Proses interaksi antara tradisi lokal, hindu-buddha dan islam di indonesia
MENERANGKAN BUDAYA
1. MAKALAH SOSIOLOGI
MENGENAL LEBIH DEKAT
PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI
SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG
Disusun Oleh:
DIAN ANISA PUTRI
KELAS : XI IPS 1
SMA NEGERI 54 JAKARTA
2012
0
2. KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini, dengan judul “Mengenal Lebih Dekat
Perkampungan Cina Benteng, Kampung Betawi Setu Babakan dan Perkampungan Luar
Batang”. Makalah ini kami susun tidak hanya untuk memenuhi tugas mata pelajaran
Sosiologi tahun ajaran 2011/ 2012, tetapi juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan
agar kita lebih mencintai budaya asli negeri kita sendiri.
Kami sadar bahwa terselesaikannya makalah ini tak lepas dari pihak-pihak yang
membantu dan memberikan dukungan kepada kami. Oleh karena itu, kami sampaikan
banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat,
1. Bu Tisnawati selaku Wali Kelas XI IPS 1 dan Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA
Negeri 54 Jakarta.
2. Bapak Sudadi selaku Narasumber Kampung Betawi Setu Babakan dan Ketua RT.
009/010 Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
3. Bapak Saumin selaku Narasumber Perkampungan Luar Batang dan Ketua Pengurus
Masjid Jami Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara.
4. Semua pihak yang telah membantu tersusunnya makalah ini sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak, yang artinya tiada makhluk yang
sempurna di dunia ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari segenap pembaca sehingga makalah ini dapat digunakan dengan baik.
Harapan kami semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
pengetahuan bagi pembaca serta bermanfaat bagi dunia pendidikan.
Jakarta, 10 Mei 2012
Penyusun
1
3. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................................................ 4
1.2. Tujuan......................................................................................................................... 5
1.3. Manfaat Penulisan...................................................................................................... 5
BAB II. PERKAMPUNGAN CINA BENTENG
2.1. Sejarah Cina Benteng................................................................................................ 6
2.2. Penggolongan Warga Cina Benteng.......................................................................... 7
2.3. Cina Benteng Masa Kini............................................................................................. 7
2.4. Seni dan Kebudayaan Cina Benteng
2.4.1. Bahasa.................................................................................................................... 8
2.4.2. Ekonomi................................................................................................................... 8
2.4.3. Kesenian.................................................................................................................. 8
2.4.4. Pakaian Adat............................................................................................................ 8
2.4.5. Upacara Pernikahan............................................................................................... 9
2.4.6. Makanan Khas......................................................................................................... 9
2.4.7. Tempat Bersejarah.................................................................................................. 10
BAB III. KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN
3.1. Sejarah Suku Betawi.................................................................................................. 11
3.2. Sejarah Kampung Betawi Setu Babakan................................................................... 12
3.3. Aktivitas Wisata Budaya............................................................................................. 13
3.4. Seni dan Kebudayaan Betawi
3.4.1. Bahasa.................................................................................................................... 14
3.4.2. Kesenian.................................................................................................................. 14
BAB IV. PERKAMPUNGAN LUAR BATANG
4.1. Sejarah Perkampungan Luar Batang......................................................................... 16
4.2. Asal- Usul Nama Luar Batang.................................................................................... 16
4.3. Wisata Perkampungan Luar Batang.......................................................................... 18
4.4. Masjid Jami‟ Keramat Luar Batang......................................................................... 18
BAB V. PENUTUP
Kesimpulan....................................................................................................................... 20
2
5. BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan begitu banyak pulau dan suku
bangsa, sudah tentu di dalamnya terdapat banyak kebudayaan dan corak kehidupan serta
latar belakang yang berbeda-beda. Karena itulah maka bangsa Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang majemuk. Multikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan
perbedaan budaya atau suatu keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya
pluralisme (keberagaman) budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Istilah
pluralisme bukan berarti sekadar pengakuan terhadap adanya hal yang berjenis-jenis,
melainkan juga mempunyai implikasi atau dampak politis, sosial, ekonomi, filsafat dan lain
sebagainya. Pluralisme berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang
terdapat dalam suatu komunitas dengan budaya mereka masing-masing. Jadi,
multikulturalisme bukan sekadar pengenalan terhadap berbagai jenis budaya di dunia ini,
melainkan juga tuntutan dari berbagai komunitas yang memiliki budaya-budaya tersebut.
