Tulisan ini merangkum refleksi 4 tahun meninggalnya Gus Dur. Gus Dur dianggap sebagai guru bangsa karena pemikiran dan tradisi dinamisnya. Pemikirannya didasarkan pada humanitarianisme dan rasionalitas agar Islam dapat menjawab tantangan modernitas. Gus Dur menyerap nilai-nilai positif liberalisme tetapi dalam kerangka Islam. Ia lebih menekankan pada "nilai-nilai Indonesia" seperti perubahan sosial tanpa memutuskan
1. M e n g g e r a k k a n Tr a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a
Edisi 10 / Desember 2013
Bulan Gus Dur
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com.
Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.
Newsletter ini adalah produk nonprofit.
S
2. SEKADAR MENDAHULUI
Bulan Gus Dur
D
esember seolah tidak pernah lepas dari
kenangan-kenangan besar sepanjang
sejarah. Pada bulan ini, Natal menjadi
sesuatu yang dinantikan oleh umat Kristiani.
Pada bulan ini juga, KH. Abdurrahman Wahid
berpulang ke rahmatullah, dan bahkan
sekarang, Desember dinobatkan sebagai Bulan
Gus Dur oleh banyak kalangan, termasuk
media.
Kabar duka di tahun ini juga muncul,
rekan seperjuangan Gus Dur, pejuang
antiapartheid dari Afrika Selatan, Nelson
Mandela berpulang.
Memperingati semua itu, kami
menyajikan secara spesial pada edisi
Desember 2013. Tulisan yang kami sajikan
adalah buah karya murid-murid Gus Dur.
Adalah Ahmad Suaedy dan Nur Khalik Ridwan
yang menyajikan wacana apik untuk kita kaji
bersama. Untuk melengkapinya, kami juga
menambahkan halaman lebih banyak dari edisiedisi sebelumnya.
Selamat membaca dan memperingati
Bulan Gus Dur.
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
2
3. Penanggung jawab
SekNas JGD
Penasihat
Alissa QM Wahid
Heru Prasetia
koordinator Divisi Media JGD
Heru Prasetia
Pemimpin Redaksi
Nabilah Munsyarihah
Redaksi
Misbahul Ulum
Zahrotien
Editor
Abas Z g.
Tata letak & Ilustrasi cover
Muhammad Nabil
Kontributor
GUSDURian di berbagai daerah
Sirkulasi
Manajemen Informasi Jaringan
GUSDURian
3
4. Menggerakkan Tradisi
GUS DUR
&
Antisipasi Sumber
Kebudayaan Islam
Oleh: Ahmad Suaedy
S
alah satu warisan Gus Dur yang jarang atau belum
diperhatikan adalah antisipasi perubahan besar peta
sumber kebudayaan Islam Indonesia akibat perubahan
geopolitik dan ekonomi dunia. Ini sudah diperingati Gus Dur
secara intensif sejak dini. Yaitu bangkitnya sumber kebudayaan
dunia yang sempat tenggelam pada era kolonial dan paska
kolonial. Tentu, boleh jadi, dalam wujud yang sama sekali baru.
Para sejarawan menginformasikan, kebudayaan Islam
Jawa atau nusantara tidak lain berasal
dari tiga puncak kebudayaan dunia pra
kolonial, yaitu Persia, Cina dan India. Dari
tiga poros inilah sesungguhnya Islam
semula diolah sedemikian rupa sebagai
sebuah kebudayaan yang matang dan
mendalam, kemudian merambah
ke Nusantara (kini Indonesia). Di
dalamnya termasuk hubungan dagang
dan penguasaan akan laut. Beberapa novel
Pramudya Ananta Toer mengindikasikan
interaksi ini.
Dennis Lombard di pihak lain, misalnya,
menginformasikan bahwa ketinggian budaya
Jawa dan Islam di Nusantara sesungguhnya
merupakan pergeseran dari Indochina.
