Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen ini menceritakan perjuangan seorang mahasiswi dari keluarga tidak mampu untuk meraih gelar sarjana melalui berbagai rintangan akademik dan sosial yang dihadapinya. Ia bertekad untuk membahagiakan orang tuanya meski mengalami penolakan dari teman-teman kaya di kampus.
1. TOGA I’AM COMING
KARYA : HENI HANDAYANI
Toga, itulah benda yang selama ini aku impikan. Dialah yang
menjadi penyemangatku untuk bangun pagi, untuk melangkahkan kaki ke
kampusku tercinta. Rasanya memang bukan aku saja yang
menginginkannya. Setiap orang yang menempuh pendidikan di bangku
kuliahpun aku yakin memiliki tujuan yang sama sepertiku. Namun, yang
membedakan mereka denganku adalah perjuangan dalam mencapai itu
semua. Perjuanganku memang tak semulus teman-temanku. Memang
banyak orang yang mengalami nasib sepertiku. Bagi orang sepertiku, kuliah
memerlukan suatu perjuangan besar. Masih teringat jelas betapa besarnya
perjuanganku untuk masuk di perguruan tinggi negeri. Aku bangun
sebelum ayam berkokok untuk mandi dan bergegas menuju ibukota propinsi
untuk menempuh ujian masuk. Tak hany aku yang merasakan perjuangan
itu, kedua orang tuaku pun merasakan hhal yang sama. Bahkan ayahku
rela tak tidur semalaman hanya karena ingin mengantarkanku seleksi. Jika
mengingat itu semua sering kali air mataku tak terbendung lagi. Ini semua
tak berarti bagiku jika aku berasal dari keluarga mampu. Namun,
kenyataannya tak demikian. Aku tidak dibesarkan dari keluarga yang
berharta melimpah. Aku tak pernah menyesali keadaanku sekarang. Aku tak
ingin menyalahkan takdir. Lagi pula aku masih sangat bersyukur
mempunyai keluarga yang selalu mendukungku, termasuk saat aku
terpuruk sekalipun. Saat aku tak diterima di universitas tersebut, hatiku
begitu sakit. Aku memang kecewa dengan hasil seleksi tersebut. Namun,
yang lebih menyesakkan hati bukanlah demikian. Aku lebih sakit karena
aku merasa telah mengecewakan orang tuaku. Aku merasa telah
mengancurkan impian mereka. Di saat seperti itu mereka adalah orang yang
2. senantiasa menemaniku. Bahkan, kekasihkupun tega meninggalkanku saat
itu. Dia lebih memilih untuk mendekati anak seorang koramil. Aku sadar
bahwa aku tak pantas di sejajarkan dengan gadis itu. Sejak saat itu aku
menjadi lebih berhati-hati dengan pria. Aku takut sakit hati, tapi aku lebih
takut jika aku mengecewakan orang tuasku untuk yang ke sekian kali.
Oleh karena itu, aku akkan menunda untuk berhubungan dengan seorang
pria dulu. Setelah aku dapast membahagiakan orang tuaku, barulah aku
akan mencoba membuka hati.
Setelah tak diterima sebagai salah satu mahasiswa di universitas
negeri tersebut, aku sempat putus asa untuk kuliah. Akupun tak berani
meminta kepada orang tuaku untuk membiayaiku kuliah. Jadi sejak
ijazahku keluar, ku putuskan untuk mencoba mencari pekerjaan. Aku
mengurus segala kelengkapan melamar tanpa sepengetahuan orang tuaku.
Aku tak ingin membuat mereka iba terhadapku. Aku tak ingin mereka
khawatir padaku. Baru setelah aku mendapat pekerjaan, aku akan
mengatakan hal ini pada mereka. Bahkan ketika harus bolak balik ke kantor
kecamatan untuk membuat KTP, aku beralasan pada mereka kalau aku ke
SMA untuk cap tiga jari. Mereka percaya dengan alasanku itu. Ya memang
masuk akal alasan yang ku katakana karena memang letak SMAku dan
kantor kecamatan bersebelahan. Setelah semua kelengkapan terselesaikan, ku
layangkan surat lamaranku ke berbagai perusahaan yang ku tahu dari
Koran. Beberapa hari kemudian, aku menerima surat balasan untuk
wawancara. Sialnya, yang menerima surat itu adalah ibuku. Seketika itu
beliau marah dan menangis sambil memelukku. Aku tak kuat melihat ibu
menangis. Apalagi karena kesalahanku. Setelah kejadian itu, beliau
menelpon bapakku yang tengah bekerja di Jakarta. Mereka mendiskusikan
untuk menguliahkanku. Dan keputusannya, mereka akan memasukkanku
3. ke salah satu universitas swasta yang letaknya tak jauh dari tempat
tinggalku.
