SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 69
PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP
ANAK DI KOTA MAKASSAR

Oleh :
SURIYADI
040 290057

Skripsi ini di ajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muslim Indonesia

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013
PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP
ANAK DI KOTA MAKASSAR

Oleh :
SURIYADI
040 290 057

Skripsi ini di ajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muslim Indonesia

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa Skripsi tersebut di bawah ini:
Nama Mahasiswa

: SURIYADI

Nomor Stambuk

: 040290 057

Program Study

: Ilmu Hukum

Bagian

: HukumPidana

Judul Skripsi

: PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG
DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA
MAKASSAR

Dasar Penetapan

: SK DEKAN .NO.092/H.05/FH-UMI/VII/2012

Telah diperiksa dan dapat disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi di Fakultas
Hukum Universitas Muslim Indonesia.

Makassar,2013

Pembimbing I

Pembimbing II

( H. Iwan Akil, SH,MH., )

( A.Mutia Farida, SH, MH,)

Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Pidana

( H. Iwan Akil, SH, MH. )
PERSETUJUAN UNTUK UJIAN SKRIPSI

Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia memberikan
persetujuan untuk mengikuti ujian skripsi kepada:

Nama Mahasiswa

: SURIYADI

Stambuk

: 040 290 057

Program Studi

: Ilmu Hukum

Bagian

: Hukum Pidana

Judul Skripsi

: PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG
DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA
MAKASSAR

Makassar,2013
Dekan Fakultas
Hukum

H. Hasbi Ali, SH. MS
PENGESAHAN SKRIPSI

Di terangkan Bahwa Skripsi tersebut di bawah ini:
Judul

: PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG
DILAKUKAN TERHADAP ANAKDI KOTA
MAKASSAR

Nama Mahasiswa

: SURIYADI

Nomor Stambuk

: 040290 057

Program Study

: Ilmu Hukum

Bagian

: HukumPidana

Dasar Penetapan

: SK.NO.092/H.05/FH-UMI/VII/2012

Telah dipertahankan dihadapan majelis Ujian Skripsi pada tanggal
………………………..2013 dan dinyatakan lulus oleh Tim penguji:

1)H. Iwan Akil, SH, MH.

(.........................................................)

2)A. Mutia Farida, SH, MH.

(.........................................................)

3)............................................

4) .............................................

(.........................................................)

(.........................................................)
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah
dan Rahmatnya penulis diberikan inspirasi, pengetahuan, kemudahan dan
kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini , salam dan sholawat tercurah kepada
Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi seluruh
umat manusia di dunia termasuk penulis.
Tujuan dari Skripsi yang berjudul ― Penerapan Pidana terhadap pelaku
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di kota Makassar”
adalah untuk memenuhi persyaratan akhir akademik una memperoleh gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.
Rampungnya skripsi ini penulis Dedikasikan untuk kedua orang tua
penulis La Mamma dan Hj. Mukarramah atas segala do‘a, dukungan secara moril
dan Materi serta kasih sayang yang tiada hentinya, yang INSYAALLAH akan
mengantarkan kegerbang kesuksesan. Serta sanak saudara dan anggota keluarga
lainnya.
Sebelumnya Penulis menghaturkan permohonan maaf jika di dalam skripsi
ini terjadi kesalahan atau kekeliruan yang tanpa penulis sengaja. Atas dasar
tersebut penulis berlapang dada dalam menerima setiap saran ataupun kritikan yan
pada dasarnya bersifat membangun.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penyelesaian Skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Pembimbing 1 H.Iwan Akil, SH,.MH, dan A. Mutia Farida, SH,.MH,
selaku pembimbing II yang selama ini memberikan bimbingan dalam
pembuatan Skripsi ini.
2. Pengadilan Negeri Makassar dan Polrestabes yang telah banyak membatu
dalam pengumpulan data untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, H. Hasbi Ali, S.H.,
yang selama ini menjadi komando Fakultas Hukum Universitas Muslim
Indonesia.
4. Para Bapak/Ibu Dosen pengajar dan segenap Civitas Akademik Fakultas
Hukum Universitas Muslim Indonesia yang telah banyak membantu
selama proses perkuliahan sampai proses penyusunan Skripsi.
5. Kawan - kawan seperjuangan angkatan2009 teman-teman dari
KOMAHUM,
Study
Club,
kader
PERMAHI,
sahabatku
Azhar,Eka,Mirsan,dan Irwan, teman teman FH UMI beserta teman-teman
lain yang tidak sempat disebutkan.
6. bapak Nathan Lambe,SH,.MH (Hakim PN Makassar), bapak Mustari
(panitera PN Makassar) yang telah banyak membantu dalam penumpulan
data.
7. sahabat kecilku sampai sekarang Reski dan Hendra yang telah menjadi
seperjuangan dari sejak SD s/d sekarang
8. Bapak kost dan Ibu kos, teman – teman kost Pondok Mi‘raj, serta warga
Tamamaung yang selama ini menjadi tetangga yang banyak mengajarkan
saya tentang realita kehidupan dan menerima saya sebagai warga disana.
9. kepada seluruh staf dan tenaga pengajar di Pesantren Darul muchlisin UMI
yang telah mengajarkan saya tentang arti Islam sesungguhnya.
10. Teman-teman KKPH di Pengadilan Agama Makassar yang banyak
membantu dalam proses Praktek disana.
11. Seluruh keluarga yang telah mendukung saya selama ini dan memberikan
saya motivasi.

Untuk semua itu, penulis tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya,
kecuali hanya harapan dan doa, mudah-mudahan segala bantuan yang telah
diberikan mendapatkan imbalan dan pahala yang setimpal dari Allah Subhanahu
Wataala, Amin Ya Rabbal Alamin.

Makassar, Februari 2013

SURIYADI
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................. i
Halaman Persetujuan Pembimbing ................................................................ ii
Halaman Persetujuan Untuk Ujian Skripsi ................................................... iii
Halaman Pengesahan Skripsi .......................................................................... iv
Kata Pengantar ................................................................................................. v
Daftar Isi ............................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian ...................................................................................................12
1. Pidana dan pemidanaan ..........................................................................12
2. Anak . ....................................................................................................21
3. Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak .........................................23
4. Ancaman pidana pelaku pemerkosaan anak .........................................25
B. Perlindunan Hukum terhadap anak ..............................................................27
1. Perlindungan anak ................................................................................28
2. Tanggung jawab perlindungan anak .....................................................32
3. Hukum perlindungan anak ....................................................................34
C. Pidana Penjara ..............................................................................................37
D. Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana .............................................40
E. Putusan Hakim .............................................................................................46
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ..........................................................................................50
B. Jenis dan Sumber Data ................................................................................. 50
C. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... ................. 51
D. Analisis Data ................................................................................................ 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Penerapan Pidana terhadap pelaku tindak pidana
Persetubuhan dengan anak dari dua sampel perkara
di pengadilan Negeri Makassar................................................................. .....53
B. Masalah persetubuhan terhadap anak dan Penerapan
Pidana terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak
di kota Makassar ......................................................................................68
C. Eektivitas Pidana denda yang menyertai pidana penjara
Dalam perkara persetubuhan terhadap anak
di bawah umur ............................................................................................. 75
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ..................................................................................................... 79
B.Saran ................................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 82
LAMPIRAN ...................................................................................................... 84
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan atau tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan dalam
tata kehidupan sosial karena mengganggu ketenangan individu, kelompok atau
dalam tingkatan tertentu dapat menciptakan suasana kehidupan nasional yang
dapat atau Negara tidak stabil. Setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya, hal ini seiring dengan semakin majunya perkembangan yang
beraneka ragam dalam kebutuhan hidup manusia serta perkembangan diri manusia
indonesia. Mengutip dari pernyataan Sahetapy (Sianturi, 1992, hal. 12)bahwa ―
kejahatan erat hubungannya dan bahkan menjadi sebahagian hasil dari budaya
sendiri, yang berarti semakin tinggi tingkat budayanya semakin modern suatu
bangsa, semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara
pelaksanaannya‖. Perkembangan itu di ikuti dengan semakin meningkatnya angka
kriminalitas terhadap jenis kejahatan tersebut dapat berasal dari berbagai tingkat
usia, status ekonomi, jenis kelamin dan lain sebagainya.
1. Berdasarkan tingkatan usianya maka secara garis besar korban kejakatan
dapat digolongkan sebagai anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua.
2. Berdasarkan pada status ekonomi sosial ekonominya korban kejahatan
dibagi atas masyarakat dengan ekonomi bawah, menengah dan atas.
3. Berdasarkan jenis kelamin maka korban kejahatan dapat digolongkan atas
Pria dan wanita.
Manusia kadang-kadang gagal mencegah dirinya dari kecenderungan untuk
berbuat deviatif (menyimpang) dan jahat karena faktor ekonomi, tuntutan biologis
dan harga diri. Padahal diketahui bersama bahwa kejahatan yang diperbuatnya
merupakan bentuk peningkaran terhadap norma-norma dan nilai-nilai
kemanusiaan. Anak sebagai korban kejahatantentunya memerlukan perhatian
yang serius dari semua pihak, mengingat bahwa anak merupakan generasi
penerusa bangsa yang akan memegang estapet pemerintahan nantinya. Salah satu
jenis kejahatan yang sering dialami oleh anak adalah kekerasan seksual seperti
tindakan persetubuhan baik yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak
maupun tinakan tersebut yang diakukan oleh anak.
Negara Indonesia sendiri adalah Negara yang mayoritas penduduknya
adalah muslim sehingga Hukum Islam sendiri termasuk Hukum Yang diakui dan
diterapkan sebagai Hukum Positif, contoh kecilnya Nangroe Aceh Darussalam
yang menerapkan Hukum Islam sebagai Hukum positif. Dalam hubungannya
dengan Agama Islam Persetubuhan atau dalam islam termasuk dalam kategori
Zina adalah Perbuatan Bersenggama antara laki-laki dan wanita yang tidak terikat
hubungan pernikahan. Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua,
yaitu pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang
sudah memiliki pasangan sah (menikah), sedangkan pezina ghayru muhshan
adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah.
Masalah Zina sendiri dibahas dalam Al Qur‘an Surah Al Israa‘ 17:32 ,dan An
Nur 24:26. Berikut uraian ayat yang menerangkan tentang Zina :
Q.S Al Israa‘ Ayat (32)




Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Q.S An Nur Ayat (26)








Artinya : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan lakilaki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan lakilaki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang
mulia (surga).
Di dalam kehidupan bermasyarakat, tindak pidana persetubuhan terhadap
anak menimbulkan trauma gangguan mental serta psikis dari anak tersebut. Anak
sendiri mudah sekali menjadi korban kejahatan dikarenakan orang beranggapan
seorang anak masih kecil, belum mengerti apa-apa ditambah lagi belum mampu
untuk melakukan perlawanan saat menjadi sasaran kejahatan yang memudahkan
pelaku untuk menjadikannya korban kejahatan.
Pada dasarnya tindak pidana persetubuhan adalah bentuk kejahatan
primitif yang kita semua tahu terdapat pada masyarakat manapun juga. Gejala
sosial kejahatan merupakan salah satu tantangan yang harus dipikirkan secara
serius karena akibat yang ditimbulkan bukan hanya anak namun juga akan
menimbulkan ketakutan dalam masyarakat (fear of society). Anggota masyarakat
yang memiliki anak gadis misalnya pasti akan merasa was-was akibat adanya
kemungkinan ancaman kejahatan yang sewaktu-waktu bisa menimpa anaknya.
Kejahatan yang menyangkut kesusilaan khususnya kejahatan
persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur telah diatur dalam
KUHP yang terdapat dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi ― Barang
siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun,
atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawini, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun‖. Di samping dalam KUHP
dalam memberi jaminan perlindunan terhadap anak pemerintah mengeluarkan
regulasi tentang perlindungan anak dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002.
berdasarkan asas lex spesialis derogat Lex Generalis yang berarti bahwa aturan
yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang umum.
Dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
diatur lebih khusus dalam Pasal 81 :
1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain,dipidana dengan pidana penjara
paing lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengan orang lain.
Menurut penjelasan Pasal 287 ayat (1) KUHP, kejahatan persetubuhan
merupakan delik aduan absolut , maksudnya ialah delik (peristiwa pidana) yang
selalu hanya dapat dituntut apabila pengaduan dilakukan oleh si korban , jika tidak
ada pengaduan maka si pelaku bebas dari tuntutan. Ada beberapa permasalahan
hukum yang berhasil diinvetarisir beachman dan peterboster yang diikuti oleh
Romli atmasasmita :
a. Pelaku tidak ditangkap dan ditahan karena tidak ada pengaduan dari
korban.
b. Banyak pelaku kekerasan seksual yang ditangkap atau ditahan tidak
dituntut atau dituntut untuk adanya pelanggaran ringan karena sering
terjadi justru korban kemudian berbalik menjadi terdakwa dan diadili
karena bukti yang dianggap kurang kuat sehinga pelaku bebas dan si
korban baik dituntut karena diangap melakukan pencemaran nama baik.
c. Banyak pelaku kekerasan seksual justru sebaliknya adalah kenaan korban
misalnya : pacarnya, tetangga, sehingga tidak dillihat sebagai suatu
perkosaan.
Menurut Suparman Marzuki, dalam bukunya Otot dan Pelecehan Seksual,
, Yogyakarta,1995, hal. 44 ada beberapa faktor pendorong terjadinya tindak
pidana persetubuhan antara lain :
1. Adanya kelainan seksual (pedofilia) gairah seksual seorang laki-laki
kepada anak-anak.
2. Faktor ekonomi : tingkat pendapatan masyarakat yang rendah sempitnya
lapangan pekerjaan yang tersisa sehingga banyak pengangguran.
3. Tingkat pendidikan yang rendah berakibat kurangnya pengetahuan,
khususnya tentang hukum, sehingga pelaku dapat melakukan perbuatannya
hanya didasarkan pada nafsu.
4. Kemerosotan moral.
5. Kemajuan teknologi.
6. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku relatif ringan sehingga tidak
membuat pelaku jera.
Di lihat dari faktor diatas dan dalam kenyataan hidup sehari-hari jumlah
korban persetubuhan terhadap anak di bawah umur semakin meningkat, hal
initerjadi karena anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, belum bisa menjaga diri sendiri dan masih mudah terpengaruh bujuk rayu.
Tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu tindak pidana
persetubuhan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan
bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuhkan pada
pelaku ini merupakan salah satu hak yang di tuntut oleh pihak korban. Korban
yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para penegak hukum
untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku. Meskipun
sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, namun tujuan
itu masih lebih memihak pada kepentingan pelaku, sedangkan kepentingan
masyarakat seperti pihak-pihak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan
kurang mendapatkan perhatian nyata. Hal ini dapat terbaca melalui pasal-pasal
yang terumus dalam KUHP sendiri, yang secara normatif kurang memberikan
perlindungan terhadap kepentingan atau hak-hak asasi korban.
Maraknya kasus kejahatan persetubuhan terhadap anak, merupakan
cerminan kegagalan penegakan hukum dalam menempatkan hukum sebagai
kekuatan supremasi. Hukum tidak dijadikan sebagai kekuatan yang mampu
memprevensi dan menindak para pelanggar dan penjahat, termasuk para pelaku
persetubuhan terhadap anak. Keadilan yang diberikan oleh penerapan hukum
melalui penjatuhan sanksi hukum kepada pelaku belum dapat mengobati
penderitaannya, apalagi jika sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku tidak adil
atau tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah
yang disebut-sebut dapat menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah
(menjadi korban) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan. Penjatuhan
hukuman yang cukup ringan terhadap pelaku kejahatan persetubuhan terhadap
anak itu di nilai dapat mendorong oknum-oknum sosial untuk melakukan praktikpraktik peniruan perbuatan tersebut. Mereka di beri angin segar oleh kalangan
penegak hukum untuk berprilaku menyimpang melalui cermin lemahnya
penegakan hukum. Belum ada keberanian moral-profetis dikalangan penegak
hukum, khususnya hakim untuk menjatuhkan vonis secara maksimal.
Ditinjau dari aspek yuridis, eksistensi KUHP terdapat kelemahan
mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal
guna menanggulangi pelaku kejahatan persetubuhan. KUHP yang dijadikan acuan
untuk menjaring pelaku kejahatan persetubuhan mengandung kekurangan secara
substansial dalam hal melindungi korban kejahatan, salah satunya adalah ancaman
pidananya yang di nilai relatif ringan terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak
sehingga di anggap kurang memenuhi rasa keadilan bagi korbannya. Oleh karena
itu, dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan anak yang merupakan
lex spesialis dari ketentuan yang mengatur tentang kesusilaan yang terdapat dalam
KUHP sebagai lex generalis di nilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum
bagi anak korban persetubuhan, yang akan mengatur lebih luas tentang
perlindungannya. Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, ternyata dalam praktek peradilannya masih ada
hakim yang menerapkan ketentuan KUHP terhadap kasus tersebut, sehingga asas
(lex specialis derogat lex generalis) tidak secara maksimal diterapkan yang
mengakibatkan kurang terpenuhinya rasa keadilan dalam penegakan hukum.
Mengingat tindak pidana persetubuhan terhadap anak menimbulkan kerugian
yang cukup besar baik dalam bentuk fisik maupun kejiwaan. Oleh sebab itu,
hakim diharapkan dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku hendaklah
sebanding dengan perbuatannya. Adapun ancaman pidana sebagaimana termaktub
dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP setinggi-tingginya adalah 9 tahun penjara ,
sedangkan menurut Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
persetubuhan terhadap anak dengan melakukan kekerasan maupun dengan
ancaman kekerasan di ancam dengan pidana penjara 15 tahun dan paling singkat 3
tahun, denda paling banyak Rp. 300 Juta dan paling sedikit Rp. 60 Juta. Dalam
Pasal 81 ayat (2), persetubuhan yang dilakukan dengan tipu muslihat dan
rangkaian kebohongan membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, juga di ancam dengan pidana yang sama. Dari perkara
tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang telah diputuskan oleh hakim.
Berikut uraian putusan hakim yang dijatuhkan berdasarkan Pasal 287 ayat
(1) KUHP :
Kasus dengan nomor registrasi ( nomor 125/Pid.B/2010/PN.MKS ) dalam
kasus ini terdakwa yang bernama Muh.Fajri alias Razid alias Panji Bin H.Darwis,
umur 20 tahun, alamat jl.Komplek Perhubungan Hj.Banca II Batangase, Maros,
jenis kelamin laki-laki, pekerjaan sopir. Penuntut umum menutut terdakwa dengan
dakwaan Pertama primair Pasal 286 KUHPidana Subsider Pasal 287 ayat (1)
KuhPidana atau kedua Pasal 81 ayat (1) undang-undang nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak.
Setelah dilakukannya pemeriksaan sidang pengadilan dan memperhatikan
pertimbangan hukum yang dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan,
menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan pertama primair
1.

Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primair tersebut
2.

Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana berdasarkan Pasal 287 ayat (1)

3.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2
(dua) Tahun 3 (tiga) bulan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut, tentang penerapan pidana terhadap pelaku
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, maka penulis
merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Penerapan Hukum terhadap pelaku tindak Pidana persetubuhan
terhadap anak di kota Makassar ?
2. Bagaimanakah efektivitas Pidana denda yang menyertai Pidana Penjara dalam
perkara Kasus persetubuhan terhadap anak di kota Makassar ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian tentanmg penerapan ketentuan pidana dalam kasus
persetubuhan terhadap anak adalah :
a. Untuk mengetahui dan menganilisis penerapan Hukum terhadap pelaku
tindak pidana persetubuhan terhadap anak di kota Makassar.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaku tindak pidana persetubuhan
yang dillakkukan terhadap anak.
2. Manfaat
Nilai suatu penulisan ditentukan oleh kegunaan atau manfaat yang dapat
diperoleh.
a. Secara teoritis, penulisan ini dimaksudkan untuk pengembangan ilmu
hukum khususnya masalah penerapan ketentuan pidana terhadap kasus
persetubuhan dengan anak.
b. Secara praktis, penuisan ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi
terhadap penerapan ketentuan pidana dalam kasus persetubuhan terhadap
anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
1. Pidana dan Pemidanaan
Sebelum membicarakan jenis-jenis pidana yang dikenal orang dalam
Hukum Pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu
tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu
sendiri.
Menurut Van Hammel ( Lamintang, 1984:47) arti Pidana atau straf
menurut hukum positif dewasa ini adalah:
Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung
jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oIeh
Negara.
Menurut Simons (Lamintang,1984:48),pidana atau straf adalah:
Suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang
yang bersalah.

Dari dua rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa pidana
itu hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. ini berarti
bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuari dan tidak mungkin dapat
mempunyal tujuan ( Lamintang,1984:49).
Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Dwidja Priyatno
(2006:7) ialah sebagai berikut:
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi)
yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Setelah dijelaskan mengenai pengertian pidana kemudian akan dijelaskan
pengertian pemidanaan sendiri. Menurut Sudarto ( Lamintang, 1984:49),
perkataan Pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan
penghukuman. Yang beliau jelaskan sebagai berikut:
Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga
dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau
memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk
suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum
pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. OIeh karena
tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tesebut
harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam
perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan
atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.
Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan (Hermien Hadiati
Koeswati ,1995) pada umumnya dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori,
yaitu:
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Tokoh-tokoh terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara
lain adalah Kant dan Kegel. Mereka menganggap bahwa hukuman itu
adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan
kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat
mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang
berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat
hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan
tetapi hukuman harus dijatuhkan.
Utrecht (1967 :159-160) mengemukakan bahwa:
Kejahatanlah yang memuat anasir-anasir yang menuntut
hukuman dan yang membenarkan hukum yang dijatuhkan
(demisdaad zeif bevat de elementen die starf else en straft
rechtvaardigen), jadi hukuman tidak mencapai suatu praktis
(De straft becogt niet en practisch doel te verwezenlijken ).
Sebagai contoh, memperbaiki penjahat jadi suatu maksud
praktis tertentu itulah yang dalam pertimbangan
menjatuhkan hukuman. Yang dengan sendirinya ada sebagai
konsekuensi dari dilakukannya kejahatan. Hukuman itu
adalah sesuatu res absuluta abefetectu futoro apakah
hukuman itu bermanfaat pada akhirnya, itu bukan soal yang
dipertimbangkan secara primer (pokok).

Kant menambahkan (Lamintang 1984:25) bahwa:
Dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat didalam apa
yang disebut kategorishen imperatif menghendaki agar
setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu
keharusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap
pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata
didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan.
Dari teori tersebut diatas, Nampak jelas bahwa pidana merupakan
suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana.
Sajalan dengan itu, Polak ( Andi Hamzah, 1993 32) menjelaskan
bahwa: ― Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat
keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne malis ex pediat
esse malos)‖.
Selanjutnya Polak (Andi Hamzah, 1993:33) menambahkan bahwa
pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat:
1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan
yang bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan
kesusilaan dan tata hukum obyektif.
2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.
3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik, ini
perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
Dari pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa dasar dijatuhkannya
hukuman itu tidak lain kerana kejahatan itu sendiri. Adapun akibat
positif maupun negatif dan pemidanaan itu bukanlah merupakan
tujuan. Tujuan yang sebenarnya adalah penjara atau penderitaan.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Para pengajar teori relatif ini tidak melihat hukuman itu sebagai
pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukurnan itu
sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu
adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang daripada pemidanaan itu
sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk
melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukan
tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat,
yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. dengan prevensi
umum, orang akan menahan diri untuk melakukan kejahatan.
Sedangkan pada prevensi khusus, para penganjurnya menitikberatkan
bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah
dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan
mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
Menurut Feurbach (Andi Hamzah 1993:141) dalam bukunya
(Iehrbuch des peinlichen Rechts1801) bahwa yang dimaksud teori
paksaan psikologis ancaman pidana bekerja sebagai ancaman
psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakuti untuk meIakukan
delik‖.
Tentang kejahatan, (Andi Hamzah 1993 : 26-27) berpendapat bahwa:
Pembinaan suatu kejahatan adalah hal yang wajar, akan
tetapi harus dipersoakan apakah manfaat bagi masyarakat
atau penjahat, kita tidak bisa melihat pada masa lalu
melainkan juga pada masa depan. Oleh karena harus ada
tujuan Iebih dahulu pada sekedar menjatuhkan pidana
belaka.
Van Bemmelen ( van bemmelen 1987: 27-28) memberi 3 teori relatif
yaitu sebagai berikut:
1) Prevensi umum, tujuan pemerintah menjatuhkan pidana adalah
untuk mencegah rakyat pada umumnya melakukan kejahatan.
Adapun fungsinya adalah:
a) Menegakkan wibawa pemerintah,
b) Menegakkan hukum,
c) Membentuk norma.
2) Prevensi khusus, pidana adalah pembenaran yang terpenting dari
pidana itu sendiri. Pelaku menyadari akibat dari perbuatannya
menimbulkan penderitaan. Jadi pidana berfungsi mendidik atau
memperbaiki.
3) Fungsi perlindungan, bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan
selama waktu tertentu,masyarakat telah terhindar dari sasaran
kejahatan, yang mungkin dilakukan jika seandainya Ia tidak
dihukum.
c. Teori Gabungan / Modern ( Vereningings Theorien)
Teori gabungan atau teori modern merupakan kombinasi teori absolut
dan teori retatif. Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain
memberikan penderitaan jasmani juga psikologis dan terpenting adalah
memberikan pemidanaan dan pendidikan.
Teori ini diperkenalkan oIeh Prins, Van Hammel, Van List, (Djoko
Prakoso, 1984:47) pandangan sebagai berikut:
1) Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai
suatu gejala masyarakat.
2) Ilmu hukum pidana dan dan perundang-undangan pidana harus
memperhatikan basil studi antropologis dan sosiologis.
3) Pidana ialah satu yang paling efektif yang dapat digunakan
pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satusatunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan dalam
bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.
Keseluruhan teori dan pandangan dan para pakar, realitas di
masyarakat menunjukkan dalam kondisi dan komunitas tertentu
instrument pidana tidak dapat memberi fungsi prevensi diduga dari
kejadian tindak pidana yang menjadi faktor pemicu terjadinya
pelanggaran.
Masalah pokok yang dihadapi yakni belum adanya rumusan baku
tentang tujuan pemidanaan. Rumusan tujuan pemidanaan baru tampak
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional
(RKUHPN 1972 Djoko Prakoso, 1982:42) berbunyi sebagai berikut:
1) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
(Perlindungan) Negara dan Penduduk.
2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berguna.
3) Untuk menghilangkan noda-noda oleh tindak pidana.
Dari konsep tersebut diatas, mendapat perubahan-perubahan yang
tertuang dalam Konsep Rancangan Undang-Undang (KUHP) tahun
1982/1983 dalam Pasal 3 ayat (1) (Djoko Prakoso, 1988 : 48)
menyatakan bahwa:
Tujuan Pidana dan Pemidanaan adalah:
1) Pemidanaan bertujuan untuk:
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menekankan
norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikan orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk
hidup bermayarakat.
c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan kesinambungan, dan mendatangkan rasa damal
dalam masyarakat.
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Rancangan konsep pidana dan pemidanaan tersebut diatas nampaknya
memberikan suatu arah yang jelas bagi tujuan yang hendak dicapai
dari pidana dan pemidanaan di Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sahetapy (Djoko Prakoso, 1984:42-43) yang berorintasi kepada
pandangan lilosofis pancasila menyatakan bahwa:
Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan dijelaskan
selanjutnya bahwa makna pembebasan menghendaki agar si
pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pemikiran yang
jahat, keliru melainkan Ia harus pula dibebaskan dalam
kenyataan sosial di mana ia terbelengu.
Dan pendapat tersebut di atas, nampak jelas bahwa sasaran utama yang
dituju oleh pidana adalah si pelaku (penjahat) dalam pengertian
pembebasan, disini sedemikian rupa sehingga si penjahat terbebas dan
kenyataan sosial yang membelenggu (Djoko Prakoso, 1984:43) Sejalan
dengan pandangan di atas, (Lamintang 1984 - 23) menyatakan bahwa:
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang
ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
1) Untuk memperbaiki pribadi dan penjahat itu sendiri.
2) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan,
dan
3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu
untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat
yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Hamzah dan Sumangelipu (Djoko Prakoso 1984:14-15) menguraikan
pendapat tentang tujuan pemidanaansebagai berikut:
Tujuan pemidanaan adalah bentuk untuk memperbaiki penjahat,
sehingga dapat menjadi warga Negara yang baik, sesuai jika
terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama bagi
delik tanpa korban (Victumless Crime) seperti homo seks, asas
kemanusiaan yang adil dan beradab, maka sulit untuk
menghilangkan sifat penjeraan (derent) pidana yang akan
dijatuhkan, begitu pula sifat pembalasan (revenge) suatu pidana.

2. Anak
Anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Tetapi dalam
kenyataanya, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia
anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan
mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya
diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih terus
mengalami kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena anak adalah manusia
yang belum memiliki kematangan sosial, pribadi dan mental seperti orang
yang telah dewasa. Adapun perbedaan anak dengan orang dewasa terlihat
dengan adanya perbedaan umur dan tingkah laku. Berikut ini pengertian
anak yang termuat dalam beberapa perundang-undangan yang terkait
dengan hal tersebut, yaitu:
a. Pengertian Anak Menurut KUHPidana:
Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya belum
mencapai 16 (enam belas) tahun.
b. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata:
Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur 21 (dua satu) tahun dan tidak lebih
dahulu kawin.
c. Pengertian Anak Menurut UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal I ayat (1):
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
d. Pengertian Anak didalam UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1):
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
e. Pengertian Anak didalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2):
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun.
f. Menurut UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (5) sebagai berikut:
Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
g. Pengertian Anak menurut Konvensi Tentang Hak-hak Anak
(convention on the right of the child) tahun 1989 sebagai berikut:
Anak adalah setiap manusia dibawah umur 18 (delapan betas) tahun
kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan
dicapai lebih awal.
Diantara sekian banyak pengertian anak yang telah dikemukakan, maka
dalam tulisan ini pengertian anak yang digunakan adalah pengertian anak
menurut Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Dimana dalam undang-undang ini menjamin dan
melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan
diskriminasi.

3. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak.
Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa, perempuan yang
bukan istrinya, bersetubuh dengan dia. Pemerkosaan terhadap anak
biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa untuk melakukan hubungan
seksual dengan mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada
anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan hanya
karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur suka
sama suka.
Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana pemerkosaan,
(Bagong Suyanto, 2003:14) yaitu:
a. Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan
agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati
kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya melainkan
serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.
b. Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau
sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan
amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap
siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan,
frustasi, dan kekecewaan hidupnya.
c. Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku
menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap
perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan seksual.
d. Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang
yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan
untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tettentu
bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak
sampai melakukan hubungan seksual. Namun

karena pelaku

beranggapan bahwa perempuan pada umumnya membutuhkan paksaan
dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.
e. Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya
keuntungan atau situasi di mana perempuan bersangkutan dalam posisi
tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.

4. Ancaman Pidana Pelaku Pemerkosaan Anak
Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam KUHP
Pasal 287 yang selengkapnya sebagal berikut:
a. Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar
perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa
umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
b. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika perempuan
itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu hal berdasarkan
Pasal 291 dan Pasal 294.
Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Unsur-unsur objektif:
1) Perbuatannya: bersetubuh
Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada
persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak korban maupun
didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar
suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali anak
tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami, sehingga anak
tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP (Adami
Chazawi2005:71)
2) Objek: dengan perempuan di luar kawin.
Artinya perempuan diluar kawin
3) Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas dan
belum waktunya untuk kawin.
Adapun indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini ada pada
bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah dan tubuhnya
yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum
tumbuh buah dada atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau
mungkin belum datang haid. Adapun bentuk psikis dapat dilihat pada
kelakuannya, misalnya masih senang bermain seperti pada umumnya
anak belum berumur lima belas tahun.
b. Unsur Subjektif:
a) Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum
15 tahun.
Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahannya, yang berupa:
Kesengajaan, yakni diketahuinya umurnya belum lima belas tahun
dan kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum
lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya
untuk kawin.
Adapun ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak
dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai
berikut:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah)
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan
dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya
masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat
perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi
berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar
pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.
1.

Perlindungan Anak
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita
luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan
sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat
kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar
baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan
usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagal
kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi
nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang
pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya
menggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
baik secara fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan
perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. dengan demikian
perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa
akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan
perlindungan anak.
Arif Gosita (1989:35) mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu
diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan
mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu
sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat
negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan
bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang etektif dan efisien.
Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibakan matinya inisiatif,
kreatifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada
orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki
kemampuan dan kemampuan menggunakan hak-haknya dan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu sebagai
berikut:
a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi
perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum
keperdataan.
b. Perlindungari anak yang bersifat non yuridis, yang meliputi:
perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang
pendidikan.
Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi.
Secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan
anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk
mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak
perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat
menjamn kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wàjar,
baik fisik, mental, dan sosialnya.
Arif Gosita (1989:52) berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu
usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.
Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha
dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak,
pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan
golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan
anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.
Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta
pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu
diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan
perlindungan anak secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal ini, Abdul
Hakim Garuda. Nusantaran mengatakan (1986:22):
Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu
sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.
Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi
perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut:
1) Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang
kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta
dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.
2) Dasar Etis ; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika
profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam
pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan
perlindungan anak.
3) Dasar Yuridis ; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada
UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan Iainnya yang
berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu
penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari
berbagai bidang hukum yang berkaitan.
Perlindungan anak dapat dilakukan secara Iangsung maupun tidak
Iangsung. Secara Iangsung maksudnya kegiatannya Iangsung ditujukan
kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti
ini dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dan berbagai
ancaman dan luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi
anak dengan berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan
kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan
diri dan sebagainya. Perlindungan anak secara tidak Iangsung yaitu
kegiatan tidak Iangsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang
melakukan /terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha perlindungan
demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat dalam
usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar
ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara, mereka yang terlibat mencegah
anak kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan
berbagai cara, mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri
anak dan sebagainya, mereka yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem
Peradilan Pidana.
2.

Tanggung jawab Perlindungan Anak
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2002
menentukan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.
Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota
masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha
dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga Negara ikut
bertanggungjawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi
kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan bersama
kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak
ada keresahan pada anak karena perlindungan anak dilaksanakan dengan
baik, anak menjadi sejahtera.
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 yaitu:
a) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etik budaya, dan bahasa, status
hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental
(Pasal 21).
b) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22).
c) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang
secara umum bertangung jawab terhadap anak dan mengawasi
penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23).
d) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 2).
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2002). Kewajiban dan
tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak
diatur dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002, yaitu:
a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya.
c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dalam hal orang tua tidak ada, dan atau tidak diketahui keberadaannya
atau karena suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Hukum Perlindungan Anak
Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri, yang
tidak hanya sama, tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu
diperlukan aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang
menyangkut kepentingan anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum
yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum
Perlindungan Anak.
Arif Gosita (1989:35) mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak
adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benarbenar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan
anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang belum dibebani
kewajiban.
Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan
kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: hukum pidana,
hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang
menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan
berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.
Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa masalah perlindungan
hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk
melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa
didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang Iebih luas, yaitu
ekonomi, sosial, dan budaya.
Aris Gosita (1989:35) memberikan beberapa rumusan tentang hukum
perlindungan anak sebagai berikut:
1) Hukum Perlindungan Anak adalah suatu permasalahan manusia yang
merupakan suatu kenyataan sosial. Apabila dilihat menurut proporsi
yang sebenarnya secara dimensional, Hukum Perlindungan Anak
beraspek mental, fisik, dan sosial (hukum). ini berarti, pemahaman dan
penerapannya secara integratif.
2) Hukum Perlindungan Anak adalah suatu hasil interaksi antar pihakpihak tertentu, akibat ada suatu interaksi antara fenomena yang ada dan
saling mempengaruhi. Perlu diteliti, dipahami, dan dihayati yang
terlibat pada eksistensi Hukum Perlindungan Anak tersebut. Selain itu
juga diteliti, dipahami, dan dihayati gejala yang mempengaruhi adanya
Hukum Perlindungan Anak tersebut (antara lain individu dan lembagalembaga sosial). Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu
permasalahan yang sulit dan rumit.
3) Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu tindakan individu yang
dipengaruhi unsur-unsur sosial tertentu atau masyarakat tertentu,
seperti kepentingan(dapat menjadi motifasi), lembaga-lembaga sosial
(keluarga,

sekolah,

pesantren,

pemerintah,

dan

sebagainya).