Indochina merupakan semacam transito
ingredient Islam-Hindu-Buddhis-Animis
sebelum ke Jawa. Tentu ada penyebar
Islam yang berasal dari Arab langsung, juga
orang nusantara yang belajar ke Arab, tetapi
perannya tidak sebesar mereka. Konon,
tidak satu pun dari sembilan wali di Jawa
yang kesohor itu adalah pribumi nusantara.
Sebagian besarnya para sufi berasal dari tiga
poros tersebut.
Penundukan Barat (Eropa dan Amerika),
atas sebagian besar pusat-pusat Islam
seperti Saudi Arabia, Mesir, Afghanistan,
Ilustrasi: Muhammad Nabil
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
4
5. Turki menempatkan mereka sebagai sumber
alternatif utama Islam nusantara dari
sebelumnya. Kombinasi antara modernisasi
Barat yang sentralistik dan Arab yang anti
kebudayaan menggantikan sumber-sumber
kebudayaan Indonesia yang kaya kombinasi
spiritual sufistik yang mendalam dan
keterampilan berdagang. Sumber utama
kebudayaan Islam Indonesia pra kolonial
tersebut lantas nyaris hilang dari memory
umat Islam Indonesia. Namun kini, Iran, Cina
dan India siap menantang dominasi Barat. Apa
reaksi Islam Indonesia?
***
Sewaktu menjadi presiden, Gus Dur
bukan hanya merancang suatu poros dagang
(sesungguhnya politik dan kebudayaan juga)
Jakarta-Peking-New Delhi tetapi sebelumnya
Gus Dur sudah sering mengintroduksi peranan
Indochina sebagai sumber kebudayaan Islam
Indonesia. Indochina terletak di halaman
depan Cina dan halaman belakang India.
Sedangkan dalam perspektif Asia Tenggara
sekarang, Indochina yang dominan Buddhis
adalah mainland sementara Indonesia dan
sekitarnya yang dominan Islam adalah
semenanjung. Karena itu, Islam dan Buddhisme
sesungguhnya, dengan segala dinamikanya,
adalah dua basis utama kebudayaan Asia
Tenggara kini.
Gus Dur sering memperkenalkan Cham
atau Campa, bahkan dia sendiri mengaku
sebagai keturunan putri Champa. Cham
adalah kerajaan besar Hindu sejaman dengan
hegemoni Majapahit di Jawa dan Sriwijaya
di Sumatera yang ditundukkan oleh Angkor
di Kamboja, yang kemudian timbul kembali.
Pada kemunculan kedua inilah dikuasai oleh
Islam, sebelum kemudian dihabisi oleh kerajaan
Viet di Vietnam. Betapa kuatnya Islam dalam
masyarakat Cham, meskipun hanya sebagai
nama kerajaan dan bukan sejenis etnis atau ras,
tetapi penduduk wilayah itu yang kemudian
terpencar karena aksi bumi hangus Viet, juga
yang tertinggal di sekitarnya, menyebut dirinya
sebagai Cham: setara degan etnis atau ras.
Sebuah situs overseas milik jaringan
orang-orang Cham mengumumkan secara
agak aneh: barang siapa yang merasa
keturunan penduduk dari kerajaan Cham
diminta mendaftarkan diri ke situs yang
berpusat di California itu. Kerajaan Cham
telah dibumihanguskan sejak abad ke-18
tetapi penduduknya masih mengakui sebagai
keturunan mereka. Jika disebut kata Cham
maka hampir selalu berkonotasi Muslim
meskipun sebagian kecilnya beragama Hindu.
Islam melewati tiga poros dunia tersebut,
dengan demikian, tidak hanya numpang lewat
melainkan terlebih dahulu menaklukkan pusat
kekuasaan dan menguasai rakyatnya. Islam
tampil bukan hanya dalam bentuk kekuasaan
melainkan menjadi tradisi dan spiritual yang
menghunjam ke dalam masyarakat dengan
sangat dalam. Taj Mahal, salah satu warisan
kebudayaan Islam yang sangat tinggi di
India, misalnya, hanyalah sebuah simbol fisik.
