Teks tersebut memberikan analisis mengenai pelaksanaan rehabilitasi sekolah melalui sistem swakelola. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan swakelola rehabilitasi sekolah oleh sekolah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena tidak memenuhi persyaratan dalam Perpres 54/2010. Tulisan tersebut juga membantah klaim bahwa swakelola lebih baik dan hemat serta menciptakan lapangan kerja.
1. Jebakan Hukum Swakelola Rehabilitasi Sekolah
Beberapa hari lalu saya dibuat tercengang dengan berita pada laman
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang berjudul “Swakelola Rehabilitasi
Sekolah Dinilai Lebih Baik.”
Yang membuat saya tercengang adalah, tulisan tersebut sama sekali tidak mencantumkan dasar
hukum apapun untuk mendukung pernyataan yang tertulis. Tulisan tersebut juga mencantumkan
beberapa pernyataan di bawah ini:
1. Mekanisme pembangunan ruang kelas lebih baik menggunakan sistem swakelola
dibandingkan dengan proses tender;
2. Sistem swakelola dapat menghemat anggaran 25-30 persen;
3. Dicontohkannya, di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana rehabilitasi Rp196 juta
untuk tiga lokal dapat menambah satu lokal untuk guru dan untuk sanitasi; dan
4. Keuntungan lainnya adalah dapat menciptakan lapangan kerja.
Apakah benar pernyataan-pernyataan tersebut? Mari kita telaah.
Dasar Hukum
Pelaksanaan pengadaan rehabilitasi sekolah wajib mengacu pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010
karena anggaran yang digunakan adalah APBN. Hal ini tertuang pada Pasal 2 Perpres 54/2010
yaitu “Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau
seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.”
Khusus swakelola, dijelaskan pada Pasal 26 Ayat 1 Perpres 54/2010 yaitu “Swakelola
merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan
dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah
lain dan/atau kelompok masyarakat.”
Pada pasal ini dapat dilihat bahwa swakelola terdiri atas 3 jenis, yaitu:
1. K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran;
2. Instansi Pemerintah Lain; atau
3. Kelompok Masyarakat.
2. Persyaratan sebuah pekerjaan dapat diswakelolakan yang dituangkan dalam Pasal 26 Ayat 2
adalah:
a. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan
kemampuan teknis sumber daya manusia serta sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I;
b. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung
masyarakat setempat;
c. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati
oleh Penyedia Barang/Jasa;
d. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan terlebih dahulu,
sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan
ketidakpastian dan risiko yang besar
e. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan;
f. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus untuk
pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia
Barang/Jasa;
g. pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di
laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
h. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;
i. pekerjaan Industri Kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri;
j. penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau
k. pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus
dalam negeri.
Mari ditelaah satu persatu persyaratan tersebut:
1. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar bukan untuk
melaksanakan rehabilitasi gedung dan bangunan, sehingga seharusnya sekolah tidak
dapat melaksanakan swakelola untuk rehabilitasi gedung dan melanggar Pasal 26 Ayat 2
Huruf a.
2. Gedung sekolah juga tidak masuk dalam klasifikasi pekerjaan yang operasi dan
pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat karena operasi
dan pemeliharaan sehari-hari dilaksanakan oleh manajemen sekolah. Contoh pekerjaan
yang operasi dan pemeliharaan memerlukan partisipasi langsung masyarakat adalah WC
Umum atau jalan desa karena memang digunakan langsung sehari-hari oleh masyarakat.
3. Pasal 26 Ayat 2 huruf c hingga k juga tidak dapat dijadikan dasar untuk swakelola
rehabilitasi sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sekolah tidak dapat melaksanakan rehabilitasi gedung
dengan cara swakelola.
Salah satu alasan yang sering disampaikan adalah dana rehabilitasi merupakan dana hibah,
sehingga dapat dilakukan dengan cara swakelola.
Pendapat ini merupakan pendapat yang masih berdasarkan kepada Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 80 Tahun 2003 yang memang menyebutkan bahwa salah satu tipe swakelola adalah
“Kelompok masyarakat penerima hibah.”
