1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak reproduksi adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun
perempuan untuk memutuskan mengenai jumlah anak, jarak antara
anak-anak, serta menentukan waktu dan tempat kelahiran anak. Hak
reproduksi ini berdasarkan pada pengakuan akan HAM yang diakui
di dunia internasional.
Hak reproduksi perempuan merupakan hak yang timbul karena
memiliki fungsi reproduksi yang diberikan Tuhan, sehingga hak itu
harus dijamin. Perempuan dijaga dari penyakit menular seksual
dengan memberikan pengetahuan kesehatan dan pengobatan yang
cukup. Perempuan harus dilindungi dari kemungkinan terjadinya
kehamilan yang tidak diinginkan agar tidak menimbulkan
pengguguran yang membahayakan jiwa dan kesehatan
reproduksinya.
Kematian ibu masih merupakan masalah di negara berkembang
termasuk Indonesia. Penyebab buruknya kesehatan reproduksi di
Indonesia antara lain sosioekonomi dan pendidikan yang rendah,
budaya yang tidak mendukung, khususnya yang berkaitan dengan
ketidaksetaraan gender. Misalnya hubungan peran sosial laki-laki
dan peran sosial perempuan dalam suatu masyarakat memengaruhi
usia perkawinan dan pengendalian kelahiran yang pada gilirannya
memengaruhi kesehatan reproduksi perempuan. Keberhasilan dapat
dicapai secara maksimal bila semua faktor penyebab diperbaiki,
tetapi hal ini tidak mungkin dilaksanakan jika faktor budaya yang
berbasis gender sulit diubah.
Gender adalah peran dan kedudukan seseorang yang
dikonstruksikan oleh budaya karena seseorang lahir sebagai
perempuan atau lahir sebagai laki-laki. Sudah menjadi pemahaman
bahwa laki-laki itu akan menjadi kepala keluarga, pencari nafkah,
2. 2
menjadi orang yang menentukan bagi perempuan. Seseorang yang
lahir sebagai perempuan, akan menjadi ibu rumah tangga, sebagai
istri, sebagai orang yang dilindungi, orang yang lemah, irasional, dan
emosional.
Meskipun di hampir setiap budaya, ibu adalah sebuah peran
yang sangat dihormati. Perhatian akan kesehatan perempuan
kurang. Masih ada kebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan
perempuan secara umum, maupun kesehatan reproduksinya.
Ketidaksetaraan dalam aspek pendidikan, pekerjaan, pengambilan
keputusan, dan sumber daya merupakan pelanggaran pasal 48, 49,
ayat (1 dan 2) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pada masa sekarang ini tanggung jawab kesehatan reproduksi
wanita bukan saja berada pada isteri, namun melibatkan peran
suami. Banyak kendala yang dihadapi baik faktor sosial maupun
budaya, terutama yang berkaitan dengan kehidupan jender.
Prespektif baru dalam kesehatan reproduksi adalah keikutsertaan
pria atau suami dalam kesehatan reproduksi wanita. Selain itu
sejalan dengan perubahan sosial budaya membawa perubahan
orientasi peran suami dan isteri. Oleh karena masalah kesehatan
reproduksi perempuan sudah merupakan tanggungjawab bersama
antara suami dan istri maka sangat diperlukan pemahaman dan
pengaruh yang seimbang antara suami dan istri untuk dapat
membantu perilaku kesehatan reproduksi secara optimal melalui
komunikasi dan layanan suami istri.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian kesehatan reproduksi?
1.2.2 Apa pengertian gender?
1.2.3 Apa perbedaan gender dan seks?
1.2.4 Bagaimana isu gender dalam kesehatan reproduksi?
1.2.5 Bagaimana penanganan isu gender dalam kesehatan
reproduksi?
3. 3
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan pengertian kesehatan reproduksi.
1.3.2 Menjelaskan pengertian gender.
1.3.3 Menjelaskan perbedaan gender dan seks.
1.3.4 Menjelaskan isu-isu gender dalam kesehatan reproduksi.
1.3.5 Menjelaskan cara isu gender dalam kesehatan reproduksi.
4. 4
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Definisi Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi adalah suatu keadaan sehat fisik, mental
dan sosial budaya yang utuh (bukan hanya bebas dari penyakit atau
cacat saja) dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem,
fungsi dan proses reproduksi (ICPD1994).
Kesehatan reproduksi juga dapat diartikan sebagain suatu
keadaan kesejahteraan fisik mental dan sosial yang utuh,bukan
bebas dari penyakit atau kecacatan.Dalam segala aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi,fungsi serta
prosesnya. (WHO ,1992 )/UU 36 /2009 PASAL 71 ayat 2.