Lebih dari itu tradisi kehidupan dan spiritual
masyarakatnya di wilayah itu jauh lebih dalam.
Jangan lupa bahwa India kini masih tercatat
sebagai Negara dengan penduduk Muslim
terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, di
atas Negara-negara Timur Tengah sekalipun.
***
Dinamika politik di Indochina, Kamboja,
Vietnam, Laos, Myanmar juga Thailand sebagai
bagian dari arus globalisasi, di mana Islam
masuk sebagai bagian dari dinamika tersebut,
selayaknya mengingatkan kita pada antisipasi
Gus Dur tersebut. Tidak seperti masa pra
kolonial di mana Indochina sebagai transito
Islam, kini justru Indonesia sebagai pusat Islam
itu sendiri.
Para pewaris visi perdamaian Gus
Dur perlunya memperkuat, bukan hanya
mengingat, kembali secara sengaja dan
sistematis dialog Islam yang bersifat kawasan
dan antar kebudayaan dan keagamaan
--dengan seluruh dimensinya-- untuk diarahkan
ke kawasan tersebut.***
Bendungan Jatiluhur, 30 November 2013
Coordinator
Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and
Peace (AWCentre-UI)
3rd Floor Library Building, Universitas Indonesia (UI),
Depok Campus, INDONESIA
Phone: +62-811193248; Email: suaedy@gusdur.net;
awcentre.ui@gmail.com
Website: awcentre.ui.ac.id/
5
6. Menggerakkan Tradisi
Refleksi 4 tahun Meninggalnya Gus Dur
Dinamisme
Sang
E
Oleh Nur Khalik Ridwan*
Guru Bangsa
mpat tahun lalu, tepatnya 30 Desember
2009, Gus Dur telah menggenapi takdirnya
“menghadap Rabbil `Alamin”, meminjam
istilah al-Ghazali dalam Minhâjul `Âbidîn. Gus
Dur dimakamkan di kompleks pemakaman
pesantren Tebuireng, Jombang. Makamnya
terus diziarahi oleh masyarakat dari berbagai
lapisan hingga saat ini. Tidak terasa, sudah 4
tahun Gus Dur “meninggalkan fisik” Bangsa
Indonesia. Bagi penulis, tidak penting Gus Dur
diangkat sebagai pahlawan nasional atau tidak.
Bagi bangsa Indonesia, eksistensi, pemikiran,
dan tradisi dinamisnya, telah melampaui itu
semua: menempatkannya sebagai guru bangsa.
Tulisan ini ingin mengenang sosok
Gus Dur dari satu segi, yaitu dasar-dasar
pemikirannya yang dinamis sebagai guru
bangsa. Tentang ini, Greg Barton menyebut
dasar pemikiran dinamis Gus Dur adalah
humanitarianisme-liberal. Dua hal utama
yang mendorong humanitarianisme di dalam
pemikiran Gus Dur disebutkan: rasionalitas
dan keyakinan bahwa melalui usaha rasional
terus menerus, Islam lebih dari sekadar mampu
menjawab tantangan modernitas (Greg Fealy
dan Greg Barton, 1997: 169).
Tidak sedikit kemudian yang menjuluki
Gus Dur, baik karena mengagumi atau
memusuhinya sebagai guru bangsa, dengan
istilah “muslim liberal”, terlepas beberapa
kategori ini menimbulkan kerancuan. Menurut
penulis, memang aspek-aspek perhatian
Gus Dur terhadap harmoni sosial, toleransi,
kebebasan berpendapat, dan hak-hak
minoritas, tidaklah diragukan sama sekali.
