Dokumen tersebut membahas tentang otonomi daerah. Ringkasannya adalah:
1. Otonomi daerah merupakan bagian penting dari reformasi pemerintahan untuk mengembalikan kedaulatan kepada rakyat di tingkat daerah.
2. Proses desentralisasi harus melibatkan penguatan sistem legislatif dan yudikatif di daerah agar rakyat sebenarnya yang berdaya.
3. Pemberian otonomi daerah bertujuan untuk memperkuat
1. 1
TUGAS PKN OTONOMI DAERAH
SMPN 195 Duren sawit
ssn
Nama:Nidya khanzah
Kelas: 9F
2. 2
DAFTAR ISI
1.Maksud dan contoh otonomi daerah 3
2.OTONOMI DAERAH Sebagai LANDASAN KEMANDIRIAN DAERAH 4
3.pemisahan dan pembagian kekuasaan 9
4 .OTONOMI DAERAH Sebagai LANDASAN KEMANDIRIAN DAERAH 11
5. ParlemenIndonesia: MPR, DPR, DPRD, dan ‘DPD’ 16
6.Berita tentang otonomi daerah 18
3. 3
ARTI DARI OTONOMI DAERAH
asas ; dasar pemerintahuntukmemberi wewenang.
AsasOtonomi Daerahterbagi atas:
1. Desentralisasi :Penyerahanwewenangpemerintaholehpemerintahpusatkepadadaerahotonom
untukmengaturdan mengurusurusanpemerintahandalamsystemNKRI
2. Dekonsentrasi :Pelimpahanwewenangpemerintaholehpemerintahpusatkepadagubernursebagai
wakil pemerintahpusatdan/ataukepadainstansi vertical di wilayahtertentu.
3. Tugas perbantuan: Penugasandari pemerintahpusatkepadadaerahdan/ataudesa,dari pemerintah
provinsi kepadakabupaten/kotakepadadesauntukmelaksanakantugasperbantuan
CONTOH BERHASIL OTONOMI DAERAH
faktanya adalah sebagai berikut:
- Kebetulan saya dari Direktorat Pembangunan Daerah, jadi saya paham menyusun visi, misi,
dan menerapkannya.
- saya mengalihkan sejumlah program Dinas Pekerjaan Umum untuk dikerjakan langsung
masyarakat dan saya alihkan ke desa. Jumlah proyek jadi berkurang (program swadaya
masyarakat/ pastisipasif)
- Kita ingin program ini berkelanjutan. Saya juga ingin membuat satu sistem agar kepala daerah
yang akan datang juga berkeringat. Tidak seperti terima cek kosong. Salah satunya dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang lebih kualitatif. Jadi, ada guidance. Jangan
sampai percaturan orang menjadi kepala daerah karena jabatan semata.
4. 4
OTONOMI DAERAH Sebagai LANDASAN KEMANDIRIAN DAERAH
I. Pengantar
II.
Menurut pemahaman saya, masalah pokok yang perlu kita kaji dengan cermat
adalah pemberdayaan daerah secara keseluruhan untuk menopang kemandirian
dalam kebersamaan Negara Kesatuan RI. Proses desentraslisasi dan pemberian
otonomi daerah adalah proses yang tak terelakkan, imperatif harus dilaksanakan
bila kita tetap ingin mempertahankan kesatuan bangsa dan negara kita. Dalam
kerangka inilah saya melihat upaya pemberdayaan legislatif daerah baik sebagai
tonggak utama dari penegakan demokrasi maupun kemandirian daerah.
Proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah untuk memberdayakan daerah lahir
dari suatu paradigma pemerintahan era reformasi. Karena itu, seyogianya diletakkan
dalam kerangka pradigma baru itu. Untuk itu, sekilas saya akan mengelaborasi beberapa
cirri pokok dari paradigama baru pemerintahan bila dibandingkan dengan cirri-ciri pokok
paradigma lama pemerintahan.
Setelah jelas paradigma baru pemerintahan dimaksud barulah akan saya coba untuk
mengidentifisir beberapa butir permasalahan pokok yang perlu dicermati dan dicarikan
jalan-keluarnya. Upaya seperti ini perlu agar proses desentralisasi dan pemberian
otonomi daerah untuk memperkuat kemandirian daerah sebagai implikasi dari tekad
reformasi yang telah bergulir dalam dua tahun terakhir ini dapat dengan selamat
mencapai tujuannya tanpa terkooptasi oleh jaringan kepentingan lama yang telah
menelantarkan pemberdayaan daerah selama ini.
Saya berharap, dalam semangat reformasi dan juga dalam spirit ilmiah-kritis, saudara-
saudara jangan menelan begitu saja berbagai gagasan yang saya lontarkan. Aapa yang
saya paparkan ini bukan suatu pengarahan – suatu kosa-kata Orde Baru yang sangat
melecehkan kemampuan intelektualitas manusia kritis – tetapi sebaiknya saudara-saudara
bahas dan kaji lebih lanjut dalam Lokakarya Pemberdayaan Legislatif Daerah ini.
III. Paradigma Baru Pemerintahan
IV.
Seperti mungkin telah saudara-saudara ketahui bersama bahwa yang dinamakan
paradigama adalah suatu jendela bathin melalui mana kita melihat/mengamati dan
mengkaji kenyataan ( a paradigm is a mental window through which we observe
reality). Biasanya suatu paradima itu terdiri dari seperangkat asumsi dan
keyakinan-keyakinan dasar (a set of basic assumptions and beliefs) yang
membentuk bingkai/kerangka – seperti halnya sebuah jendela – yang digunakan
dalam suatu pengkajian tertentu.
5. 5
Karena itu, bila kita berbicara tentang paradigma pemerintahan maka sebetulnya kita
berbicara tentang seperangkat asumsi-asumsi dasar dan keyakinan yang membingkai baik
titik-tolak konseptual pemerintahan, sistem dan tata-organisasi pemerintahan, kebijakan
pemerintahan, serta program dan kegiatan pemerintahan. Marilah kita telaah apa saja
perbedaan-perbedaan pokok paradigama lama pemerintahan RI dengan paradigma baru
pemerintahan RI dalam mensikapi butir-butir pokok pemerintahan tersebut.