Pada makalah ini akan dibahas tiga contoh komunitas budaya yang masih
dilestarikan hingga saat ini oleh anggota-anggota komunitas tersebut. Kami secara langsung
melakukan penelitian ke lokasi dan mewawancarai narasumber terpercaya yang mengetahui
segala seluk-beluk kampung kebudayaan tersebut. Pertama, kami mengunjungi
Perkampungan Cina Benteng yang berada di daerah Pasar Lama kawasan Kota
Tangerang, Provinsi Banten, sebelah Barat Jakarta. Sesuai dengan namanya,
perkampungan ini dihuni oleh warga keturunan Cina yang bermukim di kota Tangerang atau
biasa disebut keturunan Cina Benteng. Kedua, kami mengunjungi Kampung Betawi Setu
Babakan yang berlokasi di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kampung budaya ini cukup terkenal di kalangan warga ibukota, di dalamnya kita bisa
mengenal lebih jauh kebudayaan Betawi asli yang saat ini makin tenggelam digerus era
globalisasi. Pada kunjungan terakhir kami mendatangi Perkampungan Luar Batang yang
berada di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Tepatnya di belakang bangunan bekas
gudang yang sekarang menjadi Museum Bahari. Di sini kami mengunjungi Masjid Jami
Keramat yang cukup terkenal. Ulasan lebih lanjut kami akan bahas di bab selanjutnya.
4
6. 1.2. Tujuan
Tujuan khusus:
Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sosiologi kelas XI tahun ajaran 2011/2012
Tujuan umum:
Sebagaitambahan wawasan informasi serta menperbanyak pengetahuan.
Menanamkanrasa cinta tanah air.
Mengenal kebudayaannusantara.
1.3. Manfaat Penulisan
Sebagai tambahan materi sekolah.
Menambah pembendaharaan pustaka sekolah yang menunjang minat baca siswa agar
pengetahuannya lebih luas.
5
7. BAB II
PERKAMPUNGAN CINA BENTENG
2.1. Sejarah Cina Benteng
Nama "Cina Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat
itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane,
difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten,
benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat
Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang
menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan.
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari
Parahyangan), keberadaan komunitas Cina di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-
tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama
dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane,
yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi
Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik.
Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Cina Benteng.
Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut
dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa
menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan
Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga Cina
Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy,
kelompok pemuda Cina Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan
mengungsikan masyarakat Cina Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya
kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy
and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis Cina Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak
lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah
diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata
dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi
pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan
daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.
6
8. 2.2. Penggolongan Warga Cina Benteng
Orang Cina Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan
mereka dari Tiongkok:
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang
untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan
menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama
dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini
kebanyakan orang Cina Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah
terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di
pedesaan.
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan
mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal
terhadap Cina dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal
dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak
dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda.
Cina Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu
"One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek
pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan
Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% Tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi
dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah
Belanda.Cina Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
2.3. Cina Benteng Masa Kini
Orang Cina Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap
(walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan Cina lainnya di Indonesia,
mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok. Kesenian
mereka yang terkenal adalah kesenian campuran betawi-tionghoa, Cokek yaitu sebuah
tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama
yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan,
Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam.
7
9. 2.4. Seni dan Kebudayaan Cina Benteng
2.4.1. Bahasa
Yang unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi
dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari,
misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah
sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina
Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa Cina meskipun hidup kesehariannya juga
banyak yang petani miskin.
Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”,
misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.
Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda
hormat kepada orang yang lebih tua.
2.4.2. Ekonomi
Secara ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai
petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.
2.4.3. Kesenian
Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan
bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu
dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya
merupakan budaya masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.
2.4.4. Pakaian Adat
Pakaian adat suku Cina Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku
besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokian) dan pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat
prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip
dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus
dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali
digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang
menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.
8
10. 2.4.5. Upacara Pernikahan
Chiou-Thau merupakan upacara pernikahan adat tradisional masyarakat Tionghoa
yang sudah ada sejak ratusan tahun. Secara harfiah, chiou-thau berarti "mendandani
rambut", sebuah ritual pelintasan yang harus dilaksanakan sebagai pemurnian dan inisiasi
memasuki masa dewasa.