Sedangkan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN, 1996) yang dimaksud dengan kesehatan
reproduksi adalah suatu keadaan sehat mental, fisik dan
kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan
dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya
kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan serta dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, spiritual memiliki hubungan yang serasi selaras
seimbang antara anggota keluarga, masyarakat dan lingkungan
(Pinem. S, 2009).
2.2 Definisi Gender
Istilah gender diambil dari kata dalam bahasa Arab “Jinsiyyun”
yang kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi
“gender” (Faqih, 1999). Gender diartikan sebagai perbedaan peran
dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara
sosial. Gender berhubungan dengan bagaimana persepsi dan
pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan
5. 5
laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan
biologis. Peran gender dibentuk secara sosial, institusi sosial
memainkan peranan penting dalam pembentukkan peran gender dan
hubungan.
Menurut WHO (1998), gender merupakan peran sosial di mana
peran laki-laki dan perempuan ditentukan perbedaan fungsi,
perbedaan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil
konstruksi sosial yang dapat berubah atau diubah sesuai perubahan
zaman peran dan kedudukan sesorang yang dikonstrusikan oleh
masyarakat. dan budayanya karena sesorang lahir sebagai laki-laki
atau perempuan.
2.3 Peran Gender
Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh
perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu,
pembagian peranan antara pria dengan wanita dapat berbeda di
antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai
dengan lingkungan. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke
masa, karena pengaruh kemajuan : pendidikan, teknologi, ekonomi,
dan lain-lain. Hal itu berarti, peran jender dapat ditukarkan antara
pria dengan wanita (Agung Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi Wanita
Universitas Udayana, 2003).
Beberapa status dan peran yang dicap cocok atau pantas oleh
masyarakat untuk pria dan wanita sebagai berikut:
Perempuan:
1. ibu rumah tangga.
2. bukan pewaris.
3. tenaga kerja domestik (urusan rumah tangga).
4. pramugari.
Pria:
1. kepala keluarga/ rumah tangga.
2. pewaris.
6. 6
3. tenaga kerja publik (pencari nafkah).
4. pilot.
5. pencangkul lahan.
Dalam kenyataannya, ada pria yang mengambil pekerjaan
urusan rumah tangga, dan ada pula wanita sebagai pencari nafkah
utama dalam rumah tangga mereka, sebagai pilot, pencangkul lahan
dan lain-lain. Dengan kata-kata lain, peran gender tidak statis, tetapi
dinamis (dapat berubah atau diubah, sesuai dengan perkembangan
situasi dan kondisi).
Berkaitan dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran gender
sebagai berikut.
1. Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang,
menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik
untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini
sering pula disebut dengan peran di sektor publik.
2. Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang
untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber
daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti
mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat
rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain.
Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik.
3. Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang
untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan,
seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan
yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara
Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas
Udayana, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran
kodrati bersifat statis, sedangkan peran gender bersifat dinamis. Hal
ini dapat dicontohkan sebagai berikut:
7. 7
Peran Kodrati
Wanita:
1. Menstruasi
2. Mengandung
3. Melahirkan
4. Menyusui dengan air susu ibu
5. Menopause
Pria:
Membuahi sel telur wanita
Peran Gender
1. Mencari nafkah.
2. Memasak.
3. Mengasuh anak.
4. Mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga.
5. Tolong-menolong antar tetangga dan gotong-royong dalam
menyelesaikan pekerjaan milik bersama.
6. Dan lain-lain.
2.4 Definisi Seksualitas
a. Seksualitas/jenis kelamin adalah karakteristik biologis-anatomis
(khususnya sistem reproduksi dan hormonal) diikuti dengan
karakteristik fisiologis tubuh yang menentukan seseorang adalah
laki-laki atau perempuan (Depkes RI, 2002:2).
b. Seksualitas/Jenis Kelamin (seks) adalah perbedaan fisik biologis
yang mudah dilihat melalui ciri fisik primer dan secara sekunder
yang ada pada kaum laki-laki dan perempuan (Badan
Pemberdayaan Masyarakat, 2003)
c. Seksualitas/Jenis Kelamin adalah pembagian jenis kelamin yang
ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu
(Handayani, 2002 :4)
8. 8
d. Seks adalah karakteritik genetik/fisiologis atau biologis
seseorang yang menunjukkan apakah dia seorang perempuan
atau laki-laki (WHO, 1998)
2.5 Perbedaan Gender dan Seksualitas
Menurut Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perbedaan antara
Gender dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Gender
Tidak dapat berubah, contohnya alat
kelamin laki-laki dan perempuan
Dapat berubah, contohnya peran
dalam kegiatan sehari-hari, seperti
banyak perempuan menjadi juru
masak jika dirumah, tetapi jika di
restoran juru masak lebih banyak
laki-laki.