Memahami dan menghayati secara tepat sebab—sebab orang membuat
Hukum Perlindungan Anak sebagai suatu tindakan individu (sendirisendiri atau bersama-sama), dipahami unsur-unsur sosial tersebut.
4) Hukum Perlindungan Anak dapat menimbulkan permasalahan hukum
(yuridis) yang mempunyai akibat hukum, yang harus diselesaikan
dengan berpedoman dan berdasarkan hukum.
5) Hukum Perlindungan Anak tidak dapat melindungi anak, karena
hukum hanya merupakan alat atau sarana yang dipakai sebagai dasar
atau pedoman orang yang melindungi anak. Jadi yang penting disini
adalah para pembuat

undang-undang

yang

berkaitan dengan

perlindungan anak. Sering diajarkan/ditafsirkan salah, bahwa hukum
itu dapat melindungi orang. Pemikiran itu membuat orang salah harap
pada hukum dan menganggap hukum itu selalu benar, tidak boleh
dikoreksi, diperbaharui, dan sebagainya.
6) Hukum Perlindungan Anak ada dalam berbagai bidang hukum, karena
kepentingan anak ada dalam berbagai bidang kehidupan kelurga,
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

C. Pidana Penjara
1. Pengertian Pidana Penjara
Pidana penjara ialah pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana penjara
dilakukan dengan menempatkan terpidana dalam sebuah penjara, dengan
mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang
berlaku dalam penjara.
Menurut Roeslan Saleh (1 987:62) menyatakan bahwa:
Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan
kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur
hidup atau sementara waktu.
Barda Namawi Arif (1996:44) menyatakan bahwa:
Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan
kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan
itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga
kehidupan seksual yang normal dan seseorang, sehingga sering
terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan
terpidana.
Berdasarkan uraian diatas pada prinsipnya bahwa pidana penjara berkaitan
erat dengan pidana perampasan, kemerdekaan yang dapat memberikan cap
jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri manusia apabila
seseorang dijatuhi pidana penjara.
2. Efektivitas Pidana Penjara
Menurut Barda Nawawi Arief (2002: 224), efektivitas pidana penjara
dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek
perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud
dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah,
mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan komflik,
mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan,
menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si
pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan
memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan
sewenang-wenang di luar hukum.
a. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perlindungan
Masyarakat.
Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu
pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat
mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektivitas dilihat
dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain,
kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum
(general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga
masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.
b. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku.
Dilhat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak
pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dan pidana. Jadi,
ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara)
mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana.
Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan diatas
dapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum
dapat membuktikan secara pasti apakah nidana penjara itu efektif atau
tidak. Terlebih masalah efektivitas pidana sebenarnya berkaitan
dengan banyak faktor (Barda Nawawi Arief, 2002: 225, 229, 230).
D. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana
Ternyata menurut penelitian yang pernah dilakukan, efektifitas pidana denda
masih jauh dari tujuan pemidanaan. Faktor yang berhubungan dengan
turunnya nilai mata uang, dalam hal ini pengadilan jarang sekali menjatuhkan
pidana denda karena masih dirasakan tidak efektif.
Pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan
kemerdekaan. Sebagai sarana dalam politik kriminal, pidana ini tidak kalah
efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Berdasarkan pemikiran ini
maka pada dasarnya sedapat mungkin denda itu harus dibayar oleh terpidana
dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu. Kalau keadaan
mengizinkan, denda yang tidak dibayar itu dapat dikembalikan dari kekayaan
atau pendapatan terpidana sebagai gantinya. Pengganti itu tidak mungkin,
maka pidana penjara pengganti dikerjakan kepadanya. Ketentuan agar
terpidana sedapat mungkin membayar dendanya harus diartikan bahwa
kepadanya diberi kesempatan oleh hakim untuk mengangsur dendanya.
Mengingat tujuan pemidanaan yang tidak berupa pembalasan, maka dalam
penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana
secara nyata.
1. Hakikat dan tujuan pidana denda
Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau
pembayaran denda telah terdapat disebagian besar masyarakat. Tetapi
sangat banyak ragamnya dalam menitkberatkan soalnya dalam sistem ini.
Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan masyarakat
yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain
maka Ia boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya. Jumlahnya
tergantung dan besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dan
yang dirugikan Itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dan
pembayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan
pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang
membuat gangguan.
Cara penghukuman denda memberikan banyak segi-segi keadilan
diantaranya adalah
a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat direvisi apabila ada
kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman Iainnya, seperti penderaan
atau penjara yang sukar dimaafkan.
b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah
karena tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai dengan
penjara untuk yang tidak sanggup membayar.
c. Pidana denda dapat dilihat, dapat diatur untuk tidak melanjutkan
pelanggar dan keadaan Iainnya dengan Iebih mudah dibanding dengan
jenis hukuman Iainnya.
d. Pidana denda membawa atau tidak mengakibatkan nama tercela
kurang hormat seperti yang dialami terhukum penjara.
e. Tidak merintangi pelanggar untuk memperbaiki hidupnya
f. Pidana denda akan menjadi penghasilan bagi negara daerah dan kota.
2. Efektivitas Penjatuhan Pidana Denda
Efektivitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang
ingin dicapai dengan adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan
efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu
tercapai.
Dalam rangka efektivitas yang menyangkut segi pelaksanaan (eksekusi),
maka harus dibuang jauh-jauh suatu pemikiran bahwa kriteria efektif dan
tidaknya pidana denda diukur dari besarnya uang yang didapat
dikumpulkan oleh eksekutor (Jaksa) dari pidana denda yang dijatuhkan,
dan dengan uang tersebut dapat digunakan sebagai ―andil‖ dalam
pembangunan bangsa dan Negara.
Untuk memaksa atau menimbulkan tekanan agar orang yang dijatuhi
pidana denda mau membayar denda, maka dapat ditempuh jalan yaitu
sebagai berikut :
a. Mengaktifkan fungsi Kejaksaan sebagai eksekutor, yang juga
merupakan Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata
terhadap orang yang tidak mau membayar denda. Sehingga dalam
fungsi

dan

kedudukan

sebagai

penggugat

dapat

memohon

dilakukannya ―conservatoir beslaag‖ terhadap barang-barang milik
terdakwa (sebagai tergugat) tidak terbatas terhadap barang-barang
terkait Iangsung dengan kejahatan atau peIangaran yang dilakukan
akan tetapi juga terhadap barang-barang Iainnya milik terdakwa.
b. Melaksanakan secara konsekuen pidana, yang dalam KUHP berupa
pidana pengganti denda, yang dalam KUHP sekarang berupa pidana
kurungan atau dalam konsep Rancangan KUHP berupa pidana
pengawasan atau pidana kerja sosial.
Ditinjau dari segi efektivitasnya maka pidana menjadi kurang efektif
apabila ditinjau dan segi penjeraanya terhadap terpidana. Hal ini
disebabkan karena pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain.
Sedangkan dalam hal pidana penjara tidak mungkin diwakilkan oleh orang
lain. Disamping itu terpidana dapat saja mengumpulkan uang dan mana
saja untuk melunasi/membayar denda tersebut.
Sejauh ini inflasi merupakan faktor yang menjadi penghambat sehingga
nilai ancaman pidana denda yang diatur didalam perundang-undangan
pidana tidak mempunyai arti lagi. Sedangkan untuk melakukan perubahan
dengan mengalikan jumlah denda seperti yang pernah dilakukan terhadap
KUHP akan mengalami kesulitan. Hal tersebut adalah disebabkan oleh
adanya perubahan-perubahan yang tidak konsisten antara aturan pidana
yang satu dengan aturan pidana lainnya. Di beberapa aturan pidana,
ancaman pidana denda masih memberlakukan atau memakai ukuran yang
lama. Sedangkan dalam perundang-undangan pidana Iainnya telah
diancamankan dengan pidana denda menurut ukuran yang baru. Itulah
sebabnya sehingga sulit untuk melakukan perubahan secara menyeluruh.
Sedangkan apabila diubah saW per satu setiap aturan pidana, tentunya
akan niemakan waktu dan tenaga yang banyk sekali.
Faktor Iainnya yang dapat mempengaruhi efektivitas dad pada
pelaksanaan pidana denda adalah divergensi antara pidana denda yang
diancantan dengan pidana denda yang dijatuhkan. Rendahnya penjatuhan
pidana denda akan mengakibatkan melemahnya pemetuhan hukum.
Meskipun disadari bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana khususnya
pidana denda selalu akan memperhatikan kemampuan terdakwa. Bahkan
tidak jarang dalam kasus-kasus tertentu di mana hakim tidak bisa tidak
harus menjatuhkan putusan berupa pidana denda, sedangkan terpidananya
sama sekali tidak mampu untuk membayarnya sehingga jaksanya yang
membayar denda yang dijatuhkan oleh pengadilan tersebut.
3. Pidana denda dalam pemidanaan
Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat penting. Setelah
mengetahui tujuan pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan keadaankeadaan yang ada disekitar pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana
pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan. perngaruh pidana yang
dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak
pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana. Semuanya ini merupakan pedoman pemidanaan.
Pemidanaan seperti yang telah dijelaskan, merupakan suatu proses. Hakim
dalam menerapkan pidana penjara disamping mempertimbangkan tujuan
dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan-keadaan yang
kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan
(pidana penjara), seperti misalnya:
a. Faktor usia si pembuat tindak pidana,
b. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali,
c. Kerugian terhadap korban,
d. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya.
Melihat pada banyaknya faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan
hakim dalam proses pemidanaan dan penerapan pidana perampasan
kemerdekaan (pidana penjara), kiranya eksistensi pidana tidak perlu
diragukan dan dicemaskan Iagi.
Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana
yang hanya diancam dengan pidana penjara, namun apabila hakim
berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah
memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi tujuan
pemidanaan, pedoman pemidanaan serta pedoman penerapan pidana
penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda.
Disini sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan hakim
secara cermat, objektif dan praktis daripada pidana perampasan
kemerdekaan (pidana penjara) atau karena memperhitungkan untung rugi
pidana denda dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan.

E. Putusan Hakim
1. Pengertian dan Bentuk-bentuk Putusan
Perihal putusan hakim atau ―putusan pengadilan‖ merupakan aspek
penting dan diperlukan untuk menyeIesaikan perkara pidana. Dengan
demikian, dapatlah dikonklusikan Iebih jauh bahwasannya ―putusan
hakim‖ di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum
(rechtszeketheids) tentang ―statusnya‖ dan sekaligus dapat mempersiapkan
Iangkah berikutnya terhadap putusan tersebut tersebut dalam artian dapat
berupa: menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding atau
kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila
ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah
―mahkota‖ dan ―puncak‖ pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran
hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan,
mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dan
hakim yang bersangkutan.
Pada hakikatnya, secara teoretik dan praktik ―putusan akhir‖ ini dapat
berupa:
a. Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal)
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan
―perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan
meyakinkan tidak cukup terbukti menurut penilaian atas dasar
pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum
acara pidana ini.
b. Putusan Pelepasan Terdakwa dan Segala Tuntutan (Onslag van alle
Rechtsvervolging)
Secara fundamental terhadap putusan pelepasan dan segala tuntutan
hukum (Onslag van alle Rechtsvesvolging) diatur dalam ketentuan
Pasal 191 ayat (2) KUHAP dengan redaksional bahwa:
―Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum‖.
c. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)
Pada dasarnya putusan pemidanaan/veroordeling diatur oleh ketentuan
Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila dijabarkan Iebih intens, detail,
dan mendalam, terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika :
1) Dari hasil pemenksaan di depan persidangan.
2) Majelis hakim beroendapat, bahwa :
a) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa penuntut
umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum;
b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang Iingkup tindak
pidana (kejahatan/misdrijved atau peIanggaran/overtredingen):
dan
c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di
persidangan (PasaI 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).
3) OIeh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan
pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan.
Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus
mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti
dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan persoalan keadilan
biasanya selalu dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari
keadilan, dan ini berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan
sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari keadilan. Penting kiranya
untuk memberikan pemahaman bahwa sebuah keadilan itu bersifat abstrak,
tergantung dari sisi mana kita memandangnya. OIeh karena itu dalam
rangka memaksimalkan tujuan hukum maka kita tidak hanya memenuhi
rasa kepastian hukum tetapi juga memenuhi rasa keadilan.
Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan
pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologisnya,
yang mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan atau yang Iebih
urgen lagi adalah pertimbangan nasib korban kejahatan sebagai subjek
hukum yang terkena dampak Iangsung akibat kejahatan yang dilakukan
sebagai seseorang sehingga, hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan
dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah
serta, menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang
tentunya tidak bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari segala
hukum.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini berlokasi di Wilayah Regional kota
Makassar yang merupakan ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan, lokasi
penelitian yaitu mengambil lokasi pada lembaga diantaranya seperti Pengadilan
Negeri Makassar, Polrestabes, LSM yang bergerak di bidang perlindungan
Anak. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian adalah karena banyak anggapan
termasuk penulis sendiri yang menganggap masalah Perlindungan Anak dari
perbuatan Pidana terkhusus masalah anak yang menjadi korban Persetubuhan
di kota makassar masih kurang efektif baik dari segi Penerapan Hukum bagi
Pelaku maupun dari segi pencegahan dan perlindungan. Dari alasan tersebut
penulis termotivasi untuk melakukan kegiatan penelitian di daerah kota
Makassar.
B. Jenis dan sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian Hukum secara Empiris Dimana Data diperoleh langsung dari
lapangan disamping juga dapa yang diperoleh dari kepustakaan dan dokumen,
terutama buku-buku yang berkaitan dengan judul peneitian. Adapun sumber
data terbagi atas dua yaitu :
a. Data primer
Adalah data yang diperoleh dari lapangan, yaitu penelitian dilakukan dengan
cara mengambil data dari instansi yang berkaitan dengan pembahasan dalam
penulisan Proposal ini serta wawancara.
b. Data sekunder
Adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan yaitu penelitian kepustakaan,
yaitu dimana dengan membaca buku buku yang ada hubungannya dengan
objek yang sesuai dengan judul proposal ini diantaranya :
- KUH PIDANA
-