3. Kata “penerima hibah” ini telah dihilangkan pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010.
Bahkan khusus untuk kelompok masyarakat yang boleh melaksanakan swakelola, telah
ditekankan pada Pasal 31 Huruf b Perpres 54/2010 yaitu “pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
hanya diserahkan kepada Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola yang mampu
melaksanakan pekerjaan.” Hal ini menegaskan bahwa harus ada penilaian terlebih dahulu apakah
kelompok tersebut mampu atau tidak. Kemampuan biasanya sejalan dengan tugas pokok dari
kelompok masyarakat setempat, misalnya kelompok masyarakat petani pasti memiliki
kemampuan dalam hal pertanian, demikian juga dengan kelompok masyarakat nelayan yang
memiliki kemampuan dalam bidang perikanan.
Hal ini saya ungkapkan karena ada juga yang menyampaikan bahwa swakelola dapat dilakukan
oleh Komite Sekolah, karena komite sekolah merupakan kelompok masyarakat. Nah, selain tidak
memenuhi Pasal 26 Ayat 2, kemampuan komite sekolah untuk melaksanakan rehabilitasi sekolah
apakah sudah dipastikan? Berapa banyak diantara mereka yang memiliki kemampuan dalam
bidang Jasa Konstruksi? Juga apakah mereka memiliki SKA atau SKT dalam bidang Jasa
Konstruksi sesuai wewenang Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi?
Berdasarkan paparan di atas, maka pelaksanaan Rehabilitasi Sekolah dengan cara swakelola oleh
sekolah penerima hibah/bantuan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Lebih Baik dan Lebih Hemat
Beberapa alasan lain yang digunakan untuk membenarkan pelaksanaan swakelola adalah
swakelola lebih baik daripada proses tender, sistem swakelola dapat menghemat anggaran, lebih
banyak bangunan yang dapat dibangun dengan menggunakan cara swakelola dibandingkan
dengan lelang, dan dapat menciptakan lapangan kerja.
Swakelola lebih baik?
Kata-kata “baik adalah sebuah kata yang amat subjektif karena bergantung cara pandang dan
pengalaman seseorang dalam memandang.
Memang benar bahwa di beberapa daerah, sekolah yang dulu dibangun dengan cara swakelola,
kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan cara lelang/tender. Hal ini karena kepala sekolahnya
amat komit terhadap kualitas sehingga sangat mengawasi pelaksanaan pembangunan. Juga orang
tua siswa yang ikut membangun, dilandasi dengan semangat bahwa anaknya bersekolah di
sekolah tersebut, maka mereka akan mengerjakan dengan baik.
Tetapi tidak bisa dipungkiri juga, beberapa kepala sekolah malah masuk bui alias hotel prodeo
alias penjara karena dituduh korupsi dana swakelola pembangunan gedung. Salah satu beritanya
dapat dibaca disini.
Juga banyak sekolah yang dibangun dengan mekanisme swakelola, belum lama digunakan malah
rubuh. Hal ini dapat dilihat pada pembangunan gedung perpustakaan SD Negeri Pemurus 8
4. Banjarmasin yang umur bangunannya baru 1 tahun. Contoh lain adalah pembangunan Gedung
Laboratorium IPA SMPN 1 Grogol yang rusak padahal umurnya baru 2 (dua) minggu.
Masih banyak contoh-contoh lain yang amat mudah diperoleh hanya dengan melakukan
pencarian menggunakan Google.
Ini membuktikan, metode pengadaan, tidak menjamin mutu pekerjaan.
Swakelola lebih hemat?
Sama dengan tulisan “swakelola lebih baik”, hemat adalah sebuah sifat yang bersifat subjektif
dan sulit diukur. Bisa saja pada saat pelaksanaan pembangunan gedung sekolah dilakukan
penghematan, tetapi baru 1 bulan dipakai malah rubuh, maka sia-sialah pekerjaan yang telah
dilakukan.
Yang harus diingat, swakelola dan menggunakan penyedia barang/jasa harus berlandaskan Harga
Perhitungan Sendiri (HPS) yang telah disusun. Penghematan dapat dilakukan apabila
penyusunan HPS dilakukan secara profesional dan tidak di-mark-up sehingga menguntungkan
diri sendiri atau orang lain. HPS juga harus berdasarkan kepada harga pasar setempat dan telah
memperhitungkan pajak dan keuntungan yang wajar.