Tidak dapat dipertukarkan, contohnya
jakun pada laki-laki dan payudara
pada perempuan
Dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa, contohnya
status sebagai laki-laki atau
perempuan
Tergantung budaya dan kebiasaan,
contohnya di jawa pada jaman
penjajahan belanda kaum perempuan
tidak memperoleh hak pendidikan.
Setelah Indonesia merdeka
perempuan mempunyai kebebasan
mengikuti pendidikan
Berlaku dimana saja, contohnya di
rumah, dikantor dan dimanapun
berada, seorang laki-laki/perempuan
tetap laki-laki dan perempuan
Tergantung budaya setempat,
contohnya pembatasan kesempatan
di bidang pekerjaan terhadap
perempuan dikarenakan budaya
setempat antara lain diutamakan
untuk menjadi perawat, guru TK,
pengasuh anak
9. 9
Merupakan kodrat Tuhan, contohnya
laki-laki mempunyai cirri-ciri utama
yang berbeda dengan cirri-ciri utama
perempuan yaitu jakun.
Bukan merupakan budaya setempat,
contohnya pengaturan jumlah a nak
dalam satu keluarga
Ciptaan Tuhan, contohnya
perempuan bisa haid, hamil,
melahirkan dan menyusui sedang
laki-laki tidak.
Buatan manusia, contohnya laki-laki
dan perempuan berhak menjadi calon
ketua RT, RW, dan kepala desa
bahkan presiden.
2.6 Budaya yang Mempengaruhi Gender
a. Sebagian besar masyarakat banyak dianut kepercayaan yang
salah tentang apa arti menjadi seorang wanita, dengan akibat
yang berbahaya bagi kesehatan wanita.
b. Setiap masyarakat mengharapkan wanita dan pria untuk berpikir,
berperasaan dan bertindak dengan pola-pola tertentu dengan
alasan hanya karena mereka dilahirkan sebagai wanita/pria.
Contohnya, wanita diharapkan untuk menyiapkan masakan,
membawa air dan kayu bakar, merawat anak-anak dan suami.
Sedangkan pria bertugas memberikan kesejahteraan bagi
keluarga di masa tua serta melindungi keluarga dari ancaman.
c. Gender dan kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin
tersebut, semuanya adalah hasil rekayasa masyarakat.
Beberapa kegiatan seperti menyiapkan makanan dan merawat
anak adalah dianggap sebagai “kegiatan wanita”.
d. Kegiatan lain tidak sama dari satu daerah ke daerah lain
diseluruh dunia, tergantung pada kebiasaan, hukum dan agama
yang dianut oleh masyarakat tersebut.
e. Peran gender bahkan bisa tidak sama di dalam suatu
masyarakat, tergantung pada tingkat pendidikan, suku dan
umurnya, contohnya : di dalam suatu masyarakat, wanita dari
suku tertentu biasanya bekerja menjadi pembantu rumah tangga,
10. 10
sedang wanita lain mempunyai pilihan yang lebih luas tentang
pekerjaan yang bisa mereka pegang.
f. Peran gender diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke
anaknya. Sejak anak berusia muda, orang tua telah
memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda,
meskipun kadang tanpa mereka sadari.
2.7 Diskriminasi Gender
Diskriminasi gender adalah ketidakadilan gender yang
merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial di mana salah
satu jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) menjadi korban. Hal ini
terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan
sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk dan cara
yang menimpa kedua belah pihak, walaupun dalam kehidupan
sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan.
2.8 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender
a. Marginalisasi (peminggiran).
Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya
banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak
terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status
dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat
sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan.
Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat,
bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan,
tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi
ilmu pengetahuan (teknologi).
b. Subordinasi (penomorduaan),
Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin,
cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi
nomor dua setelah laki-laki.
c. Stereotip (citra buruk)
11. 11
Pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya perempuan
yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai
sebutan buruk lainnya.
d. Violence (kekerasan)
Serangan fisik dan psikis. Perempuan, pihak paling rentan
mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan
marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas. Perkosaan,
pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling
banyak dialami perempuan.
e. Beban kerja berlebihan
Tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus
menerus. Misalnya, seorang perempuan selain melayani suami
(seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah.