Acara pernikahan chio-thau sangat sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur
hidup sesaat menjelang pernikahan. Seorang duda atau janda yang menikah lagi tidak
diperkenankan melakukan ritual ini untuk kedua kalinya.
Serangkaian acara adat dengan pakaian khusus, dengan perhitungan khusus serta
dilengkapi hidangan yang khusus pula, upacara „chi-thau‟ di tutup dengan acara Teh Pai.
Setelah itu dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan hidangan istimewa khas
Tangerang yakni bakso Lohwa, juga capcay, sambal godok, ayam goreng bumbu kuning,
pare isi , rujak penganten.
Tradisi leluhur itu masih hidup terutama di kantong-kantong Cina Benteng di
pedalaman Banten seperti Panongan, Curug, Kelapadua, Tigaraksa, dan Legok.
2.4.6. Makanan Khas
Kehadiran kaum keturunan Tionghoa yang sudah lebih dari enam abad di sana
dengan sendirinya juga telah meninggalkan jejak kuliner yang nyata. Salah satu masakan
Peranakan Tionghoa yang hingga kini masih eksis di Tangerang adalah ikan ceng cuan.
Kaum keturunan Tionghoa di Tangerang pun tidak ada yang tahu apa arti ceng cuan ini.
Tetapi, umumnya mereka yakin bahwa ikan masak ceng cuan ini adalah hidangan sehari-
hari - bukan jenis masakan yang hanya tampil pada perayaan atau pesta-pesta.
Kaum keturunan Tionghoa umumnya memasak ceng cuan dari ikan samge (ikan alu-alu =
ikan kacang-kacang = barakuda). Pada hari-hari perayaan, mereka menggunakan ikan
bandeng yang dalam budaya Betawi selalu dianggap sebagai ikan yang mewah. Tetapi,
umumnya, ikan tenggiri juga sering digunakan untuk memasak ceng cuan.
Bumbu utama ikan ceng cuan adalah tauco dan kecap manis. Harap diingat,
Tangerang dari dulu memang dikenal sebagai penghasil kecap manis dan tauco yang
terkenal. Hingga kini, istilah Kecap Benteng masih tetap dipakai untuk menyebut kecap
9
11. manis buatan Tangerang. Beberapa merk lama juga masih eksis hingga sekarang, dan
masih pula dengan teknik serta proses pembuatan cara dulu.
Ikannya digoreng dulu, dan kemudian dimasak dalam kuah tauco dan kecap manis
itu. Nada-nada cabe, jahe, bawang merah, dan bawang putih tampil bareng menciptakan
citarasa yang sungguh gurih dan segar. Biasanya, bila saya disuguhi ikan ceng cuan
dengan nasi putih, saya tidak rela citarasa khas ini "diganggu" dengan masakan lain.
Artinya, ikan ceng cuan dimakan sebagai lauk tunggal.
Di kalangan keturunan Tionghoa di Tangerang, ikan ceng cuan hingga kini masih
cukup dikenal dan disukai. Maklum, selain membuatnya cukup mudah, masakan ini
memang cocok di lidah, dan disukai segala usia.
Satu lapak makanan di Pasar Lama Tangerang merupakan salah satu tempat favorit
untuk menemukan masakan khas Peranakan ini.
2.4.7. Tempat Bersejarah
Salah satu tempat bersejarah di Cina Benteng adalah Kelenteng Boen Tek Bio.
Memasuki kelenteng, dua buah patung singa akan langsung menyapa kita di halaman
depan. Masuk lebih dalam lagi ke Kelenteng, kita langsung berhadapan dengan Altar
Utama. Di dalam altar utama, terdapat beberapa altar dewa, seperti altar penguasa langit,
bumi dan air, altar Sang Buddha, altar Tuhan dan terutama altar dewi Kwan In, yang
menjadi tuan rumah di kelenteng ini. Selain di altar utama, juga terdapat patung dewa-dewi
lainnya yang disembah oleh umat Buddha, Kong Hu Cu dan Tao, seperti dewa pelindung
Kelenteng, raja neraka, dewa imigran, dewa peperangan,dan dewa-dewi lainnya. Semua
patung dewa ini tidak terletak di altar utama, melainkan di altar terpisah yang letaknya
berjejer disisi altar utama.