Marilah kita cermati keyakinan-keyakinan dasar titik-tolak konseptual pemerintahan dari
paradigma baru yang saya tawarkan. Menurut pendapat saya, keyakinan dasar paradigma
baru pemerintahan perlu diletakkan dalam kerangka reformasi. Dan keyakinan dasar
reformasi adalah perlunya pengembalian kedaulatan rakyat – yang selama Orde Baru
terampas dan tergenggam dalam tangan rejim – balik ke tangan rakyat lagi. Itu berarti,
berbagai keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dibuat dengan
sepengetahuan rakyat, dengan ke-ikut-sertaan rakyat dan dengan mekanisme pemantauan
dan evaluasi yang dibuat oleh rakyat. Keyakinan dasar ini kemudian diterjemahkan dalam
proses pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang calon-calon nya ditawarkan oleh
berbagai partai politik yang bersaing. Peran pro-aktif wakil rakyat kemudian dilengkapi
juga oleh pers, Ornop, insan kampus dan debat publik. Semua upaya itu adalah untuk
memberdayakan dan memantapkan fungsi kontrol yang sudah terlalu lama dimandulkan
oleh rejim Orde Baru yang lalu. Secara sistemik pemerintahan, ini berarti lembaga-
lembaga legislatif dan yudikatif seyogianya semakin berdaya pada saat berhadapan
dengan lembaga eksekutif. Karena itu dapat disimpulkan bahwa keyakinan dasar pertama
dari titik-tolak konseptual pemerintahan adalah pengembalian kedaulatan rakyat balik ke
rakyat sedangkan keyakinan dasar kedua adalah perlunya pemantapan sistem dan
mekanisme kontrol rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan baik dalam bidang
legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Kontrol yang efektif hanya dapat terwujud bila sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang selama ini tertutup dan cenderung menjadi ajang persekongkolan elit diupayakan
menjadi sistem yang terbuka (transparent). Dengan demikian keterbukaan (transparency)
adalah keyakinan dasar ketiga dari titik-tolak konseptual paradigma baru pemerintahan
yang saya ajukan.
Prasyarat lain agar secara efektif dapat melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan
adalah keadaan di mana rakyat telah berdaya untuk melakukan itu. Oleh sebab itu
keyakinan dasar keempat dari titik-tolak konseptual paradigma baru pemerintahan adalah
perlunya pemberdayaan rakyat (people empowerment) . Pemberdayaan rakyat ini perlu
diupayakan baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial maupun acuan kelembagaan
budaya mereka.
Pemberdayaan rakyat dalam semangat reformasi dan desentralisasi hanya secara efektif
dapat dilakukan di tingkat pergulatan akar-rumput. Oleh sebab itu, fokus lingkup upaya
pemberdayaan perlu sangat membumi di tingkat lokal. Go local adalah keyakian dasar
kelima dari titik-tolak konseptual paradigma baru pemerintahan.
6. 6
III. Implikasi Paradigma Baru Pemerintahan.
Implikasi dari keyakinan dasar yang pertama dan kedua tentang perlunya pengembalian
kedaulatan rakyat balik ke tangan rakyat lagi dan mendesaknya pemantapan kontrol
rakyat bagi paradigma baru pemerintahan adalah bahwa seyogianya pengembalian dan
pemantapan itu terwujud pada tingkat akar-rumput di daerah-daerah. Semakin dekat dan
terjangkau semua sistem dan mekanisme pemerintahan oleh rakyat jelata semakin dekat
kita pada pencapaian tujuan reformasi. Desentralisasi dan pemberian otonomi daerah
adalah langkah-langkah konkrit untuk mengfasilitasi pengembalian kedaulatan rakyat dan
pemantapan kontrol rakyat dimaksud tadi.
Oleh kartena itu proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah harus dipahami
dalam paket yang lengkap-komperhensif. Artinya, bukan hanya wewenang dan
kekuasaan eksekutif pusat saja yang harus diserahkan pada eksekutif daerah tetapi juga
seluruh sistem dan mekanismepemerintahan yang juga meliputi system legislative dan
yudikatif juga harus diperkuat di daerah-daerah. Karena itu, proses desentralisasi
kekuasaan eksekutif harus segera dibarengi dengan desentralisasi infra struktur
demokrasi di daerah. Infra struktur demokrasi di daerah itu terdiri dari : (1) partai politik
lokal (Local political parties); (2) Ornop local (Local NGOs); (3) pers local (Local press);
(4) universitas lokal (Local universities) dan polisi daerah (local police). Hanya bila
kelima unsur infra struktur demokrasi di daerah ini dapat diberdayakan barulah kita dapat
berharap kedaulatan rakyat benar-benar telah dikembalikan ke rakyat dan bukannya
hanya sekedar pengalihannya dari eksekutif nasional ke eksekutif lokal. Bila hal terakhir
ini yang terjadi maka proses reformasi dapat dikatakan gagal karena ia hanya dapat
melengserkan Soeharto tetapi pada giliran berikutnya ia justeru melahirkan banyak
Soeharto-Soeharto kecil di daerah-daerah.
Implikasi dari keyakinan dasar yang ketiga yang berkenaan dengan perlunya keterbukaan
(transparency) adalah bahwa rakyat melalui para wakilnya di DPR daerah dan juga
dengan bantuan dan sokongan dari pers lokal, Ornop lokal serta universitas lokal mampu
membuka ruang publik yang semakin merata diikuti oleh seluruh warga guna
mencermati, memantau dan menilai kinerja dari pemerintahan daerah. Makna hakiki dari
keterbukaan adalah terkuaknya kesempatan yang diatur secara kelembagaan bagi yang
diperintah (the ruled) untuk menilai yang memerintah (the Ruler).