Pajak tidak bergantung kepada proses pengadaan, swakelola dan penyedia barang/jasa tetap
harus menghitung PPn sesuai aturan yang berlaku. Jadi tidak benar bahwa kalau swakelola maka
tidak dikenakan pajak.
Kalimat “di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana rehabilitasi Rp196 juta untuk tiga lokal
dapat menambah satu lokal untuk guru dan untuk sanitasi” juga tidak menunjukkan bahwa
swakelola bisa lebih hemat. Hal ini berarti HPS yang ditetapkan sebelumnya masih terlalu tinggi
sehingga sebenarnya setelah dilaksanakan dapat menambah satu lokal lagi.
Penciptaan lapangan kerja dengan metode swakelola juga adalah lapangan kerja semu karena
yang bekerja bukan merupakan orang-orang yang ahli di bidangnya. Juga kalau dilaksanakan
menggunakan metode lelang/tender, tetap dapat menciptakan lapangan kerja.
Jebakan Hukum
Yang saya khawatirkan sebenarnya adalah jebakan hukum dari pelaksanaan swakelola ini,
karena dengan pertanyaan sederhana saja, maka Kepala Sekolah penerima bantuan rehabilitasi
sudah sulit untuk menjelaskan. Pertanyaan tersebut adalah “sebutkan dasar hukum dari peraturan
perundang-undangan yang membolehkan swakelola rehabilitas bangunan sekolah dilaksanakan
oleh sekolah itu sendiri.”
Kalau pembaca searching di google, terlihat sebagian besar yang menjadi korban adalah Kepala
Sekolah, karena kepala sekolah sebagai Pengguna Anggaran (PA) bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan swakelola di sekolahnya, sehingga apabila ada gugatan hukum, maka yang terkena
secara langsung adalah kepala sekolah itu sendiri dan bukan pemberi bantuan.
5. Apalagi dalam juklak bantuan sering dituliskan “pengadaan barang/jasa dilakukan sesuai
ketentuan perundang-undangan,” sehingga apabila pemberi bantuan ditanya maka bisa menjawab
dengan jawaban “diplomatis” bahwa pada juknis sudah ditetapkan tetapi kepala sekolah sendiri
yang tidak melaksanakan.
Selain itu, jangan sampai pemberian bantuan ini merupakan cara untuk mempercepat “daya serap
anggaran” tanpa memperhitungkan konsekwensi hukum yang akan diterima oleh penerima
bantuan pada masa yang akan datang.
Apabila Bapak Menteri bersikeras bahwa sekolah dapat melaksanakan swakelola untuk
rehabilitasi, maka silakan mengusulkan aturan khusus kepada Presiden agar diterbitkan Peraturan
Presiden (Perpres) yang spesifik mengatur mengenai pembangunan atau rehabilitasi sekolah.
Hal tersebut bukan tidak mungkin, dibuktikan dengan telah dikeluarkannya Perpres Nomor 59
Tahun 2011 yang mengatur mengenai penunjukan langsung pengadaan barang/jasa untuk
kegiatan Sea Games ke XVI di Palembang.
Jalan Keluar
Pertanyaan berikutnya setelah pembahasan di atas adalah ” Bagaimana apabila sekolah telah
terlanjur menerima dana untuk rehabilitasi dan diperintahkan melaksanakan melalui metode
Swakelola?”
Menafikan pelanggaran pasal 26 Ayat 2 Perpres 54/2010, maka kita dapat menganggap
swakelola tersebut adalah swakelola yang dilaksanakan oleh K/L/D/I penanggung jawab
anggaran, sehingga dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 27 ayat 1 dan 2 serta
Pasal 29 Perpres 54/2010.