Selain terdapat patung para dewa-dewi. Kelenteng Boen Tek Bio juga memiliki
beragam barang antik, seperti Lonceng, altar Tuhan, Singa Batu dan tambur batu. Semua
barang-barang antik ini diperoleh dari sumbangan para umat. Kelenteng Boen Tek Bio atau
kelenteng Kebajikan Benteng atau Wihara Padumattara ini dulunya hanya berupa bangunan
sederhana yang terbuat dari tiang bambu dan atap rumbia. Namun seiring dengan
berjalannya waktu dan bertambahnya umat Boen Tek Bio, kelenteng ini kemudian diperbaiki
dan direnovasi sebanyak dua kali hingga tercipta bangunan yang ada seperti sekarang ini.
10
12. BAB III
KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN
3.1. Sejarah Suku Betawi
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan olehBelanda ke Batavia. Apa
yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di
Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah
lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orangSunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon,
dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan
ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan
Australia,Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus,
yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk
Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak
ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan
hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab
dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa,
orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa
Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi
(Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan
sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru
muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan
“Perkoempoelan Kaoem Betawi”. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar
mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di
luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan
di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
11
13. 3.2. Sejarah Kampung Betawi Setu Babakan
Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah
Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara
berkesinambungan.
Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek
wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau
menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung.
Setu Babakan berlokasi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa,
Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Di perkampungan ini, masyarakat Setu Babakan masih mempertahankan budaya
dan cara hidup khas Betawi, seperti membudidayakan ikan dalam keramba, memancing,
bercocok tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas
Betawi.
Perkampungan ini diapit oleh dua danau (setu/situ) dan mempunyai luas wilayah
sekitar 165 hektar dan didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar
penduduknya adalah orang asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut.
Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang yang sudah tinggal lebih dari 30
tahun di daerah ini.
Setu Babakan sebagai sebuah kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya
merupakan objek wisata yang terbilang baru. Peresmiannya sebagai kawasan cagar budaya
dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474.
Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi,
seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.
Dalam sejarahnya, penetapan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya
Betawi sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI
Jakarta juga pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai
kawasan Cagar Budaya Betawi, namun urung dilakukan karena seiring perjalanan waktu
perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya.
Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan kawasan
baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut. Melalui SK Gubernur
12
14. No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya
Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan masyarakat mulai berusaha merintis dan
mengembangkan perkampungan tersebut sebagai kawasan cagar budaya yang layak
didatangi oleh para wisatawan.
Setelah persiapan dirasa cukup, pada tahun 2004, Setu Babakan diresmikan oleh
Gubernur DKI Jakarta saat itu yaitu Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi.
Perkampungan Setu Babakan juga merupakan salah satu objek yang dipilih /Pacific Asia
Travel Association/ (PATA) sebagai tempat kunjungan wisata bagi peserta konferensi PATA
di Jakarta pada bulan Oktober 2002.
3.3. Aktivitas Wisata Budaya
Perkampungan Setu Babakan adalah sebuah kawasan pedesaan yang lingkungan
alam dan budayanya masih terjaga secara baik. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan
cagar budaya ini akan disuguhi panorama pepohonan rindang yang akan menambah
suasana sejuk dan tenang ketika memasukinya. Di kanan kiri jalan utama, pengunjung juga
dapat melihat rumah-rumah panggungberarsitektur khas Betawi yang masih dipertahankan
keasliannya.
Di perkampungan ini juga banyak terdapat warung yang banyak menjajakan
makanan-makanan khas Betawi, seperti ketoprak, kerak telor, ketupat sayur, bakso, laksa,
arum manis, soto betawi, mie ayam, soto mie, roti buaya, bir pletok, nasi uduk, kue apem,
toge goreng, dan tahu gejrot. Tak hanya makanan, aksesori khas Betawi juga dijajakan di
pinggir-pinggir jalan utama, seperti kacamata, mainan anak khas Betawi, dan aksesori
lainnya.
Wisatawan yang berkunjung ke Setu Babakan juga dapat menyaksikan pagelaran
seni budaya Betawi, antara lain tari cokek, tari topeng, kasidah, marawis, seni gambus,
lenong, tanjidor, gambang kromong, dan ondel-ondel yang sering dipentaskan di sebuah
panggung terbuka berukuran 60 meter persegi setiap hari Sabtu dan Minggu. Selain
pagelaran seni, pengunjung juga dapat menyaksikan prosesi-prosesi budaya Betawi, seperti
upacara pernikahan, sunat, akikah, khatam Al-Qur'an, dan nujuh bulan, atau juga sekedar
melihat para pemuda dan anak-anak latihan menari dan silat khas Betawi.