Keempat, implikasi dari keyakinan dasar bahwa rakyat perlu diberdayakan (being
empowered) adalah bahwa perlu dilakukan : (1) pembukaan akses bagi rakyat ke
berbagai sumberdaya strategis yang ada di suatu daerah; (2) pemberian kesempatan bagi
rakyat lokal untuk turut memiliki sumberdaya strategis yang ada; dan, akhirnya (3)
dibukanya kesempatan bagi rakyat local untuk turut mengontrol sumberdaya-sumberdaya
strategis yang dimiliki daerah. Untuk dapat melakukan ini semua, pertama-tama perlu
7. 7
dilakukan identifikasi berbagai SDA yang dipunyai oleh suatu daerah. Hal ini dapat
dilakukan oleh universitas lokal dengan pengarahan dari Dewan Riset Daerah. Sesudah
semua SDA teridentifikasi maka pada tahap berikutnya barulah diputuskan suatu
kebijakan pengembangan SDM daerah yang relevan seiring dengan pengembangan
berbagai jaringan prasarana darat, laut dan udara yang menyokong eksploitasi SDA.
Secara perlahan-lahan diharapkan perangkat kelembagaan akan di/tercipta sesuai dengan
dinamika pertumbuhan.
Kelima, implikasi dari keyakinan dasar bahwa sekarang sudah tiba saatnya bagi kita
untuk Go Local adalah bahwa kita perlu mencermati kembali keterkaitan lokal dari
potensi SDA, SDM, prasara dan kelembagaan dalam suatu system jaringan. Sistem
jaringan ini seyogianya secara sinergik saling memperkuat baik secara vertical – dalam
alur produksi dan hirarkhi kelembagaan – maupun secara horizontal – dalam mobilitas
SDM dan barang serta jasa yang terpadu dan berdampak berantai secara
maksimal.Diharapkan dengan telah terkelompoknya (clustered) keempat hal itu dalam
satuan-satuan yang logis-realistik akan terbangunlah berbagai local networks yang secara
sambung-menyambung membentuk national network. Kuatnya tiap unit lokal akan
dengan sendirinya memperkuat unit nasional secara keseluruhan. Tiap unit ekonomi lokal
diharapkan akanmengembangkan komoditi unggulan daerah mereka masing-masing.
Dengan cara ini, kemandirian daeral/local tidak harus berarti keretakan nasional. Dan
dengan demikian prinsip kemandirian dalam kebersamaan dapat diwujudkan secara nyata
dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
IV. Kesimpulan
Dari paparan saya di atas terlihat jelas bahwa proses desentralisasi dan pemberian
otonomi kepada daerah adalah suatu implikasi logis dari proses reformasi yang secara
sungguh-sungguh bertekad untuk mnyerahkan kemabali kedaulalatan rakyat ke tangan
rakyat. Dengan proses ini diharapkan bahwa bukan saja kekuasaan dan wewenang
eksekutif pusat dilimpahkab kepada eksekutif daerah tetapi secara komperhensif
dilakukan pemberdayaan rakyat di daerah agar terbangun system dan mekanisme kontrol
yang efektif demi tertegaknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Bila pemberdayaan rakyat di daerah berhasil dilakukan maka kita telah membangun
landasan kemandirian yang kokoh bagi daerah bukan hanya sebagai unit politik tetapi
juga sebagai unit ekonomi yang saling terkait dengan daerah-daerah sekitarnya.
Kekokohan unit ekonomi local adalah landasan kekokohan unit ekonomi nasional. Bila
daya saing ekonomi lokal meningkat maka dengan sendirinya daya saing ekonomi
nasional juga turut meningkat. Dengan demikian kemandirian lokal tidak perlu
mengancam keutuhan nasional malah sebaliknya menjadi bongkah-utama (main building
blocks) dari kesatuan Negara RI.
8. 8
Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan
Sebagaimana umum diketahui bahwa dalam rangkademokratisasi dan pembatasan kekuasaan,
dikenal adanya prinsip pemisahan kekuasaan(separtation of power). Teori yang paling populer mengenai
soal ini adalahgagasan pemisahan kekuasaan negara (separation of power) yang dikembangkan
olehseorang sarjana Perancis bernama Montesquieu. Menurutnya, kekuasaan negaraharuslah dipisah-
pisahkan ke dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif danjudikatif. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan
dengan peran lembaga parlemenatau ‘legislature’, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah
danfungsi judikatif dengan lembaga peradilan.
Tetapi dalam praktek, teori Montesquieu inioleh sebagian sarjana dianggap utopis. Hal ini terbukti
karena kenyataan bahwatidak satupun negara di Eropah, dan bahkan Perancis sendiri yang
tidakmenerapkan teori itu seperti yang semula dibayangkan oleh Montesuieu. Oleh parasarjana, negara
yang dianggap paling mendekati ide Montesquieu itu hanyaAmerika Serikat yang memisahkan fungsi-
fungsi legislatif, eksekutif danjudikatif secara ketat dengan diimbangi mekanisme hubungan yang
salingmengendalikan secara seimbang Jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi ataugagasan kedaulatan
rakyat, maka dalam konsep pemisahan tersebut dikembangkanpandangan bahwa kedaulatan yang ada
di tangan rakyat dibagi-bagi dandipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan negara itu secara
bersamaan.Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap berada dalam keadaan seimbang,diatur pula
mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yangbiasa disebut dengan prinsip
‘checks and balances’.
Dalam perkembangannya, penerapan konseppemisahan kekuasaan itu meluas ke seluruh dunia
dan menjadi paradigmatersendiri dalam pemikiran mengenai susunan organisasi negara modern.