Apakah itu diambil dari nilai liberal, adalah
suatu yang tidak sederhana, karena Gus Dur
melihat Islam dalam pemahamannya mampu
menjembatani aspek-aspek kemanusiaan
itu. Karenanya, dasar-dasar dinamis Gus Dur
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
6
dikaitkan dengan humanitarianisme-liberal,
sama sekali tidak mewakili aspek yang lebih
luas dari sosok Gus Dur, bahkan sebuah
kesalahan.
Kalau dilihat dari pemikiran Gus Dur
secara lebih luas sebagai guru bangsa, tendens
dan dasar-dasar pemikiran dinamisnya,
bukanlah nilai-nilai liberal. Nilai-nilai positif
dari liberalisme hanya satu bagian saja yang
diserap Gus Dur: itupun sudah tidak dalam
label nilai liberal, tetapi dipahaminya dari
pemahaman tradisi Islam. Lebih dari itu, Gus
Dur mengemukakan banyak segi pemikirannya
dalam kerangka besar yang disebutnya “nilainilai Indonesia”. Baginya nilai yang disebut
“paling Indonesia” di antara semua nilai yang
diikuti oleh warga bangsa ini adalah “pencarian
tidak berkesudahan akan sebuah perubahan
sosial tanpa memutuskan sama sekali dengan
masa lampau kita” (Gus Dur, 2007: 153-163).
Nilai yang demikian ini menurutnya
menampilkan watak kosmopolitan, yang
diimbangi rasa keagamaan yang kuat (dan
Gus Dur berasal dari nilai-nilai Sunni dengan
tauhid sebagai porosnya), dan kesediaan untuk
mencoba gagasan-gagasan tentang pengaturan
masyarakat yang lebih luas; dengan tetap
berpijak pada kerendahan hati yang timbul dari
kesadaran akan kekuatan dasar masyarakat
tradisi untuk mempertahankan diri di tengah
perubahan, berhadapan dengan kenyataan
perubahan.
Gus Dur menerjemahkan nilai “paling
Indonesia” itu untuk konsumsi masyarakat
yang lebih luas, dari konsep sederhana yang
berkembang di pesantren, yaitu al-muhâfazhah
`alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd
al-ashlâh (menjaga hal lama yang baik dan
mengambil hal baru yang lebih baik). Dengan
konsep inilah pengembangan masyarakat dan
7. kondisi sosial senantiasa diterima, termasuk
adalah penafsiran orisinil dan penggalian masa
dalam pemikiran, tetapi dengan tetap berpijak
lalu untuk menyelesaikan masalah-masalah
pada tradisi yang berkesinambungan.
dan perkembangan masa kini. Di sini kaum
Tentu saja, Gus Dur juga menyadari
muslimin dituntut untuk merumuskan kembali
aspek-aspek penggalian nilai Indonesia itu
arti Islam bagi kehidupan umat manusia, yang
dari sejarah nusantara seperti tampak dalam
justru disediakan oleh Islam itu sendiri, tanpa
buku Membaca Sejarah Nusantara (2010).
harus dalam kerangka negara Islam.
Dalam penaggalian sejarah nusantara, Gus
Jauh lebih penting, sebagai seorang
Dur menyadarai aspek penting kecenderungan
santri, Gus Dur menginginkan Islam yang
masyarakat nusantara untuk menerima
demikian adalah Islam yang memiliki
segi-segi positif dari luar, tetapi juga tetap
kontribusi bagi penyelesaian masalah nasional
berpegang pada tradisi yang ada. Aspek
di Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya
tradisi ini tidak dipotong sama sekali. Bahkan,
“kalau kita berbicara umat, tidak bisa lepas
nilai al-muhâfazhah `alâ al-qadîm ash-shâlih
dari bangsa dan negara kita secara keluruhan.
wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh yang
Ini yang harus kita ingat…” Dari jurusan ini,
ada di kalangan pesantren NU, merupakan
ditambah aspek pengembangan nilai-nilai
pengayaan dari aspek-aspek dan pengalamn
Indonesia di atas, Gus Dur lagi-lagi lebih
tradisi pesantren di kalangan NU di tengah
tampak sebagai seorang santri nasionalis; dan
masyarakat nusantara.
keberpihakannya pada aspek-aspek masalah
Lebih dari itu, Gus
rakyat, menjelaskan tendens
Dur adalah seorang santri,
kerakyatannya.