Selain hal-hal tersebut di atas, Setu Babakan juga menawarkan jenis wisata alam
yang tak kalah menarik, yakni wisata danau, yakni Setu Mangga Bolong dan Setu Babakan.
Danau-danau ini ini dimanfaatkan oleh wisatawan untuk memancing atau sekedar duduk-
duduk menikmati suasana sejuk di pinggir danau. Selain itu, wisatawan juga dapat menyewa
perahu untuk menyusuri dan mengelilingi danau.Tidak hanya itu, pengunjung juga dapat
13
15. berkeliling kampung dengan cara menyewa delman yang sering berlalu-lalang di
perkampungan ini.
Wisatawan yang berkunjung ke perkampungan ini juga dapat berkeliling ke
perkebunan, pertanian, serta melihat tanaman-tanaman khas Betawi di pelataran rumah-
rumah penduduk. Apabila berkunjung ke pelataran rumah penduduk, tak jarang pengunjung
akan dipetikkan buah sebagai tanda penghormatan. Jika wisatawan tertarik untuk memetik
dan berniat membawa pulang buah-buahan tersebut, maka pengunjung dapat membelinya
dengan terlebih dulu bernegosiasi harga dengan pemiliknya. Buah-buahan yang tersedia di
perkampungan ini antara lain belimbing, rambutan, buni, jambu, dukuh, menteng, gandaria,
mengkudu, nam-nam, kecapi, durian, jengkol, kemuning, krendang, dan masih banyak lagi.
3.4. Seni dan Kebudayaan Betawi
3.4.1. Bahasa
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa
informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi
sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi
tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau
tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota
Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing,
Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi
pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga
ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida
Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan
Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile.
Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi
tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati
dalam cara baca mengaji Al Quran.
3.4.2. Kesenian
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang
Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada
tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan
seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki
lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
14
16. Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat
yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi
tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki
pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas
pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain
seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional
ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu,
pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi
langsung dengan penonton.
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang
yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya
yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga
dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya
ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
15
17. BAB IV
PERKAMPUNGAN LUAR BATANG
4.1. Sejarah Perkampungan Luar Batang
Kampung Luar Batang, itulah nama sebuah pemukiman penduduk yang berada
diwilayah Penjaringan-Jakarta Utara. Tepatnya di belakang bangunan bekas gudang yang
sekarang menjadi Museum Bahari.
Siapa menyangka lokasi padat dengan luas kurang lebih 16,5 hektar ini merupakan
salah satu lokasi perkampungan tertua di Jakarta.
Diperkirakan perkampungan ini terbentuk pada masa-masa awal kekuasaan VOC
tahun 1620-an. Saat itu, guna memenuhi kebutuhan pekerja dalam membangun kawasan
pelabuhan Sunda Kelapa serta bangunan-bangunan penting lain seperti Kastil dan benteng
Batavia, pemerintahan VOC menggunakan banyak tenaga kerja yang ditempatkan di lokasi
ini.
Wilayah ini sempat mendapat julukan sebagai “Kampung Jawa”, karena sebagian
besar pekerja yang ditempatkan disini berasal dari suku jawa .
Bahkan dalam sebuah peta yang dibuat oleh Gubernur Jendral Van Der Parra tahun
1780 wilayah ini dinamakan sebagai Javasche Kwartier.
4.2. Asal- Usul Nama Luar Batang
Terdapat banyak versi mengenai asal muasal nama “Luar Batang”. Salah satunya
berkaitan dengan peristiwa “ganjil” yang melegenda tentang hilangnya jenasah seorang
guru agama bernama Habib Husein Bin Abubakar Bin Abdullah Alaydrus dari dalam “kurung
batang” (keranda pengangkut jenasah).
Habib Husein Bin Abubakar Bin Abdullah Alaydrus merupakan seorang ulama
keturunan Yaman yang hidup di abad 17 Masehi.
Sebagai musafir kehidupan Habib Husein kerap berpindah-pindah hingga pada suatu
saat ia berlabuh di Sunda kelapa dan memutuskan menetap di sebuah perkampungan tidak
jauh dari pelabuhan.
16
18. Habib Husein dikisahkan mempunyai banyak mukzizat. Ia diceritakan dapat
menghilang dari dalam penjara untuk sekedar memberikan petuah agama pada malam hari
dan kembali ke penjara pada siang harinya tanpa sepengetahuan penjaga (Habib Husein
pernah mendekam di penjara Glodok akibat kecurigaan pemerintah VOC terhadap aktivitas
dakwahnya).