Bahkan,ketika UUD 1945 dulu dirancang dan dirumuskan, pemahaman mengenai paradigmapemikiran
Montesquieu ini juga diperdebatkan di antara para anggota BPUPKI. Mr.Soepomo termasuk tokoh sangat
meyakini bahwa UUD 1945 tidak perlu menganutajaran pemisahan kekuasaan menurut pandangan
Montesquieu itu. Itu sebabnya,dalam pemahaman banyak sarjana hukum kita, seringkali dikatakan
bahwa UUD 1945tidaklah menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of power),
melainkanmenganut ajaran pembagian kekuasaan (division of power). Ketika Muhammad
Yaminmengusulkan agar kepada Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk melakukan‘judicial
review’ terhadap materi UU, Seopomo menolak usulannya juga denganmenggunakan logika yang sama,
yaitu bahwa UUD 1945 tidak menganut ajaranpemisahan kekuasaan, sehingga MA tidak mungkin
diberikan kewenangan mengujimateri UU yang merupakan produk lembaga lain.
Sebenarnya, pemisahan kekuasaan dan pembagiankekuasaan itu sama-sama merupakan
konsep mengenai pemisahan kekuasaan(separation of power) yang, secara akademis, dapat dibedakan
antara pengertiansempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, konsep pemisahan
kekuasaan(separation of power) itu juga mencakup pengertian pembagian kekuasaan yangbiasa disebut
dengan istilah ‘division of power’ (‘distribution of power’). Pemisahankekuasaan merupakan konsep
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal,sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal.
Secara horizontal,kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang
dikaitkandengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, danjudikatif.
Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of poweratau division of power) kekuasaan
negara dibagikan secara vertikal dalamhubungan ‘atas-bawah’.
9. 9
Di lingkungan negara federal sepertiAmerika Serikat, istilah ‘distribution’ atau ‘division
of power’ itu biasadigunakan untuk menyebut mekanisme pembagian kekuasaan antara
pemerintahfederal dan negara bagian. Di negara yang berbentuk kesatuan (unitary
state),pengaturan mengenai pembagian kewenangan antara pusat dan daerah juga
disebut‘distribution of power’ atau ‘division of power’. Oleh karena itu, secaraakademis, konsep
pembagian kekuasaan itu memang dapat dibedakan secara jelasdari konsep pemisahan kekuasaan
dalam arti yang sempit tersebut. Keduanya tidakperlu dipertentangan satu sama lain, karena
menganut hal-hal yang memangberbeda satu sama lain.
Menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemendengan Perubahan Pertama, keseluruhan
aspek kekuasaan negara dianggap terjelmasecara penuh dalam peran Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sumber kekuasaannyaberasal dari rakyat yang berdaulat. Dari majelis inilah kekuasaan rakyat
itudibagikan secara vertikal ke dalam fungsi-fungsi 5 lembaga tinggi negara, yaitulembaga kepresidenan,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), BadanPemeriksa Keuangan (BPK), dan
Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Apabila kitamengkhususkan perhatian kepada fungsi-fungsi
legislatif, eksekutif, danjudikatif, maka di samping MPR, kita jugaperlu membahas keberadaan lembaga-
lembaga Presiden, DPR dan MA. Sementara itu,BPK lebih menyangkut fungsi ‘verifikatif/akuntatif’ yang
lebih dekat denganfungsi DPR, sedangkan DPA menyangkut fungsi ‘konsultatif’ dan ‘advisory’ yanglebih
dekat ke fungsi Presiden/Wakil Presiden.
Dalam rangka pembagian fungsilegislatif, eksekutif dan judikatif tersebut, sebelum
diadakan perubahanpertama terhadap UUD 1945, biasa dipahami bahwa hanya fungsi
kekuasaanjudikatif sajalah yang tegas ditentukan bersifat mandiri dan tidak dapat dicampurioleh
cabang kekuasaan lain[3]. Sedangkan Presiden, meskipun merupakan lembagaeksekutif, juga
ditentukan memiliki kekuasaan membentuk undang-undang[4],sehingga dapat dikatakan
memiliki fungsi legislatif dan sekaligus fungsieksekutif. Kenyataan inilah yang menyebabkan
munculnya kesimpulan bahwa UUD1945 tidak dapat disebut menganut ajaran pemisahan
kekuasaan (separation ofpower) seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu. Oleh karena itu, di
masareformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih membatasi kekuasaan Presidendengan
menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsilegislatif dan eksekutif itu.
Fungsi legislatif dikaitkan dengan fungsiparlemen, sedangkan Presiden hanya memiliki fungsi
eksekutif saja. Pokokpikiran demikian inilah yang mempengaruhi jalan pikiran para anggota
MPR, sehingga diadakan Perubahan Pertama UUD 1945 yangmempertegas kekuasaan DPR di bidang
legislatif dengan mengubah rumusan Pasal 5ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya
perubahan itu, berartifungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif telah dipisahkan secarategas,
sehingga UUD 1945 tidak dapat lagi dikatakan tidak menganut ajaranpemisahan kekuasaan dalam arti
horizontal.
10. 10
Di pihak lain, cabang kekuasaan kehakiman yangberdasarkan ketentuan UUD 1945 memang
ditentukan harus mandiri, makindipertegas agar benar-benar terbebas dari pengaruh Pemerintah.
Untukmempertegas hal ini, Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunansebagai Haluan Negara telah menentukan bahwa untuk mewujudkan peradilan
yangindependen, bersih dan professional dengan memisahkan secara tegas antarafungsi judikatif dan
eksekutif. Atas amanat Ketetapan inilah kemudianPemerintah mengajukan Rancangan UU yang akhirnya
disetujui oleh DPR-RI menjadiUU No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1970
tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan berlakunya UU No.35/1999inilah dualisme pembinaan peradilan yang menjadi
keluhan banyak ahli hukumdihentikan dan pembinaan peradilan dikembangkan menjadi 1 atap di
bawahMahkamah Agung[5]. Selama masa, baik Orde Lama maupun Orde Baru,
praktekpenerapan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman itu, harus diakui belumpernah
memperoleh momentum untuk dipraktekkan dengan sungguh-sungguh dengantetap
memperhatikan keragaman sistem hukum yang berlaku[6]. Sekarang, setelahreformasi, barulah
kesempatan itu terbuka. Oleh karena itu, di masa-masamendatang bangsa kita memiliki segala
peluang yang terbuka untuk menerapkanprinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
judikatif secara tegas.