”meneruskan
dan karenanya dasarBukan hanya itu, sebagai
tradisi secara
dasar dinamisnya juga
seorang muslim, Gus Dur tetap
dinamis jauh lebih
bersumber dari nilai-nilai
melaksanakan tradisi shalat,
Islam. Dalam soal ini Gus
berziarah ke makam leluhur,
berat dan sukar
Dur mengemukakan dalam
daripada membuat wirid, shalawatan, tawasul,
kerangka seorang yang
beberapa anak muda diminta
tradisi itu sendiri”
berfondasikan Sunni Asy`ari,
secara kahusus mendawamkan
yang menghargai peranan
shalat, tahlilan, dan sejenisnya.
(2010: 76)
perbuatan manusia dalam
Ini menunjukkan dengan
iktisabnya, tetapi juga melihat ada kekuasaan
terang benderang bahwa Gus Dur bukan
yang lebih kuat dari Yang Maha Kuasa yang
seorang yang berangkat dari dasar-dasar
menentukan takdir manusia. Dalam kerangka
humanitarianisme-liberal dalam tradisi Barat,
itu, Gus Dur berupaya dengan usahanya untuk
meskipun nilai-nilai positifnya diterima.
memimpikan “kebangakitan Islam” di dalam
Jadi, sebagai guru bangsa, Gus Dur
arus perubahan dunia.
adalah seorang muslim, yang hidup dan
Apa yang diinginkannya adalah
diairi dalam tradisi santri di Indonesia; dan
penafsiran kembali tentang apa yang disebut
karena hidup di tanah air Indonesia, Gus
kebangkitan Islam yang dikaitkan dengan
Dur terpanggil untuk juga berbicara tentang
upaya mendinamiskan tradisi Islam, dan pada
masalah-masalah rakyat; dan karena ia seorang
saat yang sama itu hanya akan terjadi, kalau
manusia dan Indonesia bagian dari dunia, Gus
Islam terlibat dalam persoalan-persoslan riil
Dur juga inheren berbicara tentang nilai-nilai
masyarakat. Harus ada upaya massif kalangan
kemanusiaan, sekaligus meneriakan keadilan
Islam untuk memecahkan persoalan-persoalan
tatanan global. Mewujudkan kemajuan dalam
dasar manusia, dengan tetap berpijak pada
pengertian itu semua adalah sebuah jihad.
tradisi.
Wallâhu a’lam.
Dalam agenda demikian itu, menurut
Gus Dur justru ”meneruskan tradisi secara
dinamis jauh lebih berat dan sukar daripada
membuat tradisi itu sendiri” (2010: 76).
*)Nur Khalik Ridwan, penulis buku “Gus Dur dan
Negara Pancasila” (2010), dan “Suluk Gus Dur (2013).
Karenanya, kebangkitan Islam bagi Gus Dur
7
10. Foto: Nabilah Munsyarihah
Forum
Imam Aziz:
Pejuang Rekonsiliasi dan HAM
T
ertanggal 26 Maret 2000, melalui
wawancaranya di Forum Keadilan,
Pramoedya Ananta Toer dengan tegas
menolak rekonsiliasi. Permintaan maaf Gus Dur
kepada para korban kesewenang-wenangan
Peristiwa 65 dijawab Pram dengan, “gampang
amat!”. Sepekan kemudian, Goenawan
Mohammad (GM) turut menyesalkan penolakan
permintaan maaf itu dalam rubrik Kolom
Tempo.
Pram pun menjawab GM dengan
menyangsikan permintaan maaf Gus
Dur sebagai basa-basi. “Sekalipun dalam
kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak
bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai
lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan
lembaga negara seperti DPR dan MPR
mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus
mengatakan itu. Yang saya inginkan adalah
tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia.
