Makalah ini membahas tentang kekerasan simbolik pada tontonan anak, khususnya pada serial animasi Jepang seperti Crayon Shinchan. Studi kasus menunjukkan adanya unsur-unsur kekerasan seksual dan gender yang tidak sesuai untuk anak, seperti obsesi seksualitas dewasa dan dominasi tokoh pria. Hal ini dapat mempengaruhi internalisasi nilai-nilai diskriminatif pada anak karena psikologi mereka belum matang.
1. TUNTUNAN KEKERASAN DALAM TONTONAN ANAK
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Audience Analysis
Oleh:
Ayu Noor Asry Sy. Saad 111400340
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS TELEKOMUNIKASI DAN
INFORMATIKA
SEKOLAH MANAJEMEN TELEKOMUNIKASI DAN MEDIA
INSTITUT MANAJEMEN TELKOM
2013
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
hidayahNya penulis mampu menyelesaikan makalah berjudul “Tuntunan Kekerasan Dalam
Tontonan Anak”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Audience
Analaysis.Saat ini kekerasan tidak hanya dirasakan secara langsung melalui kekrasan fisik.
Namun, kekerasan yang saat ini banyak terjadi adalah kekerasan simbolik kepada audience
melalui tontonan ditelevisi.
Sebelum mengetahui tentang kekerasan simbolik, kita harus mengetahui dan memahami
apa sebenarnya kekerasan simbolik itu?, Mengapa kekerasan simbolik itu bisa terjadi?, Apa saja
yang yang menjadi faktor utama dalam kekerasan simbolik?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menjadi fokus makalah yang penulis susun. Maka dari itu, penulis akan membahas dan
menguraikan studi kasus mengenai Kekerasan Simbolik Pada Penonton. Dengan analisis dan
penjelasan ini, penulis harap pembaca mampu memahami dan membelajari hal-hal yang penulis
uraikan dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa selama pembuatan makalah penulis banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Ella Jouvani Sagala,S.Psi,Msc,Psikolog, selaku dosen mata kuliah Audience
Analaysis yang telah mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah ini;
2. Rekan-rekan satu kelas yan dukungan kepada penulis sehingga makalah dapat
diselesaikan dengan baik;
3. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan,
baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya,
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Amin.
Bandung, Juni 2013
Penulis
3. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan media massa saat ini telah memasuki era tanpa
batas. Setiap orang termasuk anak-anak dapat mengakses informasi melalui beragam bentuk
media, termasuk televisi. Tayangan anak merupakan satu dari sekian banyak program
tayangan yang disuguhkan di layar kaca televisi. Program tersebut pada dasarnya ditujukan
bagi anak-anak agar mereka mendapat nilai-nilai positif bagi perkembangan dirinya, seperti
nilai agama, pendidikan, budi pekerti, dan moral.
Sesuai dengan tingkat perkembangannya, anak-anak memiliki kecenderungan untuk
meniru apa pun yang mereka lihat dari lingkungannya tanpa mempertimbangkan sisi baik
atau buruk dan manfaat atau kerugian yang ditimbulkan dari tayangan yang ditontonnya. Hal
ini terjadi karena anak-anak belum cukup memiliki daya pikir yang kritis sehingga mudah
percaya dan terpengaruh oleh isi dan materi media yang dikonsumsinya. Itulah sebabnya,
mereka memerlukan hiburan yang khusus dibuat untuk anak, yaitu hiburan yang
memperhatikan berbagai kebutuhan mereka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud kekerasan simbolik ?
2. Siapa saja yang dapat dirugikan dari kekerasan tersebut ?
3. Mengapa kekerasan simbolik bisa terjadi ?
C. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Mengetahui kekerasan simbolik pada penonton, terutama pada anak-anak.
2. Mendeskripsikan hal yang terjadi dalam kekerasan simbolik.
4. 3. Efek yang dirasakan oleh masyarakat lain terhadap kekerasan simbolik kepada penonton.
D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan tujuan memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan
informasi mengenai bagaimana perilaku youth audience memerangi kekerasan simbolik
yang mulai mempengaruhi masyarakat. Sedangkan, secara praktis makalah ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai sarana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang
hal apa saja yang tergolong kekerasan simbolik.
2. Dosen dan pembaca, sebagai media informasi mengenai tuntunan kekerasan dalam
tontonan anak baik secara teoritis maupun secara praktis.