Dengan dilakukannya perubahan tersebut, makadapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan
mekanisme hubungan antara lembagatinggi negara di tingkat pusat, UUD 1945 telah resmi menganut
kedua ajaranpemisahan kekuasaan (separation of power) dan ajaran pembagian kekuasaan(distribution
of power) sekaligus. UUD 1945 menganut ajaran pembagian kekuasaankarena masih membertahankan
keberadaan MPRsebagai lembaga tertinggi negara, penjelmaan kedaulatan rakyat. Sedangkanajaran
pemisahan kekuasaan dianut karena ketiga cabang kekuasaan legislatif,eksekutif, dan judikatif telah
dipisahkan secara tegas. Namun, bersamaan denganitu, konsep pembagian kekuasaan secara vertikal
dalam hubungan antarapemerintahan pusat dan pemerintahan daerah juga dianut oleh UUD 1945. Apa
yangdirumuskan dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta Penjelasannya apabila dibandingkandengan
perdebatan dalam BPUPKI berkenaan dengan pilihan bentuk negara federal(bondsstaat) atau negara
kesatuan (eenheidsstaat atau unitary state), yaitubahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia akan
tersusun atas daerah-daerah yangbersifat desentralistis dan otonom, merupakan pilihan yang paling
rasional bagibangsa yang sangat majemuk ini. Akan tetapi, pada masa pemerintahan PresidenSoekarno
negara kita baru berada dalam tahap ‘konsolidasi politik’, sedangkandi masa pemerintahan Presiden
Soeharto kita berada dalam tahap ‘konsolidasiekonomi’. Dalam kedua tahap itu, praktek yang terjadi
justeru berkembang kearah sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan, bukan desentralisasi dan
otonomidaerah.Pada akhir masa pemerintahan Presiden Soehartomemang sudah mulai diupayakan
mengembangkan kebijakan otonomi daerah yang luasdan bertanggungjawab. Akan tetapi, implementasi
dan operasionalisasinya masihbelum didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang
kokoh, disamping masih sangat tipisnya kesadaran aparatur pemerintahan sendiri, terutamadi tingkat
pusat, untuk sungguh-sungguh mewujudkan kebijakan otonomi daerahitu. Akan tetapi, pada era
reformasi, berbagai perangkat peraturanperundang-undangan mengenai hal ini telah ditetapkan. Yang
utama adalah UUNo.22/1999 dan UU No.25/1999, yang telah dikukuhkan pula materi pokoknya
dalamnaskah Perubahan UUD 1945 beserta Ketetapan MPRyang khusus berkenaan dengan kebijakan
penyelenggaraan otonomi daerah ini. Denganditerapkannya kebijakan otonomi daerah yang dituangkan
dalam UU, dan dikukuhkandalam TAP MPR dan bahkan dalam UUD, makapembagian kekuasaan
(distribution atau division of power) antara pusat dandaerah dewasa ini makin dipertegas.
11. 11
Beberapa Prinsip Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkandasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis
nasional yang diikutidengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun,
perumusankebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukantahap demi
tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertaipula oleh gemlobang tuntutan
ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerahmengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang
dirasakan tidak adil, makatidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan
kebijakanotonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan diatas
landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.
Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telahdiperbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem
pemerintahan kitatelah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah
untukmenyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah
menekankanpentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat,
danpemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan
denganpotensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah inidianggap
sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional,regional, dan internasional di
berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaanterus meningkat dan mengharuskan
diselenggarakannya otonomi daerah yang luas,nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara
proporsional. Pelaksanaanotonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatansumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,
sesuaiprinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan,serta potensi
dan keanekaragaman antar daerah.
Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah danpemerintahan daerah ini, telah dituangkan
dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25
Tahun 1999 tentangPerimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
ditetapkannyakedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumknya
dandianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidakberlaku lagi. Undang-
Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UUNo. 5 Tahun 1974 tentang Pokok -Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran NegaraTahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun
1974 No.3037), UU No.5Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN
Tahun 1979No.3153), dan UU No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negaradengan
Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun1956 No.77 dan TLN
Tahun 1956 No.1442).
Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu,dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah
pula ditetapkanKetetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran
OtonomiDaerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu
harusdilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan daridaerah-daerah-
12. 12
daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harusterlebih dulu menunggu petunjuk
dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah ini telah
dikukuhkan pula dalam materiperubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-
undanganyang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsipdasar yang
dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagaikemungkinan yang akan terjadi
di daerah, terutama dalam hubungannya dengankegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya
roda kegiatan ekonomi dalammasyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan
sebagaiberikut.
1. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan IntegrasiNasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerahdilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama initersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses
desentralisasi itu,kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan
daerahsebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat kedaerah kabupaten
dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula aruskekuasaan pemerintahan bergerak
dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkanbahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi
daerah itu, arus dinamika kekuasaanakan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenanganini dinilai sangat penting terutama untuk
menjamin agar proses integrasinasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem
yangberlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurangketidakadilan struktural
yang tercipta dalam hubungan antara pusat dandaerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan
diperlakukan tidak adil yang munculdi berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus
meningkatyang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, makakebijakan otonomi
daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yangsecepat-cepatnya sesuai dengan tingkat
kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
PenyelenggaraanOtonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerahtidak perlu
menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untukmenyelenggarakan otonomi daerah itu
sebagaimana mestinya. Sebelumdikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat,
pemerintahan daerah dapatmenentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang
bersangkutan melaluipenetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud
ditetapkan,barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedaruntuk
itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dandesentralisasi kewenangan tidak hanya
menyangkut pengalihan kewenangan dariatas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan
atas dasarkeprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahandaerah
sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomidaerah itu. Dalam kultur
masyarakat kita yang paternalistik, kebijakandesentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil
apabila tidakdibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandiriandaerah
sendiri.
