minggu Pagi, 13 Juli 2012, hal. 7.
9 Festival Kesenian Yogyakarta Dinilai Makin Kalah dari Solo,
http://www.kotajogja.com/berita/index/Festival-KesenianYogyakarta,-Dinilai Makin-Kalah-dari-
Solo (akses pada 20 Oktober 2013)
6. sudah mulai tersisih dari masyarakat, bahkan menurutnya masyarakat tidak
tahu jadwal FKY dan hanya tahu pembukaan dan penutupan.10
Berpijak pada fakta tersebut peneliti merasa tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai bagaimana pengelolan Festival Kesenian Yogyakarta,
khususnya pengelolaan FKY ke-25. Peneliti merasa tertarik melakukan
penelitian mengenai pengelolaan penyelenggaran FKY ke-25 selain karena hal-hal
yang sudah dipaparkan sebelumnya juga karena ada sesuatu yang baru yang
disuguhkan dalam penyelenggaraan FKY ke-25 ini. Bila lokasi
penyelenggaraan FKY sebelum-sebelumnya identik dengan benteng
Vredeburg, maka hal berbeda terjadi pada penyelenggaraan FKY ke-25 yakni
dijadikannya Plasa Pasar Ngasem sebagai titik sentrum kegiatan. Rencananya
penelitian ini berjudul: “Pengelolaan Event sebagai Upaya Branding Kota
(Studi Deskriptif pada Festival Kesenian Yogyakarta ke-25)”
10 http://www.solopos.com/2012/07/13/festival-kesenian-yogyakarta-dinilai-makin-kalah-dari-solo-
butuh-strategi-baru-201191 (akses pada 20 Oktober 2013)