Orang seperti saya menderita karena tiadanya
hukum dan keadilan,” tulisnya.
e-newsletter SELASAR /edisi 10/2013
10
Penderitaan sebagai korban Peristiwa 65
tampak begitu membekas dalam diri Pram.
Hingga kini, persoalanan terkait Peristiwa
65 belum terselesaikan dengan tuntas. Oleh
karena itulah, Imam Aziz mendirikan Syarikat
pada tahun 2001 untuk mengurai kekusutan itu.
“Awalnya, programnya hanya penelitian
tentang Peristiwa 65,” tutur Ketua PBNU itu.
Syarikat mencoba mengklarifikasi Peristiwa
itu dari berbagai pihak yang terkait. “Agar kita
dapat jernih menilainya,” imbuhnya.
Selain itu, juga dilakukan rehabilitasi para
korban Peristiwa tersebut, baik dari pihak PKI,
NU, dlsb. “Nah, baru setelah itu institutional
reform, baik itu negara maupun undangundangnya yang melanggar HAM,” pungkasnya
saat ditemui Tim Selasar usai memberikan
materi Sekolah Pemikiran Gus Dur di Lkis pada
Minggu (1/12) lalu. (*)
11. Pergulatan
Bulan (untuk) Gus Dur
D
esember dinobatkan sebagai bulan Gus
Dur oleh banyak kalangan, termasuk
media massa yang menyediakan space
khusus untuk menampung tulisan-tulisan
tentang mantan Presiden keempat Republik
Indonesia ini secara khusus selama satu bulan.
Tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang
Gus Dur tersebut cukup menggembirakan
karena menampung banyak hal yang
terlupakan dari sosok mantan Ketua PBNU
ini, termasuk sepak terjang dan guyonan yang
menjadi ciri khasnya.
GUSDURian juga demikian, sebagai
generasi penerus perjuangan suami dari
Shinta Nuriyah ini dalam bidang diluar politik
praktis, juga memperingatinya. Banyak hal
yang dilakukan oleh masing-masing komunitas
didaerah, termasuk berdirinya sejumlah
komunitas baru seperti di Manado.
Peringatan dalam bentuk seremoni
penting sebagai upaya mempopulerkan
kembali apa yang dulu telah diperjuangkan Gus
Dur. Tetapi mengambil makna dibalik semua itu
adalah yang paling penting. Yakni, menentukan
kembali langkah gerakan kita untuk semakin
maju dan berkembang.
Seperti titik nol, mencapai bulan
Desember, seolah kita sudah berada di puncak
peringatan, dan akan kembali pada titik start
di bulan berikutnya. Adalah sangat baik ketika
pada penghujung tahun juga terdapat semacam
ide-ide baru yang digagas untuk setahun
kedepan, tentunya dalam bidang melanjutkan
perjuangan Gus Dur.
Memperbaharui konsep perjuangan
adalah contohnya. Zaman semakin bergulir
menuju kemajuan, dinamika masyarakat juga
semakin bergeser tatanannya. Untuk itu,
mencari langkah-langkah dan strategi baru juga
sepertinya perlu kita lakukan sehingga tujuan
dari perjuangan kita menegakkan 9 nilai dasar
GUSDURian tercapai dengan sempurna.
Desember adalah akhir tahun, menuju
tahun baru dan menuju strategi baru untuk
semakin berkembang dan maju.
Selamat Bulan Desember, Selamat Bulan
Gus Dur, selamat Natal dan selamat menikmati
akhir tahun. (*)
Mati ketawa
Dicium Artis Cantik
M
agnet sense of humor Gus Dur yang tinggi membuat kesengsem salah satu artis cantik
saat hadir dalam suatu acara di rumah salah seorang pengasuh Pondok Kajen. Saking
gemesnya, artis itu dengan santai langsung ngesun (mencium) pipi Gus Dur tanpa pakai
kulo nuwun alias permisi.