Kini pendidikanku di bangku kuliah telah berjalan hampir tiga
tahun. Kini aku telah menjadi mahasiswa semester lima jurusan pendidikan
bahasa Inggris. Tinggal menunggu setahun lebih aku akan diwisuda. Tapi,
rasanya waktu berjalan begitu lama. Itu mungkin hanya perasaanku saja.
Barangkali ini disebabkan karena banyaknya tugas yang selalu menunggu
untuk ku selesaikan. Sempat aku lelah dengan ini semua. Tapi, raut wajah
orang tuakulah yang mampu menghapus lelahku. Perjalananku di kasmpus
ini memang tak seindah yang ku kira. Aku sadar bahwa aku memang tak
berhak menikmati keindahan itu saat ini. Semua itu karena aku bukan dari
keluarga mampu. Aku memang tak pernah membedakan untuk bergaul
dengan siapapun. Tapi mereka ? Apakah mereka akan menerimaku dengan
tangan terbuka melihat kondisi keluargaku yang demikian ? Aku tak
yakin mereka dapat bersikap demikian. Tapi memang inilah yang terjadi
padaku. Di kelas aku tergolong mahasiswa yang tak banyak bicara. Bukan
karena tak ingin bersosialisasi, melainkan karena aku tak tahu apa yang
harus aku bicarakan dengan mereka. Mereka asyik dengan pembicaraan
masing-masing. Ada yang berbincang tentang gadget, fashion, tempest
hiburan, dan segala hal yang tak bisa aku pahami. Namun, aku masih patut
bersyukur karena mereka tak membenciku. Kadang ada dua orang temanku
yang mau mendekatiku. Bahkan tak jarang salah satu dari mereka
mengajakku berjalan-jalan. Mereka berasal dari keluarga mampu. Hanya
dengan mereka aku tak segan untuk bersikap dan berperilaku sebagaimana
aku yang sebenarnya. Awalnya memang sempat aku minder dengan
keadaanku yang jauh berbeda dengan mereka. Namun, sikap mereka yang
begitu hangat padaku, meruntuhkan prasangka burukku itu. Mereka
4. bernama Imah dan Naya. Aku begitu nyaman bergaul dengan mereka
berdua.
Keharmonisan itu makin lama ku rasa makin memudar. Tapi, aku
mencoba menepis itu semua. Mungkin itu hanya pikiranku saja. Tapi
kenyataannya mereka jarang mengajakku bicara. Awalnya akku tak tahu
alasannya. Namun,lama kelamaan akupun sadar. Itulah satu-satunya
penyebab yang membuat mereka bersikap demikian. Akupun tak
menyalahkan mereka. Tiada yang patut aku salahkan karena tak ada yang
salah atas keadaan demikian. Namun, yang begitu mengiris hatiku adalah
bahwa setiap pagi aku harus membohongi orang tuaku. Ketika mereka
bertanya mengenai hubunganku dengan teman-teman, ku bilang mereka
sangat baik padaku. Dan di kampus aku mempunyai banyak teman.
Hampir dapat dapast ku pastikan bahwa air mataku akan mengalir deras
setelah menutup pembicaraan dengan orang tuaku. Semua ini aku lakukan
agar mereka tak merasa khawatir dengan keadaanku.
Aku semakin tak mengerti dengan sikap kawanku itu. Pagi ini aku
berencana pulang kampung. Aku sudah sangat rindu dengan ibu dan
adikku. Seperti biasa, aku minta bantuan Naya untuk mengantarku sampai
terminal yang memang terletak di dekat rumahnya.
“Nay, nanti aku bisa bareng kamu pulang nggak ?” Tanyaku
“Ya.” Jawabnya singkat.