Disamping itu, kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah),
dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan
tanggung jawab di atas.
12. 12
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Isu Gender dalam Kesehatan Reproduksi
Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan
laki-laki dan perempuan yaitu adanya kesenjangan antara kondisi
yang dicita-citakan (normatif) dengan kondisi sebagaimana adanya
(obyektif).
3.1.1 Keluarga Berencana
Keluarga Berencana dalam hal ini adalah penggunaan alat
kontrasepsi. Seperti diketahui selama ini ada anggapan
bahwa KB adalah identik dengan urusan perempuan. Hal ini
juga menunjukkan adanya budaya kuasa dalam pengambilan
keputusan untuk ber-KB. Dari peserta KB aktif sebanyak
425.960 peserta, peserta KB wanita sebanyak 402.017
(94,38%), sedangkan peserta KB pria sebanyak 23.943
(5,62%).
Faktor penyebab kesenjangan:
a. Lingkungan sosial budaya yang menganggap bahwa KB
urusan perempuan, bukan urusan pria/suami.
b. Pelaksanaan program KB yang sasarannya cenderung
diarahkan kepada kaum perempuan.
c. Terbatasnya tempat pelayanan KB pria.
d. Rendahnya pengetahuan pria tentang KB.
e. Terbatasnya informasi KB bagi pria serta informasi
tentang hak reproduksi bagi pria/suami dan
perempuan/istri.
f. Sangat terbatasnya jenis kontrasepsi pria.
g. Kurang berminatnya penyedia pelayanan pada KB pria.
13. 13
3.1.2 Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (Safe Motherhood)
Upaya peningkatan derajat kesehatan ibu, bayi
(kesehatan ibu dan bayi baru lahir) dan anak dipengaruhi oleh
kesadaran dalam perawatan dan pengasuhan anak. Sebagian
besar kematian ibu disebabkan oleh faktor kesehatan, antara
lain :
1. Perdarahan saat melahirkan
2. Eklamsia.
3. Infeksi.
4. Persalinan macet.
5. Keguguran.
Sedangkan faktor non kesehatan antara lain kurangnya
pengetahuan ibu yang berkaitan dengan kesehatan termasuk
pola makan dan kebersihan diri.
Faktor penyebab kesenjangan antara lain:
a. Budaya dalam sikap dan perilaku keluarga yang
cenderung mengutamakan laki-laki, contohnya dalam
mengkonsumsi makanan sehari-hari yang menempatkan
bapak atau anak laki-laki pada posisi yang diutamakan
daripada ibu dan anak perempuan. Hal ini sangat
merugikan kesehatan perempuan, terutama bila sedang
hamil.
b. Masih kurangnya pengetahuan suami dan anggota
keluarga tentang perencanaan kehamilan.
c. Perempuan kurang memperoleh informasi dan pelayanan
yang memadai karena alasan ekonomi maupun waktu
d. Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan dirinya,
misalnya dalam menentukan kapan hamil, di mana akan
melahirkan, dan sebagainya. Hal ini berhubungan dengan
kedudukan perempuan yang lemah di keluarga dan
masyarakat.
14. 14
e. Tuntutan untuk tetap bekerja. Pada daerah tertentu,
seorang ibu hamil tetap dituntut untuk tetap bekerja keras
seperti pada saat ibu tersebut tidak hamil.
Sementara itu tahun 2008, kasus gizi buruk mencapai
0,94 persen dan 2.254 berstatus kurang gizi. Dari total
tersebut, 56,39 persen berasal dari keluarga miskin, 29,50
persen karena penyakit penyerta dan12,82 persen karena
pola asuh orang tua yang salah. Oleh karena itu, untuk
menekan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita akibat
gizi buruk, diperlukan langkah optimal dari berbagai pihak.
Khusus masalah aborsi, walaupun pemerintah telah
melarang tapi pada kenyataannya masih banyak aborsi yang
dilakukan secara illegal dan secara diam–diam dan tidak
aman misalnya dengan menggunakan jamu-jamuan, pijat,
nanas dan lain-lain. Hal ini akan berpengaruh dan berakibat
pada kesehatan ibu juga akan dapat menyebabkan kematian
ibu.
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2004 tentang aborsi atau pengguguran kandungan, tingkat
aborsi di Indonesia sekitar 2 sampai 2,6 juta kasus per tahun.
