1. 27 April 2012
Oleh Ali Murfi 11470082 KI-C
(1) ZAKAT PROFESI
Judul Buku : Problematika Zakat Profesi dan Solusinya (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum
Islam).
Penulis : Dr. Muhammad Hadi, M.Hi Cetakan : I, Oktober 2010.
Penerbit : Pustaka Belajar, Yogyakarta. Tebal : 283 hal.
Imam Malik bin Anas dalam karyanya Al-Muwatta‟ menyatakan bahwa Mu‟awiyah bin Abu Sofyan
adalah khalifah Islam pertama yang memberlakukan pemungutan zakat dari gaji, upah dan bonus
insentif tetap terhadap tetap terhadap prajurit islam. Hal yang sama „Umar bin Abdul Aziz adalah orang
pertama yang mewajibkan zakat atas gaji, jasa hononarium, penghasilan dan berbagai jenis profesi.
Jika dicermati dari sudut pengamatan sejarah, kesuksesan „Umar bin Abd Aziz, sesungguhnya didukung
oleh beberapa factor, yaitu: (1) terbentuknya kesadaran kolektif dan pemberdayaan Bayt Al-Mal, (2)
komitmen yang tinggi pada diri seorang pemimpin, (3) kondisi ekonomi relative ideal, (4) adanya
kepercayaan terhadap birokrasi/pengelola zakat.
Menurut Al-Jaziri harta yang wajib di kenai zakat ada emapat macam: ternak, emas-perak, perdagangan,
barang tambang-rikaz dan pertanian. Profesi dalam Islam dikenal dengan istilah Al-Kasb, yaitu harta
yang diperoleh melalui berbagai usaha; fisik, akal pikiran maupun jasa.
Berdasarkan apa yang tertera di atas, penghasilan dan profesi sebagai harta yang terkena kewajiban
zakat, ternyata masih terkendala oleh kondisi psycho-religious. Sesungguhnya kewajiban zakat diyakini
sebagai kerangka pranata hukum Islam, namun ekspresi kesadaran berzakat dari penghasilan dan profesi
oleh umat muslim masih tetap memperlihatkan kesenjangan.
Di kalangan ulama terdapat dua pendapat mengenai zakat profesi. Pertama, ulama yang mengatakan
tidak wajib zakat profesi dengan alasan belum pernah terjadi pada masa Rasul Saw (Ibn Qayim, Ibn
Hazm Ibn Shaibah dan Malik). Kedua, ulama yang berpendapat bahwa zakat profesi wajib dikeluarkan
(Abu Zahrah, Abd Al-Wahbab Khallaf, Abd Al-Rahman Hasan). Fakta ketiadaan literature hukum
klasik (kitab fiqh) yang mengupas secara detail perihal “zakat dan jasa” menunjukkan bukti bahwa status
hukum zakat profesi masih dalam tataran wacana ijtihadiyah kontemporer.
Landasan Paradigmatik Zakat Profesi terbangun dari landasan Normatif, Filosofis, Historis dan
Sosiologis. Secara Normatif, sebagaimana dinyatakan dalam Hadits, terdapat lima prinsip Islam;
syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji.kelima prinsip Islam ini berasal dari preseden (ritual yang terjadi
sebelumnya dan dijadikan teladan). Berangkat dari landasan normatif diatas, maka kewajiban zakat yang
diperoleh dari harta pengasilan/profesi sebenarnya bermula dari interprestasi teks Umar bin al-Khattab
dalam surat Al-Hasr:
a saja di antara kamu.
Secara Filosofis, sesungguhnya ingin menempatkan kajian zakat profesi pada system hukum yang
sesuai bagi pencapaian keadilan. Sehingga tujuan pembayaran zakat akan ditemukan aspek epistimologi,
aksiologi dan ontology. Secara Historis, Cohen memaparkan dengan skematis bahwa teori sejarah
menjadi tiga Tipologi, yaitu; Universalitas (proses generalisasi), Empiris (pembuktian melalui obsevasi)
dan Kausal (“sebab dan mengapa”). Secara Sosiologi, Imam Ghazali berpandangan bahwa zakat
merupakan jenis ibadah yang beberbentuk ritual sekaligus material. Sejalan dengan filsafat dasarnya,
zakat dimata ahli Fiqh adalah kewajiban, perintah Tuhan. Akan tetapi apabila dipahami di balik yang
tamapak itu, maka terkandung makna sosialnya. Sebagai ibadah yang memiliki makana social yang
formal, juga terikat oleh syarat dan zakat tertentu.
Zakat adalah kesalehan diri melalui ikhtiar social. Agar sampai kepada kesadaran seperti itu diperlukan
penyadaran yang dibarengi dengan tindakan amal-amal sosial bertujuan, termasuk mengelluarkan zakat,
infak dan sadaqah. Karena dalam ajaran zakat ini pandangan dan komitmen sosialnya begitu jelas,
bahkan dari titik kepentingan yang paling menyentuh hajat orang banyak, yaitu pemenuhan kebutuhan
ekonomi.