Kisah ini diceritakan Gus Mus, kiai kharismatik asal Rembang, Jawa Tengah. Menurut Gus
Mus, aksi artis cantik itu jelas membuat beberapa di antara mereka yang hadir langsung kaget dan
bingung. Siapa yang kuat ngeliat kiat nyentrik cuma diem aja disun (dicium) artis cantik.
Tak lama kemudian begitu sudah agak sepi, Gus Mus yang sedang di antara mereka, langsung
numpahin sederet kalimat yang sudah dari tadi cuma bisa disimpan dalam hati. “Loh Gus, kok Gus
Dur diam saja sih disun sama perempuan?” ujar Gus Mus.
Dengan santai dan silakan bayangin sendiri gayanya, Gus Dur malah ngasih jawaban sepele.
“Lha wong saya kan nggak bisa lihat. Ya mbok sampeyan jangan kepingin,” ujar Gus Dur. (*)
11
12. Resolusi Jihad Jilid II
R
Jombang
yang digelar di Aula Universitas Hasyim Asy’ari
Tebuireng Jombang yang dilaksanakan pada tanggal
7-8 Desember lalu. “Kami akan mendeklarasikan
ini di seluruh Indonesia dengan Jombang sebagai
titik start kami,” tandas pria yang koordinator
GUSDURian Jawa Timur ini. (*)
Foto: Liputan6.com
Yogyakarta
esolusi jihad dikumandangkan pertama
kali oleh Nahdlatul Ulama untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Dalam hal
itu, seluruh umat Islam rela mengorbankan apapun
yang dimiliki untuk berperang fisik melawan
tentara Belanda.
Kini, setelah Tentara Belanda pergi,
perjuangan belum berakhir, problematika baru
bermunculan dan perlu dilakukan penyelesaian.
Front Nahdhiyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya
Alam (FN-KSDA) mendeklarasikan Resolusi Jihad
Jilid II sebagai upaya perjuangan terhadap bentuk
penjajahan baru (Kapitalisme ekstraktif).
“Langkah ini kami ambil sebagai upaya
penyelamatan lingkungan dari ekspolitasi secara
terus menerus dan berbagai hal yang menyangkut
kedaulatan sumber daya alam,” kata Koordinator
FN-KSDA, Aan Anshori.
Ia mengatakan hal tersebut pada rapat akbar
Foto: Dokumen panitia
Konkow
Peringati Haul Gus Dur dengan Kirab dan Orasi Budaya
P
eringatan haul ke-4 KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) di Yogyakarta berlangsung meriah,
Senin (16/12). Hadir dalam acara bertema
“Napak Tilas Perjalanan Gus Dur dalam Merawat
Kebhinnekaan” ini warga dari berbagai komunitas
dan pemeluk agama.
Rangkaian perhelatan haul dimulai sejak
pukul 15.00 WIB dengan melakukan kirab budaya
dari gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta
menuju Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Malamnya, berbagai tokoh lintas agama bergantian
membaca puisi dan menyampaikan orasi budaya
untuk mengenang Gus Dur.
Dalam orasinya, istri Gus Dur, Ny Hj Shinta
Nuriyah Abdurrahman Wahid mengatakan, semakin
banyaknya orang yang meneruskan perjuangan
Gus Dur membuat presiden ke-4 ini terus serasa di
tengah-tengah masyarakat.
“Gus Dur itu adalah oase yang menjadi sumber
mata air bagi kehidupan. Kita semua punya tugas
penting untuk menjaga sumber ini, agar selalu
mengalir dan memebrikan kehidupan bagi manusia,”
ujarnya.
Haul Gus Dur juga digelar di kediamannya
Ciganjur Jakarta (28/12) dan Pondok Pesantren
Tebuireng (3/1) awal tahun mendatang.
(diolah dari nu online)