3.1.3 Penyakit Menular Seksual
Dari berbagai jenis PMS yang dikenal, dampak yang
sangat berat dirasakan oleh perempuan, yaitu berupa rasa
sakit yang hebat pada kemaluan, panggul dan vagina, sampai
pada komplikasi dengan akibat kemandulan, kehamilan di luar
kandungan serta kanker mulut rahim.
Faktor penyebab kesenjangan gender:
a. Pengetahuan suami/istri tentang PMS, HIV/AIDS masih
rendah.
b. Rendahnya kesadaran suami/pria akan perilaku seksual
sehat.
15. 15
c. Adanya kecenderungan kelompok masyarakat/budaya
yang membolehkan suami melakukan apa saja.
d. Suami/pria sering tidak mau disalahkan, termasuk dalam
penularan PMS, HIV/AIDS karena sikap egois dan
dominan pria.
Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan yang
telah menikah dan ingin punya anak tetapi tidak dapat
mewujudkannya karena ada masalah kesehatan reproduksi,
baik pada suami maupun istri atau keduanya. Informasi
menunjukkan penyebab infertilitas adalah 40% pria, 40%
wanita dan 20% kedua belah pihak.
Dalam kasus infertilitas, istri menjadi pihak pertama yang
disalahkan, ada kecenderungan orang yang diminta oleh
keluarga untuk memeriksakan diri adalah istri.
Faktor kesenjangan gender dalam infertilitas:
a. Norma dalam masyarakat bahwa ketidaksuburan
disebabkan oleh pihak istri.
b. Superioritas suami (merasa “jantan”) sehingga dianggap
selalu mampu memberi keturunan.
c. Infertilitas diindentik dengan mandul.
d. Dominasi suami/pria (budaya kuasa) dalam pengambilan
keputusan keluarga, termasuk perintah, memeriksakan
diri.
e. Pengetahuan suami tentang infertilitas terbatas.
Seringkali pihak suami/pria yang mengalami infertilitas,
yang disebabkan oleh perilaku sendiri antara lain :
a. Merokok.
b. Penggunaan Napza.
c. Minum-minuman keras/beralkohol.
d. Adanya penyakit yang disebabkan karena sering
melakukan hubungan seks sebelum menikah.
16. 16
Hal-hal tersebut tanpa disadari sehingga sering
menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas sperma.
Padahal seorang laki–laki secara normal akan mengeluarkan
sebanyak antara 2–6 cc sperma dan setiap cc mengandung
20 juta ekor spermatozoa.
3.1.4 Kesehatan Reproduksi Remaja
Banyak orang dewasa dan tokoh pemuda tidak siap
membantu remaja menghadapi masa pubertas, akibatnya
remaja tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan
untuk menghadapi perubahan, gejolak dan masalah yang
sering timbul pada masa remaja. Hal ini dapat menyebabkan
remaja sering terjebak dalam masalah fisik, psikologis dan
emosional yang kadang-kadang sering merugikan seperti
stres, depresi, KTD, penyakit dan infeksi menular seksual.
Menurut WHO batasan usia remaja adalah 10 -19 tahun.
Berdasarkan UN (PBB) batasan usia remaja15 –24 tahun.
Sedangkan BKKBN menggunakan batasan usia remaja10 –24
tahun.
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai
berikut:
a. Ketidakadilan dalam membagi tanggung jawab. Pada
pergaulan yang terlalu bebas, remaja putri selalu menjadi
korban dan menanggung segala akibatnya (misalnya
kehamilan yang tidak dikehendaki dan putus sekolah).
Ada kecenderungan pula untuk menyalahkan pihak
perempuan, sedangkan remaja putranya seolah-olah
terbebaskan dari segala permasalahan, walaupun ikut
andil dalam menciptakan permasalahan tersebut.
b. Ketidakadilan dalam aspek hukum. Dalam tindakan aborsi
illegal, yang diancam oleh sanksi dan hukuman adalah
perempuan yang menginginkan tindakan aborsi tersebut,
17. 17
sedangkan laki-laki yang menyebabkan kehamilan tidak
tersentuh oleh hukum.
Kesehatan reproduksi remaja dianggap penting karena
beberapa hal berikut:
a. Untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran remaja
tentang kesehatan reproduksi.
b. Mempersiapkan remaja menghadapi dan melewati masa
pubertas yang sering cukup berat.
c. Melindungi anak dan remaja dari berbagai resiko
kesehatan reproduksi seperti IMS, HIV AIDS serta
kehamilan tidak diinginkan (KTD).