1
2. (2) ZAKAT PRODUKTIF
Judul Buku : Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam.
Penulis : Asnaini, S.Ag., M,Ag Cetakan : I, Januari 2008.
Penerbit : Pustaka Belajar, Yogyakarta. Tebal : hal.
Pengertian produktif dalam hal ini lebih berkonotasi kepada kata sifat. Kata sifat akan jelas maknanya
apabila digabung dengan kata yang disifatinya. Dalam hal ini kata yang disifati adalah Zakat. Lebih
tegasnya Zakat Produktif adalah pendayagunaan zakat secara produktif, yang pemahamanya lebih
kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran dalam pengertian luas,
sesuai dengan ruh dan tujuan syara‟. Dengan demikian zakat produktif adalah zakat dimana harta atau
dana zakat yang diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan
digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidup secara terus-menerus.
Pentingnya peran Negara terhadap lembaga zakat diungkapkan oleh para ahli hukum Islam. Salah
satunya Yusuf Qardhawi menjelaskan tiga alasan mengapa Islam menyerahkan wewenang terhadap
Negara untuk mengelola zakat; banyak orang yang telah mati jiwanya/buta mata hatinya dna tidak sadar
akan tanggung jawabnya terhadap orang fakir, untuk memelihara hubunganbaik antara muzakki dan
mustahik, agar pendistribusianya tidak kacau/semrawut dan salah atur. Diantara dalil yang dapat
dijadikan dasar hukum bahwa Negara/Pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban dalam
mengelola zakat adalah (QS. At-Taubah: 103)
Ambillah (himpunlah, kelola) zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan allah maha mendengar lagi
maha mengetahui..
Dewasa ini ada beberapa hambatan/permasalahan dalam perjalanan profesionalisme lembaga zakat
diantaranya adalah; adanya krisis kepercayaan umat terhadap segala macam/bentuk usaha
penghimpunan dana umat, adanya pola pandangan terhadap pelaksanaan zakat yang umumnya lebih
antusias pada zakat fitrah saja, tidak seimbangnya jumlah dana yang terhimpun dibandingkan dengan
kebutuhan umat.
Hukum zakat produktif pada sub ini dipahami hukum mendistribusikan/memberikan dana zakat kepada
mustahik secara produktif. QS. At-Taubah: 60 oleh sebagaian besar ulama dijadikan dasar hukum
pendistribusian zakat, meskipun hanya menyebutkan pos-pos dimana zakat diberikan, tidak
menyebutkan cara pemberian zakat.
Dengan demikian berarti bahwa teknik pelaksanaan pembagian zakat bukan sesuatu yang mutlak, akan
tetapi dinamis, dapat disesuaikan dengan kebutuhan disuatu tempat.
Asy-Syairazi dalam Muhazzabnya, menerangkan bahwa “seorang fakir yang mampu tenaganya diberi
alat kerja, yang mengerti dagang diberi modal dagang.” Setidaknya pernyataan di atas menyebutkan dua
cara pembagian zakat. Produktif kepaa orang-orang miskin yang kuat berusaha dan komsumtif kepada
yang tidak kuat untuk berusaha. Kepada yang tidak kuat pun sebaiknya bersifat produktif.
Mengenai boleh tidaknya zakat produktif ini,seperti pendapat banyak ulama seperti Yusuf Qardhawi,
Sahal Mahfudz, Al-Kasani, Ibnul Qayim dll. Maka dapt disimpulkan bahwa hukum zakat produktif
adalah bahkan sangat dianjurkan bila dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang akhir-akhir ini terjadi.
Dan sesuai dengan kaidah Fiqh:
2
3. Hukum itu berputar bersama ilatnya dalam mewujudkan maupun meniadakan hukum
(3) SHOLAT KHAUF
Judul Buku : Pedoman Sholat
Penulis : Teungku Muhammad Hasbi Cetakan : III, Januari 2005.
Ash Shiddieqy.
Tebal : 630 hal.
Penerbit : PT. Pustaka Rizki Putra,
Semarang.
Shalat Khauf adalah penunaian shalat yang difardhukan (diwajibkan) yang dilakukan pada saat genting
atau kondisi yang mengkhawatirkan dengan cara tertentu. Permulaan shalat khauf yang dilaksanakan
Nabi Saw. Ialah diwaktu peperangan Asfan. Peperangan ini terjadi sesudah peperangan Khandaq.
Sesudah Nabi Saw, mengerjakan shalat Khauf di peperangan Asfan ini maka Nabi Saw. Mengerjakanya
lagi di peperangan Dzatir Riqa‟.
Shalat Khauf disyari‟atkan dalam setiap peperangan yang dibolehkan; memerangi orang-orang kafir,
pemberontak/penyamun dan tidak diperbolehkan pada peperangan yang diharmkan. Disyari‟atkan hal
itu berdasarkan Al-Q, As-Sunnah dan Ijma‟. Dari Al-Qur’an, yaitu; (QS. An-Nisa‟:102)
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat) Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu. dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak
ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap
siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
Dari As-Sunnah, sebagaimana Imam Ahmad Rahimahullah berkata, “Telah shahih shalat khauf dari nabi
shallallahu „alaihi wasallam dalam 5 atau 6 bentuk (cara) yang semuanya adalah dibolehkan”. Dalil
Ijma‟, Para sahabat dan seluruh Imam telah ijma‟ terhadap disyariatkannya shalat khauf, kecuali
beberapa gelintir saja yang menyelisihinya yang tidak dianggap.