13. 13
2. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahamisebagai kebijakan yang bersifat institutional
belaka yang hanya dikaitkandengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu,
yangmenjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkatpusat ke tingkat
daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnyaberkaitan pula dengan gelombang
demokratisasi yang berkembang luas dalamkehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangkarestrukturisasi manajemen pemerintahan,
kebijakan otonomi daerah itudikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika
kebijakandesentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, makakebijakan
dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenanganbirokrasi pemerintahan
secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasikekuasaan dan berperan sangat penting dalam
rangka menciptakan iklim kekuasaanyang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itutidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda
pengalihan kewenangan dariPemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut
pengalihankewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihatsebagai esensi
pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yangsesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi
masyarakat di daerah-daerah yangdiharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan
kemandiriannyadalam iklim demokrasi dewasa ini.
Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengidengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan
masyarakat di daerah-daerahsesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang
menindasseperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap munculdalam
hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkankehawatiran bahwa sistem
otonomi pemerintahan daerah itu justru dapatmenimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh
Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalamwaktu
singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besaryang dalam waktu singkat
belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya.Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan
dalil Lord Acton bahwa ‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul
kehawatiran bahwaiklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi sertapraktek-
praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernahterjadi di tingkat pusatn justru
ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan didaerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu,
otonomi daerahharuslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat
didaerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.
4. Otonomi dan ‘Federal Arrangement’
14. 14
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah, terkandung semangat perubahan
yang sangat mendasar berkenaan dengankonsep pemerintahan Republik Indonesia yangbersifat
federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa organisasi pemerintahanRepublik Indonesia berbentuk Negara
Kesatuan(unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan
daerahdiatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalamsistem
federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power)berada di daerah atau bagian,
sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary),kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada
di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang
mencakup urusanhubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
danurusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya)justru
ditentukan berada di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945,yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan:
“Pemerintah pusat memberikan otonomi yangluas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan
pemerintahan masing-masing,kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan,
keamanan,peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yangdiatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yangdimiliki daerah”. Hanya saja
perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah PerubahanUUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’
otonomi yang luas kepadadaerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.22 Tahun 1999
tertulis‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945digunakan koma,
yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmanakedua hal ini dapat dinilai mencerminkan
kekurangcermatan para anggota BadanPekerja MPR dalam perumusan redaksi, ataumemang hal itu
dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangandaerah dalam rangka
kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintahpusat kepada daerah[7], dan bahwa
pengertian pertahanan dan keamanan yangberdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR tentangPemisahan
TNI dan POLRI No. VI/MPR/2000 memangtelah dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan
yang berbeda, yaituantara peran tentara dan kepolisian[8].
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubunganantara pusat dan daerah tidak lagi bersifat
hirarkis. Bupati bukan lagi bawahanGubernur, dan hubungan antara daerah propinsi dan daerah
kabupaten serta kota tidak lagi bersifat subordinatif, melalinkan hanyakoordinatif. Elemen hubungan
kekuasaan yang bersifat horizontal ini danditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di
daerahkabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal. Karena itu, dapatdikatakan bahwa
meskipun struktur organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kitajuga
mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federalarrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baikdi pusat maupun di daerah-daerah sudah
seharusnya menyadari hal ini, sehinggapelaksanaan otonomi daerah perlu segera diwujudkan tanpa
keraguan. Pihak-pihakyang bersikap skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula
lainsehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya jugamenyadari adanya
pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanyadengan keyakinan kolektif bangsa kita
mengenai besarnya skala perubahanstruktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen
peraturanperundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi
15. 15
penuhmenyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasipenuh itu
pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini,sehingga dapat terhindar dari
malapetaka yang jauh lebih buruk berupadisintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu
dalam wadah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
5. Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakuppula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita
tentang ‘negara’ yang secaratradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan
umum.Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayajangkau
kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secaraakademis, organ yang berada di
bawah struktur organisasi kecamatan dapatdianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa
dapat disebut sebagai‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu,
padapokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-normahukum adat yang
hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaranpolitik masyarakat desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahannegara tidak dapat menjangkau atau turut campur
dalam urusan pemerintahan desa.Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa
mereka sertamengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat.Tidak
perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantaraseperti yang dipraktekkan
selama ini. Prinsip ‘self governing community’ inisejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern
dalam hubungan antara ‘stateand civil society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat
madani.
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak sajamasyarakat desa dikembangkan sebagai
‘self governing communities’, tetapiketerlibatan fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum
dalam dinamikakegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanyafungs i-
fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yangtetap harus dipertahankan wilayah
yang berada dalam daya jangkau kekuasaannegara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan
dan dapat tumbuhberkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk
menjadibagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadiurusan masyarakat perlu dilakukan dengan
cermat dan hati-hati. Pelepasan urusandimaksudkan untuk mendorong kemandirian dan keprakarsaan
masyarakat sendiri,bukan dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah
karenadidasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkanketidakmampuan
pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankankepadanya. Pelepasan urusan juga tidak
boleh dilakukan tiba-tiba tanpaperencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada
gilirannyajustru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sektormasyarakat secara
keseluruhan.
16. 16
Parlemen Indonesia: MPR, DPR, DPRD, dan ‘DPD’
‘Parlemen’ asal katanya dari perkataan bahasaPerancis, ‘parle’ yang berarti ‘to speak’ (berbicara).
Fungsi utamanya adalahuntuk mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Dalam sejarah
Eropah,lembaga ini dapat dikatakan baru terbentuk setelah terjadinya gelombangreformasi pasca
revolusi yang menuntut pembatasan terhadap kekuasaan raja yangotoritarian, dzalim dan dirasakan
sangat menindas kepentingan rakyat banyak.Revolusi di Perancis, di Inggeris, dan di beberapa kerajaan
lainnya di Eropahseperti Jerman, Belanda, dan sebagainya, memperlihatkan gejala yang sama,
yaitusebagai hasil perjuangan rakyat yang menentang kekuasaan para Raja, dibentuklahmekanisme
kelembagaan perwakilan rakyat yang disepakati dapat ikut menentukankeputusan-keputusan pemerintah
yang menyangkut kepentingan rakyat banyak danaktif mengawasi atau mengendalikan pelaksanaan
keputusan-keputusan itu.