Sedangkan sumber masalah kesehatan reproduksi pada
remaja adalah:
a. Seks dengan sembarang orang.
b. Seks tanpa alat pengaman (kondom).
c. Melakukan hubungan seksual saat perempuan sedang
haid.
d. Seks tidak normal, misalnya seks anal (melalui dubur).
e. Oral seks dengan penderita gonore, menyebabkan
faringitis gonore (gonore pada kerongkongan).
f. Seks pada usia terlalu muda, bisa mengakibatkan kanker
serviks.
g. Perilaku hidup tidak sehat dapat mendatangkan penyakit
(tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes melitus)
yang dapat memicu disfungsi ereksi (DE).
h. Kehidupan seks menimbulkan trauma psikologis juga
faktor pemicu DE.
Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations
Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa setiap
tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun
melahirkan. Setiap tahun, masih menurut lembar fakta
18. 18
tersebut, sekitar 2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia
dan 30 persennya dilakukan oleh remaja.
3.1.5 Kesehatan Reproduksi Lansia
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan
lanjut usia menjadi empat, yaitu usia pertengahan (middle
age) 45 –59 tahun, lanjut usia (elderly) 60–74 tahun, lanjut
usia tua (old) 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old)
diatas 90 tahun.
Dalam memasuki masa tua seorang wanita memasuki
masa klimakterium yaitu merupakan masa peralihan antara
masa reproduksi dan masa senium dan bagian dari masa
klimakterium terjadi masa menopause. Menopause adalah
salah satu fase dalam kehidupan normal seorang wanita.
Masa menopause ditandai oleh berhentinya kapasitas
reproduksi seorang wanita. Ovarium tidak berfungsi dan
produksi hormon steroid serta peptida berangsur-angsur
hilang. Sementara itu, sejumlah perubahan fisiologikpun
terjadi. Hal itu terjadi sebagian disebabkan oleh berhentinya
fungsi ovarium dan sebagian lagi disebabkan oleh proses
penuaan. Banyak wanita yang mengalami gejala-gejala akibat
perubahan tersebut dan biasanya menghilang perlahan dan
tidak menyebabkan kematian. Namun tak jarang menimbulkan
rasa tidak nyaman dan terkadang perlahan menyebabkan
gangguan dalam aktivitas sehari-hari. Sedang masa senium
adalah masa sesudah pasca menopause, ketika telah tercapai
keseimbangan baru dalam kehidupan wanita, sehingga tidak
ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis.
Pada masa sekarang ini tanggung jawab kesehatan
reproduksi wanita bukan saja berada pada isteri, namun
melibatkan peran suami. Oleh karena masalah kesehatan
reproduksi perempuan sudah merupakan tanggungjawab
19. 19
bersama antara suami dan istri maka sangat diperlukan
pemahaman dan pengaruh yang seimbang antara suami dan
istri untuk dapat membantu perilaku kesehatan reproduksi
secara optimal melalui komunikasi dan layanan suami istri,
salah satu bentuk gambaran suami dalam perilaku kesehatan
reproduksi perempuan lansia terutama saat proses memasuki
masa menopause dengan berbagai permasalahan yang timbul
baik fisik maupun psikisnya.
Melihat perkembangan jumlah penduduk di Indonesia,
pada tahun 1997 penduduk Indonesia telah berjumlah 201,4
juta dan 100,9 juta diantaranya adalah wanita, termasuk 14,3
juta orang wanita berusia 50 tahun atau lebih. Pada tahun
2000, jumlah wanita berusia 50 tahun keatas telah mencapai
15,5 juta orang, tentunya perlu mendapatkan perhatian
bagaimana kesehatan reproduksinya, oleh karena terjadi
perubahan baik secara fisik maupun psikisnya seperti
incontinentia urinae, berkurangnya penglihatan dan
pendengaran, patah tulang, depresi, palpitasi, sakit kepala
dan lain sebagainya. Namun masih banyak hal yang
memprihatinkan pada wanita menopause, fakta menunjukkan
bahwa makin bertambahnya jumlah penduduk, makin maju
suatu negara, makin terisolir penduduk usia tua termasuk
menopause, apalagi harapan hidup wanita relatif lebih tinggi
dibanding dengan laki-laki, selain itu konsep budaya yang
berkembang di Indonesia bahwa seorang wanita adalah istri
yang harus melayani kehidupan seksual suami, sehingga
dalam keadaan yang bagaimanapun serta adanya rasa bahwa
layanan suami istri adalah suatu kewajiban yang harus
dilakukan dengan menekan rasa sakit dan tanpa
memperhatikan kesehatan reproduksinya.