Kaifiyah Shalat Khauf; shalat khauf sendirian, jika kita shalat khauf sendirian dibolehkan kita
melakukan seperti biasa (mengerjakanya dua rakaat serta mengqasharkan Hai-ahnya). Shalat Khauf
Berjama’ah, jika kita bershalat khauf berjama‟ah maka caranya adalah sebagai yang telah diterngakan
oleh Al-Qur‟an dan perbuatan-perbuatan Rasulullah Saw (ada yang dikerjakan makamum 2 rakaat dan
ada pula yang 1 rakaat). Shalat khauf dalam peperangan, (1) Musuh diarah kiblat (Rasulullah Saw.
Membagi laskar menjadi 2 kelompok, salah satu kelompok melaksanakan sholat bersama Nabi dan kelompok
satunya tetap berdiri menghadapi musuh, selanjunya bergantian pada 1 rakaat dan Nabi tetap menjadi Imam). (2)
Musuh bukan diarah kiblat (menyempurnakan shalat yang satu rakaat lagi sendiri-sendiri).
Rukshah (keringanan) dalam shalat khauf adalah menqasharkan dari 2 rakaat menjadi satu rakaat saja.
Dalil-dalilnya; Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya ”shalat khauf di dalam safar, diqasharkan kepada
satu rakaat saja. Jika khauf itu telah amat sangat, hendaklah dikerjakan menurut kemungkinan yang ada:
sambil berjalan, sambil berkendaraan baik mengadap kiblat maupun tidak”. H.R. Muslim dari Ibnu
Anas, Ibnu Katsir I:546) : “Difardhukan shalat atas lidah Nabimu di dalam hadhar empat rakaat dan di
dalam safar dua rakaat dan di dialam khauf satu rakaat”. Dari Al-Qur‟an (QS.Al-Baqarah: 239) :
3
4.
Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah
Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
(4) SHOLAT SAFAR
Judul Buku : Pedoman Sholat
Penulis : Teungku Muhammad Hasbi Cetakan : III, Januari 2005.
Ash Shiddieqy.
Tebal : 630 hal.
Penerbit : PT. Pustaka Rizki Putra,
Semarang.
Apabila seseoarang sedang bepergian keluar daerahnya (bersafar), maka dia mengerjakan shalat yang
empat rakaat, dua rakaat saja. Mengerjakan shalat yang demikian, bisa disebut orang yang dengan
menqasharkan shalat. Sebenarnya, bukanlah qashar (ringkas); dia tamam (sempurna) juga. Mengingat
hadits-hadits: Ibnu Abbas r.a berkata “Bahwasanya shalat apabila dilaksanakan dua rakaat di dalam safar
sudah dipandang sempurna”.(Tafsir Ibnu Katsir I: 545). Ibnu Umar r.a berkata: “shalat safar, dua rakaat
sempurna, bukan qashar. Hanyasanya qashar pada shlat khauf (shalat dalam ketakutan)” (Tafsir Ibnu
Katsir I: 545).
Untuk mengenai pelaksanaan shalat wajib, diperbolehkan mengambil rukhsah (keringanan) yaitu
dengan menqashar dan menjamak. Safar yang membolehkan qashar dan membolehkan jamak; (1)
Tentang hal qashar shalat, sebagaimana dalam firman Allah swt (QS.An-Nisa‟:101)
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(2) Tentang hal jamak shalat; Boleh bagi seseorang menjamakkan antara Dzuhur dan Ashar jamak
takdim (menegerjakan dua shalat dalam waktu yang pertama) dan jamak ta‟khir (mengerkjakan dua
shlat dalam waktu yang kedua), antara Dzuhur dan Ashar, Magrib dan Isya‟, taqdir dn ta‟khir, apabila:
pertama, berada di Arafah dan Muzdalifah. Kedua, berada dalam safar. Ketiga, karena hujan. Keempat,
karena sakit atau uzur. Kelima, jamak karena hajat.
Dan berkaitan dengan shalat safar maka rukhsah (kemudahan) ini “wajib” diikuti sebgaimna
ketentuanya, dengan tidak mengurangi atau menambahi tata cara shalat safar atau bahkan
meninggalkanya.
REFERENSI
Zudi, Masjfuk. 1997. MASAIL FIQHIYAH : Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: PT Midas Surya
Grafindo.
Mahfudh, Sahal. 2004. AHKAMUL FUQAHA : Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusam
Mukhtamar, Munas dan Kombes Nahdlatul Ulama (1926-1999 M). Surabaya: Lajnah Ta‟lif Wan
Nasyr (LTN) NU Jawa Timur.
4