Sebenarnya dengan jawaban yang demikian, aku merasa agak
tersinggung. Namun, apalah dayaku. Aku tak punya cukup kekuatan
untuk mengungkapkan kekesalanku. Sampai di akhir perkuliahan, aku
segera mengikutinya ke parkiran untuk mengambil motor. Sesampainya
disana, ia tak segeras menghampiri motornya. Ia justru asyik bercanda
5. dengan temanku yang lain. Akupun ikut duduk disampingnya dengan tas
ransel yang masih bergelantung di punggungku. Melihatku mengenakan
tas yang tak biasa ku pakai, Mita, temanku yang lainpun bertanya.
“Mau kemana kamu Sin ? Kok kayakmasu naik gunung aja sih.” tanyanya
setengash mengejek, diikuti gelak tawa teman yang lain.
“Ini mau pulang kampung, Mit.” Jawabku dengan tersenyum.
“Terus ngapain disini ?” Tanyanya lagi.
“Ini nungguin Naya. Aku mau bareng dia.” Jawabku masih dengan senyum
mengembang.
“Sebenarnya sih bareng aku juga bisa Sin. Tapi kamu nggak punya helm
sih. Jadi ya nggak mungkin bisa. Makanya cari helm dulu, nanti baru boleh
bareng aku.” Katanya ketus.
“Bener tuh Sin. Kamu cari helm dulu biar bisa bareng dia. Kan jadi lebih irit.
Uangmu kan mepet to ?” sambung Naya.
“kan biasanya nggak usah pake, nggak apa-apa Nay.” Balasku.
“kamu itu dibilangin kok susah banget sih. Kamu nggak punya uang kan.
Jadi biar lebih irit kan kamu bareng aja Mita. Jadi biar bisa bareng, kamu
harus cari helm dulu.” Kata Naya dengan nada membentak.
Aku merasa tak punya harga diri di depan mereka. Hatiku merasa
teriris. Hampir saja air mataku menetes jika tak segera ku tahan. Akhirnya
ku putuskan untuk naik angkutan saja agar tak merepotkan mereka. Ya,
aku memang telah salah meminta bantuan pada orang yang tak bersedia
menolongku.
6. “Maaf, aku memang takpunya helm. Jadi, sebaiknya aku pulang naik
angkutan aja.” Kataku sembari menahan air mata.
“Ya udah. Dibilangin nggak percaya. Nggak punya uang aja kebanyakan
gaya.” Kata Naya.
Ya, memang benar kata Naya bahwa aku memang tak punya banyak
uang. Tapi aku punya harga diri dan tak seorangpun dapat menginjak-
injaknya. Akhirnya aku kembali ke kosku untuk menunggu angkutan di
depannya. Hatiku begitu sakit. Aku merasa telah dipermalukan. Memang
benar yang mereka katakan. Aku tak seberuntung mereka. Aku bukan
berasal dari keluarga mampu. Tapi, aku mempunyai keluarga yang jauh
lebih berharga dari apapun, keluarga yang setia menemani dan
mendukungku kapanpun aku butuh. Aku duduk sendiri di depan kosku.
Seperti biasa, untuk menunggu angkutan yang mengantarku pulang
kampung memang sangat sulit. Jadi di butuhkan kesabaran untuk
menunggunya. Di sela-sela penantian itu, tak sadar air hangat menetes di
pipiku. Itu adalah air mataku. Ternyata aku tak kuasa lagi memendam
kesedihanku. Akhirnya tangisku tak terbendung lagi. Perkataan mereka
masih saja menggema di lubuk hatiku. Bahkan di sepanjang
perjalanankupun kata-kata itu masih terukir jelas dan sepertinya sulit
terhapuskan.
Dua hari aku berada di rumah sepertinya belum cukup untuk
mengobati rasa rinduku pada keluargaku. Namun, waktu yang membuatku
harus kembali ke kampus untuk melanjutkan perkuliahan. Senin fajar aku
telah sampai di terminal daerahku untuk menunggu bus yang akan
mengantarkanku ke kota tempat kampusku berada. Perjalanan dari rumah
ke kampus memakan waktu sekitar dua jam.
7. Akhirnya aku tiba di kosku juga. Hari itu aku punya jadwal kuliah
pagi. Jadi, tanpa berlama-lama lagi segera kuganti pakaianku dengan
seragam wajib fakultasku. Setiap kali aku mengenakannya, terbesit rasa
bangga dalam hatiku. Dari perasaan itulah aku terpacu untuk meraih apa
yang memang seharusnya aku raih. Ya, aku ingin menjadi guru. Itulah
yang aku impikan sejak aku masih duduk di bangku SD. Seusai
semuanya siap, akupun bergegas ke kampus. Entah mengapa, tiba-tiba saja
dadaku terasa sesak. Seperti ada yang menyesak di saluran pernapasanku.
Kakiku terasa berat melangkah menuju ruang kelas. Aku mulai mengerti
dengan perasaanku kini. Ya, rasa sakit itu masih ada. Begitu sakit.
Awalnya aku tak kuasa memasuki ruangan itu. Namun, aku juga tak
seharusnya berada di luar kelas. Akhirnya kuputuskan untuk memaksa
kakiku melangkah ke dalam ruangan itu. Kulihat telah ada Naya dan
ganknya duduk manis disana. Aku tak kuasa melihat kea rah mereka. Aku
tak tahu mereka masih ingat kejadian dua hari yang lalu atau tidak. Tapi,
aku tak mau air mataku menetes ketika melihat mereka. Dan benar saja
mereka tak menyapaku. Jangankan menyapa, melihat kehadirankupun
mungkin tidak. Rasa sakit itu begitu menyesakkan dada. Sempat rasanya
napasku terhenti ketika rasa sakit itu muncul. Aku merasa tak berharga
lagi. Tapi, segera ku tepis semua pandangan itu. Aku tak boleh
mengecewakan orang tuaku. Aku harus dapat membanggakan mereka.
Satu tahun berlalu,kini aku semester tujuh. Langkahku untuk segera
mengenakan toga semakin dekat. Kini aku tengah PPL di salah satu SMP
Negeri di Kudus. Tanpa sepengetahuan teman-temanku, aku telah
mengajukan judul skripsi. PPL berlangsung tiga bulan. Setelah itu, aku
disibukkan dengan KKN. Setelah KKNlah aku baru bisa mengerjakan
skripsiku. Aku memilih untuk observasi di SMPku dulu. Sungguh
beruntungnya aku, pihak sekolah menyambutku dengan baik sehingga aku
8. tak butuh waktu lama untuk observasi. Selang beberapa bulan, akupun telah
dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti sidang skripsi.
Suasana ruangan siang itu kurasa begitu horror. Bulu kudukku
merinding dan tubuhku di basahi oleh cucuran keringat dingin. Tapi, ini
harus aku lalui. Dengan menyebut nama Allah, kumulai presentasi siding
skripsiku. Setelah sekitar 15 menit aku menyampaikan materi, para dosen
pengujipun mengajukan pertanyaan terkait denganjudul yang ku paparkan.
Sungguh tak kusangka, pertanyaan itu sungguh duliar dugaanku. Mereka
justru menanyakan pengalamanku ketika observasi di sekolah. Setelah
pertanyaan itu, tak ada lagi pertanyaan yang muncul dan aku dinyatakan
lulus dengan nilai A. kakiku serasa lemas mendengarsnya. Tapi aku yakin
ini nyata.
Setelah keluar ruang sidang, aku segera menelpon keluargaku untuk
mengabarkan kabar gembira ini. Merekapun turut merasakan apa yang aku
rasa. Selang beberapa minggu, acara wisuda itupun tiba. Aku memang
menantikan acara itu. Acara wisuda dimulai pukul tujuh tepat. Hatiku
berdebar menunggu namaku dipanggil. Tak berapa lama namaku dipanggil.
Hari ini aku diwisuda. Akhirnya akupun mengenakan toga. Benda yang
selama ini aku impikan. Tapi sekarang aku tak perlu mimpi lagi. Ini sebuah
kenyataan. Pengeorbananku selama ini berbuah manis. Dulu memang aku
tak bisa mengendarai motor,bahkan helpun aku tak punya sehingga teman-
temanku suka berbicara sekenanya tanpa memikirkan perasaanku. Tapi
sekarang aku yakin dan bertekad untuk bisa menghadiahkan sebuah motor
untuk orang tuaku. Walaupun sebenarnya aku yakin mereka tak
mengharapkan itu. Mereka hanya berharap aku sukses kelak. Tapi, aku telah
bertekad untuk melakukan itu. Selain itu, aku bertekad untuk membiayai
sekolah adikku. Aku tak mau dia bernasib sepertiku. Aku tak mau dia
9. merasakan sakit yang aku rasakan dulu. Aku ingin dia mengenakan toga
seperti aku kini dan merasakan kebahagiaan yang aku rasa saat ini.
TOGA, I HAVE COME TO YOU.