Habib Husein wafat tanggal 24 Juni 1756 atau 27 Ramadhan 1169 (ada yang
menyebutkan bahwa Habib Husein wafat tanggal 27 Juni 1756 atau 17 ramadhan 1169).
Diceritakan, sebelum wafat Habib Husein pernah berpesan agar ia dimakamkan di tempat
tinggalnya.
Namun entah kenapa warga dan para pengikutnya memutuskan untuk memakamkan
beliau di sebuah pemakaman yang terletak diluar kampung. Dari sinilah yang cerita ganjil itu
bermula. Dikisahkan jenasah sang habib selalu keluar dari dalam kurung batang saat
hendak dibawa kelokasi pemakaman. Peristiwa terus terjadi hingga akhirnya Sang Habib di
makamkan di tempat tinggalnya.
Begitu terkenalnya cerita ini hingga kampung tempat terjadinya peristiwa keluarnya
jenasah tersebut dinamakan kampung “Luar Batang” Yang berarti keluarnya jenasah dari
dalam kurung batang. Wallahu alam
Versi lain asal nama kampung Luar Batang diambil dari letaknya yang berada diluar
pintu masuk pelabuhan Sunda Kelapa.
Saat itu, guna mengontrol keluar masuknya kapal ke wilayah pelabuhan,
dibangunlah pos penjagaan di muara sungai Ciliwung. Pos penjagaan ini dilengkapi pagar
yang dibuat dari batang-batang kayu besar yang diletakkan melintang. Seiring dengan
berkembangnya pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan yang sibuk maka, areal
seputar pelabuhan pun mulai hidup. Satu per satu wilayah perkampungan bermunculan.
Salah satunya adalah kawasan perkampungan pekerja kasar dan nelayan yang berada
diluar pintu masuk pelabuhan.
Entah siapa yang memulai, akhirnya orang mengenal perkampungan tersebut
sebagai kampung “Luar Batang”. Nama Luar Batang sendiri tidak memiliki arti apa-apa
kecuali bahwa kampung tersebut berada di luar wilayah pelabuhan yang dipagari dengan
batang-batang kayu besar.
17
19. 4.3. Wisata Perkampungan Luar Batang
Meskipun saat ini kondisi Kampung Luar Batang tidak begitu teratur akibat padatnya
perumahan penduduk disekitar lokasi, namun secara garis besar kawasan Kampung Luar
Batang merupakan salah satu tempat menarik untuk dikunjungi. Tipe rumah-rumah nelayan
yang dilengkapi oleh berbagai jenis perahu kecil merupakan salah satu objek tersendiri
selain adanya dua buah bangunan tua berupa sebuah masjid dan makam milik Habib
Husein Bin Abubakar Bin Abdulah Alaydrus yang selalu rutin dikunjungi para peziarah.
Sementara, disekitar kawasan ini dikenal memiliki banyak bangunan peninggalan
sejarah yang masih terjaga. Adanya bangunan bekas gudang tua yang dialih fungsikan
sebagai “Museum Bahari”, bangunan menara Syahbandar dan Pasar Ikan serta lokasi
pelabuhan Sunda Kelapa dengan kapal kayu dan kesibukannya dapat dijadikan satu paket
wisata saat akan berkunjung ke wilayah Kampung Luar Batang.
4.4. Masjid Jami’ Keramat Luar Batang
Sejarah Masjid Luar Batang belum dapat disusun dengan jelas karena sumber-
sumber historis yang tersedia bertentangan dengan pandangan umum sekarang ini, dan
kurang lengkap. Berita tertua berasal dari seorang turis Tionghoa, yang menulis bahwa pada
tahun 1736 ia meninggalkan Batavia dari sheng mu gang, artinya 'pelabuhan makam
keramat', yaitu dari pelabuhan Sunda Kelapa sekarang, maka pada tahun 1736 sudah
terdapat suatu makam yang dianggap keramat di daerah pelabuhan Batavia, walaupun
Habib Hussein belum meninggal dunia.