Dengan melihat kondisi masyarakat yang berada pada
dua perspektif yaitu pola tradisional yang timpang gender dan
20. 20
masyarakat yang mengalami perubahan sosial, maka perlu
dilihat tingkat partisipasi suami dalam ikut merawat atau
memelihara kesehatan reproduksi wanita lansia.
3.2 Pentingnya Penanganan Isu Gender dalam Kesehatan Reproduksi
Gender mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki
dan perempuan. Hal itu semakin dirasakan dalam ruang lingkup
kesehatan reproduksi antara lain karena hal-hal berikut:
a. Masalah kesehatan reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus
hidup manusia, misalnya masalah inses yang terjadi pada masa
kanak-kanak di rumah, masalah pergaulan bebas pada masa
remaja, kehamilan remaja, aborsi yang tidak aman, kurangnya
informasi tentang kesehatan reproduksi dan masalah kesehatan
reproduksi lainnya. Status sosial perempuan (termasuk anak
perempuan) di masyarakat merupakan penyebab utama
masalah kesehatan reproduksi yang dihadapi perempuan.
Akibatnya mereka kehilangan kendali terhadap kesehatan, tubuh
dan fertilitasnya.
b. Perempuan lebih rentan dalam menghadapi risiko kesehatan
reproduksi seperti kehamilan, melahirkan, aborsi yang tidak
aman dan pemakaian alat kontrasepsi. Karena strukur alat
reproduksinya perempuan rentan secara sosial maupun biologis
terhadap penularan IMS termasuk STD/HIV/AIDS.
c. Masalah kesehatan reproduksi tidak terpisahkan dari hubungan
laki-laki dan perempuan. Namun keterlibatan, motivasi serta
partisipasi laki-laki dalam kesehatan reproduksi dewasa ini masih
sangat kurang.
d. Laki-laki mempunyai masalah kesehatan reproduksi, khususnya
yang berkaitan dengan IMS, termasuk HIV/AIDS. Karena itu,
dalam menyusun strategi untuk memperbaiki kesehatan
reproduksi harus diperhitungkan pula kebutuhan, kepedulian dan
tanggung jawab laki-laki.
21. 21
e. Perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga
(kekerasan domestik) atau perlakuan kasar, yang pada dasarnya
bersumber pada subordinasi perempuan terhadap laki-laki atau
hubungan gender yang tidak setara.
f. Kesehatan reproduksi lebih banyak dikaitkan dengan “urusan
perempuan”, seperti bila menyebutkan akseptor KB, aborsi,
pemeriksaan kehamilan, kemandulan dan kematian ibu. Urusan
tersebut memang dekat sekali dengan perempuan, baik dalam
target sasaran maupun pelaku. Kesuksesan program KB selama
ini berasal dari partisipasi perempuan yang mencapai 98%.
Kematian karena aborsi meliputi sekitar 15% kematian ibu.
Angka Kematian Ibu mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup
SDKI, 2007). Semua ukuran dikaitkan dengan perempuan,
karena target dan korbannya adalah perempuan.
Dalam perspektif gender, hal-hal tersebut mencerminkan adanya
hubungan gender yang timpang; perlakuan yang diskriminatif
terhadap perempuan dan banyaknya intervensi yang buta gender.
3.3 Kebijakan Kesehatan dalam Kesenjangan Gender
Dalam keadaan negara yang mengalami krisis multi dimensi,
perempuan yang menanggung beban terberat dalam
keluarganya. Keragaman perempuan berdasarkan kelas, ras,
maupun nation, dikaitkan dalam benang merah isu-isu
sentral perempuan seperti pendidikan, kesehatan reproduksi, kerja
domestik, upah rendah, peran ganda, kekerasan
seksual, ideologi gender, terutama pada masyarakat yang telah
mengenal kapitalisme dan komersialisasi.
Kebijakan dalam bidang kesehatan reproduksi yang perlu
dilakukan untuk menangani kesenjangan gender antara lain:
a. Peningkatan kondisi kesehatan perempuan dan peningkatan
kesempatan kerja. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk
22. 22
meningkatkan usia kawin dan melahirkan, sehingga resiko
selama kehamilan akan menurun.
b. Pendekatan target pada program KB harus disertai dengan
adanya tenaga dan peralatan medis yang cukup. Hal ini
untuk mencegah terjadinya malpraktek karena keinginan untuk
mencapai target.
c. Peningkatan partisipasi laki-laki dalam menurunkan angka
kelahiran. Tidak hanya perempuan yang dituntut untuk
mencegah kehamilan, tetapi juga laki-laki, karena pada saat ini
sudah tersedia beberapa alat kontrasepsi untuk laki-laki.
d. Penyadaran akan kesetaraan dalam menentukan hubungan
seksual dengan laki-laki. Penyadaran bahwa perempuan berhak
menolak berhubungan seksual dengan laki-laki, meskipun laki-
laki tersebut suaminya, bila hal itu membahayakan kesehatan
reproduksinya (misalnya laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS).
e. Penyuluhan tentang jenis, guna, dan resiko penggunaan alat
kontrasepsi. Baik alat kontrasepsi modern maupun tradisional
perlu diperkenalkan guna dan resikonya kepada perempuan.