E. Prosedur Makalah
Makalah ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini, penulis akan menguraikan pokok
bahasan yang dibahas secara jelas dan komprehensif. Data teoritis dalam makalah ini
dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka, artinya situs internet yang relevan
dengan tema makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan
mengeksposisikan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.
5. BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan Simbolik Pada Penonton
I. Kekerasan
Kekerasan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
a. Kekerasan fisik : kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan
dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau penderitaan
fisik lain atau kerusakan tubuh.
b. Kekerasan simbolik : Kekerasan yang halus dan tak tampak yang beroperasi
pada tingkat symbol (gambar,teks,foto) berupa pemalsuan identitas pelencengan
makna & misinformasi.
Kekerasan menjadi sebuah :
a. Kesenangan
b. Hiburan
c. Estetik
Berbagai penelitian yang dilakukan (Liebert dan Baron, 1972; Joy, 1977)
memberikan suatu kesimpulan bahwa efek adegan kekerasan terjadi dalam tiga tahap,
yaitu:
1. Penonton mempelajari metode agresi setelah melihat contoh (observational
learning).
2. Kemampuan penonton dalam mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition).
3. Perasaan mereka menjadi tidak tersentuh walaupun melihat korban tindakan
agresinya (desensitization).
II. Representasi
Merupakan reproduksi kenyataan dari objek dan kontruksi dari teknik, narasi dan,
ideologi.
6. Sebuah proses kontruksi didalam tiap medium (khususnya media massa), aspek-aspek
realitas seperti orang, tempat, kejadian, identitas kultural, dan konsep abstrak
lainnya (Daniel Chandler).
Tiga konsep teori dari Representasi
a. Kontruksi
Melihat fakta atau asumsi diri sendiri. Kontruksi Sosial ( Berger &
Luckmann )
1. Ekternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik
kegiatan mental maupun fisik.
2. Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik
dari kegiatan eksternalisasi manusia.
3. Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam
kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh
struktur sosial atau dunia sosial.
Kontruksi Sosial ( Fotografi )
Determinisme kelas melalui mediasi “simbolisme kelompok” dan praktis
individu mengkonstruktur apa yang layak difoto, subjek apa saja yang layak
diterima. Mereka didefinisikan sebagian, oleh pandangan tentang aturan
komposisi dan oleh pemahaman tentang situasi yang dapat dan harus dihargai
oleh fotografi
b. Reproduksi
Dari fakta & asumsi kemudian menganalisi kembali hal yang terjadi.
Realitas (Berger & Luckmann) :
Plurar : Kontruksi berdasarkan pengalaman, prefensi,
tingkat pendidikan, lingkungan, atau pergaulan sosial tertentu
Dinamis : Realitas subjektif dan realitas objektif.
Reproduksi (Pieere Bourieul)
7. Adalah system yang mengkonsentrasikan privilase (nilai), dengan
memperlakukan semua orang seolah-olah mereka setara dengan
rintangan yang berbeda berdasarkan dukungan budaya.
Melalui aktivitas produksi, strategi, sistem ketertarikan objektif
yang ditandai oleh sistem mode reproduksi tertentu.
Berbagai strategi yang digunakan untuk mempertahankan dan
mendapatkan berbagai bentuk modal.
Eksploitasi
Tindakan berlebihan kepentingan dan pencitraan tertentu realitas
dalam media.
Dominasi Sosial
Memanfaatkan life-style menghegemoni masyarakat, manipulasi
budaya, agresiativitas politik.
c. Ideologi (Louis Althusser)
1. Sistem kepercayaan (believe system) yang dianut karakteristik kelas
atau kelompok tertentu.
2. Sistem kepercayaan ilusif-ide palsu atau kesadaran palsu (false
consciousness) kontras dengan pengetahuan ilmiah.
Contoh : Polisi benar, anti kekerasan, jujur, mahasiswa subversive,
salah.
3. Proses umum produksi makna dan ide-ide (the rhetoric of ideology)
8. BAB III
STUDI KASUS
Tuntunan Kekerasan Pada Tontonan Anak
"Biar melihat celana dalam kecil Nene, aku sama
sekali tidak merasa apa-apa. Ya, Kazao?" Gadis kecil yang
disebut Nene itu hanya cemberut sambil pipinya merona
merah. Ia malu dan marah pada Shinchan tidak hanya akibat
persoalan celana dalam itu, melainkan juga penolakan teman-temannya
atas idenya untuk bermain rumah tangga-rumah
tanggaan. Nene senang sekali menjadi ibu bersuamikan si Bo.