Hal-hal yang wajib diperhatikan adalah:
1. Jumlah tenaga dari luar sekolah (termasuk tukang, pengawas, dll) tidak boleh melewati
50% dari jumlah keseluruhan pegawai sekolah yang terlibat dalam pelaksanaan
pembangunan. Hal ini karena tujuan utama swakelola adalah menggunakan tenaga yang
dimiliki sendiri dan tidak sekedar menjadi broker pekerjaan dan selanjutnya dikerjakan
oleh pengusaha secara total. Hal ini tertuang pada ketentuan Pasal 27 Ayat 2 Perpres
54/2010
2. Pengadaan bahan/barang, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan tenaga ahli dilakukan
oleh ULP/Pejabat Pengadaan dan dilaksanakan menggunakan metode pengadaan
barang/jasa sesuai Perpres 54/2010. Hal ini berarti apabila bahan bangunan yang apabila
dijumlahkan nilainya melebihi 100 juta, tetap wajib dilelangkan oleh Kepala Sekolah,
tidak boleh hanya dibeli langsung ke toko. Apabila nilainya dibawah 100 juta, maka
menggunakan metode pengadaan langsung dan memperhatikan bukti-bukti pembayaran
sesuai Pasal 55 Perpres 54/2010 dan menggunakan Standard Bidding Document (SBD)
Pengadaan Langsung yang dikeluarkan oleh LKPP.
3. Hal ini juga berlaku untuk tenaga ahli dan tenaga terampil yang digunakan, tetap harus
memperhatikan ketentuan tenaga ahli dan terampil berdasarkan peraturan perundang-
6. undangan dalam bidang Jasa Konstruksi, yaitu UU Nomor 18/1999 dan peaturan
turunannya, termasuk Peraturan Menteri PU (PermenPU) Nomor 7 Tahun 2011. Salah
satunya adalah tenaga ahli dan terampil wajib memiliki sertitikat keahlian atau
keterampilan yang dikeluarkan oleh LPJK.
4. Kepala sekolah tetap wajib membentuk 3 tim, yaitu tim perencana, pelaksana dan
pengawas untuk melaksanakan pekerjaan sesuai tahapan dan bidang tugas yang telah
diuraikan pada Lampiran VI Perpres 54/2010.
Semoga amanah yang diberikan dapat dilaksanakan dan tidak menjadi sebuah jebakan hukum
yang akan menjerat beberapa tahun yang akan datang.
Pembangunan Sesuaikan Gambar Dan Spesifikasi
Senin, 20 Mei 201308:10 pm
Reporter
Ditayangkan
7. Agam, InfoPublik - Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Agam, menghimbau
sekolah dasar penerima dana alokasi Khusus (DAK) laksanakan pekerjaan sesuai dengan gambar
dan spesikasi yang ada dalam dokumen perencanaan.
"Kita mengimbau kepada kepala sekolah yang menerima dana DAK lanjutan dari tahun 2012
untuk dapat memperhatikan dokumen perencanaan sesuai dengan ketentuan gambar dan
spesifikasi yang ada," kata Kepala Disdikpora Agam,Fauzir, Senin (20/5).
Dia menjelaskan, pelaksanaan rehabilitasi pembangunan ruang kelas baru dan pembangunan
perpustakaan dengan sumber dana alokasi khusus lanjutan dari tahun 2012 agar dilaksanakan
dengan baik.
Dia menambahkan, pengelolaan dana dak harus benar-benar dilakukan sesuai juknis dan rap
yang dikeluarkan oleh Penerintah Pusat. Dan ketentuan tersebut harus di laksanakan dengan
baik.
"Apabila ada perubahan pekerjaan menurut kebutuhan dan kondisi lapangan agar mengajukan
permohonan tertulis terhadap perubahan tersebut dengan melengkapi berita acara rapat panitia,"
imbuhnya.
Selain itu, dalam pelaksaaan pekerjaan panitia pelaksana agar selalu berkoordinasi dengan
konsultan pengawas. Kepada konsultan pengawas diminta mengawasi dan memberikan arahan
kepada panitia pelaksana sekolah sebelum pelaksanaan pekerjaan.
Sedangkan, kepada UPT pendidikan TK, SD dan LS ikut serta melakukan pengawasan dan
pembinaan pada masing-masing sekolah tersebut, dan sekolah penerima DAK pengirimkan
laporan kemajuan pekerjaan secara berkala.(mc agam/toeb)