Lembaga ini dinamakan parlemen dengan keanggotaan yangbersifat perwakilan yang dipilih atau
ditentukan sendiri oleh rakyat. Sebelummasa revolusi itu, lembaga semacam ini memang sudah ada.
Tetapi tugas utamanyalebih tetap disebut sebagai lembaga penasehat, dan keanggotaannya
ditentukansendiri oleh raja. Di Belanda, misalnya, lembaga seperti itu pada awalnyabernama ‘Raad van
Staat’ atau Dewan Negara. Akan tetapi, setelah masa revolusiyang antara lain menghasilkan
pembentukan lembaga-lembaga perwakilan rakyat diberbagai negara, fungsi lembaga penasehat itu
menjadi berkurang, dan perannyadigantikan oleh lembaga perwakilan yang kemudian dikenal sebagai
parlemen. Peranyang paling strategis diambil oleh lembaga parlemen itu pada umumnya adalahfungsi
pengaturan dan fungsi pengawasan. Setelah berkembangnya teori‘separation of power’, fungsi
pengaturan itulah yang biasa dinamakan fungsilegislasi (regeling functie atau regulative function).
Setelah dibuat aturan,maka atas dasar dan pedoman aturan itulah pemerintah diharapkan bekerja.
Akantetapi, jalannya pelaksanaan aturan itu di lapangan, tetap harus diawasi ataudikontrol oleh lembaga
parlemen itu. Dengan demikian, kedua fungsi legislasidan pengawasan itu berkaitan erat satu sama lain.
Pengertian parlemen itu di Indonesia dapat dikaitkan dengan keberadaanlembaga MPR, DPR,
dan DPRD. Bahkan, dewasasebagaimana terlihat dalam draf rancangan Perubahan UUD 1945,
direncanakan pulanantinya akan dibentuk Dewan Perwakilan Daerah yang bersama-sama DPR
akanmenjadikan parlemen kita terdiri atas dua lembaga (kamar) atau yang biasadisebut parlemen
bikameral. Jika DPD itu nantinya terbentuk, maka kedudukan MPR akan berubah tidak lagi sebagai
lembaga tertingginegara. Jika MPR masih akan dipertahankan,paling-paling ia berubah menjadi
forum saja, yaitu forum tertinggi yangmerupakan rapat gabungan antara DPR dan DPD untuk
memutuskan mengenai hal-halyang tertentu saja, seperti untuk menetapkan perubahan UUD.
Namun, sebelum DPDitu terbentuk, kita masih memiliki MPRsebagai lembaga tertinggi.
Pada pokoknya, MPR itu juga merupakan bagian dari pengertian kita tentang parlemen.Apalagi,
keanggotaannya terdiri atas anggota DPR ditambah Utusan Golongan danUtusan Daerah yang nantinya
akan menjadi lembaga tersendiri, yaitu DPD itu. MPR mempunyai fungsi untuk mengatur, tetapi
17. 17
terbataspada hal-hal yang pokok dan mendasar, yang selama ini disepakati hanya dalambentuk UUD,
Perubahan UUD, ataupun dalam bentuk Ketetapan MPR yang dianggap sebagai dokumen hukum
tersendiri dibawah UUD. Mengenai keberadaan TAP MPRsebagai dokumen hukum secara akademis
juga sering dipersoalkan. Sebabnya ialahkarena di mana-mana di seluruh dunia struktur perundang-
undangan negara modernselalu berpuncak pada naskah UUD dan di bawahnya selalu berbentuk UU
sebagaiproduk yang dengan tingkat keterlibatannya sendiri-sendiri melibatkan peranparlemen bersama
pemerintah dengan tingkat keterlibatannya sendiri-sendiri yangdiatur secara berbeda-beda antara satu
negara dengan negara lain. Akan tetapi,selama MPR masih difungsikan seperti sekarangtidak dapat
dihindarkan bahwa Ketetapan MPRitu harus diterima kedudukannya sebagai dokumen hukum tertinggi
di bawah UUD. Inilahperbedaan antara pengertian hukum teoritis dengan hukum positif. Dari segiteori,
bisa saja seorang ilmuwan hukum berpendapat bahwa kedudukan TAP MPR itu bermasalah, tetapi
dalam rangka praktekpenyelenggaraan negara, TAP MPR itumerupakan hukum positif yang berlaku, kini
dan disini.
Selain fungsinya untuk mengatur atau menetapkan aturan untukkepentingan umum, MPR kita juga
mempunyai fungsiperwakilan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta fungsi
peradilanjika Presiden dinilai melanggar haluan penyelenggaraan negara. Untukmelaksanakan
fungsinya itu, MPRmenyelenggarakan kegiatan persidangan. Yang rutin lima tahunan disebut Sidang
Umum, sedangkan yang dapatdiadakan sewaktu-waktu di luar agenda rutin disebut Sidang Istimewa.
Tetapi,mulai sejak Sidang Tahunan MPR tahun 2000ini, timbul kecenderungan untuk meruntinkan fungsi
MPR dalam bentuk penyelenggaraan persidangan yangdisebut Sidang Tahunan. Selain itu, MPRjuga
menambah sendiri tugas dan kewenangannya dengan meminta laporanpelaksanaan tugas kepada setiap
lembaga tinggi negara disampaikan dalampersidangan MPR. Di samping itu, meskipun masihdalam
tahap perdebatan, MPR berusaha mengambil kewenangan yangseharusnya diberikan kepada
Mahkamah Agung, yaitu dalam menguji materi UU(judicial review) terhadap UUD. Dengan
tambahan-tambahan itu sangat mungkin MPR makin berkembang menjadi lembaga rutin, padahal
padasisi yang lain, kedudukan dan perannya sebagai lembaga tertinggi akan mengalamiperubahan
menjadi sekedar forum, terutama jika dikaitkan dengan penerapan idepemilihan Presiden secara
langsung dan pembentukan struktur parlemen menjadidua kamar DPR dan DPD.