Demikian salah satu adegan dalam serial Crayon
Shinchanepisode "Tahayul Kesialan Kazao", yang diputar
salah satu stasiun televisi nasional pada 2 April 2006. Beberapa adegan melecehkan wanita juga
ditemukan dalam beberapa episode film animasi "anak-anak" buatan Jepang ini.
Segmen "anak-anak" memang perlu diberi tanda kutip karena cara berpikir yang ditampilkan
anak TK berusia lima tahun dari Kasukabe, Distrik Saitama, Jepang, itu memang tidak lazim
untuk ukuran anak-anak sebaya dengannya. Hal itu disebabkan tokoh animasi buatan Yoshito
Usui ini selalu terobsesi pada seksualitas wanita dewasa.Dalam salah satu episode, misalnya,
Shinchan minta pada Jin Termos untuk didatangkan seorang model wanita cantik berbikini.
Dengan kekuatan sihirnya, model cantik itu memang hadir di hadapan Shinchan, tapi tanpa
bikini. Soalnya, lagi kena flu!.Kekerasan seksual semacam itu ditemukan dalam penelitian
"Kekerasan Televisi Terhadap Wanita", yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Kekerasan
personal lain yang ditemukan adalah kekerasan psikologis dan fungsional yang dilakukan tokoh
pria terhadap tokoh wanita. Upaya Shinchan memaksa model cantik yang lagi kena flu untuk
hadir di hadapannya itu masuk kategori kekerasan fungsional.Selain kekerasan personal,
ditemukan juga adanya kekerasan struktural. Kekerasan jenis ini dilakukan oleh nilai, norma,
atau sistem sosial tertentu melalui karakterisasi tokoh-tokohnya. Dari beberapa
9. episode Doraemon, Crayon Shinchan, dan P-Man ditemukan adanya dominasi tokoh pria atas
tokoh wanita, peneguhan stereotipe peran gender, domestikasi dan ekstensinya sebagai profesi,
serta objektivikasi seksualitas wanita.
Adanya kekerasan personal dan struktural dalam tayangan untuk anak-anak ini tentu sangat
memprihatinkan. Hal itu disebabkan televisi telah menjadi media keluarga yang banyak menyita
waktu anak-anak dibandingkan dengan aktivitas lain, kecuali tidur (Chen, 1996;
Greenfield,1989). Kedekatan semacam ini tentu mempunyai implikasi serius terhadap proses
internalisasi nilai-nilai ideologis tertentu yang bersifat diskriminatif dan seksis (Littlejohn, 1996,
2002; Shoemaker dan Reese, 1991, 1996). Artinya, karena konsep mental psikologis anak belum
terbentuk dengan baik, kekerapanexposure tayangan semacam itu bisa menjadikan kekerasan
artifisial menjadi natural. Inilah bahaya tontonan yang tidak bisa jadi tuntunan.
Teori strukturasi gender (Wolffensperger, 1991) membantu untuk memahami mengapa ideologi
gender dominatif-represif dalam film animasi anak-anak tersebut gagal untuk dikenali oleh
khalayaknya (misrecognition). Teori ini merupakan modifikasi teori strukturasi Anthony
Giddens (1986; 1986) sebagai varian dari teori ekonomi-politik komunikasi massa dalam
paradigma kritis struktural dikaitkan dengan analisis feminis (Golding dan Murdock, 1995).
Teori strukturasi menegaskan, produksi dan reproduksi sistem sosial bergantung pada
optimalisasi penggunaan struktur aktor dalam interaksi. Proses produksi ataupun reproduksi
sistem sosial ini bisa dilakukan dengan cara kursif (kekerasan aktual) atau persuasif (kekerasan
simbolik). Pada teori strukturasi gender, hal itu ditafsirkan, produksi dan reproduksi sistem sosial
dominatif-represif ditentukan oleh optimalisasi penggunaan struktur gender aktor wanita dan
aktor pria dalam interaksi sosial yang berlangsung.Menurut teori strukturasi, struktur dominasi
dipertahankan oleh kelompok dominan melalui struktur signifikasi dan struktur legitimasi yang
mampu menyembunyikan wajah dominasi untuk dikenali oleh korbannya (misrecognition).
Mekanisme ideologis semacam itu bekerja melalui proses naturalisasi praktek sosial yang
berlangsung.Melalui proses naturalisasi ini, praktek sosial dominatif-represif dengan
menggunakan kekerasan bisa dipandang sebagai bagian dari praktek sosial normal dan wajar.
Upaya penyingkapan selubung naturalisasi akan mempunyai potensi besar bagi terjadinya
produksi sistem sosial egaliter. Hal itu bisa terjadi apabila terdapat kepentingan emansipatoristik
dalam proses strukturasi.Melalui pendekatan feminis dengan bantuan Bourdieu (1990; 1993),
Connell (1987), dan Habermas (1996; 2005), teori strukturasi mentransformasikan dirinya dalam
10. teori strukturasi gender. Dalam teori strukturasi gender, struktur dominasi gender terjadi melalui
penundukan agen wanita oleh agen pria dan agen pemilik modal (biasanya juga agen pria)
dengan menggunakan struktur signifikasi dan struktur legitimasi.Struktur dominasi gender terjadi
dalam interaksi kekuasaan dengan menggunakan komunikasi, sanksi, dan kekerasan berdasarkan
modalitas fasilitas (alokatif dan otoritatif), skema interpretasi, norma, dan seksualitas. Dalam
teori strukturasi gender, proses ideologis untuk menyembunyikan wajah dominasi gender agen
pria terjadi melalui proses naturalisasi kekerasan terhadap agen wanita sebagai bagian dari
praktek sosial yang wajar dan normal.
Proses naturalisasi untuk "menormalkan" struktur dominatif-represif itu dilakukan melalui
politisasi relasi gender dan purifikasi kognisi gender. Politisasi relasi gender mewujud dalam
bentuk pembagian kerja (division of labour) secara seksual dan justifikasi terhadap relasi
heteroseksual. Purifikasi kognisi gender dilakukan dengan peneguhan stereotipe peran gender
melalui media massa, eksklusi dan marjinalisasi wanita dari narasi publik, serta dikotomisasi
domain publik-privat melalui romantisme bagi agen wanita untuk menemukan cinta sejati dan
heroisme bagi agen pria untuk menggunakan kekerasan.
Penggunan kekerasan oleh agen pria untuk mendapatkan kepatuhan agen wanita tersebut
mendapat justifikasi dari ideologi gender dominan: patriarkisme, kapitalisme, dan misoginisme.
Dalam proses penormalan itu, ideologi patriarkisme membenarkan penggunaan kekerasan fisik
dan seksual oleh agen pria atas agen wanita di rumah maupun di tempat kerja.
Ideologi kapitalisme membenarkan penggunaan kekerasan alienatif dalam wujud pembagian
kerja secara seksual dengan implikasi pada kekerasan psikologis dalam bentuk diskriminasi dan
prasangka negatif terhadap peran sosial wanita di masyarakat sebagai kelompok inferior.
Ideologi misoginisme membenarkan terjadinya proses dehumanisasi wanita melalui perendahan
derajat (objek kekerasan simbolik, fisik, seksual, kriminal) dan pengangkatan derajat (idealisasi
peran sosial wanita sebagai istri dan ibu rumah tangga yang sempurna).
Dalam kasus penayangan film animasi anak-anak asing, praktek institusional industri televisi
nasional yang menjadi situs pengamatan dalam penelitian ini ternyata belum mampu
11. memberdayakan (constraining) struktur gender agen wanita pengelola program untuk
memproduksi nilai-nilai egalitarian dalam relasi gender tokoh-tokoh yang ada tanpa harus
menunjukkan perilaku diskriminatif dan represif terhadap keberadaan tokoh wanitanya. Sistem
kapitalisme global dalam proses pemerolehan program anak-anak menjadi faktor penentu
minimalisasi struktur gender agen wanita itu.
Situasi semacam itu tidak ditemukan oleh agen wanita ini ketika menayangkan program
sinetron produksi lokal. Melalui tayangan sinetron itu, struktur gender agen wanita ini mampu
memberdayakan agensinya (enabling) untuk mengurangi eksploitasi seksualitas dan kekerasan.
Sebuah situasi yang sedang diupayakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) sebagai amanat Undang-
Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk melindungi kepentingan anak-anak,
remaja, dan kaum wanita dari semua bentuk perilaku kekerasan simbolik. Masalahnya,
program lokal untuk anak-anak di Indonesia masih merupakan produk langka, sehingga
ketergantungan pada program asing untuk anak-anak itu masih belum dapat dihindari
sepenuhnya
Persoalan kekerasan televisi terhadap wanita ini tampaknya masih merupakan pekerjaan
rumah serius di masa mendatang bagi semua stakeholders yang terlibat ketika struktur sosial di
belakang praktek institusional industri televisi belum sepenuhnya dapat digenderkan.Kita
memang sudah mempunyai berbagai ketentuan yang melarang praktek diskriminasi dan represi
terhadap kaum wanita. Antara lain dijumpai pada Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 Amandemen, UU
Nomor 7/1984 tentang Konvensi Wanita, UU Nomor 23/ 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2007,
Inpres Nomor 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, serta larangan kekerasan simbolik
dalam UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran.
Meski demikian, kita juga mempunyai ketentuan segregasi peran sosial bagi kaum pria
dan wanita, sebagaimana tampak dalam UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Selain itu,
munculnya RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi serta adanya ketentuan semacam Perda Nomor
8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Tangerang, apabila tidak disikapi dan dicermati dengan
seksama, bukan tidak mungkin akan mencederai struktur gender sistem sosial karena ketentuan
12. semacam itu mempunyai potensi besar untuk mengkriminalisasikan kaum wanita. Benar-benar
pekerjaan rumah besar bersama.
Analisis Kasus Terkait dengan Tuntunan Kekerasan Pada Tontonan Anak-Anak
Dari artikel kasus di atas tidak hanya menunjukkan kekerasan simbolik kepada anak-anak
melalui tontonan yang biasanya banyak diminati anak-anak tersebut, namun memperlihatkan
beberapa adegan yang melecehkan kaum wanita .Adegan yang tujukkan adalah "Biar melihat
celana dalam kecil Nene, aku sama sekali tidak merasa apa-apa. Ya, Kazao?" Gadis kecil yang
disebut Nene itu hanya cemberut sambil pipinya merona merah. Ia malu dan marah pada
Shinchan tidak hanya akibat persoalan celana dalam itu, melainkan juga penolakan teman-temannya
atas idenya untuk bermain rumah tangga-rumah tanggaan. Nene senang sekali
menjadi ibu bersuamikan si Bo. Dari adegan tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa ada
tindakan kekerasan simbolik karena dilakukan yang halus dan tak tampak yang beroperasi pada
tingkat symbol (gambar,teks,foto) berupa pemalsuan identitas pelencengan makna &
misinformasi.Kekerasan personal lain yang ditemukan adalah kekerasan psikologis dan
fungsional yang dilakukan tokoh pria terhadap tokoh wanita. Seperti upaya Shinchan memaksa
model cantik yang lagi kena flu untuk hadir di hadapannya itu masuk kategori kekerasan
fungsional.
Dan unsur kekerasan pada program anak tersebut ditemukan dalam bentuk penayangan
adegan kekerasan simbolik yang mudah ditiru anak-anak. Pertama, menampilkan kekerasan
secara berlebihan sehingga menimbulkan kesan, kekerasan adalah hal yang lazim dilakukan.
Kedua, kekerasan dalam hal ini tidak saja dalam bentuk fisik, tetapi juga verbal, seperti memaki
dengan kata-kata.
13. BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kasus kekerasan simbolik pada penonton untuk penayangan animasi anak-anak
ditelevisi nasional masih menjadi pengamatan dalam penelitian. Pengolahan
program untuk memproduksi nilai-nilai gender atau tokoh-tokoh masih menunjukkan
perilaku diskriminatif terhadap tokoh wanitanya .
Dalam penyajian program televisi untuk anak-anak pun masih banyak terkandung
unsure kekerasan tidak pantas ditonton oleh anak-anak, karena mengandung kekerasan
yang frekuensi kemunculannya cukup tinggi sehingga keberadannya tidak lagi untuk
mengembangkan cerita, namun menjadi inti bagian utama. Kekerasan yang dimaksud
bukan lagi dari perkataan kasar dan perkelahian, namun kemungkinan anak-anak untuk
meniru dan mengaplikasikannya.
B. Saran
Sangat diperlukan perhatian khusus dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk melindungi
kepentingan anak-anak, remaja, dan kaum wanita dari semua bentuk perilaku kekerasan
simbolik. Selain itu perlunya perhatian dari semua stakeholders yang terlibat.