KUHA PIDANA

-

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak

-

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak
-

Kamus Hukum

-

Buku Literatur

C. Teknik Pengumpulan Data
Data di dapatkan dengan menggunakan Bahan hukum yang berkaitan
dengan Masalah Persetubuhan yang dilakukan terhadap anak. Data yang
diperoleh dari bahan Hukum yaitu :
1. Data Primer
Data primer, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari
Instansi yang berkaitan dengan judul dan melakukanwawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan,
membaca dan menelaah buku-buku atau literatur dan dokumen yang ada
kaitannya dengan penulisan ini, serta peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahanyang di bahas.
D. Analisis Data
Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah data
tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas
permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara
kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer dan data sekunder yang
diperoleh dari penelitian telah disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian
dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D. Analisa Penerapan Pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan
dengan anak dari dua sampel perkara di pengadilan Negeri Makassar
1. Kasus pertama Perkara Nomor :125/Pid.B/2010/PN.MKS
a. Kronologi kasus
Kasus ini terjadi pada jum‘at tanggal 13 november 2009 sekitar jam 23.00
WITA bertempat di jalan tol Reformasi Makassar atau setidak-tidaknya
bertempat di wilayah Pengadilan Negeri Makassar, telah bersetubuh di luar
perkawinan, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya, yang dilakukan oleh terdakwa. Berawal ketika saksi
korban Melati dengan Terdakwa bertemu pada tanggal 13 november setelah
saksi korban pulang dari acara pramuka di sekolahnya, saksi korban dan
terdakwa bertemu dan dibawa ke rumah Kost saksi Muliadi teman terdakwa
dengan dengan alasan minta tolong. Saksi korban dan terdakwa menginap di
kamar tersebut berdua, saat saksi korban hendak keluar terdakwa menghalangi
dan memegang tangan saksi korban dan memberikan air minum yang
membuat saksi korban merasa pusing dan tidak sadarkan diri, lalu kemudian
terdakwa menggunakan kesempatan itu dengan menciumi tubuh serta
membuka celana saksi korban, lalu memasukkan alat kelamin terdakwa ke
dalam alat kelamin saksi korban sehinna terdakwa merasa nikmat dan
akhirnya menumpahkan sperma di luar kelamin saksi korban.akibat perbuatan
terdakwa yang telah melakukan kekerasan untuk bersetubuh dengan saksi
korban sehingga diadukan ke pihak kepolisian.
b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
1. Menyatakan terdakwa terbuki secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana ‗dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak yaitu saksi korban melakukan
persetubuhan demngannya’ sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 81 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dalam dakwaan kedua ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa penjara selama 4 tahun
denan dikurangi masa tahanan sementara dan dengan perintah
terdakwa tetap ditahan ;
3. Menetapkan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
2.000,- (dua ribu rupiah) ;
c. Putusan
1. Menyatakan secara terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin
H.Darwis tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama primair;
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primair teserbut;
3. Menyatakan terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin H.Darwis
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
―bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahuinya ata sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya
untuk dikawini‖;
4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin
H.Darwis tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2
(dua) tahun dan (tiga) bulan ;
5. Menetapkan masa penahanan ang telah dijalanai terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan terdakwa tetap berada di dalam tahanan;
7. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah) ;
d. Fakta yuridis
Berdasarkan dakwaan pertama terhadap dakwaan primair yaitu Pasal 286
KUHP yang mempunyai unsur-unsur :
1. Unsur barang siapa : dalam hal ini menunjuk kepada subyek hukum
perseorangan, suatu kelompok atau korporasi selaku subyek hukum
pemangku hak dan kewajiban yang mampu dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya di depan hukum , yang dimaksud dalam perkara ini
adalah terdakwa;
2. Bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan : yang
dimaksud dengan persetubuhan di sini adalah perpaduan antara
kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasanya dijalankan untuk
mendapatkan anak, dimana kelamin laki-laki harus masuk ke dalam
kemaluan perempuan. Berdasarkan pemeriksaan di persidangan
terungkap fakta terdakwa melakukan tindakan tersebut ang dibenarkan
oleh saksi korban serta hasil visum et refertum. Dimana terdakwa
menyetubuhi korban yang tidak memiliki ikatan dengannya.
3. Padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya : yang dimaksud yait keadaan dimana seseorang tidak
memliliki kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan
keterangan para saksi bahwa unsur ini tidak terpenuhi
Dakwaan kedua subsidair yaitu Pasal 287 KUHP yang unsur-unsurnya
diuraikan :
1. Barang siapa : dalam hal ini menunjuk kepada subyek hukum
perseorangan, suatu kelompok atau korporasi selaku subyek hukum
pemangku hak dan kewajiban yang mampu dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya di depan hukum , yang dimaksud dalam perkara ini
adalah terdakwa;
2. Unsur bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, pada
dakwaan sebelumnya unsur ini telah dibahas maka dari itu unsur ini
terpenuhi;
3. Unsur padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas
bahwa belum waktunya untuk dikawini, berdasarkan pemeriksaan
pengadilan terungkap fakta bahwa korban belum berusia 15 tahun,
berdasarkan dari beberapa pertimbangan maka unsur ini terpenuhi ;
e. Pandangan Penulis
Berdasarkan putusan pengadilan terhadap kasus persetubuhan yang
dilakukan terhadap anak dengan terdakwa Muh.Fajri dan setelah
dilakukannya proses persidangan melalui pemeriksaan saksi-saksi, surat,
petunjuk serta keterangan terdakwa sehingga hakim menjatuhkan pidana
penjara terhadap terdakwa selama 2 (dua) tahun dengan memperhatikan
Pasal 287 ayat 1 KUH Pidana. Dengan pertimbangan bahwa untuk
menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana maka
perbuatan tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak
pidana yang didakwakan kepadanya dari pertimbangan tersebut maka
aturan yang sesuai terhadap perkara ini adalah Pada Pasal 287 ayat 1 KUH
Pidana.
Penjatuhan hukuman 2 tahun penjara dinilai relatif ringan jika berdasar
pada pasal 287 yang ancaman maksimalnya adalah 9 Tahun Penjara tanpa
mengabaikan hal-hal yang meringankan. hal ini menunjukkan keragu-raguan
bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa yang terbukti secara jelas
telah melakukan perbuatan yang dilarang itu, Karena perbuatan yang dilakukan
terdakwa akan memberikan efek trauma yang mendalam kepada saksi korban
yang bisa mempengaruhi kondisi Psikis dan beban yang harus ditanggung saksi
korban atas cap kotor oleh masyarakat yang masih banyak berpikir Primitif.
walaupun hakim mempunyai kebebasan dalam memilih mengenai berat
ringannya pidana yang akan di jatuhkan terhadap terdakwa. Mengenai bentuk
penjatuhan pidana yang di berikan kepada terdakwa dalam kasus tersebut di
atas, yang di berikan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam KUHP adalah
dengan di jatuhkannya pidana penjara, yang dalam ketentuan dalam KUHP
bersifat imperatif (keharusan).
Seperti yang diketahui dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
pertimbangan akan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan dan tujuan pemidanaan itu, yang semuanya terdapat di dalam
putusan sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa akan berdampak negatif bagi masa depan saksi
korban yang masih muda.
2. Perbuatan terdakwa bisa menyebabkan trauma yang mendalam pada
saksi korban yang akan berpengaruh pada kondisi psikisnya.
3. Perbuatan terdakwa mengakibatkan cap buruk bagi saksi korban dari
masyarakat yang kehilangan keperawanan dimana keperawanan adalah
hal yang sakral bagi kaum perempuan.
4. pembuatan terdakwa bertentangan dengan norma agama, kesusilaan
dan adat istiadat dan budaya khususnya daerah Makassar yang
mayoritas adalah suku bugis yang menjunjung tinggi budaya siri‘/malu.

Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengakui perbuatannya
2. Terdakwa bersedia menikahi saksi korban
3. Terdakwa belum pernah dihukum
4. Terdakwa masih tergolong masih muda, sehingga masih dapat
diharapkan memperbaiki kelakuannya.
Menurut kesimpulan penulis penjatuhan pidana penjara 2 (dua) tahun 3
(tiga) bulan oleh Majelis terhadap terdakwa kurang relevan jika
memperhatikan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa
yang akan berdampak sangat besar bagi korban dalam menjalani hariharinya kedepan setelah kejadian yang oleh masyarakat indonesia adalah
hal yang sangat memalukan.
2. Kasus kedua perkara Nomor : 324/Pid.B/2011/PN.MKS.
a. Kronologi Kasus
Kejadian ini bermula pada hari sabtu tanggal 27 November 2010 sekitar
jam 19.00 WITA bertempat di jalan perintis kemerdekaan tepatnya di
depan mall M.TOS kecamatan Tamalanrea Makassar, terdakwa hendra
mengajak pergi saksi korban Anneke Alias mey dengan cara menelpon
saksi korban untuk bertemu (diamana diketahui korban waktu itu masih
berusia 15 Tahun) dan ajakan terdakwa disanggupi. Tanpa seizin orang tua
skasi korban terdakwa membawa pergi saksi korban untuk jalan-jalan
dengan menggunakan motor. Setelah putar-putar kemudian terdakwa
membawa saksi korban menuju ke rumahnya di jalan malino mawang
perumahan Griya Reski Abadi Kab Gowa dan bermalam di rumahnya.
Kemudian pada hari senin tanggal 29 November 2010 sekita pukul 03.00
WITA terdakwa mengajak saksi korban untuk melakukan hubungan badan
layaknya suami istri, namun korban menolaknya dan akhirnya terdakwa
terus memaksanya sehingga saksi korban tidak berdaya kemudian
terdakwa membuka paksa pakaian saksi korban dan menyuruhnya untuk
membungkuk lalu terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat
kelamin saksi korban sehingga alat kelamin terdakwa mengeluarkan air
sperma di dalam alat kelamin saksi korban. Selama saksi korban menginap
di rumahnya hal tersebut dilakukan terdakwa sebanyak 2 (dua) kali.
Kemudian terdakwa mengajak saksi korban untuk menikah.
b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
1. Menyatakan terdakwa Hendra alias Enda terbukti secara sah menurut
hukum bersalah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak pada dakwaan pertama.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Hendra alias Enda dengan pidana
penjara selama 5 tahun dipotong masa tahanan dengan perintah
terdakwa tetap berada dalam tahanan Rutan Makassar dan denda
sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 2 (dua)
bulan kurungan.
3. Menyatakan agar terdakwa Hendra alias Enda dibebani membayar
biyaa perkara sebesar Rp. 2000,- (Dua Ribu Rupiah).
4. Menyatakan barang bukti terdakwa Hendra alias Enda berupa :
-

1 (satu) lembar surat keterangan dilampirkan dalam berkas perkara.

c. Putusan
1. Menyatakan Terdakwa Hendra alias Enda terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ― sengaja
melakukan atau mengancam kekrasan memaksa anak untuk
melakukan persetubuhan dengannya‖;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 4 (empat) Tahun, dan denda Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), dan jika denda tersebut
tidak dapat dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan
selama 1 (satu) bulan ;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang diajtuhkan ;
4. Memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan ;
5. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) lembar surat keterangan
tetap berada dalam berkas ;
6. Membebabnkan kepada terdakwa agar membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) ;
d. Fakta Yuridis
Berdasarkan dakwaan pertama yaitu Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dapat diuraikan :
1. Unsur setiap orang : bahwa yang dimaksud barang siapa adalah
siapapun juga yang menajdi subyek hukum dan memapu bertanggung
jawab secara hukum dalam hal ini adalah pelaku yaitu Hendra alias
Enda.
2. Unsur dengan sengaja : berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan baik dari keterangan para saksi, terdakwa dan barang
bukti, bahwa terdakwa menelpon korban untuk bertemu dan tanpa
seizin orang tua korban mengajaknya jalan-jalan setelah itu membawa
korban ke rumahnya dan mengajaknya untuk berhubungan badan
dengan cara memaksa korban untuk mengikuti keinginannya. Dari
uraian dia atas unsur dengan sengaja secara sah dan menurut hukum
telah terpenuhi.
3. Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan : berdasarkan
keterangan para saksi, terdakwa dan barang bukti bahwa terdakwa
membawa korban ke rumahnya dan mengajaknya untuk berhubungan
badan dengan cara memaksa korban dan setelah itu korban dinikahi
secara paksa oleh terdakwa fakta ini juga diperkuat dengan barang
bukti Visum Et Refertum. Dalam hal ini unsur melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan terpenuhi dan sah menurut hukum.
4. Unsur memaksa anak melakukan Persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain :

seperti yang telah diuraikan diatas sebelumnya cara

terdakwa melakukan paksaan melakukan persetubuhan dengannya
dengan membuka paksa pakaian korban dan memasukkan alat
kelaminnya ke dalam alat kelamin korban yang diperkuat oleh barang
bukti berupa Visum Et Refertum. Dengan demikian unsur untuk
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain secara sah dan menurut hukum terpenuhi.
e. Pendapat penulis
Berdasarkan putusan Hakim terhadap kasus persetubuhan yang
dilakukan terhadap anak dengan terdakwa HEDRA setelah
dilakukannya Proses persidangan melalui pemeriksaan saksi-saksi,
petunjuk, keterangan terdakwa dan barang bukti, Hakim menjatuhkan
Pidana Penjara selama 4 (empat) Tahun dan denda Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) dengan memperhatikan Pasal 81 ayat 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Hakim dalam memeriksa perkara pidana berusaha mencari dan
membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta yang terungkap
dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan
dalam surat dakwaan penuntut umum.
Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa putusan dalam perkara tersebut diatas
telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun
hukum pidana materil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa,
hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat
bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk di
dalamnya keterangan saksi yang saling bersesuaian ditambah dengan
keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang
dilakukannya. OIeh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Makassar menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah
mencocoki rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 81 UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan
demikian perbuatan terdakwa merupakan yang bersifat melawan
hukum dan tidak terdapat alasan pembenar. Terdakwa juga adalah
orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab dan dia
melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada alasan pemaaf.
Sehingga dengan demikian putusan majelis hakim yang memberikan
pemidanaan sudah tepat.
Majelis Hakim juga telah mempertimbangkan penjatuhan pidana
secara komulatif pidana penjara dengan denda dengan mendasarkan
pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
Seperti yang diketahui dalam menjatuhkan pidana kepada
terdakwa, yang harus diperhatikan oleh para hakim hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan dan tujuan pemidanaan
itu, yang semuanya terdapat di dalam putusan sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa akan berdampak negatif bagi masa depan saksi
korban kedepannya seperti pengucilan dalam masyarakat.
2. Perbuatan terdakwa bisa menyebabkan trauma yang mendalam
pada saksi korban yang akan berpengaruh pada kondisi psikisnya.
3. pembuatan

terdakwa

bertentangan

dengan

norma

agama,

kesusilaan dan adat istiadat dan budaya khususnya daerah
Makassar yang mayoritas adalah suku bugis yang menjunjung
tinggi budaya siri‘/malu.
4. Terdakwa sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan atas
perbuatan yang dilakukannya tersebut.
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi.
2. Terdakwa bersedia menikahi saksi korban
3. Terdakwa belum pernah dihukum
4. Terdakwa masih tergolong masih muda, sehingga masih dapat
diharapkan memperbaiki kelakuannya.
Berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa dalam setiap
menjatuhkan putusan perkara pidana, Majelis Hakim selalu
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan hukuman bagi terdakwa, dengan berdasarkan fakta
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak
penuntut umum berhak untuk menjalani eksekusi sesuai dengan
putusan pengadilan.
Seseorang yang dengan sungguh-sungguh ingin memperbaiki
kerusakan akibat perbuatannya, dapat dipandang sebagai mempunyai
sesuatu yang patut mendapat penghargaan. Penghargaan ini berupa
peringanan ancaman pidana yang dikenakan terhadap tindak pidana
yang dilakukan olehnya. Sedangkan hal-hal yang memberatkan pidana
tersebut dapat dijadikan bahan perbandingan dan kajian agar untuk
masa yang akan datang dapat mengacu kepada hal-hal tersebut diatas.
Hal ini juga Oleh Hakim yang saya wawancara, bahwa:
― Maksud pidana perampasan kemerdekaan adalah dengan pidana itu
dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah
terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang
lebih baik dan sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama
pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi
narapidana secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk
melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah dia keluar dan penjara.
Sedangkan, Pidana denda yang apabila dihubungkan dengan tujuan
pemidanaan, lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda.
Sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan
oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang harus
dibayar oleh terpidana. OIeh karena itu harus dipertimbangkan dengan
seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang
diancamkan terhadap suatu tindak pidana‖.
Berdasarkan putusan perkara pidana Nomor
:324/Pid.B/2011/PN.MKS , menyatakan bahwa terdakwa ―Hendra‖
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
melakukan kekerasan, memaksa anak bersetubuh dengannya.
Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda
sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), dengan ketentuan
apabila denda itu tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan.
Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan,
peranan Hakim penting sekali. Ia mengkonkretkan sanksi pidana yang
terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan bagi terdakwa.
Jadi pidana yang jatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik
atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia, merupakan
pemberian makna kepada pidana dalam sistem hukum Indonesia.
Meskipun pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu nestapa,
namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Hakim dalam menerapkan pidana penjara, disamping
mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga
memperhatikan keadaan-keadaan yang kiranya dapat menghindari
penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan ( pidana penjara ),
seperti:
1. Faktor usia si pembuat tindak pidana,
2. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali,
3. Kerugian terhadap korban,
4. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya.
E. Masalah persetubuhan terhadap anak dan Penerapan Pidana terhadap
pelaku persetubuhan terhadap anak di kota Makassar
Masalah persetubuhan terhadap anak oleh orang dewasa sekarang ini
khususnya di kota Makassar sudah menjadi sesuatu yang banyak kita dengar
atau kita temukan di masyarakat, akan tetapi sangat jarang kita temukan
perkara tersebut sampai kepada pengadilan. Di samping karena budaya siri‘
(malu) yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat kota Makassar
yang mayoritas adalah suku bugis, juga karena masalah Persetubuhan bisa
menjadi suatu aib bagi keluarga si korban sehingga pertimbangan ini menjadi
salah satu faktor kuat penyebab perkara persetubuhan terhadap anak jarang
untuk dibawa ke pengadilan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota kepolisian
Polrestabes Makassar dan Hakim di Pegadilan Negeri Makassar , dapat
penulis tarik kesimpulan Beberapa faktor yang menyebabkan perkara
persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak jarang untuk
dilimpahkan ke ranah Hukum disebabkan beberapa hal yaitu :
1. Rasa malu dari pihak keluarga korban persetubuhan yang menganggap hal
tersebut sebagai aib.
2. Adanya upaya damai berupa pernikahan.
3. Beban psikologis anak sebagai korban.
Masalah penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan
oleh orang dewasa terhadap anak dalam realitanya jarang sekali kita temukan
seorang pelaku dijatuhkan pidana maksimum, bahkan lebih banyak pelaku
dijatuhkan pidana kurang dari setengah dari ancaman pidana maksimum yang
sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa peran
lembaga peradilan dalam memberikan efek jera kepada pelaku masih
setengah-tengah, hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu penyebab
banyak orang yang merasa tidak takut melakukan kejahatan asusila terhadap
anak seperti tersebut di atas.
Dari data di Polrestabes Makassar mengenai perkara Persetubuhan
terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa Pasal 287 ayat 1 KUHP,
Pasal 81 Ayat(1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan Anak :
TAHUN
DICABUT
DILANJUTKAN
2007

3

2

2008

1

-

2009

2

-

2010

4

2

2011

3

1
Dari data statistik perkara di pengadilan Negeri Makassar antara tahun
2007-2011 mengenai kasus perkara persetubuhan dapat kita lihat di kolom di
bawah ini :
TAHUN
WANITA
ANAK
2007

1

2

2008

1

-

2009

2

-

2010

1

2

2011

2

1

Dari tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa perkara mengenai
persetubuhan terhadap anak adalah perkara yang langka di pengadilan negeri
Makassar, padahal mungkin sudah menjadi rahasia masyarakat jika masalah
persetubuhan terhadap anak banyak terjadi, akan tetapi dengan berbagai
alasan sehingga masalah tersebut cenderung untuk disembunyikan dan
diselesaikan secara kekeluargaan, sebab anggapan sebagian masyarakat yang
mencap hal tersebut mereka menganggapnya sebagai aib yang sangat
memalukan baik dari pihak keluarga korban maupun dari pihak keluarga
pelaku, sehingga para pihak lebih memilih upaya damai .
Dari keseluruhan kasus mengenai persetubuhan terhadap anak dari tabel
di atas khususnya yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1) undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, 90% penjatuhan hukuman kepada
pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak kurang dari setengah
ancaman maksimal yang di atur dalam undang-undang. Masalah tersebut
mengindikasikan bahwa upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana persetubuhan terhadap anak cenderung kurang berpihak kepada anak
sebagai korban, tentunya tanpa mengesampingkan dari sisi kemanusiaan
tentang hak-hak pelaku.
Dari hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Makassar
dikatakan bahwa ―dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku kita tidak
boleh semata-mata menjatuhkan hukuman atas dasar untuk membalas
dendam dengan cara menjatuhkan hukuman yang mengkin bisa
menghancurkan, akan tetapi hukuman itu bagaimana bisa agar menjadi
pembelajaran untuk memperbaiki dan memberikan efek jera dan menjadi
sesuatu yang membuat orang tidak akan melakukannya, demikianlah
sehingga perlu adanya upaya untuk memberikan kesempatan untuk
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork
Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...
SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...
SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...Uofa_Unsada
 
Kkp teknik komputer bsi print
Kkp teknik komputer bsi printKkp teknik komputer bsi print
Kkp teknik komputer bsi printRizky Dewi
 
(B) lembar pengesahan
(B) lembar pengesahan(B) lembar pengesahan
(B) lembar pengesahanYocta Rahman
 
penulangan kolom, balok dan plat bangunan gedung
penulangan kolom, balok dan plat bangunan gedungpenulangan kolom, balok dan plat bangunan gedung
penulangan kolom, balok dan plat bangunan gedungAgus Fitriyanto
 
FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...
FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...
FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...Uofa_Unsada
 
Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16fajar3w
 
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITALLAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITALNimroatul_Chasanah
 
PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...
PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...
PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...Uofa_Unsada
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAHLaporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAHEKPD
 
Halaman persetujuan
Halaman persetujuanHalaman persetujuan
Halaman persetujuanAri Iswanto
 
Sk model raport smk 2013 002
Sk model raport smk 2013 002Sk model raport smk 2013 002
Sk model raport smk 2013 002Winarto Winartoap
 
Tesis Model Efektivitas e-Government
Tesis Model Efektivitas e-GovernmentTesis Model Efektivitas e-Government
Tesis Model Efektivitas e-GovernmentArie Purwanto
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGUofa_Unsada
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDEKPD
 
Smk12 kimiaindustri-suparni
Smk12 kimiaindustri-suparniSmk12 kimiaindustri-suparni
Smk12 kimiaindustri-suparniDian Fery Irawan
 
Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...
Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...
Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...auliaulabee
 
Manajemen dan pendokumentasian asuhan kebidanan
Manajemen dan pendokumentasian asuhan kebidananManajemen dan pendokumentasian asuhan kebidanan
Manajemen dan pendokumentasian asuhan kebidananOperator Warnet Vast Raha
 

Mais procurados (19)

SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...
SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...
SISTEM PENGENDALIAN INTERN ATAS VERIFIKASI PEMBAYARAN LANGSUNG DI SATUAN KERJ...
 
Kkp teknik komputer bsi print
Kkp teknik komputer bsi printKkp teknik komputer bsi print
Kkp teknik komputer bsi print
 
(B) lembar pengesahan
(B) lembar pengesahan(B) lembar pengesahan
(B) lembar pengesahan
 
penulangan kolom, balok dan plat bangunan gedung
penulangan kolom, balok dan plat bangunan gedungpenulangan kolom, balok dan plat bangunan gedung
penulangan kolom, balok dan plat bangunan gedung
 
FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...
FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...
FUNGSI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PIUTANG TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN MAN...
 
Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16Kkp162008 08 16
Kkp162008 08 16
 
Lembar pengesahan
Lembar pengesahanLembar pengesahan
Lembar pengesahan
 
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITALLAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNIK OPTIK : FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
 
PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...
PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...
PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP KI...
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAHLaporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kepri - UMRAH
 
Halaman persetujuan
Halaman persetujuanHalaman persetujuan
Halaman persetujuan
 
Skipsiku
SkipsikuSkipsiku
Skipsiku
 
Sk model raport smk 2013 002
Sk model raport smk 2013 002Sk model raport smk 2013 002
Sk model raport smk 2013 002
 
Tesis Model Efektivitas e-Government
Tesis Model Efektivitas e-GovernmentTesis Model Efektivitas e-Government
Tesis Model Efektivitas e-Government
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2009 Bali - UNUD
 
Smk12 kimiaindustri-suparni
Smk12 kimiaindustri-suparniSmk12 kimiaindustri-suparni
Smk12 kimiaindustri-suparni
 
Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...
Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...
Analisis keamanan jaringan pada fasilitas internet (wifi) terhadap serangan p...
 
Manajemen dan pendokumentasian asuhan kebidanan
Manajemen dan pendokumentasian asuhan kebidananManajemen dan pendokumentasian asuhan kebidanan
Manajemen dan pendokumentasian asuhan kebidanan
 

Destaque

Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)
Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)
Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)Khairur Roziqin
 
Surat kesediaan pembimbing skripsi
Surat kesediaan pembimbing skripsiSurat kesediaan pembimbing skripsi
Surat kesediaan pembimbing skripsiCuplis Chephy
 
Skripsi nunik masfuah 072211027
Skripsi nunik masfuah 072211027Skripsi nunik masfuah 072211027
Skripsi nunik masfuah 072211027kipanji
 
Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030kipanji
 
Penegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak
Penegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anakPenegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak
Penegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anakCandra Putra
 
Pedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik Informatika
Pedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik InformatikaPedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik Informatika
Pedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik InformatikaFahriza Riza
 
Syarat untuk mengajukan proposal skripsi
Syarat untuk mengajukan proposal skripsiSyarat untuk mengajukan proposal skripsi
Syarat untuk mengajukan proposal skripsiRangga Setiaga
 

Destaque (11)

Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)
Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)
Tata caraHFDR pengajuan pembimbing tesis edit 1(1)
 
skripsi
skripsiskripsi
skripsi
 
Kejaksaan negeri raha p
Kejaksaan negeri raha  pKejaksaan negeri raha  p
Kejaksaan negeri raha p
 
Surat kesediaan pembimbing skripsi
Surat kesediaan pembimbing skripsiSurat kesediaan pembimbing skripsi
Surat kesediaan pembimbing skripsi
 
PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA
PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANAPERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA
PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PELAKU TINDAK PIDANA
 
Kurikulum
KurikulumKurikulum
Kurikulum
 
Skripsi nunik masfuah 072211027
Skripsi nunik masfuah 072211027Skripsi nunik masfuah 072211027
Skripsi nunik masfuah 072211027
 
Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030Skripsi shohibul ibad 072211030
Skripsi shohibul ibad 072211030
 
Penegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak
Penegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anakPenegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak
Penegakkan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak
 
Pedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik Informatika
Pedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik InformatikaPedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik Informatika
Pedoman Petunjuk Teknis Skripsi Teknik Informatika
 
Syarat untuk mengajukan proposal skripsi
Syarat untuk mengajukan proposal skripsiSyarat untuk mengajukan proposal skripsi
Syarat untuk mengajukan proposal skripsi
 

Semelhante a Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork

Bab I skripsi asef pdf
Bab I skripsi asef pdfBab I skripsi asef pdf
Bab I skripsi asef pdfAcef Ardian
 
Penegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasi
Penegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasiPenegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasi
Penegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasiyahyaanto
 
Metode Penelitian Hukum.pdf
Metode Penelitian Hukum.pdfMetode Penelitian Hukum.pdf
Metode Penelitian Hukum.pdfsirojumsirojum
 
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAISKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAIapedius
 
buku ajar hukum pidana.pdf
buku ajar hukum pidana.pdfbuku ajar hukum pidana.pdf
buku ajar hukum pidana.pdfBUMIManilapai1
 
PSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdf
PSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdfPSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdf
PSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdfGTSudjoko
 
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...Khairul Fadhli
 
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...Warnet Raha
 
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...Warnet Raha
 
Filsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode risetFilsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode risetSyafrizal Helmi
 
Studi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental LokalStudi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental LokalTri Cahyono
 
PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAH
PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAHPEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAH
PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAHAnang Sarbaini
 
Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...
Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...
Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...muhammadlarry
 
Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...
Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...
Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...kerong
 
Sejarah universitas jambi
Sejarah universitas jambiSejarah universitas jambi
Sejarah universitas jambieric krisna
 
Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...
Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...
Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...ChuzaymaZAR
 

Semelhante a Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork (20)

Bab I skripsi asef pdf
Bab I skripsi asef pdfBab I skripsi asef pdf
Bab I skripsi asef pdf
 
Bab I skripsi asef pdf
Bab I skripsi asef pdfBab I skripsi asef pdf
Bab I skripsi asef pdf
 
Penegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasi
Penegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasiPenegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasi
Penegakan hukum pidana lingkungan oleh korporasi
 
Metode Penelitian Hukum.pdf
Metode Penelitian Hukum.pdfMetode Penelitian Hukum.pdf
Metode Penelitian Hukum.pdf
 
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAISKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
 
buku ajar hukum pidana.pdf
buku ajar hukum pidana.pdfbuku ajar hukum pidana.pdf
buku ajar hukum pidana.pdf
 
PSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdf
PSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdfPSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdf
PSAK No. 45 Pembukuan Yayasan.pdf
 
Cover
CoverCover
Cover
 
Eko sri darminto
Eko sri darmintoEko sri darminto
Eko sri darminto
 
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
 
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
 
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TENTANG MANFAAT KOLOSTRUM DI WILAYAH KERJA PUS...
 
Filsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode risetFilsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode riset
 
Studi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental LokalStudi Hubungan Mental Lokal
Studi Hubungan Mental Lokal
 
PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAH
PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAHPEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAH
PEMBINAAN KEPATUHAN PESERTA DIDIK DI SEKOLAH
 
G
GG
G
 
Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...
Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...
Hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari ...
 
Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...
Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...
Unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh uji...
 
Sejarah universitas jambi
Sejarah universitas jambiSejarah universitas jambi
Sejarah universitas jambi
 
Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...
Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...
Implementasi kebijakan retribusi pelayanan persampahan di kec rappocini kota ...
 

Berikut ini latar belakang masalah yang saya buat berdasarkan informasi yang ada dalam skripsi Anda:Masalah kekerasan terhadap anak, khususnya tindak pidana persetubuhan, merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak (BK3PA) Kota Makassar, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilapork

  • 1. PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA MAKASSAR Oleh : SURIYADI 040 290057 Skripsi ini di ajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2013
  • 2. PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA MAKASSAR Oleh : SURIYADI 040 290 057 Skripsi ini di ajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2013
  • 3. PERSETUJUAN PEMBIMBING Diterangkan bahwa Skripsi tersebut di bawah ini: Nama Mahasiswa : SURIYADI Nomor Stambuk : 040290 057 Program Study : Ilmu Hukum Bagian : HukumPidana Judul Skripsi : PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA MAKASSAR Dasar Penetapan : SK DEKAN .NO.092/H.05/FH-UMI/VII/2012 Telah diperiksa dan dapat disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. Makassar,2013 Pembimbing I Pembimbing II ( H. Iwan Akil, SH,MH., ) ( A.Mutia Farida, SH, MH,) Mengetahui Ketua Bagian Hukum Pidana ( H. Iwan Akil, SH, MH. )
  • 4. PERSETUJUAN UNTUK UJIAN SKRIPSI Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia memberikan persetujuan untuk mengikuti ujian skripsi kepada: Nama Mahasiswa : SURIYADI Stambuk : 040 290 057 Program Studi : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana Judul Skripsi : PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA MAKASSAR Makassar,2013 Dekan Fakultas Hukum H. Hasbi Ali, SH. MS
  • 5. PENGESAHAN SKRIPSI Di terangkan Bahwa Skripsi tersebut di bawah ini: Judul : PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAKDI KOTA MAKASSAR Nama Mahasiswa : SURIYADI Nomor Stambuk : 040290 057 Program Study : Ilmu Hukum Bagian : HukumPidana Dasar Penetapan : SK.NO.092/H.05/FH-UMI/VII/2012 Telah dipertahankan dihadapan majelis Ujian Skripsi pada tanggal ………………………..2013 dan dinyatakan lulus oleh Tim penguji: 1)H. Iwan Akil, SH, MH. (.........................................................) 2)A. Mutia Farida, SH, MH. (.........................................................) 3)............................................ 4) ............................................. (.........................................................) (.........................................................)
  • 6. KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum Wr.Wb. Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan Rahmatnya penulis diberikan inspirasi, pengetahuan, kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini , salam dan sholawat tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi seluruh umat manusia di dunia termasuk penulis. Tujuan dari Skripsi yang berjudul ― Penerapan Pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di kota Makassar” adalah untuk memenuhi persyaratan akhir akademik una memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. Rampungnya skripsi ini penulis Dedikasikan untuk kedua orang tua penulis La Mamma dan Hj. Mukarramah atas segala do‘a, dukungan secara moril dan Materi serta kasih sayang yang tiada hentinya, yang INSYAALLAH akan mengantarkan kegerbang kesuksesan. Serta sanak saudara dan anggota keluarga lainnya. Sebelumnya Penulis menghaturkan permohonan maaf jika di dalam skripsi ini terjadi kesalahan atau kekeliruan yang tanpa penulis sengaja. Atas dasar tersebut penulis berlapang dada dalam menerima setiap saran ataupun kritikan yan pada dasarnya bersifat membangun. Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyelesaian Skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Pembimbing 1 H.Iwan Akil, SH,.MH, dan A. Mutia Farida, SH,.MH, selaku pembimbing II yang selama ini memberikan bimbingan dalam pembuatan Skripsi ini. 2. Pengadilan Negeri Makassar dan Polrestabes yang telah banyak membatu dalam pengumpulan data untuk menyelesaikan skripsi ini.
  • 7. 3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, H. Hasbi Ali, S.H., yang selama ini menjadi komando Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia. 4. Para Bapak/Ibu Dosen pengajar dan segenap Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan sampai proses penyusunan Skripsi. 5. Kawan - kawan seperjuangan angkatan2009 teman-teman dari KOMAHUM, Study Club, kader PERMAHI, sahabatku Azhar,Eka,Mirsan,dan Irwan, teman teman FH UMI beserta teman-teman lain yang tidak sempat disebutkan. 6. bapak Nathan Lambe,SH,.MH (Hakim PN Makassar), bapak Mustari (panitera PN Makassar) yang telah banyak membantu dalam penumpulan data. 7. sahabat kecilku sampai sekarang Reski dan Hendra yang telah menjadi seperjuangan dari sejak SD s/d sekarang 8. Bapak kost dan Ibu kos, teman – teman kost Pondok Mi‘raj, serta warga Tamamaung yang selama ini menjadi tetangga yang banyak mengajarkan saya tentang realita kehidupan dan menerima saya sebagai warga disana. 9. kepada seluruh staf dan tenaga pengajar di Pesantren Darul muchlisin UMI yang telah mengajarkan saya tentang arti Islam sesungguhnya. 10. Teman-teman KKPH di Pengadilan Agama Makassar yang banyak membantu dalam proses Praktek disana. 11. Seluruh keluarga yang telah mendukung saya selama ini dan memberikan saya motivasi. Untuk semua itu, penulis tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya, kecuali hanya harapan dan doa, mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan imbalan dan pahala yang setimpal dari Allah Subhanahu Wataala, Amin Ya Rabbal Alamin. Makassar, Februari 2013 SURIYADI
  • 8. DAFTAR ISI Halaman Judul .................................................................................................. i Halaman Persetujuan Pembimbing ................................................................ ii Halaman Persetujuan Untuk Ujian Skripsi ................................................... iii Halaman Pengesahan Skripsi .......................................................................... iv Kata Pengantar ................................................................................................. v Daftar Isi ............................................................................................................ vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................10 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian ...................................................................................................12 1. Pidana dan pemidanaan ..........................................................................12 2. Anak . ....................................................................................................21 3. Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak .........................................23 4. Ancaman pidana pelaku pemerkosaan anak .........................................25 B. Perlindunan Hukum terhadap anak ..............................................................27 1. Perlindungan anak ................................................................................28 2. Tanggung jawab perlindungan anak .....................................................32 3. Hukum perlindungan anak ....................................................................34 C. Pidana Penjara ..............................................................................................37
  • 9. D. Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana .............................................40 E. Putusan Hakim .............................................................................................46 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ..........................................................................................50 B. Jenis dan Sumber Data ................................................................................. 50 C. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... ................. 51 D. Analisis Data ................................................................................................ 52 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisa Penerapan Pidana terhadap pelaku tindak pidana Persetubuhan dengan anak dari dua sampel perkara di pengadilan Negeri Makassar................................................................. .....53 B. Masalah persetubuhan terhadap anak dan Penerapan Pidana terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak di kota Makassar ......................................................................................68 C. Eektivitas Pidana denda yang menyertai pidana penjara Dalam perkara persetubuhan terhadap anak di bawah umur ............................................................................................. 75 BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ..................................................................................................... 79 B.Saran ................................................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 82 LAMPIRAN ...................................................................................................... 84
  • 10. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan atau tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan dalam tata kehidupan sosial karena mengganggu ketenangan individu, kelompok atau dalam tingkatan tertentu dapat menciptakan suasana kehidupan nasional yang dapat atau Negara tidak stabil. Setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini seiring dengan semakin majunya perkembangan yang beraneka ragam dalam kebutuhan hidup manusia serta perkembangan diri manusia indonesia. Mengutip dari pernyataan Sahetapy (Sianturi, 1992, hal. 12)bahwa ― kejahatan erat hubungannya dan bahkan menjadi sebahagian hasil dari budaya sendiri, yang berarti semakin tinggi tingkat budayanya semakin modern suatu bangsa, semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya‖. Perkembangan itu di ikuti dengan semakin meningkatnya angka kriminalitas terhadap jenis kejahatan tersebut dapat berasal dari berbagai tingkat usia, status ekonomi, jenis kelamin dan lain sebagainya. 1. Berdasarkan tingkatan usianya maka secara garis besar korban kejakatan dapat digolongkan sebagai anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. 2. Berdasarkan pada status ekonomi sosial ekonominya korban kejahatan dibagi atas masyarakat dengan ekonomi bawah, menengah dan atas. 3. Berdasarkan jenis kelamin maka korban kejahatan dapat digolongkan atas Pria dan wanita. Manusia kadang-kadang gagal mencegah dirinya dari kecenderungan untuk berbuat deviatif (menyimpang) dan jahat karena faktor ekonomi, tuntutan biologis dan harga diri. Padahal diketahui bersama bahwa kejahatan yang diperbuatnya merupakan bentuk peningkaran terhadap norma-norma dan nilai-nilai kemanusiaan. Anak sebagai korban kejahatantentunya memerlukan perhatian yang serius dari semua pihak, mengingat bahwa anak merupakan generasi penerusa bangsa yang akan memegang estapet pemerintahan nantinya. Salah satu jenis kejahatan yang sering dialami oleh anak adalah kekerasan seksual seperti
  • 11. tindakan persetubuhan baik yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak maupun tinakan tersebut yang diakukan oleh anak. Negara Indonesia sendiri adalah Negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim sehingga Hukum Islam sendiri termasuk Hukum Yang diakui dan diterapkan sebagai Hukum Positif, contoh kecilnya Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan Hukum Islam sebagai Hukum positif. Dalam hubungannya dengan Agama Islam Persetubuhan atau dalam islam termasuk dalam kategori Zina adalah Perbuatan Bersenggama antara laki-laki dan wanita yang tidak terikat hubungan pernikahan. Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang sudah memiliki pasangan sah (menikah), sedangkan pezina ghayru muhshan adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah. Masalah Zina sendiri dibahas dalam Al Qur‘an Surah Al Israa‘ 17:32 ,dan An Nur 24:26. Berikut uraian ayat yang menerangkan tentang Zina : Q.S Al Israa‘ Ayat (32)    Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. Q.S An Nur Ayat (26)        Artinya : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan lakilaki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan lakilaki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). Di dalam kehidupan bermasyarakat, tindak pidana persetubuhan terhadap anak menimbulkan trauma gangguan mental serta psikis dari anak tersebut. Anak
  • 12. sendiri mudah sekali menjadi korban kejahatan dikarenakan orang beranggapan seorang anak masih kecil, belum mengerti apa-apa ditambah lagi belum mampu untuk melakukan perlawanan saat menjadi sasaran kejahatan yang memudahkan pelaku untuk menjadikannya korban kejahatan. Pada dasarnya tindak pidana persetubuhan adalah bentuk kejahatan primitif yang kita semua tahu terdapat pada masyarakat manapun juga. Gejala sosial kejahatan merupakan salah satu tantangan yang harus dipikirkan secara serius karena akibat yang ditimbulkan bukan hanya anak namun juga akan menimbulkan ketakutan dalam masyarakat (fear of society). Anggota masyarakat yang memiliki anak gadis misalnya pasti akan merasa was-was akibat adanya kemungkinan ancaman kejahatan yang sewaktu-waktu bisa menimpa anaknya. Kejahatan yang menyangkut kesusilaan khususnya kejahatan persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur telah diatur dalam KUHP yang terdapat dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi ― Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawini, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun‖. Di samping dalam KUHP dalam memberi jaminan perlindunan terhadap anak pemerintah mengeluarkan regulasi tentang perlindungan anak dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002. berdasarkan asas lex spesialis derogat Lex Generalis yang berarti bahwa aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang umum. Dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak diatur lebih khusus dalam Pasal 81 : 1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,dipidana dengan pidana penjara paing lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 2) ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengan orang lain. Menurut penjelasan Pasal 287 ayat (1) KUHP, kejahatan persetubuhan merupakan delik aduan absolut , maksudnya ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila pengaduan dilakukan oleh si korban , jika tidak ada pengaduan maka si pelaku bebas dari tuntutan. Ada beberapa permasalahan
  • 13. hukum yang berhasil diinvetarisir beachman dan peterboster yang diikuti oleh Romli atmasasmita : a. Pelaku tidak ditangkap dan ditahan karena tidak ada pengaduan dari korban. b. Banyak pelaku kekerasan seksual yang ditangkap atau ditahan tidak dituntut atau dituntut untuk adanya pelanggaran ringan karena sering terjadi justru korban kemudian berbalik menjadi terdakwa dan diadili karena bukti yang dianggap kurang kuat sehinga pelaku bebas dan si korban baik dituntut karena diangap melakukan pencemaran nama baik. c. Banyak pelaku kekerasan seksual justru sebaliknya adalah kenaan korban misalnya : pacarnya, tetangga, sehingga tidak dillihat sebagai suatu perkosaan. Menurut Suparman Marzuki, dalam bukunya Otot dan Pelecehan Seksual, , Yogyakarta,1995, hal. 44 ada beberapa faktor pendorong terjadinya tindak pidana persetubuhan antara lain : 1. Adanya kelainan seksual (pedofilia) gairah seksual seorang laki-laki kepada anak-anak. 2. Faktor ekonomi : tingkat pendapatan masyarakat yang rendah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersisa sehingga banyak pengangguran. 3. Tingkat pendidikan yang rendah berakibat kurangnya pengetahuan, khususnya tentang hukum, sehingga pelaku dapat melakukan perbuatannya hanya didasarkan pada nafsu. 4. Kemerosotan moral. 5. Kemajuan teknologi.
  • 14. 6. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku relatif ringan sehingga tidak membuat pelaku jera. Di lihat dari faktor diatas dan dalam kenyataan hidup sehari-hari jumlah korban persetubuhan terhadap anak di bawah umur semakin meningkat, hal initerjadi karena anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum bisa menjaga diri sendiri dan masih mudah terpengaruh bujuk rayu. Tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu tindak pidana persetubuhan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang di tuntut oleh pihak korban. Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku. Meskipun sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepentingan pelaku, sedangkan kepentingan masyarakat seperti pihak-pihak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan kurang mendapatkan perhatian nyata. Hal ini dapat terbaca melalui pasal-pasal yang terumus dalam KUHP sendiri, yang secara normatif kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan atau hak-hak asasi korban. Maraknya kasus kejahatan persetubuhan terhadap anak, merupakan cerminan kegagalan penegakan hukum dalam menempatkan hukum sebagai kekuatan supremasi. Hukum tidak dijadikan sebagai kekuatan yang mampu memprevensi dan menindak para pelanggar dan penjahat, termasuk para pelaku persetubuhan terhadap anak. Keadilan yang diberikan oleh penerapan hukum melalui penjatuhan sanksi hukum kepada pelaku belum dapat mengobati penderitaannya, apalagi jika sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku tidak adil atau tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah yang disebut-sebut dapat menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah (menjadi korban) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan. Penjatuhan hukuman yang cukup ringan terhadap pelaku kejahatan persetubuhan terhadap anak itu di nilai dapat mendorong oknum-oknum sosial untuk melakukan praktikpraktik peniruan perbuatan tersebut. Mereka di beri angin segar oleh kalangan penegak hukum untuk berprilaku menyimpang melalui cermin lemahnya penegakan hukum. Belum ada keberanian moral-profetis dikalangan penegak hukum, khususnya hakim untuk menjatuhkan vonis secara maksimal. Ditinjau dari aspek yuridis, eksistensi KUHP terdapat kelemahan mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal guna menanggulangi pelaku kejahatan persetubuhan. KUHP yang dijadikan acuan
  • 15. untuk menjaring pelaku kejahatan persetubuhan mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan, salah satunya adalah ancaman pidananya yang di nilai relatif ringan terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak sehingga di anggap kurang memenuhi rasa keadilan bagi korbannya. Oleh karena itu, dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan anak yang merupakan lex spesialis dari ketentuan yang mengatur tentang kesusilaan yang terdapat dalam KUHP sebagai lex generalis di nilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum bagi anak korban persetubuhan, yang akan mengatur lebih luas tentang perlindungannya. Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ternyata dalam praktek peradilannya masih ada hakim yang menerapkan ketentuan KUHP terhadap kasus tersebut, sehingga asas (lex specialis derogat lex generalis) tidak secara maksimal diterapkan yang mengakibatkan kurang terpenuhinya rasa keadilan dalam penegakan hukum. Mengingat tindak pidana persetubuhan terhadap anak menimbulkan kerugian yang cukup besar baik dalam bentuk fisik maupun kejiwaan. Oleh sebab itu, hakim diharapkan dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku hendaklah sebanding dengan perbuatannya. Adapun ancaman pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP setinggi-tingginya adalah 9 tahun penjara , sedangkan menurut Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, persetubuhan terhadap anak dengan melakukan kekerasan maupun dengan ancaman kekerasan di ancam dengan pidana penjara 15 tahun dan paling singkat 3 tahun, denda paling banyak Rp. 300 Juta dan paling sedikit Rp. 60 Juta. Dalam Pasal 81 ayat (2), persetubuhan yang dilakukan dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, juga di ancam dengan pidana yang sama. Dari perkara tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang telah diputuskan oleh hakim. Berikut uraian putusan hakim yang dijatuhkan berdasarkan Pasal 287 ayat (1) KUHP : Kasus dengan nomor registrasi ( nomor 125/Pid.B/2010/PN.MKS ) dalam kasus ini terdakwa yang bernama Muh.Fajri alias Razid alias Panji Bin H.Darwis, umur 20 tahun, alamat jl.Komplek Perhubungan Hj.Banca II Batangase, Maros, jenis kelamin laki-laki, pekerjaan sopir. Penuntut umum menutut terdakwa dengan dakwaan Pertama primair Pasal 286 KUHPidana Subsider Pasal 287 ayat (1) KuhPidana atau kedua Pasal 81 ayat (1) undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Setelah dilakukannya pemeriksaan sidang pengadilan dan memperhatikan pertimbangan hukum yang dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan, menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama primair 1. Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primair tersebut
  • 16. 2. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 287 ayat (1) 3. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun 3 (tiga) bulan. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian tersebut, tentang penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Penerapan Hukum terhadap pelaku tindak Pidana persetubuhan terhadap anak di kota Makassar ? 2. Bagaimanakah efektivitas Pidana denda yang menyertai Pidana Penjara dalam perkara Kasus persetubuhan terhadap anak di kota Makassar ? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Tujuan dari penelitian tentanmg penerapan ketentuan pidana dalam kasus persetubuhan terhadap anak adalah : a. Untuk mengetahui dan menganilisis penerapan Hukum terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak di kota Makassar. b. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaku tindak pidana persetubuhan yang dillakkukan terhadap anak. 2. Manfaat Nilai suatu penulisan ditentukan oleh kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh.
  • 17. a. Secara teoritis, penulisan ini dimaksudkan untuk pengembangan ilmu hukum khususnya masalah penerapan ketentuan pidana terhadap kasus persetubuhan dengan anak. b. Secara praktis, penuisan ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi terhadap penerapan ketentuan pidana dalam kasus persetubuhan terhadap anak. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian 1. Pidana dan Pemidanaan Sebelum membicarakan jenis-jenis pidana yang dikenal orang dalam Hukum Pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri. Menurut Van Hammel ( Lamintang, 1984:47) arti Pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah:
  • 18. Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oIeh Negara. Menurut Simons (Lamintang,1984:48),pidana atau straf adalah: Suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. Dari dua rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuari dan tidak mungkin dapat mempunyal tujuan ( Lamintang,1984:49). Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Dwidja Priyatno (2006:7) ialah sebagai berikut: a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Setelah dijelaskan mengenai pengertian pidana kemudian akan dijelaskan pengertian pemidanaan sendiri. Menurut Sudarto ( Lamintang, 1984:49), perkataan Pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Yang beliau jelaskan sebagai berikut: Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. OIeh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tesebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam
  • 19. perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan (Hermien Hadiati Koeswati ,1995) pada umumnya dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu: a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien) Tokoh-tokoh terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Kegel. Mereka menganggap bahwa hukuman itu adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan tetapi hukuman harus dijatuhkan. Utrecht (1967 :159-160) mengemukakan bahwa: Kejahatanlah yang memuat anasir-anasir yang menuntut hukuman dan yang membenarkan hukum yang dijatuhkan (demisdaad zeif bevat de elementen die starf else en straft rechtvaardigen), jadi hukuman tidak mencapai suatu praktis (De straft becogt niet en practisch doel te verwezenlijken ). Sebagai contoh, memperbaiki penjahat jadi suatu maksud praktis tertentu itulah yang dalam pertimbangan menjatuhkan hukuman. Yang dengan sendirinya ada sebagai konsekuensi dari dilakukannya kejahatan. Hukuman itu adalah sesuatu res absuluta abefetectu futoro apakah hukuman itu bermanfaat pada akhirnya, itu bukan soal yang dipertimbangkan secara primer (pokok). Kant menambahkan (Lamintang 1984:25) bahwa: Dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat didalam apa yang disebut kategorishen imperatif menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan. Dari teori tersebut diatas, Nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Sajalan dengan itu, Polak ( Andi Hamzah, 1993 32) menjelaskan
  • 20. bahwa: ― Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne malis ex pediat esse malos)‖. Selanjutnya Polak (Andi Hamzah, 1993:33) menambahkan bahwa pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat: 1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif. 2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. 3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik, ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. Dari pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa dasar dijatuhkannya hukuman itu tidak lain kerana kejahatan itu sendiri. Adapun akibat positif maupun negatif dan pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan. Tujuan yang sebenarnya adalah penjara atau penderitaan. b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien) Para pengajar teori relatif ini tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukurnan itu sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang daripada pemidanaan itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Sedangkan pada prevensi khusus, para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan. Menurut Feurbach (Andi Hamzah 1993:141) dalam bukunya (Iehrbuch des peinlichen Rechts1801) bahwa yang dimaksud teori paksaan psikologis ancaman pidana bekerja sebagai ancaman
  • 21. psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakuti untuk meIakukan delik‖. Tentang kejahatan, (Andi Hamzah 1993 : 26-27) berpendapat bahwa: Pembinaan suatu kejahatan adalah hal yang wajar, akan tetapi harus dipersoakan apakah manfaat bagi masyarakat atau penjahat, kita tidak bisa melihat pada masa lalu melainkan juga pada masa depan. Oleh karena harus ada tujuan Iebih dahulu pada sekedar menjatuhkan pidana belaka. Van Bemmelen ( van bemmelen 1987: 27-28) memberi 3 teori relatif yaitu sebagai berikut: 1) Prevensi umum, tujuan pemerintah menjatuhkan pidana adalah untuk mencegah rakyat pada umumnya melakukan kejahatan. Adapun fungsinya adalah: a) Menegakkan wibawa pemerintah, b) Menegakkan hukum, c) Membentuk norma. 2) Prevensi khusus, pidana adalah pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri. Pelaku menyadari akibat dari perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana berfungsi mendidik atau memperbaiki. 3) Fungsi perlindungan, bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama waktu tertentu,masyarakat telah terhindar dari sasaran kejahatan, yang mungkin dilakukan jika seandainya Ia tidak dihukum. c. Teori Gabungan / Modern ( Vereningings Theorien) Teori gabungan atau teori modern merupakan kombinasi teori absolut dan teori retatif. Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain
  • 22. memberikan penderitaan jasmani juga psikologis dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Teori ini diperkenalkan oIeh Prins, Van Hammel, Van List, (Djoko Prakoso, 1984:47) pandangan sebagai berikut: 1) Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. 2) Ilmu hukum pidana dan dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan basil studi antropologis dan sosiologis. 3) Pidana ialah satu yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satusatunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya. Keseluruhan teori dan pandangan dan para pakar, realitas di masyarakat menunjukkan dalam kondisi dan komunitas tertentu instrument pidana tidak dapat memberi fungsi prevensi diduga dari kejadian tindak pidana yang menjadi faktor pemicu terjadinya pelanggaran. Masalah pokok yang dihadapi yakni belum adanya rumusan baku tentang tujuan pemidanaan. Rumusan tujuan pemidanaan baru tampak dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (RKUHPN 1972 Djoko Prakoso, 1982:42) berbunyi sebagai berikut: 1) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman (Perlindungan) Negara dan Penduduk. 2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berguna. 3) Untuk menghilangkan noda-noda oleh tindak pidana. Dari konsep tersebut diatas, mendapat perubahan-perubahan yang tertuang dalam Konsep Rancangan Undang-Undang (KUHP) tahun 1982/1983 dalam Pasal 3 ayat (1) (Djoko Prakoso, 1988 : 48) menyatakan bahwa:
  • 23. Tujuan Pidana dan Pemidanaan adalah: 1) Pemidanaan bertujuan untuk: a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menekankan norma hukum demi pengayoman masyarakat. b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermayarakat. c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan kesinambungan, dan mendatangkan rasa damal dalam masyarakat. d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Rancangan konsep pidana dan pemidanaan tersebut diatas nampaknya memberikan suatu arah yang jelas bagi tujuan yang hendak dicapai dari pidana dan pemidanaan di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sahetapy (Djoko Prakoso, 1984:42-43) yang berorintasi kepada pandangan lilosofis pancasila menyatakan bahwa: Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan dijelaskan selanjutnya bahwa makna pembebasan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pemikiran yang jahat, keliru melainkan Ia harus pula dibebaskan dalam kenyataan sosial di mana ia terbelengu. Dan pendapat tersebut di atas, nampak jelas bahwa sasaran utama yang dituju oleh pidana adalah si pelaku (penjahat) dalam pengertian pembebasan, disini sedemikian rupa sehingga si penjahat terbebas dan kenyataan sosial yang membelenggu (Djoko Prakoso, 1984:43) Sejalan dengan pandangan di atas, (Lamintang 1984 - 23) menyatakan bahwa: Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: 1) Untuk memperbaiki pribadi dan penjahat itu sendiri.
  • 24. 2) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan, dan 3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Hamzah dan Sumangelipu (Djoko Prakoso 1984:14-15) menguraikan pendapat tentang tujuan pemidanaansebagai berikut: Tujuan pemidanaan adalah bentuk untuk memperbaiki penjahat, sehingga dapat menjadi warga Negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama bagi delik tanpa korban (Victumless Crime) seperti homo seks, asas kemanusiaan yang adil dan beradab, maka sulit untuk menghilangkan sifat penjeraan (derent) pidana yang akan dijatuhkan, begitu pula sifat pembalasan (revenge) suatu pidana. 2. Anak Anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Tetapi dalam kenyataanya, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih terus mengalami kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena anak adalah manusia yang belum memiliki kematangan sosial, pribadi dan mental seperti orang yang telah dewasa. Adapun perbedaan anak dengan orang dewasa terlihat dengan adanya perbedaan umur dan tingkah laku. Berikut ini pengertian anak yang termuat dalam beberapa perundang-undangan yang terkait dengan hal tersebut, yaitu: a. Pengertian Anak Menurut KUHPidana: Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun. b. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata:
  • 25. Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin. c. Pengertian Anak Menurut UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal I ayat (1): Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. d. Pengertian Anak didalam UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1): Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. e. Pengertian Anak didalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2): Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. f. Menurut UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (5) sebagai berikut: Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. g. Pengertian Anak menurut Konvensi Tentang Hak-hak Anak (convention on the right of the child) tahun 1989 sebagai berikut: Anak adalah setiap manusia dibawah umur 18 (delapan betas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Diantara sekian banyak pengertian anak yang telah dikemukakan, maka dalam tulisan ini pengertian anak yang digunakan adalah pengertian anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dimana dalam undang-undang ini menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
  • 26. kemanusiaan serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. 3. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak. Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa, perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia. Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur suka sama suka. Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana pemerkosaan, (Bagong Suyanto, 2003:14) yaitu: a. Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya melainkan serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban. b. Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya. c. Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan seksual. d. Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan
  • 27. untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tettentu bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan pada umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan. e. Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial. 4. Ancaman Pidana Pelaku Pemerkosaan Anak Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam KUHP Pasal 287 yang selengkapnya sebagal berikut: a. Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. b. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294. Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatannya: bersetubuh
  • 28. Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak korban maupun didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali anak tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami, sehingga anak tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP (Adami Chazawi2005:71) 2) Objek: dengan perempuan di luar kawin. Artinya perempuan diluar kawin 3) Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas dan belum waktunya untuk kawin. Adapun indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah dan tubuhnya yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haid. Adapun bentuk psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain seperti pada umumnya anak belum berumur lima belas tahun. b. Unsur Subjektif: a) Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun. Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahannya, yang berupa: Kesengajaan, yakni diketahuinya umurnya belum lima belas tahun dan kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin. Adapun ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai berikut: 1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
  • 29. penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak. 1. Perlindungan Anak Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagal kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu. Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
  • 30. baik secara fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita (1989:35) mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang etektif dan efisien. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibakan matinya inisiatif, kreatifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemampuan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu sebagai berikut: a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan. b. Perlindungari anak yang bersifat non yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan. Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi. Secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak
  • 31. perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamn kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wàjar, baik fisik, mental, dan sosialnya. Arif Gosita (1989:52) berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal ini, Abdul Hakim Garuda. Nusantaran mengatakan (1986:22): Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut: 1) Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak. 2) Dasar Etis ; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak. 3) Dasar Yuridis ; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan Iainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu
  • 32. penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan. Perlindungan anak dapat dilakukan secara Iangsung maupun tidak Iangsung. Secara Iangsung maksudnya kegiatannya Iangsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dan berbagai ancaman dan luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan diri dan sebagainya. Perlindungan anak secara tidak Iangsung yaitu kegiatan tidak Iangsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan /terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya, mereka yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana. 2. Tanggung jawab Perlindungan Anak Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga Negara ikut bertanggungjawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan bersama kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan anak dilaksanakan dengan baik, anak menjadi sejahtera. Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 yaitu:
  • 33. a) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etik budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21). b) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22). c) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara umum bertangung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23). d) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 2). Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2002). Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002, yaitu: a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Dalam hal orang tua tidak ada, dan atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Hukum Perlindungan Anak
  • 34. Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri, yang tidak hanya sama, tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu diperlukan aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang menyangkut kepentingan anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak. Arif Gosita (1989:35) mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benarbenar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang belum dibebani kewajiban. Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya. Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang Iebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Aris Gosita (1989:35) memberikan beberapa rumusan tentang hukum perlindungan anak sebagai berikut: 1) Hukum Perlindungan Anak adalah suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Apabila dilihat menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, Hukum Perlindungan Anak beraspek mental, fisik, dan sosial (hukum). ini berarti, pemahaman dan penerapannya secara integratif. 2) Hukum Perlindungan Anak adalah suatu hasil interaksi antar pihakpihak tertentu, akibat ada suatu interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Perlu diteliti, dipahami, dan dihayati yang terlibat pada eksistensi Hukum Perlindungan Anak tersebut. Selain itu
  • 35. juga diteliti, dipahami, dan dihayati gejala yang mempengaruhi adanya Hukum Perlindungan Anak tersebut (antara lain individu dan lembagalembaga sosial). Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu permasalahan yang sulit dan rumit. 3) Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu tindakan individu yang dipengaruhi unsur-unsur sosial tertentu atau masyarakat tertentu, seperti kepentingan(dapat menjadi motifasi), lembaga-lembaga sosial (keluarga, sekolah, pesantren, pemerintah, dan sebagainya). Memahami dan menghayati secara tepat sebab—sebab orang membuat Hukum Perlindungan Anak sebagai suatu tindakan individu (sendirisendiri atau bersama-sama), dipahami unsur-unsur sosial tersebut. 4) Hukum Perlindungan Anak dapat menimbulkan permasalahan hukum (yuridis) yang mempunyai akibat hukum, yang harus diselesaikan dengan berpedoman dan berdasarkan hukum. 5) Hukum Perlindungan Anak tidak dapat melindungi anak, karena hukum hanya merupakan alat atau sarana yang dipakai sebagai dasar atau pedoman orang yang melindungi anak. Jadi yang penting disini adalah para pembuat undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak. Sering diajarkan/ditafsirkan salah, bahwa hukum itu dapat melindungi orang. Pemikiran itu membuat orang salah harap pada hukum dan menganggap hukum itu selalu benar, tidak boleh dikoreksi, diperbaharui, dan sebagainya.
  • 36. 6) Hukum Perlindungan Anak ada dalam berbagai bidang hukum, karena kepentingan anak ada dalam berbagai bidang kehidupan kelurga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. C. Pidana Penjara 1. Pengertian Pidana Penjara Pidana penjara ialah pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana penjara dilakukan dengan menempatkan terpidana dalam sebuah penjara, dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam penjara. Menurut Roeslan Saleh (1 987:62) menyatakan bahwa: Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu. Barda Namawi Arif (1996:44) menyatakan bahwa: Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dan seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana. Berdasarkan uraian diatas pada prinsipnya bahwa pidana penjara berkaitan erat dengan pidana perampasan, kemerdekaan yang dapat memberikan cap jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri manusia apabila seseorang dijatuhi pidana penjara. 2. Efektivitas Pidana Penjara Menurut Barda Nawawi Arief (2002: 224), efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan komflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di
  • 37. dalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. a. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat. Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan. b. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku. Dilhat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dan pidana. Jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana. Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan diatas dapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti apakah nidana penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah efektivitas pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak faktor (Barda Nawawi Arief, 2002: 225, 229, 230). D. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Ternyata menurut penelitian yang pernah dilakukan, efektifitas pidana denda masih jauh dari tujuan pemidanaan. Faktor yang berhubungan dengan turunnya nilai mata uang, dalam hal ini pengadilan jarang sekali menjatuhkan pidana denda karena masih dirasakan tidak efektif. Pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. Sebagai sarana dalam politik kriminal, pidana ini tidak kalah efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Berdasarkan pemikiran ini maka pada dasarnya sedapat mungkin denda itu harus dibayar oleh terpidana dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu. Kalau keadaan mengizinkan, denda yang tidak dibayar itu dapat dikembalikan dari kekayaan atau pendapatan terpidana sebagai gantinya. Pengganti itu tidak mungkin, maka pidana penjara pengganti dikerjakan kepadanya. Ketentuan agar
  • 38. terpidana sedapat mungkin membayar dendanya harus diartikan bahwa kepadanya diberi kesempatan oleh hakim untuk mengangsur dendanya. Mengingat tujuan pemidanaan yang tidak berupa pembalasan, maka dalam penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana secara nyata. 1. Hakikat dan tujuan pidana denda Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau pembayaran denda telah terdapat disebagian besar masyarakat. Tetapi sangat banyak ragamnya dalam menitkberatkan soalnya dalam sistem ini. Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan masyarakat yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka Ia boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya. Jumlahnya tergantung dan besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dan yang dirugikan Itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dan pembayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan. Cara penghukuman denda memberikan banyak segi-segi keadilan diantaranya adalah a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat direvisi apabila ada kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman Iainnya, seperti penderaan atau penjara yang sukar dimaafkan. b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah karena tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai dengan penjara untuk yang tidak sanggup membayar. c. Pidana denda dapat dilihat, dapat diatur untuk tidak melanjutkan pelanggar dan keadaan Iainnya dengan Iebih mudah dibanding dengan jenis hukuman Iainnya.
  • 39. d. Pidana denda membawa atau tidak mengakibatkan nama tercela kurang hormat seperti yang dialami terhukum penjara. e. Tidak merintangi pelanggar untuk memperbaiki hidupnya f. Pidana denda akan menjadi penghasilan bagi negara daerah dan kota. 2. Efektivitas Penjatuhan Pidana Denda Efektivitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai. Dalam rangka efektivitas yang menyangkut segi pelaksanaan (eksekusi), maka harus dibuang jauh-jauh suatu pemikiran bahwa kriteria efektif dan tidaknya pidana denda diukur dari besarnya uang yang didapat dikumpulkan oleh eksekutor (Jaksa) dari pidana denda yang dijatuhkan, dan dengan uang tersebut dapat digunakan sebagai ―andil‖ dalam pembangunan bangsa dan Negara. Untuk memaksa atau menimbulkan tekanan agar orang yang dijatuhi pidana denda mau membayar denda, maka dapat ditempuh jalan yaitu sebagai berikut : a. Mengaktifkan fungsi Kejaksaan sebagai eksekutor, yang juga merupakan Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata terhadap orang yang tidak mau membayar denda. Sehingga dalam fungsi dan kedudukan sebagai penggugat dapat memohon dilakukannya ―conservatoir beslaag‖ terhadap barang-barang milik terdakwa (sebagai tergugat) tidak terbatas terhadap barang-barang terkait Iangsung dengan kejahatan atau peIangaran yang dilakukan akan tetapi juga terhadap barang-barang Iainnya milik terdakwa. b. Melaksanakan secara konsekuen pidana, yang dalam KUHP berupa pidana pengganti denda, yang dalam KUHP sekarang berupa pidana
  • 40. kurungan atau dalam konsep Rancangan KUHP berupa pidana pengawasan atau pidana kerja sosial. Ditinjau dari segi efektivitasnya maka pidana menjadi kurang efektif apabila ditinjau dan segi penjeraanya terhadap terpidana. Hal ini disebabkan karena pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain. Sedangkan dalam hal pidana penjara tidak mungkin diwakilkan oleh orang lain. Disamping itu terpidana dapat saja mengumpulkan uang dan mana saja untuk melunasi/membayar denda tersebut. Sejauh ini inflasi merupakan faktor yang menjadi penghambat sehingga nilai ancaman pidana denda yang diatur didalam perundang-undangan pidana tidak mempunyai arti lagi. Sedangkan untuk melakukan perubahan dengan mengalikan jumlah denda seperti yang pernah dilakukan terhadap KUHP akan mengalami kesulitan. Hal tersebut adalah disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan yang tidak konsisten antara aturan pidana yang satu dengan aturan pidana lainnya. Di beberapa aturan pidana, ancaman pidana denda masih memberlakukan atau memakai ukuran yang lama. Sedangkan dalam perundang-undangan pidana Iainnya telah diancamankan dengan pidana denda menurut ukuran yang baru. Itulah sebabnya sehingga sulit untuk melakukan perubahan secara menyeluruh. Sedangkan apabila diubah saW per satu setiap aturan pidana, tentunya akan niemakan waktu dan tenaga yang banyk sekali. Faktor Iainnya yang dapat mempengaruhi efektivitas dad pada pelaksanaan pidana denda adalah divergensi antara pidana denda yang diancantan dengan pidana denda yang dijatuhkan. Rendahnya penjatuhan pidana denda akan mengakibatkan melemahnya pemetuhan hukum. Meskipun disadari bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana khususnya pidana denda selalu akan memperhatikan kemampuan terdakwa. Bahkan tidak jarang dalam kasus-kasus tertentu di mana hakim tidak bisa tidak harus menjatuhkan putusan berupa pidana denda, sedangkan terpidananya sama sekali tidak mampu untuk membayarnya sehingga jaksanya yang membayar denda yang dijatuhkan oleh pengadilan tersebut. 3. Pidana denda dalam pemidanaan Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan keadaankeadaan yang ada disekitar pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana
  • 41. pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan. perngaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana. Semuanya ini merupakan pedoman pemidanaan. Pemidanaan seperti yang telah dijelaskan, merupakan suatu proses. Hakim dalam menerapkan pidana penjara disamping mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan-keadaan yang kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), seperti misalnya: a. Faktor usia si pembuat tindak pidana, b. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali, c. Kerugian terhadap korban, d. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya. Melihat pada banyaknya faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan hakim dalam proses pemidanaan dan penerapan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), kiranya eksistensi pidana tidak perlu diragukan dan dicemaskan Iagi. Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, namun apabila hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan serta pedoman penerapan pidana penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda. Disini sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan hakim secara cermat, objektif dan praktis daripada pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) atau karena memperhitungkan untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan. E. Putusan Hakim 1. Pengertian dan Bentuk-bentuk Putusan
  • 42. Perihal putusan hakim atau ―putusan pengadilan‖ merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyeIesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan Iebih jauh bahwasannya ―putusan hakim‖ di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszeketheids) tentang ―statusnya‖ dan sekaligus dapat mempersiapkan Iangkah berikutnya terhadap putusan tersebut tersebut dalam artian dapat berupa: menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah ―mahkota‖ dan ―puncak‖ pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dan hakim yang bersangkutan. Pada hakikatnya, secara teoretik dan praktik ―putusan akhir‖ ini dapat berupa: a. Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal) Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan ―perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan tidak cukup terbukti menurut penilaian atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. b. Putusan Pelepasan Terdakwa dan Segala Tuntutan (Onslag van alle Rechtsvervolging) Secara fundamental terhadap putusan pelepasan dan segala tuntutan hukum (Onslag van alle Rechtsvesvolging) diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP dengan redaksional bahwa: ―Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum‖. c. Putusan Pemidanaan (Veroordeling) Pada dasarnya putusan pemidanaan/veroordeling diatur oleh ketentuan Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila dijabarkan Iebih intens, detail, dan mendalam, terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika :
  • 43. 1) Dari hasil pemenksaan di depan persidangan. 2) Majelis hakim beroendapat, bahwa : a) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang Iingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijved atau peIanggaran/overtredingen): dan c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di persidangan (PasaI 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP). 3) OIeh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa. 2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan. Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan persoalan keadilan biasanya selalu dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari keadilan, dan ini berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari keadilan. Penting kiranya untuk memberikan pemahaman bahwa sebuah keadilan itu bersifat abstrak, tergantung dari sisi mana kita memandangnya. OIeh karena itu dalam rangka memaksimalkan tujuan hukum maka kita tidak hanya memenuhi rasa kepastian hukum tetapi juga memenuhi rasa keadilan. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologisnya, yang mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan atau yang Iebih urgen lagi adalah pertimbangan nasib korban kejahatan sebagai subjek hukum yang terkena dampak Iangsung akibat kejahatan yang dilakukan sebagai seseorang sehingga, hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan
  • 44. dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah serta, menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari segala hukum.
  • 45. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian yang dilakukan ini berlokasi di Wilayah Regional kota Makassar yang merupakan ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan, lokasi penelitian yaitu mengambil lokasi pada lembaga diantaranya seperti Pengadilan Negeri Makassar, Polrestabes, LSM yang bergerak di bidang perlindungan Anak. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian adalah karena banyak anggapan termasuk penulis sendiri yang menganggap masalah Perlindungan Anak dari perbuatan Pidana terkhusus masalah anak yang menjadi korban Persetubuhan di kota makassar masih kurang efektif baik dari segi Penerapan Hukum bagi Pelaku maupun dari segi pencegahan dan perlindungan. Dari alasan tersebut penulis termotivasi untuk melakukan kegiatan penelitian di daerah kota Makassar. B. Jenis dan sumber Data Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Hukum secara Empiris Dimana Data diperoleh langsung dari lapangan disamping juga dapa yang diperoleh dari kepustakaan dan dokumen, terutama buku-buku yang berkaitan dengan judul peneitian. Adapun sumber data terbagi atas dua yaitu : a. Data primer Adalah data yang diperoleh dari lapangan, yaitu penelitian dilakukan dengan cara mengambil data dari instansi yang berkaitan dengan pembahasan dalam penulisan Proposal ini serta wawancara. b. Data sekunder Adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan yaitu penelitian kepustakaan, yaitu dimana dengan membaca buku buku yang ada hubungannya dengan objek yang sesuai dengan judul proposal ini diantaranya : - KUH PIDANA - KUHA PIDANA - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak
  • 46. - Kamus Hukum - Buku Literatur C. Teknik Pengumpulan Data Data di dapatkan dengan menggunakan Bahan hukum yang berkaitan dengan Masalah Persetubuhan yang dilakukan terhadap anak. Data yang diperoleh dari bahan Hukum yaitu : 1. Data Primer Data primer, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari Instansi yang berkaitan dengan judul dan melakukanwawancara. 2. Data Sekunder Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, membaca dan menelaah buku-buku atau literatur dan dokumen yang ada kaitannya dengan penulisan ini, serta peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahanyang di bahas. D. Analisis Data Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah data tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian telah disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN D. Analisa Penerapan Pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan dengan anak dari dua sampel perkara di pengadilan Negeri Makassar
  • 47. 1. Kasus pertama Perkara Nomor :125/Pid.B/2010/PN.MKS a. Kronologi kasus Kasus ini terjadi pada jum‘at tanggal 13 november 2009 sekitar jam 23.00 WITA bertempat di jalan tol Reformasi Makassar atau setidak-tidaknya bertempat di wilayah Pengadilan Negeri Makassar, telah bersetubuh di luar perkawinan, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, yang dilakukan oleh terdakwa. Berawal ketika saksi korban Melati dengan Terdakwa bertemu pada tanggal 13 november setelah saksi korban pulang dari acara pramuka di sekolahnya, saksi korban dan terdakwa bertemu dan dibawa ke rumah Kost saksi Muliadi teman terdakwa dengan dengan alasan minta tolong. Saksi korban dan terdakwa menginap di kamar tersebut berdua, saat saksi korban hendak keluar terdakwa menghalangi dan memegang tangan saksi korban dan memberikan air minum yang membuat saksi korban merasa pusing dan tidak sadarkan diri, lalu kemudian terdakwa menggunakan kesempatan itu dengan menciumi tubuh serta membuka celana saksi korban, lalu memasukkan alat kelamin terdakwa ke dalam alat kelamin saksi korban sehinna terdakwa merasa nikmat dan akhirnya menumpahkan sperma di luar kelamin saksi korban.akibat perbuatan terdakwa yang telah melakukan kekerasan untuk bersetubuh dengan saksi korban sehingga diadukan ke pihak kepolisian. b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum 1. Menyatakan terdakwa terbuki secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‗dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak yaitu saksi korban melakukan persetubuhan demngannya’ sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 81 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam dakwaan kedua ; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa penjara selama 4 tahun denan dikurangi masa tahanan sementara dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan ;
  • 48. 3. Menetapkan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah) ; c. Putusan 1. Menyatakan secara terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin H.Darwis tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama primair; 2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primair teserbut; 3. Menyatakan terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin H.Darwis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ―bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya ata sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawini‖; 4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin H.Darwis tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan (tiga) bulan ; 5. Menetapkan masa penahanan ang telah dijalanai terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 6. Menetapkan terdakwa tetap berada di dalam tahanan; 7. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah) ; d. Fakta yuridis Berdasarkan dakwaan pertama terhadap dakwaan primair yaitu Pasal 286 KUHP yang mempunyai unsur-unsur :
  • 49. 1. Unsur barang siapa : dalam hal ini menunjuk kepada subyek hukum perseorangan, suatu kelompok atau korporasi selaku subyek hukum pemangku hak dan kewajiban yang mampu dipertanggungjawabkan atas perbuatannya di depan hukum , yang dimaksud dalam perkara ini adalah terdakwa; 2. Bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan : yang dimaksud dengan persetubuhan di sini adalah perpaduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak, dimana kelamin laki-laki harus masuk ke dalam kemaluan perempuan. Berdasarkan pemeriksaan di persidangan terungkap fakta terdakwa melakukan tindakan tersebut ang dibenarkan oleh saksi korban serta hasil visum et refertum. Dimana terdakwa menyetubuhi korban yang tidak memiliki ikatan dengannya. 3. Padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya : yang dimaksud yait keadaan dimana seseorang tidak memliliki kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan keterangan para saksi bahwa unsur ini tidak terpenuhi Dakwaan kedua subsidair yaitu Pasal 287 KUHP yang unsur-unsurnya diuraikan : 1. Barang siapa : dalam hal ini menunjuk kepada subyek hukum perseorangan, suatu kelompok atau korporasi selaku subyek hukum pemangku hak dan kewajiban yang mampu dipertanggungjawabkan atas perbuatannya di depan hukum , yang dimaksud dalam perkara ini adalah terdakwa;
  • 50. 2. Unsur bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, pada dakwaan sebelumnya unsur ini telah dibahas maka dari itu unsur ini terpenuhi; 3. Unsur padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawini, berdasarkan pemeriksaan pengadilan terungkap fakta bahwa korban belum berusia 15 tahun, berdasarkan dari beberapa pertimbangan maka unsur ini terpenuhi ; e. Pandangan Penulis Berdasarkan putusan pengadilan terhadap kasus persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dengan terdakwa Muh.Fajri dan setelah dilakukannya proses persidangan melalui pemeriksaan saksi-saksi, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa sehingga hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 2 (dua) tahun dengan memperhatikan Pasal 287 ayat 1 KUH Pidana. Dengan pertimbangan bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana maka perbuatan tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya dari pertimbangan tersebut maka aturan yang sesuai terhadap perkara ini adalah Pada Pasal 287 ayat 1 KUH Pidana. Penjatuhan hukuman 2 tahun penjara dinilai relatif ringan jika berdasar pada pasal 287 yang ancaman maksimalnya adalah 9 Tahun Penjara tanpa mengabaikan hal-hal yang meringankan. hal ini menunjukkan keragu-raguan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa yang terbukti secara jelas telah melakukan perbuatan yang dilarang itu, Karena perbuatan yang dilakukan terdakwa akan memberikan efek trauma yang mendalam kepada saksi korban yang bisa mempengaruhi kondisi Psikis dan beban yang harus ditanggung saksi korban atas cap kotor oleh masyarakat yang masih banyak berpikir Primitif. walaupun hakim mempunyai kebebasan dalam memilih mengenai berat ringannya pidana yang akan di jatuhkan terhadap terdakwa. Mengenai bentuk penjatuhan pidana yang di berikan kepada terdakwa dalam kasus tersebut di atas, yang di berikan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam KUHP adalah dengan di jatuhkannya pidana penjara, yang dalam ketentuan dalam KUHP bersifat imperatif (keharusan).
  • 51. Seperti yang diketahui dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, pertimbangan akan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan dan tujuan pemidanaan itu, yang semuanya terdapat di dalam putusan sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: 1. Perbuatan terdakwa akan berdampak negatif bagi masa depan saksi korban yang masih muda. 2. Perbuatan terdakwa bisa menyebabkan trauma yang mendalam pada saksi korban yang akan berpengaruh pada kondisi psikisnya. 3. Perbuatan terdakwa mengakibatkan cap buruk bagi saksi korban dari masyarakat yang kehilangan keperawanan dimana keperawanan adalah hal yang sakral bagi kaum perempuan. 4. pembuatan terdakwa bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan adat istiadat dan budaya khususnya daerah Makassar yang mayoritas adalah suku bugis yang menjunjung tinggi budaya siri‘/malu. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui perbuatannya 2. Terdakwa bersedia menikahi saksi korban 3. Terdakwa belum pernah dihukum 4. Terdakwa masih tergolong masih muda, sehingga masih dapat diharapkan memperbaiki kelakuannya. Menurut kesimpulan penulis penjatuhan pidana penjara 2 (dua) tahun 3 (tiga) bulan oleh Majelis terhadap terdakwa kurang relevan jika memperhatikan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa yang akan berdampak sangat besar bagi korban dalam menjalani hariharinya kedepan setelah kejadian yang oleh masyarakat indonesia adalah hal yang sangat memalukan.
  • 52. 2. Kasus kedua perkara Nomor : 324/Pid.B/2011/PN.MKS. a. Kronologi Kasus Kejadian ini bermula pada hari sabtu tanggal 27 November 2010 sekitar jam 19.00 WITA bertempat di jalan perintis kemerdekaan tepatnya di depan mall M.TOS kecamatan Tamalanrea Makassar, terdakwa hendra mengajak pergi saksi korban Anneke Alias mey dengan cara menelpon saksi korban untuk bertemu (diamana diketahui korban waktu itu masih berusia 15 Tahun) dan ajakan terdakwa disanggupi. Tanpa seizin orang tua skasi korban terdakwa membawa pergi saksi korban untuk jalan-jalan dengan menggunakan motor. Setelah putar-putar kemudian terdakwa membawa saksi korban menuju ke rumahnya di jalan malino mawang perumahan Griya Reski Abadi Kab Gowa dan bermalam di rumahnya. Kemudian pada hari senin tanggal 29 November 2010 sekita pukul 03.00 WITA terdakwa mengajak saksi korban untuk melakukan hubungan badan layaknya suami istri, namun korban menolaknya dan akhirnya terdakwa terus memaksanya sehingga saksi korban tidak berdaya kemudian terdakwa membuka paksa pakaian saksi korban dan menyuruhnya untuk membungkuk lalu terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban sehingga alat kelamin terdakwa mengeluarkan air sperma di dalam alat kelamin saksi korban. Selama saksi korban menginap di rumahnya hal tersebut dilakukan terdakwa sebanyak 2 (dua) kali. Kemudian terdakwa mengajak saksi korban untuk menikah. b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum 1. Menyatakan terdakwa Hendra alias Enda terbukti secara sah menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada dakwaan pertama. 2. Menjatuhkan pidana terhadap Hendra alias Enda dengan pidana penjara selama 5 tahun dipotong masa tahanan dengan perintah
  • 53. terdakwa tetap berada dalam tahanan Rutan Makassar dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan. 3. Menyatakan agar terdakwa Hendra alias Enda dibebani membayar biyaa perkara sebesar Rp. 2000,- (Dua Ribu Rupiah). 4. Menyatakan barang bukti terdakwa Hendra alias Enda berupa : - 1 (satu) lembar surat keterangan dilampirkan dalam berkas perkara. c. Putusan 1. Menyatakan Terdakwa Hendra alias Enda terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ― sengaja melakukan atau mengancam kekrasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya‖; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) Tahun, dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), dan jika denda tersebut tidak dapat dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan selama 1 (satu) bulan ; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang diajtuhkan ; 4. Memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan ; 5. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) lembar surat keterangan tetap berada dalam berkas ;
  • 54. 6. Membebabnkan kepada terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) ; d. Fakta Yuridis Berdasarkan dakwaan pertama yaitu Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dapat diuraikan : 1. Unsur setiap orang : bahwa yang dimaksud barang siapa adalah siapapun juga yang menajdi subyek hukum dan memapu bertanggung jawab secara hukum dalam hal ini adalah pelaku yaitu Hendra alias Enda. 2. Unsur dengan sengaja : berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik dari keterangan para saksi, terdakwa dan barang bukti, bahwa terdakwa menelpon korban untuk bertemu dan tanpa seizin orang tua korban mengajaknya jalan-jalan setelah itu membawa korban ke rumahnya dan mengajaknya untuk berhubungan badan dengan cara memaksa korban untuk mengikuti keinginannya. Dari uraian dia atas unsur dengan sengaja secara sah dan menurut hukum telah terpenuhi. 3. Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan : berdasarkan keterangan para saksi, terdakwa dan barang bukti bahwa terdakwa membawa korban ke rumahnya dan mengajaknya untuk berhubungan badan dengan cara memaksa korban dan setelah itu korban dinikahi secara paksa oleh terdakwa fakta ini juga diperkuat dengan barang bukti Visum Et Refertum. Dalam hal ini unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terpenuhi dan sah menurut hukum.
  • 55. 4. Unsur memaksa anak melakukan Persetubuhan dengannya atau dengan orang lain : seperti yang telah diuraikan diatas sebelumnya cara terdakwa melakukan paksaan melakukan persetubuhan dengannya dengan membuka paksa pakaian korban dan memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin korban yang diperkuat oleh barang bukti berupa Visum Et Refertum. Dengan demikian unsur untuk memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain secara sah dan menurut hukum terpenuhi. e. Pendapat penulis Berdasarkan putusan Hakim terhadap kasus persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dengan terdakwa HEDRA setelah dilakukannya Proses persidangan melalui pemeriksaan saksi-saksi, petunjuk, keterangan terdakwa dan barang bukti, Hakim menjatuhkan Pidana Penjara selama 4 (empat) Tahun dan denda Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) dengan memperhatikan Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hakim dalam memeriksa perkara pidana berusaha mencari dan membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan penuntut umum. Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan dalam perkara tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk di dalamnya keterangan saksi yang saling bersesuaian ditambah dengan keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya. OIeh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah mencocoki rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 81 UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan yang bersifat melawan
  • 56. hukum dan tidak terdapat alasan pembenar. Terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab dan dia melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada alasan pemaaf. Sehingga dengan demikian putusan majelis hakim yang memberikan pemidanaan sudah tepat. Majelis Hakim juga telah mempertimbangkan penjatuhan pidana secara komulatif pidana penjara dengan denda dengan mendasarkan pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Seperti yang diketahui dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yang harus diperhatikan oleh para hakim hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan dan tujuan pemidanaan itu, yang semuanya terdapat di dalam putusan sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: 1. Perbuatan terdakwa akan berdampak negatif bagi masa depan saksi korban kedepannya seperti pengucilan dalam masyarakat. 2. Perbuatan terdakwa bisa menyebabkan trauma yang mendalam pada saksi korban yang akan berpengaruh pada kondisi psikisnya. 3. pembuatan terdakwa bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan adat istiadat dan budaya khususnya daerah Makassar yang mayoritas adalah suku bugis yang menjunjung tinggi budaya siri‘/malu. 4. Terdakwa sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. 2. Terdakwa bersedia menikahi saksi korban
  • 57. 3. Terdakwa belum pernah dihukum 4. Terdakwa masih tergolong masih muda, sehingga masih dapat diharapkan memperbaiki kelakuannya. Berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa dalam setiap menjatuhkan putusan perkara pidana, Majelis Hakim selalu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan hukuman bagi terdakwa, dengan berdasarkan fakta putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak penuntut umum berhak untuk menjalani eksekusi sesuai dengan putusan pengadilan. Seseorang yang dengan sungguh-sungguh ingin memperbaiki kerusakan akibat perbuatannya, dapat dipandang sebagai mempunyai sesuatu yang patut mendapat penghargaan. Penghargaan ini berupa peringanan ancaman pidana yang dikenakan terhadap tindak pidana yang dilakukan olehnya. Sedangkan hal-hal yang memberatkan pidana tersebut dapat dijadikan bahan perbandingan dan kajian agar untuk masa yang akan datang dapat mengacu kepada hal-hal tersebut diatas. Hal ini juga Oleh Hakim yang saya wawancara, bahwa: ― Maksud pidana perampasan kemerdekaan adalah dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang lebih baik dan sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi narapidana secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah dia keluar dan penjara. Sedangkan, Pidana denda yang apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan, lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda. Sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana. OIeh karena itu harus dipertimbangkan dengan seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana‖. Berdasarkan putusan perkara pidana Nomor :324/Pid.B/2011/PN.MKS , menyatakan bahwa terdakwa ―Hendra‖ terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
  • 58. melakukan kekerasan, memaksa anak bersetubuh dengannya. Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan Hakim penting sekali. Ia mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan bagi terdakwa. Jadi pidana yang jatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia, merupakan pemberian makna kepada pidana dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Hakim dalam menerapkan pidana penjara, disamping mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan-keadaan yang kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan ( pidana penjara ), seperti: 1. Faktor usia si pembuat tindak pidana, 2. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali, 3. Kerugian terhadap korban, 4. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya. E. Masalah persetubuhan terhadap anak dan Penerapan Pidana terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak di kota Makassar Masalah persetubuhan terhadap anak oleh orang dewasa sekarang ini khususnya di kota Makassar sudah menjadi sesuatu yang banyak kita dengar atau kita temukan di masyarakat, akan tetapi sangat jarang kita temukan perkara tersebut sampai kepada pengadilan. Di samping karena budaya siri‘ (malu) yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat kota Makassar yang mayoritas adalah suku bugis, juga karena masalah Persetubuhan bisa menjadi suatu aib bagi keluarga si korban sehingga pertimbangan ini menjadi
  • 59. salah satu faktor kuat penyebab perkara persetubuhan terhadap anak jarang untuk dibawa ke pengadilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota kepolisian Polrestabes Makassar dan Hakim di Pegadilan Negeri Makassar , dapat penulis tarik kesimpulan Beberapa faktor yang menyebabkan perkara persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak jarang untuk dilimpahkan ke ranah Hukum disebabkan beberapa hal yaitu : 1. Rasa malu dari pihak keluarga korban persetubuhan yang menganggap hal tersebut sebagai aib. 2. Adanya upaya damai berupa pernikahan. 3. Beban psikologis anak sebagai korban. Masalah penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan oleh orang dewasa terhadap anak dalam realitanya jarang sekali kita temukan seorang pelaku dijatuhkan pidana maksimum, bahkan lebih banyak pelaku dijatuhkan pidana kurang dari setengah dari ancaman pidana maksimum yang sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa peran lembaga peradilan dalam memberikan efek jera kepada pelaku masih setengah-tengah, hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu penyebab banyak orang yang merasa tidak takut melakukan kejahatan asusila terhadap anak seperti tersebut di atas. Dari data di Polrestabes Makassar mengenai perkara Persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa Pasal 287 ayat 1 KUHP, Pasal 81 Ayat(1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak : TAHUN DICABUT DILANJUTKAN 2007 3 2 2008 1 - 2009 2 - 2010 4 2 2011 3 1
  • 60. Dari data statistik perkara di pengadilan Negeri Makassar antara tahun 2007-2011 mengenai kasus perkara persetubuhan dapat kita lihat di kolom di bawah ini : TAHUN WANITA ANAK 2007 1 2 2008 1 - 2009 2 - 2010 1 2 2011 2 1 Dari tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa perkara mengenai persetubuhan terhadap anak adalah perkara yang langka di pengadilan negeri Makassar, padahal mungkin sudah menjadi rahasia masyarakat jika masalah persetubuhan terhadap anak banyak terjadi, akan tetapi dengan berbagai alasan sehingga masalah tersebut cenderung untuk disembunyikan dan diselesaikan secara kekeluargaan, sebab anggapan sebagian masyarakat yang mencap hal tersebut mereka menganggapnya sebagai aib yang sangat memalukan baik dari pihak keluarga korban maupun dari pihak keluarga pelaku, sehingga para pihak lebih memilih upaya damai . Dari keseluruhan kasus mengenai persetubuhan terhadap anak dari tabel di atas khususnya yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1) undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, 90% penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak kurang dari setengah ancaman maksimal yang di atur dalam undang-undang. Masalah tersebut mengindikasikan bahwa upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak cenderung kurang berpihak kepada anak sebagai korban, tentunya tanpa mengesampingkan dari sisi kemanusiaan tentang hak-hak pelaku. Dari hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Makassar dikatakan bahwa ―dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku kita tidak boleh semata-mata menjatuhkan hukuman atas dasar untuk membalas dendam dengan cara menjatuhkan hukuman yang mengkin bisa menghancurkan, akan tetapi hukuman itu bagaimana bisa agar menjadi pembelajaran untuk memperbaiki dan memberikan efek jera dan menjadi sesuatu yang membuat orang tidak akan melakukannya, demikianlah sehingga perlu adanya upaya untuk memberikan kesempatan untuk