Di samping MPR,sekarang kita mempunyai lembaga DPR yang merupakan lembaga parlemen
dalam artiyang sesungguhnya. Kedudukannya sederajat dengan Presiden atau Pemerintahdengan
keanggotaan yang sepenuhnya dipilih melalui pemilihan umum yangdiselenggarakan secara adil dan
jujur berdasarkan prinsip-prinsip yanglangsung, umum, bebas, dan rahasia. DPR inilah yang secara rutin
menjalankanfungsi pengawasan dan fungsi legislasi dalam arti yang sebenarnya. Instrumenyang dipakai
untuk menjalankan kedua fungsi itu ada dua, yaitu instrumenperaturan perundang-undangan, dan
instrumen anggaran pendapatan dan belanjanegara. Karena pentingnya anggaran itu, bahkan sering
dikatakan bahwa DPRmempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi anggaran.
Untuk melaksanakan fungsi pengawasan, lembagaDPR dilengkapi dengan hak untuk meminta
keterangan (interpelasi), hak untukmenyelidiki (enquette), hak pernyataan pendapat (resolusi), hak
untukmemperingatkan tertulis (memorandum), dan bahkan hak untuk menuntut
pertanggungjawaban(impeachment). Dalam sistem pemerintahan parlementer, ada pula istilah mosiyang
biasanya dikaitkan dengan fungsi pemberian dukungan (mosi dukungan) danpernyataan
ketidakpercayaan (mosi tidak percaya) yang dapat menjatuhkankabinet. Dalam pelaksanaan fungsi
legislasi, DPR mempunyai hak/kewajibanmengajukan rancangan undang-undang, hak amandemen atau
hak untuk mengubahsetiap rancangan UU yang diajukan oleh pemerintah. Bahkan, DPR juga
18. 18
berhakmenolak sama sekali rancangan UU yang diajukan oleh Pemerintah. Sedangkan
dalamhubungannya dengan fungsi anggaran, DPR berhak mengajukan RAPBN, dan berhakmengubah
dengan mengurangi ataupun menambah anggaran dari apa yang diajukanoleh pemerintah.
Selain hak DPR sebagai lembaga, setiap anggota DPR juga berhakuntuk mengajukan pertanyaan, hak
mengambil inisiatif untuk pelaksanaan hak-hakDPR tersebut di atas, dan juga hak keuangan dan hak
administratif lainnya sertahak imunitas atau kekebalan hukum yang membedakannya dari warganegara
biasasesuai ketentuan hukum yang berlaku. Di samping itu, DPR juga diberi hak untukturut serta dalam
kegiatan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yaitu untukturut menentukan mengenai
pengangkatan orang dalam sesuatu jabatan tertentu. Ada pejabat yang harus diajukan pencalonannya
oleh DPR(candidature), ada pengangkatannya harus mendapat persetujuan DPR (approval),dan ada
pula yang pengangkatannya cukup mendapat pertimbangan DPR(confirmation). Hak-hak yang terakhir ini
sebenarnya tidak terkait denganfungsi pengawasan, fungsi legislasi, dan fungsi anggaran seperti
dikemukakan diatas, Akan tetapi, hak-hak untuk menyarankan, menganjurkan ataupun
untukmengkonfirmasikan dan menyetujui seseorang itu dapat dikaitkan dengan fungsitambahan DPR
yang bersifat ‘co-administration’.
19. 19
Dairi Peringatan Hari Otonomi Daerah
SIDIKALANG (Berita): Peringatan Hari Otonomi Daerah ke XIV di Dairi berjalan hikmat dan
sederhana Senin (26/4) dilaksanakan di Halaman Kantor Bupati bertindak sebagai Inspektur
Upacara Bupati Dairi KRA Johnny Sitohang Adinegoro. Upacara tersebut diikuti Akper Dairi
sebagai paduan suara, PNS, Ketua DPRD Dairi Delphi Masdiana Ujung, SH,Msi, AnggotaDPRD
dan Muspida plus.
Pidato Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dibacakan Bupati Dairi KRA Johnny Sitohang
Adinegoro mengatakan dalam perjalanan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika politik, ekonomi dan social yang terjadi.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia mengalami perkembangan sejak
diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 telaj disempurnakan melalui Undang-
Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Otonomi daerah pada dasarnya mempunyai dua tujuan utama yaitu tujuan demokrasi dan tujuan
kesejahteraan. Tujuan demokrasi memposisikan pemerintahan daerah sebagai instrument
pendidikan politik di tingkat local yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan
politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya masyarakat madani atau civil society.
Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk menyediakan pelayanan public
bagi masyarakat local secara efektif, efisien dan ekonomis.
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan public guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sarana politik ditingkat local.
Sejak tahun 1999 sampai saat ini telah terbentuk 205 daerah otonom baru yang terdiri dari 7
provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota,sehingga jumlah daerah otonom sampai dengan tahun 2009
adalah 524 yang terdiri dari 33 provonsi dan 398 kabupaten, 93 kota, 5 kota administratif dan
satu kabupaten administratif.
Melihat kondisi dan semangat pemekaran daerah yang sangat fenomenal tersebut,pemerintah
melakukan kebijakan moratorium pemekaran sampai diselesaikannya evaluasi menyeluruh
terhadap 205 daerah otonom baru .Dan,tersusunnya Grand Strategi /Desain Besar Penataan
Daerah (GSPD),sebagai acuan dalam rangka penataan daerah kedepan hingga tahun 2025 dan
diharapkan selesai disusun pada bulan Juni 2010.
KESIMPULAN
Olehkarenaitupenyelengaraanpemerintahdaerahharusmengikuti norma,standar,prosedurdan
criteria(NSPK) yangditentukanolehpemerintah.Penyerahanurusanpemerintahanyangsebagianbesar
diberikankepadapemerintahkabupaten/kota.Menuntut pemerintahuntukmemastikanbahwa
kabupaten/kotamengaturdanmengurusurusantersebutsesuaidenganNSPK.