Pada tahun 1916 telah dicatat diatas pintu masjid, bahwa gedung ini selesai
dibangun pada 20Muharam 1152 H yang sama dengan 29 April 1739. Kiblat masjid ini
kurang tepat dan ditentukan lebih persis oleh Muh. Arshad al-Banjari waktu singgah
perjalanan pulang dari Hejaz ke Banjar pada tahun 1827. Masjid ini kurang berkiblat, sama
seperti Masjid Kebon Sirih dan Cikini. Oleh karena itu, ada penulis (mis. Abubakar Atjeh)
yang beanggapan, bahwa semula ruang masjid ini adalah bekas rumah kediaman orang,
yang kemudian digunakan sebagai mushola atau masjid.
18
20. Pada sebuah batu dalam Masjid Luar Batang ditulis, bahwa 'al Habib Husein bin
Abubakar Bin Abdillah al-Alaydrus yang telah wafat pada hari kamis 27 Puasa 1169
berkebetulan 24 Juni 1756. Batu ini dibuat antara tahun 1886 dan 1916. sebab, L.W.C, Van
Berg dalam buku yang termasyur tentang orang Hadhramaut, menyebut, bahwa Habib
Husein baru wafat 1798. Sedangkan Ronkel sudah menyebut batu peringatan tersebut
dalam karangannya yang diterbitkan pada tahun 1916.
Koran Bataviaasche Caurant, tanggal 12 Mei 1827, memuat suatu karangan tentang
Masjid Luar Batang. Dicatat dalam tulisan ini, bahwa Habib Husein meninggal pada tahun
1796, setelah lama berkhotbah diantara surabaya dan Batavia. Pada tahun 1812 makamnya
dikijing dengan batu dan masih terletak di luar gedung masjid sampai tahun 1827. Pada
waktu ini rupanya derma tidak lagi diterima oleh komandan(semacam lurah) daerah Luar
Batang, tetapi dinikmati oleh(pengurus) masjid sehingga gedung bisa diperluas.
Di lain pihak suatu masjid bukan surau telah dicatat pada peta yang dibuat
C.F.Reimer pada tahun 1788.
Dengan merangkumkan segala data yang tersedia, dapat dikatan bahwa suatu
makam yang dianggap keramat sudah terdapat di Luar Batang pada tahun 1736 Mushola
atau masjid didirikan 1739, Habib Husein tinggal diadaerah itu dan meninggal tidak sebelum
1756 (mungkin baru pada tahun 1796 atau 1798), makam keramat Habib Huseinlah yang
menarik banyak peziarah, sehingga Masjid Luar Batang menjadi Masjid terkenal di Batavia
lama. Walaupun data-data ini (agak) pasti, masih timbul beberapa pertanyyan yang
mengyangkut sejarah masjid ini. Sebelum diusahakan suatu jawaban, maka disajikan
beberapa kutipan dari pengarang lain.
Dan Masjid ini banyak dikunjungi oleh para pejabat-pejabat Negara baik kalangan
dalam negeri mapun Luar negeri, Masjid ini sekarang in sudah banyak direnovasi dan
penanggung jawab langsung adalah Bapak Gubenur DKI Jakarta ( Bpk. Fauzi Bowo).
19
21. BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah menyusun karya tulis ini, kami menyimpulkan :
1. Walaupun era globalisasi sudah mengubah seluruh aspek kehidupan, ternyata masih
ada beberapa orang yang melestarikan dan menjaga eksistensi budaya asli mereka.
2. Multikulturalisme bangsa Indonesia bisa dijadikan sebagai daya tarik wisatawan
domestik maupun asing untuk mengunjungi Indonesia.
3. Keberadaan kampung budaya bisa dijadikan sebagai lapangan pekerjaan bagi warga
sekitar.
4. Kampung budaya bisa dijadikan alat pembelajaran bagi para generasi muda agar
lebih mengenal budaya asli Indonesia tanpa harus membayar mahal.
B. Saran
Setelah menyusun karya tulis ini, kami menyarankan :
1. Pemerintah dan masyarakat di sekitar kampung budaya diharapkan tetap menjaga
kampung budaya yang sudah ada agar tetap lestari.
2. Hendaknya pemerintah dan masyarakat sekitar kampung budaya lebih
meningkatkan sarana dan prasarana tanpa mengurangi kesan asli kebudayaan
tersebut agar lebih menarik banyak pengunjung.
3. Pemerintah diharapkan lebih mempromosikan kampung budaya yang sudah ada ke
khalayak luas agar keberadaan kampung budaya bisa lebih dikenal.
20