Drs Dadang Solihin menjelaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah merupakan langkah yang tepat meskipun masih terdapat beberapa kasus korupsi. Ia berpendapat bahwa Indonesia harus menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan secara bersamaan walaupun sulit, dan bangsa Indonesia masih memiliki modal besar untuk maju ke depan.
1. Sumber: Halaman 10 Edisi 69
Memperbaiki Indonesia di
Mata Dadang Solihin
(Bagian 1)
Hal ini dikatakan Drs Dadang
SolihinMA,KepalaSub-Direktorat
Informasi Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas pada suatu
ketika. Sehingga dengan kesadaran
ini, kata Dadang, seluruh pihak
harus semakin serius dalam
menangani persoalan korupsi ini,
bukan dicampur-adukkan dengan
politik dan kepentingan tertentu.
Sebab akibat dari korupsi ini akan
ditanggung oleh rakyat banyak.
Dadang mengungkapkan
beberapa penelitian ilmiah yang
menunjukkan bahwa praktek-
praktek korupsi banyak terjadi di
negara-negara yang memiliki ciri-
ciri: pertama, yang sedang
mengalami masa transisi dari
pemerintahan yang otoriter kepada
demokrasi dan ekonomi pasar
(Patrick Glynn et al, 1997); kedua,
yang memiliki sumber daya alam
(SDA) melimpah (Warner, 1995);
ketiga, yang memiliki banyak etnis
(ShleiferdanVishny1993,Mauro
1994); dan keempat, yang pernah
dijajah bangsa lain (Taylor dan
Hudson 1972, Mauro 1997). Dan
ternyata Indonesia adalah sebuah
negara yang memenuhi kesemua
ciri-ciri tersebut..
Pada pertemuan Medikom
dengannyadalamsebuahacaradi
Bogorbaru-baruini,Dadangyang
bertindak sebagai pembicara
mengingatkan bahwa dari
berbagaitemuanempiriktersebut
dan dari gelar—berdasarkan
pemeringkatan terbaru— yang
disandangnya sebagai 6 besar
negara terkorup di dunia, serta
dari praktek kehidupan sehari-
hari, tampaknya Indonesia sudah
masuk ke dalam kategori negara
yang sudah ditakdirkan untuk
dikorup, baik oleh warga
negaranya maupun oleh pihak
asing.
Walau situasinya demikian
buruk, namun Dadang percaya
bahwa setiap orang masih dapat
melakukan sesuatu untuk bangsa
ini. “Kita harus tetap optimis
bahwa bangsa ini akan menjadi
bangsayangmaju,”kataDadang,
bahwa keadaan saat ini sebuah
masa transisi.
“Seperti orang yang sedang
mengalami sakit demam tinggi,
kelihatannya seperti sekarat,
padahal hanya demam. Apabila
mendisiplinkan diri dalam
memakan obat dan serius
berkeinginansembuh,pastidapat
sembuh,” ujarnya.
Dadangmemangseorangyang
selalu optimis. Namun, juga
seorang yang realistis. Berbicara
soal korupsi, sebagaimana
pimpinannya di Bappenas, Kwik
Kian Gie, Dadang juga tak kalah
“galaknya”.
Dia bahkan mengambil topik
ini menjadi tesisnya untuk
menyelesaikan program S-2-nya
(1996)diUniversityofColorado,Den-
ver, Amerika Serikat, yang berjudul
“Indonesia: Corruption and Growth”.
Suatusubjekyangsangatsensitifpada
masa itu. Sampai-sampai profesornya
terheran-heran dan bertanya, “Apakah
Kamu berani pulang ke Indonesia?”
Tidak berhenti di situ. Pria
berkeahlian Ekonomi Pembangunan,
Pengembangan Masyarakat,
Pembangunan Wilayah,
Pengembangan Usaha Kecil dan
Menengah, Kajian Kepemerintahan
yangBaik,DesentralisasidanOtonomi
Daerah, dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia, ini kembali memilih
topik Economic of Corruption dan
Good Governance untuk program S-
3-nya di Unpad, Bandung.
Hal ini memang tidak terlepas dari
komitmennya yang kuat untuk
mendahulukan kepentingan rakyat.
“Putting People First” adalah motto
hidup pria kelahiran Bandung 6 No-
vember 1961 ini.
Kita harus optimis, bangsa kita
adalah bangsa yang besar, kata suami
Dra Greesia Yudiastuti dan ayah 3 or-
ang anak ini. Ia menyebutkan, banyak
bangsalainyangmengalamicobaan
lebih berat dari yang dialami Indo-
nesia. Namun ketika cobaan itu
terjadi, mereka segera mengubah
paradigma. Contohnya seperti
Jepang dengan bom atomnya,
Jerman dengan tembok Berlinnya.
Ia berharap, Indoneisa dapat
berubah sebelum cobaan yang
terlalubesarterjadi,sehinggaterlalu
sulit untuk memperbaikinya
kembali. Karena krisis yang terlalu
berat dapat menjadikan Indonesia
tinggal sejarah (gone with the wind)
atau bangsa ini hanya menjadi
masyarakat dunia kelas dua.
Sehingga menurutnya, haruslah
dimulaidarisekaranguntuksemakin
serius terhadap usaha
pemberantasan dan pencegahan
korupsi.
Menurut pria yang telah banyak
melakukan studi ke berbagai
belahan dunia ini, langkah
pemerintah melaksanakan
paradigma otonomi daerah (otda)
adalah sebuah langkah tepat.
(Bersambung)
Drs Dadang Solihin MA adalah
Kepala Sub-Direktorat Informasi
Tata Ruang dan Pertanahan
Bappenas, tokoh muda dengan
segudang pendidikan formal dan
non formal, aktif menulis dan
menyunting buku, pemimpin
redaksi Jurnal “Visi Perencana”,
mengelola mailing list dan situs
www.dadangsolihin.com,
mengajar di berbagai perguruan
tinggi, peneliti, aktif di berbagai
kegiatan dan tim
FENOMENA korupsi di
Indonesia analog dengan
seorang anak laki-laki
yang sejak kecil sudah
senang mengenakan rok,
lipstik, dan bermain
boneka. Apabila dibiarkan
terus, besarnya nanti
menjadi waria. Begitu
juga Bangsa Indonesia
yang memiliki ciri-ciri
tersebut harus memiliki
sikap yang ekstra hati-hati
terhadap kecenderungan
korupsi.
2. Sumber: Halaman 10 Edisi 69
Setelah diberlakukannya UU 22/1999 dengan berbagai
peraturan pelaksanaannya telah terjadi berbagai
permasalahan di antaranya:
(1). Kemitraan yang Tidak Jelas. Kemitraan sejajar
sangat merancukan. Posisi yang kuat dari Kepala Daerah
dalam era Orde Baru telah menyulitkan hubungannya
untuk menjadi subordinasi dari DPRD sebagai wakil
rakyat. Sedangkan era reformasi adalah era kedaulatan
rakyat yang dimanifestasikan oleh wakil-wakil rakyat.
(2). Ekses dari Meningkatnya Kewenangan DPRD.
Karena Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD,
sering timbul kesewenang-wenangan pihak legislatif
terhadap eksekutif.
(3). Kerancuan LPJ. Moment LPJ sering dijadikan
sebagai instrumen untuk menjatuhkan Kepala Daerah
yang kurang disenangi tanpa terkait secara jelas dengan
ukuran kinerja sebagai alat pengukur. Pemahaman
Renstra dan Pengukuran Kinerja yang masih lemah,
menyebabkan LPJ lebih memiliki nuansa politik yang
subyektif dibandingkan didasarkan atas penilaian hasil
kinerja obyektif.
(4). Kuatnya Pengaruh Parpol dalam Proses
Pemilihan Kepala Daerah. Dalam beberapa kasus,
pengaruh Partai Politik terhadap fraksi sering tidak
seirama dalam proses pemilihan Kepala Daerah.
Akibatnya sering terjadi konflik internal partai
mengimbas kepada proses pemilihan Kepala Daerah.
(5). Kurang Terserapnya Aspirasi Masyarakat oleh
DPRD. Dalam konteks persoalan Daerah, sering
masyarakat menyampaikan protesnya ke tingkat Pusat.
Ini berarti mekanisme penyerapan aspirasi di tingkat
lokal masih terkendala.
(6). Campur Tangan DPRD dalam Penentuan
Penunjukan Pejabat Karier. Terdapat kecenderungan
dari DPRD untuk mencampuri penentuan pejabat dalam
menduduki jabatan-jabatan karier yang ada di Daerah.
Akibatnya terdapat kecenderungan Pegawai daerah
untuk mencari dukungan dari DPRD sehingga sulit
menciptakan netralitas pegawai.
(7). Masih Kurangnya Pemahaman DPRD Terhadap
Peraturan Perundangan. Anggota DPRD banyak yang
masih belum mampu memahami secara utuh peraturan
perundangan tentang otonomi. Hal inilah yang
menyebabkan munculnya perbedaan persepsi antara
Pada era otonomi daerah, menurut saya ada situasi yang
terbalik. Kalau dulu, eksekutif adalah segala-galanya.
Dengan kata lain legislatif cenderung manut. Sekarang,
legislatif posisinya di atas. Eksekutif seakan ada
ketakutan terhadap legislatif. Kenapa kondisi ini sampai
terjadi?
Ahmad Istiqlal (guru), Antapani Bandung
Segala Hal tentang Otda
Anda Bertanya Dadang Solihin Menjawab
PENGASUH menerima pertanyaan seputar masalah otonomi daerah. Pertanyaan
dialamatkan ke Redaksi Medikom Jln Peta 149 A Bandung 40233
e-mail: skmmedikom@yahoo.com atau medikom@spymac.com
pihak eksekutif dengan pihak legislatif di Daerah dalam
menyikapi masalah-masalah pemerintahan daerah..
(8). Kurangnya Kompetensi Anggota DPRD dan
Lemahnya Networking. Kurangnya kompetensi
kebanyakan anggota DPRD dalam bidang pemerintahan
sering juga kurang diikuti dengan pembentukan jaringan
kerja sama (networking) dengan lembaga-lembaga yang
mempunyai kompetensi dalam bidang pemerintahan
daerah.
Persoalan utama penyebab sering munculnya konflik antara
Kepala Daerah adalah diberikannya kewenangan yang kuat
kepada DPRD dalam hubungannya dengan Kepala Daerah.
UU 22/1999 mengatur bahwa Kepala Daerah bertanggung
jawab kepada DPRD. Bahkan dalam PP 108/2000 dinyatakan,
Kepala Daerah dapat diberhentikan manakala LPJ-nya tidak
diterima DPRD.
Padahal kalau mengacu pada sistem Pemerintahan Daerah
yang dianut UU 22/1999, seyogyanya hubungan DPRD dengan
Kepala Daerah bersifat “Kolegial”. Argumennya, tidak dikenal
adanya oposisi dan semua anggota DPRD baik dari partai
menang ataupun kalah bersama-sama memilih Kepala Daerah.
Konstruksi tersebut yang menjadi dasar hubungan yang
bersifat kolegial atas dasar kemitraan dan musyawarah.
Praktek yang terjadi hubungan Kepala daerah dan DPRD
cenderung berhadapan secara diametrik. Hubungan tersebut
lebih merefleksikan adanya pemisahan yang tegas antara DPRD
dengan Kepala Daerah. Hal ini akan kondusif kalau DPRD
dan Kepala Daerah masing-masing dipilih langsung oleh
rakyat.
Kalau bentukan seperti sekarang dipertahankan terus, maka
Kepala daerah adalah sub ordinasi dari DPRD dan bukan mitra
yang sejajar karena ybs. bertanggung jawab kepada DPRD dan
dipilih langsung oleh DPRD. Terlihat adanya inkonsistensi
dalam UU 22/1999 dalam menyikapi hubungan Kepala Daerah
dengan DPRD. Hal ini terjadi karena selama tiga dekade posisi
Kepala Daerah jauh lebih kuat dari DPRD. Terlihat adanya
keragu-raguan dalam UU 22/1999 untuk memposisikan DPRD
sebagai atasan Kepala Daerah, walaupun dalam kegiatannya
mereka bermitra seperti hubungan komisaris (DPRD) dengan
direksi (Kepala Daerah) dalam dunia bisnis.
Di samping itu, urgensi dari perwakilan muncul dari
perlunya akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Rakyat selaku citizens telah memberikan legitimasi politik
melalui pemilihan umum kepada partai politik untuk
menjalankan aspirasi rakyat. Oleh karena itu sudah
seyogyanya pemerintah daerah memberikan akuntabilitasnya
kepada masyarakat sebagai warga yang dilayaninya.(*)
Drs Dadang Solihin MA, Kepala Sub-Direktorat
Informasi Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas
3. Sumber: Halaman 10 Edisi 70
Memperbaiki Indonesia di
Mata Dadang Solihin
(Bagian 2)
Langkah pemerintah
melaksanakan paradigma
otonomi daerah (otda) adalah
sebuah langkah tepat
DENGAN OTONOMI daerah
pengawasan terhadap KKN semakin
dekat dengan masyarakat sehingga
menjadi lebih efektif dan efisien.
Walaupunmasihadabeberapapraktek
korupsiyangserupadenganmasalalu,
namunituadalahsebuahproseskearah
perubahan paradigma Good Gover-
nance yang menuntut akan
akuntabilitas, partisipasi dan
transparansi.
Pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan oleh bangsa ini sungguh
sangat bertumpuk-tumpuk. Negara-
negara lain telah menyelesaikan
permasalahan poverty relief pada
dekade 1940-an, pendekatan projects
to help people help themselves telah
diselesaikanpadadekade1950-an,dan
pilihan developmentplansandstrate-
giestelahdilewatidenganpadadekade
1960-an.
Demikian pula pendekatan proyek
telahberubahmenjadipendekatanpro-
gram terpadu pada dekade 1970-an,
kebijakan stabilization and structural
adjustmentadalahagendayangsudah
diselesaikan negara-negara lain pada
dekade 1980-an. Dan mereka telah
menyelesaikan agenda good gover-
nance pada dekade 1990-an.
Kalau ingin selamat, Indonesia
harus menyelesaikan semua PR ini
dalam waktu yang bersamaan. Suatu
hal yang mustahil memang. “Tetapi
dengan mengetahui keadaan sedini
mungkin, seperti analogi anak kecil
tadi, akan membantu kita dalam
menyelesaikan permasalahan. Dan
bangsa Indonesia masih memiliki
modal yang besar,” tutur karyawan
BappenasyangjugaPuketIIISekolah
Tinggi Ilmu Administrasi Kawula
Indonesia (STIAKIN) Jakarta ini.
*****
SebagaiseorangMuslimDadang
yakinkalauAllahSWTtidakpernah
memberikan cobaan kepada umat-
Nya diluar kemampuan menerima
cobaan itu. Dan Allah SWT juga
tidak akan mengubah nasib suatu
bangsa, kalau bangsa itu sendiri
tidak mau berubah.
Ini sejalan dengan filosofi
hidupnya yang sangat sederhana,
yang dalam bahasa Sunda
disebutnya“Ulahunggutkalinduan,
ulahgedagkaanginan”yangberarti
konsisten dan konsekuen terhadap
kebenaran. Jika benar jangan takut
dan terus maju.
Filosofi ini dianutnya dari
pengasuhan kedua orang tuanya.
AyahnyaseorangprajuritSiliwangi
pada zaman revolusi dan
penyandang 10 bintang gerilya.
Namun setelah masa pengungsian
dari Yogyakarta, beralih ke
kepolisian. Ibunya adalah seorang
aktivis organisasi “Aisyiyah” dan
“Persatuan Islam Isteri” (Persistri)
sambil berjualan kecil-kecilan.
Iaberasaldarikeluargabesar,15
orang bersaudara, tapi meninggal 4
orang pada zaman pengungsian,
sekarangtinggal11orang.Sebagian
besar bekerja sebagai PNS dan
tentara. Ia hidup dan dibesarkan
dalamkeluargasederhana.Pangkat
terakhir ayahnya adalah perwira
pertama polisi di Poltabes 86
Bandung.Padatahun1988ayahnya
wafat dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Cikutra
Bandung, berselang lima tahun dari
ibunyayangmeninggalpadatahun1983.
Dadang Solihin lahir di Bandung, 6
November 1961. Sejak SD sampai lulus
S1, ia selesaikan semua di Bandung
denganhasilyangbaik.LulusdariSD,ia
masukkeSMPNegeri1Bandung,yang
dikenal sebagai sekolah unggulan,
sekolahanak-anakpandai.SelepasSMP
ia masuk ke SMA Negeri 3 Bandung
yanghampir90%lulusannyamasukITB.
Tetapi ketika Perintis (seleksi masuk PT
kalaitu)diadakan,Dadangterserangsakit
tifus sehingga kesempatan untuk
memasuki universitas negeri hilang.
Akhirnya, pada tahun itu juga ia kuliah
di Universitas Katolik Parahyangan
mengambil Fakultas Ekonomi jurusan
IlmuEkonomidanStudiPembangunan.
Padatahunberikutnyaiamengikutites
masuk UNPAD mengambil jurusan
sastra Inggris dan ternyata lulus.
TujuannyakuliahjurusanbahasaInggris
untuk meningkatkan kemampuan
membaca literatur ekonomi berbahasa
Inggris.Tapikarenaternyatatugas-tugas
di jurusan sastra Inggris sangat banyak,
akhirnya ia berpikir untuk berfokus saja
pada kuliahnya di UNPAR.
Selamakuliah,Dadangjugatergabung
di senat mahasiswa, resimen mahasiswa
dan berbagai kegiatan kemahasiswaan
lainnya. Setelah lulus dari UNPAR, ia
sempat bergabung sebagai Staf
Administrasi Keuangan pada Second
University Development Project
(WorldBankXVII),DirektoratJenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
1987-1988. Baginya pekerjaan itu
merupakan sebuah pengalaman kerja
pertama sebelum memasuki
lingkungan Bappenas.
Sebelum menetapkan satu pilihan
tempat bekerja, Dadang sempat
diterima bekerja di Departemen
Pertanian untuk wilayah Jawa Barat,
Departemen Keuangan, Departemen
Perdagangan dan Bappenas. Hal itu
bisa terjadi karena banyaknya dia
mengirimkan surat lamaran dalam
waktu relatif yang bersamaan.
Setelah sempat bekerja rangkap,
akhirnya Dadang memilih Bappenas
sebab ia melihat pekerjaan yang
diserahkan kepadanya memiliki
cakupan yang lebih luas.
*****
Dadang sering mendengar
celetukanbahwadijamanOrba“lebih
enak” dibanding jaman reformasi
apalagi dengan diberlakukannya
otonomi daerah. Tentang itu Dadang
hanyamenimpalisederhana.“Tapiitu
dibayar dengan mahal, karena
Soeharto melakukannya dengan cara
otoriter!” kata Dadang di Bogor baru-
baru ini.
(Bersambung)
Drs Dadang Solihin MA adalah
Kepala Sub-Direktorat Informasi
Tata Ruang dan Pertanahan
Bappenas, tokoh muda dengan
segudang pendidikan formal dan non
formal, aktif menulis dan menyunting
buku, pemimpin redaksi Jurnal “Visi
Perencana”, mengelola mailing list
dan situs www.dadangsolihin.com,
mengajardiberbagaiperguruan
tinggi, peneliti, aktif di berbagai
kegiatan dan tim
4. Sumber: Halaman 12 Edisi 73
Rie 2004
Memperbaiki Indonesia di
Mata Dadang Solihin
(Bagian 3)
SEBELUMNYA, Dadang berujar
bahwa langkah pemerintah
melaksanakan paradigma otonomi
daerah(otda)adalahsebuahlangkah
tepat. Namun ingat, langkah tepat
saja tidak berarti tujuan telah
tercapai.Berartimembutuhkanjuga
ketekunan dan kegigihan. Mesti
menghadapi waktu dan rintangan
yang terbentang.
Karena memang, pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan oleh
bangsa ini sungguh sangat
bertumpuk-tumpuk.Negara-negara
lain telah menyelesaikan
permasalahan poverty relief pada
Dadang sering
mendengar
celetukan era Orba
lebih enak.
Tentang itu dia
berkomentar
sederhana, “Tapi
dibayar mahal,
karena dilakukan
dengan cara
otoriter.”
menyangkut kehidupan berbangsa
danbernegara.Karenasejakbekerja
di Bappenas ditempatkan di biro
perencanaan regional, maka dari
duluDadangsangatkonserndengan
pemikiran bagaimana pemerintah
dapat semakin dekat dengan
masyarakat.
Saat ini, pemikiran ini dikenal
dengan istilah proses disentralisasi.
Yangmenarikdanlucu,banyakdari
teman-temannya yang sudah
bekerja sejak awal 1988, tetapi
ketika diadakan diskusi kembali
mengenai perubahan-perubahan
yang sedang berlangsung di bangsa
ini, merasa perubahan tersebut
sedikit-banyak merugikan mereka.
Lalu ia pun berusaha mengingatkan
kembali bahwa hal-hal ini
sebetulnya merupakan pikiran-
pikiran awal mereka bersama, yaitu
sebuah cita-cita dimana pemerintah
dapat sedekat mungkin dengan
masya-rakat. Wewenang yang
didesen-tralisasikanakanmembawa
kepada efisiensi sumber daya yang
ada.
Kehadiran UU 22 dan UU 25
Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sebenarnya (otda)
merupakan cita-cita mereka dari
dulu. Namun, mungkin oleh
kesibukan selama ini, dan mungkin
juga karena ada jenis orang berbeda
antarayangdibicarakandenganapa
yangdipikirkannya,akhirnyatimbul
berbagai perbedaan persepsi.
Namun, yang ingin Dadang
tekankan adalah bahwa hal ini
(otonomi daerah) adalah sebuah
reformasi besar dalam bidang
pemerintahan dan birokrasi.
(Bersambung)
Drs Dadang Solihin MA,
adalah Kepala Sub-Direktorat
Informasi Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas, pengajar/
peneliti di berbagai PT, belajar di
segudang pendidikan formal/non
formal, Pemimpin Redaksi “Visi
Perencana”, aktif menulis dan
menyunting buku/paper,
pengelola bermacam mailing list/
situs serta situs pribadi
www.dadangsolihin.com
final project paper berjudul
“Pengaruh Korupsi Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Indone-
sia” awal tahun 1996 —dan
mempresentasikannya akhir tahun
itu membuat para profesor pengajar
dan pengujinya terheran-heran dan
berkata, “Apakah kamu berani
pulang ke Indonesia, kamu
disekolahkan oleh negara tapi
menuliskan tentang hal-hal yang
sensitif seperti itu?”— Dadang
menemukan bahwa korupsi dapat
menurunkan tingkat investasi,
sehingga menurunkan pula laju
pertumbuhan ekonomi.
Dia mencermati, apabila Indone-
sia dapat memperbaiki indeks
birokrasinyasehinggasejajardengan
Singapura,makatingkatinvestasidi
Indonesia akan naik sebesar 18%,
dan GDP per kapita akan naik
sebesar 4,7%.
“Namun sayang sekali, pada
waktu itu Indonesia sedang sibuk
dengan pujian dan tepuk tangan
dunia internasional, karena merasa
berbagai program dan strategi
pembangunan berhasil, sehingga
seruan melalui tulisan itu tidak
terdengar,” kata Dadang.
Ia dengan tegar mengatakan
bahwa tulisan itu bertujuan untuk
menya-darkan dan meyakinkan
bahwa betapa signifikannya
pengaruh korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi sebuah
negara.
ooo
Dadang menyadari perkem-
bangan ilmu bergerak sangat cepat
dibanding apa yang dimiliki dan
telah dipelajari. Padahal ia
berkeinginan menjadi seorang
pelopor, menemukan hal-hal baru
dan menarik, kemudian menjadi or-
ang pertama yang menulisnya.
Padaangkatannyaterdapatsekitar
100 orang bersama-sama memulai
karier di Bappenas dan sekarang
rata-rata bergelar PhD dari luar
negeri. Mereka di awal-awal masa
kerjaseringberdialogdalamforum-
forum diskusi informal,
membicarakan hal-hal yang
dekade 1940-an, pendekatan
projects to help people help them-
selves pada dekade 1950-an, dan
pilihandevelopmentplansandstrat-
egies telah dilewati pada dekade
1960-an.
Demikian pula pendekatan
proyekmenjadipendekatanprogram
terpadu pada dekade 1970-an,
kebijakan stabilization and struc-
tural adjustment padadekade1980-
an,danmerekatelahmenyelesaikan
agenda good governance pada
dekade 1990-an. Tergambar
bagaimana kita harus mengejar
ketertinggalan tersebut.
Padahal dulunya, bangsa kita
pernah berada di depan. Buktinya,
Dadang mengutip WS Rendra,
ketika bangsa Eropa masih primitif,
mereka memakan daging cukup
dengan dibakar di atas kayu api.
Pada saat itu di wilayah Bumi
Pertiwi sudah mengenal santan,
tempe bacem dan lain-lain.
Teknologi makanan sudah maju,
namun yang terjadi kemudian,
seakan-akansaatiniIndonesiasudah
ketinggalan beberapa abad.
Bangsa kita, kata Dadang,
memiliki kecenderungan mudah
dipengaruhi, sampai-sampai dapat
dijajah 350 tahun. Dan ternyata,
yang menjajah bukanlah negeri
Belanda yang kecil itu, tetapi hanya
sebuah perusahaan dagang swasta
(VOC) dengan memperalat orang-
orang setempat dengan uang dan
kekuasaan.
Jadi tergambar bagaimana kita
mesti mengejar ketertinggalan.
“Kalau ingin selamat, Indonesia
harus menyelesaikan semua PR ini
dalam waktu yang bersamaan,”
tegasnya, walau seakan hal yang
mustahil, tetapi dengan mengetahui
keadaan sedini mungkin (seperti
analogi anak kecil sebagaimana
dijelaskan pada edisi terdahulu),
akan membantu kita dalam
menyelesaikan permasalahan.
“Dan bangsa Indonesia masih
memiliki modal yang besar,”
katanya mantap.
Banyak bergumul dengan
persoalan finansial, menyelesaikan
5. Sumber: Halaman 12 Edisi 73
Rie 2004
KARENAsejakbekerjadiBappenas
ditempatkan di biro perencanaan re-
gional,makadariduluDadangsangat
konsern dengan pemikiran
bagaimana pemerintah dapat
semakin dekat dengan masyarakat.
Otonomi daerah merupakan cita-
cita Dadang bersama teman-teman
seangkatannya, sekitar 100 orang
yang sama-sama memulai karier di
Bappenas,sekarangrata-ratabergelar
PhD dari luar negeri.
Mereka di awal-awal masa kerja
seringberdialogdalamforum-forum
diskusiinformal,membicarakanhal-
hal yang menyangkut kehidupan
berbangsa dan bernegara. Orang-or-
angyangsepikirandansatucita-cita,
yaitu bagaimana pemerintah dapat
sedekatmungkindenganmasyarakat.
Mereka meyakini wewenang yang
didesentralisasikan akan membawa
kepada efisiensi sumber daya yang
ada.
Jadi, kehadiran UU 22 dan UU 25
Tahun 1999 menyangkut
Pemerintahan Daerah (otda)
sebenarnya merupakan cita-cita
mereka dari dulu. Dadang
menekankan otonomi daerah adalah
sebuahreformasibesardalambidang
pemerintahan dan birokrasi
MenurutDadang,Undang-undang
22 dan 25 tahun 1999 adalah sebuah
wahana baru bagi kita untuk
membangun bangsa ini. UU ini
adalah sesuatu yang bagus dan baik.
Tetapi yang menjadi masalah adalah
bahwaUUinilahirpadamasakrisis.
Pada bulan Mei 1999 ditetapkan dan
mulai berlaku pada bulan Januari
2001.
Padahal, awalnya, seperti pada
tahun 1997 di Indonesia terjadi El-
nino dan La-nina dan berlanjut pada
tahun1997-1998krisisekonomidan
moneter, pada masa-masa itu lahir
undang-undang ini menyebabkan
dampak lebih berat serta direspons
dengan kurang siap.
Negara-negara lain
mempersiapkan otonomi daerah
dengan baik. Contohnya, Jepang
Memperbaiki Indonesia di
Mata Dadang Solihin
(Bagian 4)
Negara-negara
lain
mempersiapkan
otonomi daerah
dengan baik.
Contohnya,
Jepang
mempersiapkan
otonomi daerah
selama 50 tahun
dalam kebutuhan
struktur dan
infrastrukturnya.
mempersiapkan otonomi daerah
selama 50 tahun dalam kebutuhan
struktur dan infrastrukturnya.
Pertama mereka mempersiapkan
undang-undangnya, peraturan
pemerintahnya, SDM dan juga
gedung-gedung,dinasapayangharus
dibangun dan dinas apa yang harus
dilikuidasi. Dan ketika waktunya
sudah rampung dan otonomi
digulirkan, tetap ada yang namanya
biro pembangunan Hokkaido di To-
kyo (masih sentralistis). Ini
menunjukkan bahwa dalam
melaksanakan proses desentralisasi,
Jepang ingin melaksanakan sesuai
dengankebutuhannya,tidakterburu-
buru, dan tidak (usah) diatur oleh
pihak lain.
Mengapa Indonesia tidak bisa
seperti itu? Sebab Indonesia selain
mendapat tekanan dari dalam yang
berupagerakanreformasipadatahun
1998, juga mendapat tekanan dari
luar, yang salah satunya adalah LoI
dari IMF, dan tekanan-tekanan
lainnya.Itulahmengapapelaksanaan
proses desentralisasi di Indonesia
sepertinya terburu-buru.
Contoh yang sangat dramatis
mungkin adalah kota Hiroshima,
Jepang. Pada tahun 1945 ketika kota
tersebut dihantam oleh bom atom,
kotaituhancurdengankekuatanbom
yangmenghasilkanpanas300derajat
celcius di wilayah radius 10 km2.
Kotaituhancursamasekalidanfakta
masihdapatterlihathinggasekarang.
Namun ketika ia mengunjungi kota
itu setelah 50 tahun sejak kejadian
tersebut, ia mendapati Hiroshima
sebagai kota yang dipenuhi dengan
gedung-gedungbertingkatdansarana
serta prasarana yang canggih, hutan
yangsemakinlebat,sertarakyatyang
hidup sejahtera.
Lalu bandingkan dengan keadaan
Indonesia pada tahun 1945. Saat itu
Indonesia masih memiliki sumber
daya alam yang melimpah serta
relatif tidak punya hutang. Isi perut
bumiibupertiwimasihdipenuhioleh
gas alam pada lapisan paling bawah,
selanjutnyadibagianatasnyaterdapat
minyakbumi,batuanmineralseperti
emas, perak, dsb, lalu ada batu bara,
serta di atas perut bumi ditumbuhi
oleh hutan tropis yang sangat kaya,
dankekayaanfloradanfaunalainnya
yang tak ternilai.Apa yang terjadi di
Indonesia 50 tahun kemudian?
Hal-hal inilah yang menjadi
perhatiannyasejaklama.Bagaimana
masyarakat dapat mengetahui apa
yang patut mereka ketahui tentang
negara ini. Tidak seperti masa-masa
lalu di mana untuk mendapatkan
buku-bukuRepelitasajasangatsulit.
Sehingga alasan itulah yang terus
mendorongnya untuk menulis buku-
buku pendidikan bagi masyarakat
yang mengangkat tema-tema
otonomi daerah.
Menurut Dadang, saat ini masih
banyak masyarakat dan pejabat-
pejabat daerah yang masih salah
dalam mengartikan apa itu otonomi
daerah. Padahal esensi dari otonomi
daerah adalah penyerahan
kewenangan kepada tingkat
pemerintahan yang paling dekat
dengan masyarakat, yaitu desa.
Ketika kita sudah sampai kepada
tahap itu tidak usah lagi berbicara
tentang aspirasi masyarakat atau
“top-down, buttom-up.” Sebab
kewenangan sudah ada di tangan
masyarakat. Masyarakat yang
menentukanakankebutuhanmereka
bagi daerah mereka masing-masing.
(Bersambung)
Drs Dadang Solihin MA,
adalah Kepala Sub-Direktorat
Informasi Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas, pengajar/
peneliti di berbagai PT, belajar di
segudang pendidikan formal/non
formal, Pemimpin Redaksi “Visi
Perencana”, aktif menulis dan
menyunting buku/paper,
pengelola bermacam mailing list/
situs serta situs pribadi
www.dadangsolihin.com
6. produksi, distribusi hingga
konsumsi nasional, yang tetap
memperhatikan dukungan sumber
daya alam dan lingkungan.
Dadang cukup aktif terlibat
dalam berbagai forum dan tampil
sebagai pembicara yang terutama
mengenai otonomi daerah,
pemberdayaanekonomikerakyatan.
Karenaitubeberapakatakunciyang
sangat akrab dengan kehidupan
Dadang, yaitu demokratisasi,
desentralisasi, transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi, dan
sejumlah kata lainnya yang sangat
dikuasainya. Selain dalam forum/
seminar dia juga menulis buku.
Bahkan buku Dadang tentang
otonomi daerah merupakan best
seller.
Mengenai desentralisasi
misalnya, menurut Dadang, pada
masa kini sudah merupakan suatu
keharusan. Hampir tidak mungkin
sistemsentralisasiditerapkansecara
penuh oleh suatu negara. Oleh
karenaitudesentralisasimerupakan
suatu keniscayaan yang tidak bisa
dihindari untuk dilaksanakan.
BERSAMBUNG
Drs Dadang Solihin MA, Kepala
Sub-Direktorat Informasi Tata
Ruang dan Pertanahan
Bappenas, pengajar/peneliti di
berbagai PT, Pemimpin Redaksi
“Visi Perencana”, menimba ilmu
dari segudang pendidikan
formal/non formal, aktif sebagai
penulis/penyunting buku/ paper/
internet, termasuk situs pribadi
www.dadangsolihin.com
MemperbaikiIndonesiadiMata
DadangSolihin
(Bagian 5)
“Ketika kita sudah sampai pada
tahap itu, tidak usah lagi berbicara
tentang aspirasi masyarakat top-
down atau bottom-up. Sebab
kewenangan sudah ada di tangan
masyarakat. Masyarakat yang
menentukan kebutuhan bagi daerah
mereka masing-masing,“ ujar
Dadang.
Pada tahap itu, ketika menerima
anggaran dari pusat, pemerintah
kabupaten/kota menyerahkan
langsung kepada pemerintahan
desa. Keuntungan yang diterima,
dalam lingkungan desa masyarakat
mengetahui dengan jelas ke mana
dana itu digunakan dan apa yang
jadikebutuhanmereka.Danbilaada
penyimpangan-penyim-pangan,
akan lebih mudah diketahui dan
diprediksi karena ada pengawasan
langsung dari masyarakat.
Dalam rangka melaksanakan
konsep tersebut, Dadang bersama
menyangkut ekonomi kerakyatan
dan pemberdayaan masyarakat.
Di komunitas ini masyarakat
didorong terlibat dan bersikap kritis
terhadap segala rancangan
kebijakan pemerintah daerah atau
pusat. Dengan demikian, ketika
saatnya akan dilaksanakan sebuah
peraturan tertentu tidak perlu lagi
usahasosialisasi,sebabmasya-rakat
sudah mengetahuinya sejak awal,
bahkan terlibat di dalamnya.
Sambil mengelola komunitas
diskusi berbasis internet tersebut,
untuk melengkapi perjuangan
membela rakyat kecil Dadang
meluncurkan situs pribadi
www.dadangsolihin.com.Situsini
mengurai tentang otonomi daerah,
ekonomi kerakyatan, pemikiran-
pemikiran kekinian para tokoh
dalammengkritisikondisimasakini
dan datang. Dan lebih penting
adalah sarana untuk berkonsultasi,
berdiskusi, mem-beri saran atau
pertanyaankepadaparanarasumber,
yang akan direspon sesegera
mungkin.
Saat ini ia juga menjabat sebagai
anggota Badan Pendiri dan Sekre-
taris Umum di Lembaga Pember-
dayaan Ekonomi Kerakyatan, yaitu
sebuah lembaga profesional untuk
membangun ekonomi kerakyatan
yang berdaya saing, merata,
bermoral, berkeadilan dan
berperikemanusiaan,sertaresponsif
terhadapdinamikaperubahanlokal,
nasional dan internasional
berdasarkan asas kekeluargaan.
Lembagainijugaberupayauntuk
mewujudkan sistem eko-nomi
partisipatif yang memberikan akses
yang sebesar-besarnya secara adil
dan merata bagi seluruh lapisan
masyarakat, baik dari proses
Drs Dadang Solihin MA
Masih banyak
masyarakat dan pejabat
daerah salah
mengartikan otda.
Esensi otda adalah
penyerahan
kewenangan kepada
tingkat pemerintahan
paling dekat
dengan masyarakat,
yaitu desa.
Sumber: Halaman 07 Edisi 74
rekan-rekannya di Bappenas
menyusun program best practices
yaituInitiativesforLocalGovernance
Reform, sebuah kerja sama antara
Bank Dunia dan Pemerintah RI. Ia
sendiri dipercayakan sebagai
sekretarisuntukSekretariatNasional.
Dari beberapa kabupaten di Indo-
nesia,kitabisabanyakbelajartentang
good local governance, diantaranya
dari Kabupaten Solok dengan sistem
pemerintahan nagarinya, dari
KabupatenBantuldenganjiwa entre-
preneurship bupatinya, dan dari
Kabupaten Bandung yang
merencanakan kantor Bapedanya
menjadi“rumahperencanaanrakyat.”
Selain bekerja dalam lingkungan
Bappenas, ayah dari tiga putra-putri
ini juga mengelola sebuah komunitas
diskusi ekonomi kerakyatan di Ya-
hoo-Groups, yang sudah memiliki
lebih dari 500 orang anggota dari
seluruh dunia. Dalam komunitas ini
setiap anggota saling memberi
masukandankritikterhadapberbagai
kebijakan pemerintah yang
Rie 2004
7. Sumber: Halaman 10 Edisi 75
Rie 2004
MASA REMAJA, ia habiskan di
Kampung Babakan Sumedang,
Desa Margahayu Selatan,
Kabupaten Bandung. Kala itu,
sekitar tahun 1978, perjalanan ke
sekolahnyadiJalanBelitungKota
Bandung dari Margahayu hanya
memerlukan waktu 20 menit
dengan berkendaraan sepeda mo-
tor. Jika dari rumah di Babakan
Sumedang dia berangkat jam
setengah tujuh pagi, maka
sebelum jam tujuh sudah sampai
di sekolah.
Udara di Bandung saat itu
masih bersih dan sama sekali
tidak ada kemacetan lalu-lintas.
Sepanjang perjalanan setiap pagi
ke sekolah, di kiri kanan jalan
masih terhampar sawah yang
luas.Namun,apayang terjadisaat
ini, ketika dia melewati ruas jalan
yang sama, sangatlah
mengejutkannya.
Ruas jalan Kopo-Margahayu-
Soreang saat ini, menurutnya,
adalah ruas jalan terparah di
seluruh dunia. Untuk menempuh
rute yang sama saat dia sekolah
pada tahun 1978 dulu, saat ini
memerlukan waktu minimal 2,5
jam. Secara kasat mata Dadang
melihat terjadinya kesemrawutan
dalam mengelola daerah ini.
Bukan hanya kemacetan lalu
lintas, juga dengan jelas terlihat
bahwa sepanjang ruas tersebut
telah terjadi pembangunan yang
tidak terkendali. Areal
persawahan sudah beralih fungsi
menjadi daerah perumahan,
industri dan perdagangan. Dan
yang lebih berbahaya lagi adalah
dampak negatif dari kemacetan
yang tidak kasat mata.
Di tengah kemacetan setiap
hari tersebut, sangat sulit bagi
Dadang untuk menemukan
wajah-wajah yang menyiratkan
kebahagiaan dan kegmbiraan
seperti dulu. Raut wajah yang
terpancar adalah wajah-wajah
tegang, stres, dan marah. Kalau
setiap pagi sudah diawali dengan
suasana seperti ini, tentu saja
akan sangat mempengaruhi
suasana tempat kerja atau di
sekolah setiap harinya. Hal ini
tentu akan berpengaruh juga
terhadap output pekerjaan. Belum
lagi kalau dihitung berapa liter
pemborosan bahan bakar setiap
harinya. Lebih parah lagi pada
sore hari. Kelelahan di tempat
kerja ditambah stres dan tegang
Memperbaiki Indonesia
di Mata Dadang Solihin
(Bagian 6)
Ruas jalan Kopo-Margahayu-Soreang saat
ini, menurutnya adalah ruas jalan terparah di
seluruh dunia. Untuk menempuh rute yang
sama saat dia sekolah pada tahun 1978 dulu,
saat ini memerlukan waktu minimal 2,5 jam.
Secara kasat mata Dadang melihat terjadinya
kesemrawutan dalam mengelola daerah ini.
sepanjang perjalanan pulang,
tentu akan berakibat tidak baik di
rumah. Ini berlangsung setiap
hari. Pada hari libur
kesemrawutan malah bertambah,
karenabanyakpelancongdariluar
kotaturutmenyemarakkandaerah
ini.
Yang jauh lebih berbahaya
sebenarnya adalah polusi udara
yang diakibatkan oleh asap
kendaraan bermotor tersebut.
Sebab dampaknya tidak begitu
terlihat pada jangka pendek,
tetapi setelah berpuluh tahun
mendatang. Dadang
mengibaratkan fenomena ini
dengan kehidupan ikan di dalam
akuarium yang setiap bulan suhu
airnya ditambah satu derajat
celcius. Ikan-ikan tersebut tentu
saja tidak menyadari bahwa air di
dalam akuarium itu bertambah
panas, tetapi pada suatu saat
ikan-ikan tersebut akan mati
seperti direbus.
Sebuah penelitian baru-
bau ini menemukan bahwa
akibat dari polusi udara
yang diakibatkan oleh
pence-maran asap
kendaraan bermotor dapat
berakibat fatal terhadap
anak-anak, se-perti anemia,
pertumbuhan fisik,
kecerdasan, hingga tidak
mampu mendengar pada
frekuensi tertentu.
Sedangkan pada orang
dewasa dapat
mempengaruhi kesuburan.
Dalam pikiran Dadang,
baru kulitnya saja, yaitu
ruas jalan utama menuju ibu kota
Kabupaten Bandung, sudah
banyak permasalahan yang perlu
segera dicari jalan keluarnya,
belum lagi kalau sudah digali
lebih jauh. Hal-hal inilah yang
mendorongnya untuk menerima
tantangan teman-teman untuk
membuktikan kemampuan
mengelola daerah. Bukan hanya
jago di teori saja, tetapi sudah
saatnya untuk membuktikannya
di lapangan.
(*)
Drs Dadang Solihin MA,
Kepala Sub-Direktorat
Informasi Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas,
pengajar/peneliti di berbagai
PT, Pemimpin Redaksi “Visi
Perencana”, menimba ilmu
dari segudang pendidikan
formal/non formal, aktif
sebagai penulis/penyunting
buku/ paper/ internet,
termasuk situs pribadi
www.dadangsolihin.com
DRS DADANG SOLIHIN MA, “orang Bappenas”
yang punya sederet bidang keahlian seperti
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kajian
Kepemerintahan yang Baik, Pengembangan SDM,
Pengembangan UKM, Pengembangan Masyarakat,
Pembanguna Wilayah, dsb, sangat interest dengan
segala sesuatu yang menyangkut keahliannya baik
teori maupun prakteknya. Karena itu, dengan
segudang kesibukan, dia tetap mengoptimalkan
waktunya dan menyempatkan diri terjun ke
lapangan. Saat ini dia sedang dalam “konsentrasi
tinggi” mengamati dan “mengawal” sebuah lembaga
yang benar-benar baru lahir yaitu DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) yang merupakan “senatornya”
Indonesia. Seperti pada Jumat (7/5) lalu, Dadang
hadir pada pertemuan silaturahmi empat anggota
terpilih DPD Jawa Barat di Pesantren Al Ma’arif
Cigondewah Bandung, pimpinan KH Sofyan Yahya,
Ketua PWNU Jabar yang merupakan salah satu
anggota terpilih DPD Jabar. Terlihat Dadang sedang
terlibat dalam pembicaraan serius dengan KH
Sofyan Yahya. (Foto: Dery FG)
8. Tanya Jawab Otda
Anda Bertanya Dadang Solihin Menjawab
Asuhan: Drs Dadang Solihin MA
PENGASUH menerima pertanyaan seputar masalah otonomi daerah. Pertanyaan dialamatkan ke Redaksi Medikom Jln Peta 149 A
Bandung 40233 atau e-mail: skmmedikom@yahoo.com
Pada beberapa edisi terdahulu, Medikom menurunkan tulisan bersambung tentang pandangan Drs Dadang Solihin MA terhadap
Indonesia. Karena topik tersebut mendapat perhatian yang sangat luas, maka sejak edisi ini, Medikom membuka kolom otonomi daerah
interaktif yang diasuh langsung oleh Drs Dadang Solihin MA.
Kami seringkali mendengar istilah Otonomi Daerah, yang katanya untuk
lebihmensejahterakanmasyarakat.YangjelaskamimerasakanadanyaOtda
itu malah menambah beban kami dengan banyaknya pungutan-pungutan
baru. Jadi, apa sih arti Otonomi Daerah yang sebenarnya?
ipung0404@yahoo.com
Katanya Otonomi Daerah bisa memberikan pelayanan lebih baik kepada
masyarakat. Tapi kenyataannya, belum ada peningkatan dalam masalah
pelayanan, bagaimana ini?
saeful@yahoo.com
DIUNDANGKANNYA UU 22/1999 dan UU 25/1999 merupakan mo-
mentumyangsangatbaikuntukmemacureformasiPemdamenujuPemda
yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Namun perubahan yang
diharapkantidaklahakanberjalansecaramuluskarenaakanbanyaksekali
menuntut perubahan pola pikir, pola bertindak dan kemauan dari pihak
Pusat maupun Daerah. Adalah sangat sulit untuk merubah pola berpikir
(mind set) daerah yang selama tiga dekade terpatronasi dan terkooptasi
olehPusatdandalamwaktusingkatdituntutuntukmenjadimandiri,penuh
inisiatif dan menghilangkan ketergantungan ke Pusat baik secara mental
maupun finansial.
Kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU 22/1999 dan UU 25/1999
yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2001 tersebut, ternyata
bukan saja telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam tatanan
dan praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah, tetapi juga
menimbulkan berbagai permasalahan yang merupakan tantangan bagi
semua pihak yang menginginkan otonomi daerah berhasil dengan baik
demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi sampai saat ini antara
lain: (1).Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah
yang belum mantap (2).Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah
yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan
yang ada dengan UU No. 22 Tahun 1999 masih sangat terbatas
(3).Sosialisasi UU No. 22 Tahun 1999 dan pedoman yang tersedia belum
mendalam dan meluas; (4).Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah
masih sangat lemah; (5).Pengaruh perkembangan dinamika politik dan
aspirasimasyarakatsertapengaruhglobalisasiyangtidakmudahdikelola;
(6).Kondisi sumber daya manusia aparatur pemerintahan yang belum
menunjangsepenuhnyapelaksanaanotonomidaerah;(7).Belumjelasdalam
kebijakan pelaksanaan perwujudan konsep otonomi yang proporsional ke
dalampengaturanpembagiandanpemanfaatansumberdayanasional,serta
perimbangankeuanganPusatdanDaerahsesuaiprinsip-prinsipdemokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan
keanekaragaman darah dalam kerangka NKRI.
Permasalahan-permasalahan tersebut terefleksi dalam 7 elemen pokok
yang membentuk pemerintah daerah yaitu; kewenangan, kelembagaan,
kepegawaian, keuangan, perwakilan, manajemen pelayanan publik, dan
pengawasan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan desentralisasi dari
tataranteorisertamemaparkanpermasalahanyangterjadiselamainidalam
implementasi UU 22/99 berdasarkan ketujuh variabel yang merupakan
soko guru dari setiap bentuk pemerintahan daerah tersebut, serta berusaha
untukmemberikanrekomendasikebijakannya.Penguatanterhadapketujuh
dimensi tersebut merupakan prerequisite dalam penguatan pemerintahan
daerah. Pendekatan yang bersifat piece-meal tidak akan memecahkan
persoalan otonomi secara keseluruhan. Penguatan pada salah satu atau
beberapa aspek dan melupakan aspek lainnya tidak akan pernah efektif
menuntaskanpenguatan(empowering)otonomidaerahsecarakeseluruhan.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh adanya
pengaturan-pengaturan baru yang diatur dalam UU 22/1999. Dengan
dianutnya otonomi luas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 (2) dan
Pasal9,Daerahcenderungmenafsirkannyasecaralitterlijkdanmenganggap
bahwa semua kewenangan di luar kewenangan Pusat adalah menjadi
kewenangan Daerah.
Sedangkanpadasisilain,DepartemenSektoraldiPusatjugaberpegang
padaUUsektoralmasing-masing.SebagaicontohDepartemenKehutanan
berpegangpadaUU41Tahun1999yangmengaturmengenaikewenangan
kehutanan. Permasalahan timbul karena substansi kewenangan pada UU
22/1999denganUU41/1999berbedapengaturannya.Akibatnyaterjadilah
friksi antara Pusat dengan Daerah.
Friksipadadasarnyaberpangkaldarisiapayangmempunyaikewenangan
secara hukum atas hal yang disengketakan tersebut. Motif utama yang
mendorongbukanlahpersoalanuntukmemberikanpelayananmasyarakat
pada hal yang disengketakan tersebut, namun lebih pada bagaimana
menguasai sumber-sumber pendapatan yang dihasilkan dari kewenangan
yang disengketakan tersebut. Daerah menganggap bahwa dengan adanya
otonomi luas maka kebutuhan uang mereka menjadi tidak terbatas.
Sedangkan PAD dan DAU terbatas sehingga hal tersebut menarik mereka
untukmenambahsumber-sumberpenerimaandaripenguasaanobyek-obyek
yangdapatmenghasilkantambahanpenerimaanDaerah.SedangkanPusat
berpendapat obyek tersebut adalah menyangkut kepentingan nasional,
sehingga menganggap perlunya penguasaan Pusat atas obyek tersebut.
Daerah berpegang pada Pasal 7 (1), Pasal 11 dan Pasal 119 UU 22/1999
sedangkan Pusat juga berpegangan pada Pasal 7 (2) sebagai kewenangan
atas sumber-sumber perekonomian nasional.
Darianalisisdiatasterdapatkontradiksidalamtatarannormatifterutama
kewenangan dalam perekonomian negara. Pasal 7 (2) UU 22/1999
menyatakan kewenangan dalam perekonomian negara menjadi domain
kewenanganbidanglainyangmenjadikewenanganPusat.SedangkanPasal
119 (1) menyatakan bahwa kewenangan kabupaten/Kota berlaku juga di
kawasan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan bandar udara, kawasan
perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan
pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan jalan
bebas hambatan dan kawasan lain yang sejenis. Departemen Sektoral
berpegangpadaPasal7(2)ditambahdenganUUyangmengatursektoritu
sendiri, sedangkan Daerah berpegang pada Pasal 119 (1) UU 22/1999.
BERSAMBUNG
PENGASUH Kepala Sub-Direktorat Informasi Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas, pengajar/peneliti di berbagai PT, menimba ilmu
dari segudang pendidikan formal/non formal, aktif sebagai penulis/
penyunting/pengelola/pemimpin redaksi berbagai media cetak dan
elektronik/klub diskusi, termasuk situs pribadi www.dadangsolihin.com
Sumber: Halaman 10 Edisi 76
Rie 2004
9. Sumber: Halaman 10 Edisi 77
Segala Sesuatu Tentang Otda
AndaBertanyaDadangSolihinMenjawab
PENGASUH menerima pertanyaan seputar masalah otonomi daerah.
Pertanyaan dialamatkan ke Redaksi Medikom Jln Peta 149 A Bandung 40233
atau e-mail: skmmedikom@yahoo.com
ANALISIS yang lebih fundamental mengindikasikan bahwa adanya
unit pemerintahan daerah adalah untuk melayani kebutuhan
masyarakat (public service). Ini berarti tiap daerah akan mempunyai
keunikan sendiri-sendiri baik dari aspek penduduk, maupun karakter
geografisnya. Masyarakat pantai dengan mata pencaharian utama di
perikanan akan berbeda dengan masyarakat pegunungan, ataupun
masyarakat pedalaman. Masyarakat daerah pedesaan akan berbeda
kebutuhannya dengan masyarakat daerah perkotaan.
Apabila keberadaan pemda adalah untuk melayani kebutuhan
masyarakat, konsekuensinya adalah bahwa urusan yang dilimpahkan
pun seyogyanya berbeda pula dari satu daerah dengan daerah lainnya
sesuai dengan perbedaan karakter geografis dan mata pencaharian
utamapenduduknya.Adalahsangattidaklogiskalaudisebuahdaerah
kota sekarang ini masih dijumpai adanya urusan-urusan pertanian,
perikanan, peternakan dan urusan-urusan yang berkaitan dengan
kegiatan primer. Berilah daerah urusan otonomi sesuai dengan
kebutuhannya. Untuk itu analisis kebutuhan (need assessment)
merupakan suatu keharusan sebelum urusan tersebut diserahkan ke
suatu daerah otonom.
Pada dasarnya kebutuhan masyarakat dapat dikelompokkan ke
dalam dua hal yaitu: (1) Kebutuhan dasar (basic needs) seperti air,
kesehatan,pendidikan,lingkungan,keamanan,dsb;dan(2)Kebutuhan
pengembangan usaha masyarakat seperti pertanian, perkebunan,
perdagangan, industri dsb.
Daerah dalam konteks otonomi harus mempunyai kewenangan
untuk mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua
kelompok kebutuhan di atas. Kelompok kebutuhan dasar adalah
hampir sama di seluruh Indonesia hanya gradasi kebutuhannya saja
yangberbeda.Sedangkankebutuhanpengembanganusahapenduduk
Masih dalam konteks pelayanan terhadap masyarakat,
bagaimana porsinya pelimpahan kewenangan daerah
mengingat kondisinya yang beragam?
Dodi Budiman
Kawalu Tasikmalaya
Pada beberapa edisi terdahulu, Medikom menurunkan tulisan bersambung
tentang pandangan Drs Dadang Solihin MA terhadap Indonesia. Karena
topik tersebut mendapat perhatian yang sangat luas, maka sejak edisi ini,
Medikom membuka kolom otonomi daerah interaktif yang diasuh langsung
oleh Drs Dadang Solihin MA.
sangateratkaitannyadengankarakterdaerah,polapemanfaatanlahan
dan mata pencaharian penduduk.
Berbeda dengan negara maju di mana pembangunan usaha
masyarakatsebagianbesarsudahdijalankanolehpihakswasta,maka
di negara Indonesia sebagai negara berkembang, peran pemerintah
masih sangat diharapkan untuk menggerakkan usaha masyarakat.
Untukitumakakewenanganuntukmenggerakkanusahaatauekonomi
masyarakat masih sangat diharapkan dari pemerintah. Pemda di
negara maju lebih berorientasi menyediakan kebutuhan dasar (basic
services)masyarakat.Untukitu,makapemdadiIndonesiamempunyai
kewenangan (otonomi) untuk menyediakan pelayanan kebutuhan
dasardanpelayananpengembanganusahaekonomimasyarakatlokal.
UU 22/1999 pada dasarnya memberikan otonomi luas kepada
daerah. Pasal 7 (1) dan Pasal 11 (1) memberikan urusan otonomi
yang luas kepada daerah. Sedangkan pasal 11 (2) menyatakan
kewenangan wajib yang harus dilakukan oleh daerah.
Dalam kewenangan wajib terlihat bahwa terdapat kecenderungan
menyeragamkan otonomi daerah tanpa membedakannya dalam
kewenanganuntukmenjalankanpelayanandasar(basicservices)dan
kewenanganmenjalankanpelayananpengembangansektorunggulan
yang menjadi usaha ekonomi masyarakat. Urusan-urusan seperti
pertanian, industri, perdagangan tidak seyogyanya diwajibkan pada
daerah-daerah yang tidak mempunyai potensi unggulan atau usaha
utama masyarakat di suatu daerah.
Drs Dadang Solihin MA, Kepala Sub-Direktorat Informasi Tata
Ruang dan Pertanahan Bappenas, pengajar/peneliti di berbagai PT,
menimba ilmu dari segudang pendidikan formal/non formal, aktif
sebagai penulis/penyunting/pengelola/pemimpin redaksi berbagai
media cetak dan elektronik/klub diskusi, termasuk situs pribadi
www.dadangsolihin.com
10. Sumber: Halaman 08 Edisi 78
Segala Hal Tentang Otda
Anda Bertanya Dadang Solihin Menjawab
PENGASUH menerima pertanyaan seputar masalah otonomi daerah. Pertanyaan
dialamatkan ke Redaksi Medikom Jln Peta 149 A Bandung 40233
e-mail: skmmedikom@yahoo.com atau medikom@spymac.com
Pada beberapa edisi terdahulu, Medikom menurunkan tulisan
bersambung tentang pandangan Drs Dadang Solihin MA terhadap
Indonesia. Karena topik tersebut mendapat perhatian yang sangat luas,
maka sejak edisi ini, Medikom membuka kolom otonomi daerah
interaktif yang diasuh langsung oleh Drs Dadang Solihin MA.
Pak Dadang, Saya seorang PNS biasa di Gedung
Sate, ingin tahu masalah rencana perampingan
pegawai?
Eman, Cicadas Bandung
PEMBERLAKUAN dan pelaksanaan PP 8/2003 tentang
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah akan mengoreksi
kecenderungan struktur organisasi perangkat daerah yang
berlebihan yang selama ini sudah ditetapkan di masing-
masing daerah, melalui restrukturisasi kelembagaan
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Manfaat dari
kondisi tersebut akan diperoleh daerah berupa efisiensi
organisasi yang berimplikasi kepada peningkatan efisiensi
anggaran belanja aparatur. Hal ini terjadi karena adanya
pengurangan jumlah eselon, yang berarti juga adanya
pengurangan beban anggaran untuk memenuhi
pembelanjaan tunjangan jabatan bagi para pejabat eselon
serta pembelanjaan fasilitas jabatan lainnya, sejumlah
jabatan eselon yang dirasionalisasi.
Namun di sisi lain terdapat kemungkinan terburuk yang
dapat saja terjadi di daerah yang meliputi:
1.Daerah yang sebelumnya menata kelembagaan
perangkat daerahnya secara rasional dan berada di bawah
batas-batas maksimum yang ditetapkan oleh PP 8/2003,
akan memiliki kecenderungan opportunistik untuk
memaksimalkan struktur organisasi perangkat daerahnya
sehingga mendekati atau sama dengan batas-batas yang
diperbolehkan oleh PP 8/2003. Dalam konteks ini manfaat
efisiensi anggaran dan efisiensi struktur organisasi tidak
akan didapat oleh daerah yang bersangkutan, bahkan
sebaliknya akan terjadi lonjakan atau peningkatan beban
APBD. Akan tetapi daerah yang bersangkutan akan
memperoleh manfaat lain (blessing in disguise) yaitu
berupa terbukanya kesempatan yang lebih luas dalam
membina dan mengembangkan karier bagi pegawai daerah
yang bersangkutan, yang akan berdampak peningkatan
motivasi dan produktivitas kerja, yang pada akhirnya mungkin
dapat menutupi kerugian APBD semula sebagai akibat
keputusannya itu.
2. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 26 PP8/2003,
akan terdapat kecenderungan daerah, terutama yang sudah
terlanjur memiliki struktur Organisasi Perangkat Daerah yang
melebihi batas yang diberlakukan, untuk memanfaatkan
peluang mempertahankan jumlah tersebut. Akibatnya, jika
ternyata sebagian atau seluruh usulannya tersebut dapat
disetujui oleh presiden, daerah sama sekali tidak akan
mendapatkan manfaat apapun, selain dapat
mempertahankan moril pegawai dan pejabat daerah yang
bersangkutan, sehingga tidak mengganggu ritme kerja dan
produktivitas kerja pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian efektivitas PP 8/2003 secara internal tidak
akan tercapai, dan tujuan peningkatan efisiensi pemerintahan
daerah juga tidak tercapai secara sebagian atau seluruhnya.
Drs Dadang Solihin MA, Kepala Sub-Direktorat Informasi Tata
Ruang dan Pertanahan Bappenas, pengajar/peneliti di berbagai PT,
menimba ilmu dari segudang pendidikan formal/non formal, aktif
sebagai penulis/penyunting/pengelola/pemimpin redaksi berbagai
media cetak dan elektronik/klub diskusi, termasuk situs pribadi
www.dadangsolihin.com
11. Sumber: Halaman 08 Edisi 79
dititik beratkan pada aspek keuangan namun juga mencakup
elemen-elemen dasar Pemda lainnya seperti aspek kewenangan,
kelembagaan, personil, DPRD dan pelayanan yang dihasilkan
Pemda. Argumennya adalah bahwa tanggung jawab akhir dari
penyelenggaraan pemerintahan di semua tingkatan adalah
menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional. Pemerintah
nasionalmendapatkanlegitimasisecaranasionaldanbertanggung
jawab secara nasional termasuk bertanggung jawab dalam
berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi itu sendiri, walaupun
dalam pelaksanaan operasional dari otonomi Daerah tersebut
diserahkan kepada Pemda dan masyarakat Daerah ybs.
Untuk itu, perlu adanya penalty dan reward yang jelas dan
tegas kepada Daerah yang menyalah gunakan otonomi Daerah
untuk kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan
nasional.
Rekomendasi
(1). Perlunya Unit Dekonsentrasi sebagai Perangkat
Gubernur. UU 22/1999 (Pasal 33) telah mengatur mengenai
kegiatan supervisi dan fasilitasi oleh Pusat agar Daerah dapat
menjalankan otonominya secara optimal. PP 20/2001 tentang
Pembinaan Pengawasan juga telah mengatur peranan Gubernur
selaku wakil Pusat di Daerah untuk melakukan pengawasan,
supervisi dan fasilitasi terhadap jalannya otonomi Kabupaten/
Kota di wilayahnya. Namun tidak terdapat kejelasan mengenai
perangkat dekonsentrasi yang membantu Gubernur dalam
kapasitasnya sebagai wakil Pusat untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan di wilayahnya.
(2). Revitalisasi Peran Gubernur Sebagai Wakil Pusat Di
Daerah. GubernurharusberperanaktifsebagaiwakilPusatdalam
melakukan pengawasan, supervisi dan fasilitasi terhadap
pelaksanaan otonomi Daerah. Memang sebagai Daerah otonom
Provinsi tidaklah membawahi Kabupaten. Namun sebagai wakil
Pusat dalam rangka NKRI, Gubernur berkewajiban mengawasi
dan memfasilitasi otonomi Daerah.
(3). Perlunya Sosialisasi Peraturan Perundangan. Hal ini
penting untuk menciptakan persepsi yang sama antara Pusat
dengan Daerah sehingga deviasi penafsiran yang berbeda dapat
di minimalisir.
(4). Penegakan Hukum yang Tegas. Perlu adanya sanksi
yang jelas dan tegas bagi pelanggaran yang dilakukan Daerah.
Segala Hal tentang Otda
Anda Bertanya Dadang Solihin Menjawab
PENGASUH menerima pertanyaan seputar masalah otonomi daerah. Pertanyaan
dialamatkan ke Redaksi Medikom Jln Peta 149 A Bandung 40233
e-mail: skmmedikom@yahoo.com atau medikom@spymac.com
Bagaimana efektifnya fungsi pengawasan di era otonomi daerah?
M. Istiqlal, PNS di Bandung
Berkaitan dengan pengawasan, permasalahan-permasalahan aktual
yang terjadi adalah sbb:
(1). Kurangnya Pengawasan dari Gubernur Kepada Daerah.
Karena Daerah menganggap hubungan provinsi dengan kabupaten
bersifat tidak hirarkis sehingga dianggap gubernur tidak berhak lagi
mengawasi kabupaten/kota di wilayahnya.
(2). Kurangnya Sanksi terhadap Pelanggaran Peraturan.
Banyakpelanggaranyangdilakukanpemdakhususnyayangberkaitan
dengan alokasi anggaran yang tidak ada sanksinya. Tidak ada sanksi
yang jelas dan tegas bagi Daerah yang melanggar PP 109/2000 dan
PP 110/2000.
(3). Kurangnya supervisi, sosialisasi ke daerah. Banyak
penyimpangan di daerah karena kurangnya supervisi. Penyimpangan
juga terjadi karena kurangnya sosialisasi sehingga daerah melakukan
berbagai inisiatif yang kadang-kadang tidak sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pemda dalam menjalankan otonominya adalah masih dalam
koridor dan ikatan NKRI. Agar Otonomi Daerah dapat mencapai
dua tujuan utama yaitu sebagai medium pendidikan politik di tingkat
lokal dan medium penyediaan pelayanan yang efektif, efisien dan
ekonomis maka diperlukan pengawasan efektif agar kedua tujuan
tersebut tercapai optimal.
Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka sangat
diperlukan adanya peran pengawasan Pusat di Daerah yang
dilaksanakan oleh wakil Pusat yang ada di Daerah. Maka sangat
diperlukan adanya penguatan peran Gubernur sebagai wakil Pusat
dalam hal pengawasan, supervisi, monev dan fasilitasi agar Daerah
dapat menjalankan otonominya secara optimal.
Pada sisi lain, kabupaten/kota merasa bahwa dengan otonomi
mereka dapat menjalankan otonomi tersebut sesuai dengan selera
mereka yang kadang-kadang bertentangan dengan kepentingan yang
lebih tinggi. Untuk mencegah terjadinya kebijakan-kebijakan Daerah
yang terlalu melebar dan di luar koridor otonomi yang diberikan,
maka peran kontrol, supervisi dan fasilitasi menjadi sangat mendesak
untuk dilaksanakan secara intensif, tanpa harus mematikan kreativitas
dan inovasi yang sangat dibutuhkan dalam menjalankan Otonomi
Daerah tersebut.
Pengawasan, supervisi dan fasilitasi hendaknya jangan hanya
12. Sumber: Halaman 08 Edisi 80
Segala Hal tentang Otda
Anda Bertanya Dadang Solihin Menjawab
PENGASUH menerima pertanyaan seputar masalah otonomi daerah. Pertanyaan
dialamatkan ke Redaksi Medikom Jln Peta 149 A Bandung 40233
e-mail: skmmedikom@yahoo.com atau medikom@spymac.com
Di pemerintahan baik kota maupun provinsi, masalah mutasi
jabatan seringkali membawa polemik internal. Bahkan menjadi
konsumsi masyarakat karena diramaikan oleh berita media
massa. Ada asumsi nuansa politik selalu dominan. Bagaimana
sebenarnya pengaturan pegawai ini?
Untung (LSM) di Ciwastra Bandung
DENGAN diberlakukannya UU 22/1999 terdapat
masalah-masalah aktual kepegawaian Daerah, di ant-
aranya adalah:
(1)Dengan diberikannya kewenangan manajemen
kepegawaian kepada Daerah sebagaimana diatur dalam
Pasal 76 UU 22/1999, pegawai Daerah cenderung dik-
ooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di Daer-
ah baik dari pihak Kepala Daerah maupun dari DPRD.
(2)Status kepegawaian Daerah menjadi sangat sta-
tis. PNS dari satu Daerah akan sangat sulit pindah ke
Daerah lainnya karena pembayaran gaji ybs lewat DAU
dan sulit akan dialihkan kepada Daerah penerima.
(3)Adanya kecenderungan mencuatnya isu “Putera
Daerah” karena penafsiran otonomi yang sempit. Di ber-
bagai Daerah, pegawai dari suku pendatang sering di
“non job” sehingga mereka terpaksa kembali ke tempat
asal.
(4)Rasa lokalitas yang sempit dan tidak adanya tour
of area akan membahayakan keutuhan NKRI karena
PNS diharapkan sebagai perekat bangsa dan negara.
(5)Diberikannya kewenangan manajemen kepegawa-
ian kepada Daerah akan merangsang Daerah untuk men-
gangkat pegawai baru untuk mendapatkan dukungan
politik dan atas beban Pusat penggajian dan pensiun-
nya.
(6)Adanya kerancuan antara jabatan politis (political
appointee) dan jabatan karier (career appointee). Ker-
ancuan antara jabatan karier dan politis tersebut akan
menciptakan instabilitas pemerintahan daerah. Turun-
nya Kepala Daerah sering mengakibatkan keguncangan
di sektor birokrasi. Di samping itu karier pegawai tidak
semata-mata ditentukan oleh merit system tapi sering
pertimbangan politisnya lebih dominan. Kondisi terse-
but telah menyebabkan tidak adanya career planning yang
jelas dan security of tenure. Akibat lanjutannya adalah pe-
gawai akan berusaha mencari “cantolan” dari pejabat poli-
tik dan hal tersebut tidak kondusif untuk menciptakan pro-
fesionalisme pegawai Daerah.
Diberikannya Daerah kewenangan pembinaan dan mana-
jemen kepegawaian sebagaimana diatur dalam UU 22/1999
menjadi penyebab utama persoalan-persoalan di atas. Di
samping itu telah juga terjadi kontradiksi antara UU 22/1999
dengan UU 43/1999 tentang kewenangan pembinaan kepe-
gawaian.
UU 22/1999 melalui Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77
mengatur mengenai kepegawaian daerah. Pasal 76 men-
yatakan bahwa Daerah mempunyai kewenangan dalam
manajemen kepegawaian daerah dari pengangkatan sam-
pai dengan penggajian dan pensiun.
Sedangkan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawa-
ian mengatur bahwa manajemen kepegawaian masih men-
jadi tanggung jawab Pusat. Dalam hal ini nampak adanya
kontradiksi dalam pengaturan kepegawaian Daerah menu-
rut kedua UU tersebut. Sedangkan PP 95/2000, PP 96/2000,
PP 97/2000, PP 98/2000, PP 99/2000, PP 100/2000 dan
PP 101/2000 yang seyogyanya merupakan peraturan pel-
aksanaan dari UU 43/1999, substansinya lebih merupakan
penjabaran dari UU 22/1999. Hal ini terlihat jelas dari diser-
ahkannya pembinaan kepegawaian Daerah kepada Kepa-
la Daerah.
Baik UU 22/1999 dan UU 43/1999 tidak mengatur secara
tegas mengenai perlunya pembedaan yang tegas antara
Pejabat Politik dengan Pejabat Karir. UU 43/1999 menge-
nal istilah pejabat negara yang bisa mencakup pejabat karir
atau pejabat politik. UU ini juga mengatur ketentuan agar
PNS tidak berpolitik (non partisan) dalam upaya meningkat-
kan profesionalisme mereka.
Urgensi pemisahan antara Pejabat Politik dengan Peja-
bat Karier adalah agar masing-masing dapat mengembang-
kan profesionalisme-nya tanpa menciptakan kooptasi satu
terhadap lainnya. Untuk itu mereka harus dibebaskan dari
pengaruh kepentingan politik dari pejabat politik yang me-
merintah.