Dengan demikian perempuan dapat menentukan alat
kontrasepsi mana yang terbaik untuk dirinya.
f. Penyuluhan tentang HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular
seksual) kepada perempuan.
g. Pendidikan seks pada remaja perempuan dan laki-laki.
23. 23
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab
antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh
perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu,
pembagian peranan antara pria dengan wanita dapat berbeda di
antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai
dengan lingkungan.
Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks berarti perbedaan
laki-laki dan perempuan sebagai mahluk yang secara kodrati
memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Dalam arti
perbedaan jenis kelamin seks mengandung pengertian laki-laki dan
perempuan terpisah secara biologis. Sedangkan ’gender’ sering
diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan
jenis kelamin. Namun sebenarnya konsep gender adalah sifat yang
melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh
faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa
anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan.
Diskriminasi gender adalah ketidakadilan gender yang
merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial di mana salah
satu jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) menjadi korban.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender antara lain; marginalisasi,
subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja berlebihan.
Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan
kesenjangan laki-laki dan perempuan yaitu adanya kesenjangan
antara kondisi yang dicita-citakan (normatif) dengan kondisi
sebagaimana adanya (obyektif).
24. 24
Isu-isu gender dalam ruang lingkup kesehatan reproduksi
terdapat dalam kasus-kasus di Keluarga Berencana, Kesehatan Ibu
dan Anak Baru Lahir (Safe Motherhood), Penyakit Menular Seksual,
Kesehatan Reproduksi Remaja dan Kesehatan Reproduksi Lansia.
Kesenjangan gender dalam kesehatan reproduksi seringkali
menjadikan perempuan sebagai korban, karena sebagian besar
masalah kesehatan reproduksi selalu berkaitan dengan perempuan.
Sedangkan partisipasi dan motivasi dari laki-laki saat ini sangatlah
kurang.
4.2 Saran
Untuk mencapai kesetaraan gender dalam kesehatan
reproduksi, masyarakat harus diberikan pemahaman yang benar
agar lebih bisa menerima dan terbuka akan adanya ide, serta
memberikan dukungan yang dibutuhkan, terlebih lagi kepada kaum
perempuan yang paling terkena dampak dalam masalah perbedaan
gender ini. Apalagi bagi pasangan suami-isteri, kerjasama antara
keduabelah pihak harus terjalin dengan baik. Karena masalah
kesehatan reproduksi perempuan sudah merupakan tanggungjawab
bersama antara suami dan istri maka sangat diperlukan pemahaman
dan pengaruh yang seimbang antara suami dan istri untuk dapat
membantu perilaku kesehatan reproduksi secara optimal.
25. 25
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2009. Gender, Kekuasaan & Kesehatan Reproduksi.
www.babel.bkkbn.go.id. Diunduh Selasa, 28 Mei 2013.
BAB III Isu Gender dalam Kesehatan Reproduksi.
www.perpustakaan.depkes.go.id. Diunduh Selasa, 28 Mei 2013.
Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia.
www.duniaesai.com. Diunduh Selasa, 28 Mei 2013.
Hadi, Tono. 2007. Hak Reproduksi dan Ketidakadilan Gender. www.mail-
archive.com. Diunduh Rabu, 3 April 2013.
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-
heritage-2003-drirmasusw-386
http://lailychoyriati.blogspot.com/2013/04/kesehatan-reproduksi-dalam-
perspektif.html
http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-63794-
Psikologi%20Perempuan-
Konsep%20Gender%20dan%20Jenis%20Kelamin.html
http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-63796-
Psikologi%20Perempuan-
Implementasi%20Ketidaksetaraan%20%28Gender%29.html
http://tikacakef.blogspot.com/2013/01/kesehatan-reproduksi-berspektif-
gender.html
http://www.k4health.org/toolkits/indonesia/sekitar-masalah-gender
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender.
www.elearning.baktiinangpersada.ac.id. Diunduh Selasa, 28 Mei
2013.
: